Minggu, Maret 29, 2009

Di Bawah Ketiak IMF

Judul : Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Jalan Baru Membangun Indonesia
Penulis : Ishak Rafick
Penerbit : Ufuk Publishing House
Cetakan : II, Desember 2008
Tebal : xxviii + 417 hlm.
--------------------------
Buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Jalan Baru Membangun Indonesia memang sangat luar biasa. Sejak terbit pertama kali (cetakan I, Januari 2008) respons pembaca teramat positif atas buku ini. Walhasil, tak lebih setahun, mengalami cetak ulang.

Buku yang sesungguhnya tidak ringan ini ternyata mampu menyadarkan masyarakat Indonesia akan permainan politik Indonesia di kancah dunia. Konkritnya, buku ini menyadarkan kita akan kelemahan struktural yang laten di bawah kepemimpinan lima Presiden Indonesia.

Lantas, apa sesungguhnya yang menjadi keistimewaan buku ini sehingga masyarakat meminta penerbitnya untuk mencetak ulang? Tak lain, lantaran buku ini "menelanjangi" kelemahan lima presiden Indonesia dalam mengelola bangsa Indonesia.

Penulisnya memotret semua perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam kurun 1997-2007. Menurut penulisnya, bahwa di tengah pertumbuhan ekonomi semasa Orde Baru, berbagai ketimpangan dan kerawanan di bidang ekonomi maupun sosial terjadi, meski di permukaan seolah baik-baik saja. Dan pasca-reformasi semua kerawanan itu terjadi. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah telah gagal dalam membangun perekonomian nasional. Kegagalan kelompok ekonom yang merumuskan arah pembangunan nasional selama 40 tahun, sekaligus telah mewariskan potensi sebagai sebuah negara yang gagal (failed state).

Akibat kegagalan itu, Indonesia batal tinggal landas meski Orde Baru telah tumbang. Padahal, pada 1967, negara-negara utama di Asia nyaris memiliki posisi yang hampir sama secara sosial dan ekonomi dengan Indonesia. Pada waktu itu, GNP per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan China nyaris sama yaitu kurang dari US$100 per kapita. Setelah lebih dari 40 tahun, GNP per kapita negara-negara tersebut pada 2004, Indonesia mencapai sekitar US$ 1.100, Malaysia US$4.520, Korea Selatan US$14.000, Thailand US$2.490, Taiwan US$14.590, dan China US$1.500.

Ishak Rafick menyimpulkan bahwa kemerosotan ekonomi Indonesia tak lain adalah akibat para penguasa yang mau-maunya meminta bantuan pada IMF (International Monetery Fund). Padahal bantuan IMF tak lain adalah ibarat duri dalam daging. Contohnya adalah utang para konglomerasi senilai Rp 600 triliun akibat restrukturisasi perbankan, yang kemudian diubah menjadi utang rakyat. Pemerintah kemudian menerima resep rekapitalisasi perbankan dari IMF. IMF kemudian memaksa pemerintah mengeluarkan obligasi senilai Rp 430 trilyun. Bersama bunganya obligasi rekapitalisasi itu kemudian bernilai Rp 600 trilyun. Langkah IMF kemudian memaksa pemerintah menjual bank-bank, salah satunya Bank BCA yang telah menelan dana pemerintah Rp 58 triliun dan pembelinya kemudiaan menikmati bunga obligasi rekap.

Menurut skenario awal, obligasi itu dipakai hanya sebagai instrumen yang bisa ditarik kembali bila bank-bank sudah sehat. Tapi, belakangan, setelah bank-bank sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak pemerintah menjual bank-bank tadi bersama obligasinya. Perkembangan selanjutnya, bank-bank itu dibeli asing. Dengan cara itu, pemerintah telah mengubah utang swasta menjadi utang publik yang baru di samping utang luar negeri senilai US$ 137 milyar. Walhasil, pemerintah menanggung semua kerugiannya. Dan IMF lepas tangan.

Menurut Rafik pemerintah Indonesia mudah sekali dipengaruhi oleh pandangan ortodoks dan neoliberal. Imbasnya, negara ini pun hanya memperjuangkan kepentingan segelintir elite, sedangkan rakyat diserahkan kepada belas kasihan mekanisme pasar (market mechanism). Dan jika negeri ini masih meminta belas kasihan kepada IMF, World Trade Organization (WTO), dan Wordl Bank (Bank Dunia), maka sesungguhnya kita telah menggali kuburan sendiri.

Sisi lain, dalam buku ini diungkap kasus-kasus bagaimana pihak IMF, asing, dan para kapitalis menguasai kekayaan yang menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak. Sebagai contoh, bagaimana SBY dengan mudahnya memberikan Blok Cepu ke tangan Exxon Mobil Corporation.

Beberapa negara membuktikan bahwa sebetulnya tanpa bantuan IMF mereka bisa memperbaiki ekonominya sendiri. Malaysia adalah salah satu contohnya. Saat krisis ekonomi melanda Asia pada 1997, Malaysia menolak resep IMF, karena pasti akan menimbulkan gejolak ekonomi dan politik di Malaysia. Hasilnya sangat menggembirakan. Ekonomi Malaysia tetap stabil. Bahkan lebih dari itu, pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja meningkat.

Ishak menyoroti sikap dan kebijakan-kebijakan yang diambil tim-tim ekonomi di bawah lima presiden: Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan terakhir Yudhoyono. Terutama dalam kaitan dengan IMF. Intinya sama: tim-tim ekonomi itu umumnya selalu tunduk pada kemauan IMF (kecuali masa Gus Dur). Dan itulah inti persoalan yang membuat kekisruhan ekonomi Indonesia seperti tak berkesudahan hingga kini.

Dalam korporatokrasi, kedaulatan tidak lagi berada di tangan rakyat, tapi di tangan berbagai perusahaan besar yang menguasai pasar. Suara rakyat hanya diperlukan menjelang pemilihan umum seperti saat ini. Untuk itu, buku ini menemukan relevansinya pada saat ini, karena bisa dijadikan referensi penting sebelum pemilihan calon legislatif dan calon presiden. Bukankah seekor rusa saja tak pernah masuk pada lobang yang sama, bagaimana dengan kita?

M Iqbal Dawami
Staf pengajar STIS Magelang, pegiat “Diskusi Ilmiah Dosen” Jum’at malam di UIN Sunan Kalijaga, tinggal di Jogjakarta

Sabtu, Maret 21, 2009

Kematian Iklan Politik

Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, Selasa 24 maret 2009

Judul: Iklan Politik dalam Realitas Media
Penulis: Sumbo Tinarbuko
Penerbit: Jalasutra
Cetakan: 1, Maret 2009
Tebal: xix + 120 hlm.
----------------------

Pemilu 2009 yang diawali dengan pemilihan calon legislatif tinggal menghitung hari. Saat menjelang pemilu ini, bangsa Indonesia memasuki zaman narsisme, sebuah zaman yang mensyaratkan kecintaan kepada diri sendiri. Untuk itu, agar kecintaan pada diri sendiri mendapatkan permakluman, banyak di antara mereka menebarkan jaring pesona kepada siapa pun. Mereka itu adalah calon legislatif yang mengkampanyekan dirinya lewat rumusan konsep narsisme.

Salah satu implikasi dari narsisme politik tersebut adalah menjadikan Indonesia sebagai negeri spanduk. Hal itu disebabkan saking banyaknya spanduk dan papan iklan bertebaran di tiap sudut dan pinggir jalan. Spanduk dan iklan politik bersaing keras dengan papan iklan rokok dan iklan kartu SIM telepon genggam. Buku Iklan Politik dalam Realitas Media karya Sumbo Tinarbuko ini mencoba membongkar aksi narsis para politis dengan melihat dari sisi iklan dan pencitraan. Kedua hal ini, memang, sangat diperlukan dalam usaha untuk mengkampanyekan para calon legislatif ataupun presiden menjelang pemilu ini. Namun, apakah kedua hal itu sudah berjalan efektif, proporsional, dan sesuai prosedur? Buku ini mencoba menjawabnya.


Dalam teori komunikasi, iklan pada prinsipnya berusaha untuk mempengaruhi persepsi dan emosi yang akan menentukan tindakan pihak yang menjadi target iklan tadi. Isi dari iklan tersebut secara langsung akan memberikan efek stimulatif bagi masyarakat. Iklan yang isinya buruk akan mempengaruhi persepsi yang tidak baik dalam masyarakat kepada dirinya, lingkungan dan pihak yang melemparkan iklan tersebut. Demikian juga sebaliknya, iklan yang baik secara stimulatif akan memberikan efek yang baik bagi ketiga kelompok tersebut.

Hakikatnya, iklan politik mirip dengan reklame produk komersial. Tujuannya adalah membuat citra tokoh yang ditawarkan sebagai pilihan yang paling tepat. Tidak jarang masyarakat diberi iming-iming bahwa tokohnya mampu ”menyulap” kesengsaraan menjadi kemakmuran dalam sekejap. Dan layaknya dunia bisnis, kampanye politik pun sebenarnya menggunakan prinsip marketing, seperti: marketing research, market segmentation, targeting, positioning, strategy development dan implementation. Dalam hal ini televisi adalah media yang paling efektif. Sudah dapat dipastikan hampir di setiap rumah tangga ada televisi. Oleh karena itu, iklan politik di televisi menjadi sangat efektif untuk menjangkau rakyat pemilih. Bagi pengelola televisi, tidaklah penting apakah itu iklan politik atau bisnis. Mereka membebankan tarif untuk panjangnya waktu iklan bukan jenis iklan. Tarif untuk iklan politik akan sama mahalnya dengan tarif iklan bisnis jika waktu yang digunakan sama. Perang iklan politik di televisi antar calon presiden membuat biaya kampanye membumbung tinggi.

Namun, di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil ini, besarnya pengeluaran untuk biaya iklan tersebut secara tidak langsung menunjukkan ketidakpekaan para kandidat. Terlepas dari pencitraan diri kandidat, tidak dapat dimungkiri bahwa iklan hanya memberikan pengenalan terbatas tentang kandidat dan isu-isu yang diusungnya. Kampanye politik tidak memberikan informasi yang memadai tentang latar belakang, serta visi dan misi kandidat terkait. Tentu saja, penulis buku ini sangat menyayangkan hal itu.

Sumbo, sang penulis, mengakui bahwa di satu sisi, penggunaan media massa sebagai alat kampanye ikut membantu jangkauan dan popularitas kandidat. Di sisi lain, popularitas kandidat yang merupakan dampak dari iklan politik di media massa tidak otomatis menjamin elektabilitas atau keterpilihan kandidat yang bersangkutan. Bahkan, boleh jadi, iklan kampanye politik di media massa mungkin menimbulkan kesan terbiasa akan sosok yang diangkat.

Iklan politik, apapun bentuknya, sebetulnya bukan tanpa sesuatu yang positif. Jika disertai dengan gagasan yang utuh, memerhatikan etika, dan menghindari hal-hal yang menimbulkan keresahan dan permusuhan, ia adalah sarana yang cukup baik untuk melakukan promosi politik. Advertensi politik juga dinilai lebih efektif dan aman bagi masyarakat dibandingkan dengan pengerahan massa.

Namun, Sumbo menilai bahwa iklan politik saat ini tim sukses para caleg dan kandidat presiden, melakukan aktivitas kampanye yang cenderung memroduksi sampah visual. Bahkan hal itu mengarah pada perilaku teror visual dengan modus operandinya menempelkan dan memasang sebanyak mungkin billboard, baliho, spanduk, umbul-umbul, poster, dan flyer tanpa mengindahkan dogma sebuah dekorasi dan grafis kota yang mengedepankan estetika kota ramah lingkungan. Anggota tim sukses cenderung mengabaikan ergonomi pemasangan media luar ruang yang artistik, komunikatif dan persuasif. Hal itu justru menurunkan citra para caleg dan kandidat presiden sendiri, yang (mungkin) mempunyai cita-cita mulia untuk membangun Indonesia agar rakyatnya makmur, aman dan sejahtera.

Dalam dunia pencitraan sendiri, citra dan realitas menjadi dua kutub yang terus tarik menarik. Citra telah berubah menjadi sebuah mesin politis yang bergerak kian cepat. Strategi pencitraan dan teknologi pencitraan dikemas sedemikian rupa untuk mempengaruhi persepsi, emosi, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu. Citraan-citraan itulah yang dijual dalam pencalonan, kampanye dan janji-janji politiknya.

Memang, politik pencitraan sangat penting dalam demokrasi abad informasi karena melaluinya aneka kepentingan, ideologi, dan pesan politik dapat dikomunikasikan. Akan tetapi, dengan meminjam kalimat Yasraf A. Piliang, “Ia harus dilandasi etika politik karena tugas politik tidak hanya menghimpun konstituen sebanyak mungkin tetapi lebih penting lagi membangun masyarakat politik yang sehat, cerdas, dan berkelanjutan” (hlm. xi).

Akhirnya, Sumbo menyimpulkan bahwa iklan politik dengan memajang wajah mengindikasikan si pengiklan tidak merakyat. Mereka mengutamakan idologi bukan ideologi. Beriklan itu sesungguhnya amat penting, karena beriklan sama dengan berinvestasi. Hanya saja, lanjut Sumbo, beriklan itu tidak sama dengan cara kerja petani yang menanam padi lantas 3-4 bulan kemudian panen. Beriklan dalam politik seperti menanam pohon jati. Lama dan perlu dirawat (hlm. 112).

M IQBAL DAWAMI
Staf Pengajar STIS Magelang, pencinta buku, tinggal di Jogjakarta

Minggu, Maret 15, 2009

Membongkar Rahasia Kekayaan Godfather Asia

Resensi ini dimuat di Media Indonesia, Sabtu 6 Juni 2009
Judul: Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa
Penulis: Joe Studwell
Penerjemah: Yanto Musthofa
Penerbit: Alvabet
Cetakan: I, Maret 2009
Tebal: xli + 387 (termasuk indeks)
---------------------------------

Pada 1996, setahun sebelum ‘krisis finansial Asia’ mengubah wajah ekonomi kawasan Asia, majalah Forbes, dalam rilis tahunannya tentang individu-individu terkaya, mendaftar delapan pengusaha Asia Tenggara di antara dua puluh lima teratas dunia dan dan tiga belas di antara lima puluh teratas. Sebuah kawasan kecil, yang secara bersama-sama, tak sanggup mengangkat satu pun perusahaan non-negara di antara 500 perusahaan teratas global.

Namun ternyata, mereka mampu menyumbang sepertiga dari dua lusin orang terkaya di planet ini. Inilah barisan terdepan para godfather Asia, yang masing-masing memiliki harta pribadi lebih dari empat miliar dolar Amerika.


Perekonomian di kawasan Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, Hong Kong, dan Filipina dikendalikan hanya oleh segelintir konglomerat. Mereka dikenal sebagai godfather Asia. Pada 1990-an, mereka termasuk delapan dari 25 orang terkaya di dunia. Siapa sejatinya mereka? Dan bagaimana mereka bisa seperkasa itu? Buku Asian Godfather: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan penguasa mencoba menjawab kedua pertanyaan tersebut.

Ini adalah sebuah buku tentang sekelompok kecil orang-orang yang sangat kaya—para miliarder Asia—yang muncul dan mendominasi ekonomi kawasan mereka di era pasca Perang Dunia Kedua. Untuk keperluan pembahasan buku ini, Asia Tenggara didefinisikan sebagai lima negara anggota asal Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN)—Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina—plus Hong Kong, sebuah tempat yang secara tradisional menjadi pusara sehingga memungkinkannya menjadi bagian dari ‘Cina Raya’ dan Asia Tenggara, sesuai dengan kepentingan dirinya.
Keenam entitas inilah yang menentukan cerita ekonomi kawasan mereka. Menjadi kontributor-kontributor, di kawasan tenggara, yang pada 1993 mendapat julukan sebagai ‘keajaiban Asia Timur’ dari Bank Dunia. Adapun godfather (para miliarder Asia) yang dimaksud di atas (di antaranya) adalah Li Ka-shing, Robert Kuok, Dhanin Chearavanont, Liem Sioe Liong, Tan Yu, Kwek Leng Beng, dan masih ada beberapa lagi.

Berpengalaman sebagai reporter selama belasan tahun di kawasan Asia, Joe Studwell—penulis buku ini—melukiskan secara detail potret diri dan lakon bisnis para godfather : keberanian, kekejaman, kedermawanan, kelihaian, keculasan, kehidupan seksual, pergulatan membangun kongsi, serta komitmen dan pengkhianatan terhadap politisi, preman, juga triad dan sindikat.

Penggunaan istilah godfather dalam buku ini bertujuan untuk merefleksikan tradisi-tradisi paternalisme, kekuasaan laki-laki, penyendirian dan mistik yang benar-benar menjadi bagian dari kisah para taipan Asia. Adapun inspirasi judul buku ini adalah dari novel dan film Mario Puzo, dengan judul yang sama, Godfather.

Berdasarkan pengamatan Studwill, para godfather Asia adalah elite yang tidak khas, sebuah aristokrasi ekonomi dari orang luar yang bekerja sama setengah hati dengan kalangan elite lokal. Secara kultural, para godfather Asia adalah para bunglon yang cenderung berpendidikan bagus, kosmopolitan, berbahasa lebih dari satu dan sepenuhnya terisolasi dari perhatian membosankan dari orang-orang yang dianggap sanak mereka. Lebih dari itu—dan berlawanan dengan prasangka umum—para taipan di kawasan itu jauh dari sifat ke-Cinaan. Hanya minor yang benar-benar Cina dengan afiliasi kultural serta linguistik yang kuat pada Cina.

Para taipan lain memang benar-benar Cina, tapi telah kehilangan banyak afiliasi kultural mereka. Banyak dari mereka orang Eurasia, meski garis darah non-Cina kadang-kadang dipandang sebagai sumber kerendahan martabat dan dinistakan. Terutama dalam sebuah tatanan Cina. Ada pula godfather-godfather yang sama sekali bukan Cina. Buku ini menunjukkan bahwa perilaku mayoritas etnis Cina di kalangan taipan tidak berbeda secara substantif dari ‘para taipan’ Inggris atau Skotlandia di Hong Kong, godfather etnis Spanyol di Filipina atau orang terkaya di Malaysia, yang merupakan orang Tamil Sri Lanka. Mereka didefinisikan, pertama, dalam konteks ke-godfather-an dan, kedua, berdasarkan ras.

Dalam bagian awal, Studwell berusaha mengemukakan struktur organisasi tiap negara atau tiap godfather. Dia mengorganisasinya dengan tema-tema. Sedang bagian dua, yang berjudul “Bagaimana Menjadi Godfather Pascaperang, menggambarkan bagaimana para godfather mengembangkan aliran kas inti, membangun organisasi yang tepat dan mengembangkan kapabilitas perbankan, dengan contoh-contoh untuk mendukung setiap pernyataannya. Semangatnya untuk menghadirkan kasus yang koheren dan memasukkan empat lusin individu ke dalam deskripsi tematis, membuat hasil yang dicapai Studwell terkadang melampui masalah yang digambarkan. Terkadang dengan membuat generalisasi tanpa pendukung, seperti pernyataan Studwell bahwa para godfather tidak memiliki keseimbangan spiritual, justru dalam hal ini Studwell memberikan amunisi kepada mereka yang ingin menghilangkan tuduhan adanya kelas kleptokrasi.

Studwell menghabiskan bertahun-tahun untuk membuat buku yang penting ini yang layak untuk diperhatikan secara serius. Sepuluh persen dari populasi dunia hidup di Asia Tenggara, elite-elite yang sedang berkuasa menyalahgunakan populasi tersebut, dan Studwell melakukan persiapan-persiapan yang solid dalam menunjukkan kepada kita bagaimana penyalahgunaan itu terjadi. Dia berharap karyanya akan menghasilkan pengaruh yang cukup untuk menandingi Lytton Strachey’s Eminent Victorian beberapa abad yang lalu, yang menggunakan karakter-karakter untuk mengecam pembersihan secara luas Victorian English.

Studwell mengemukakan fakta dan pendapatnya bahwa: penciptaan kekayaan riil mestinya menaikkan Produk Domestik Bruto (PDB); PDB di Asia Tenggara sangat terkait dengan nilai ekspor dari tahun ke tahun (dia mendorong para pembaca untuk mengingat grafik dalam apendik yang membuktikan kasus tersebut); Para godfather tidak memainkan peran dalam sektor bisnis ekspor karena memiliki kompetisi yang ketat, beda halnya dengan sektor monopoli yang tanpa persaingan; Mereka tidak memiliki kontribusi terhadap perkembangan ekonomi dalam suatu wilayah; dan pemerintahan yang lemah (korporasi dan politik) membuat mereka tetap meneruskan monopoli mereka terhadap aset-aset yang mereka kelola.

Pada akhirnya, Studwell menolak bahwa menjadi orang Cina memberikan potensi ajaib untuk mendapatkan kesuksesan dalam ekonomi, sambil menunjukkan bahwa pre-dominasi etnis Cina di antara para godfather adalah berasal dari masa kolonial dan pola-pola emigrasi dan bukan dari sifat genetis).

Buku ini kaya dengan data-data dan poin-poin tematis yang luas diberikan secara cukup jelas. Sebuah kajian yang sangat berharga. Tak aneh jika Jeff Andrew, pengamat Asia, dalam endorsement buku ini berkomentar bahwa karya Studwell ini merupakan, “Reportase yang utuh dengan kepekaan sejarah menyangkut orang-orang hebat di balik perekonomian Asia.”

M. IQBAL DAWAMI
Staf Pengajar STIS Magelang, pengelola blog http://resensor.blogspot.com

Senin, Maret 09, 2009

Kunci Memenangkan Kampanye Pemilihan

Judul: Komunikasi Politik: Media Massa Dan Kampanye Pemilihan
Penulis: Pawito, Ph.D.
Penerbit: Jalasutra
Cetakan: I, Maret 2009
Tebal: xi + 328 (termasuk indeks)
--------------------------------
Sejak dua minggu menjelang diadakannya pemilu presiden Amerika Serikat 2008, hampir semua media di Amerika merilis tajuk rencananya yang berisi dukungan atas Barack Obama.

Sebagian besar media AS sepakat bahwa Obama adalah kandidat presiden yang paling tepat untuk mengurai kekusutan masalah, baik ekonomi maupun geopoltik, di AS. Sebelumnya, Obama dalam kampanyenya membuat slogan yang mampu menyihir warga Amerika, dengan menggantungkan nasibnya pada Obama. Slogan tersebut hanya satu kata, change. Slogan ini sangat efektif karena warga Amerika memang menginginkan perubahan dari pemerintahan sebelumnya yang hampir menenggelamkan negara itu dalam keterpurukan.

Sisi lain, pengemasan pesannya itu, ia hantarkan lewat media baik cetak, elektronik, maupun digital. Di antaranya yang paling efektif adalah melalui YouTube dan Facebook. Kedua media tersebut sangat digandrungi oleh masyarakat luas, dan dapat diakses oleh siapa pun. Belum lagi melalui tokoh-tokoh selebriti baik dari dunia politik, artis, maupun media, ia merangkul dan mendengar aspirasi mereka.

Kemenangan Obama menjadi presiden Amerika dinilai sebagai kemenangan komunikasi politik. Berbagai piranti dan saluran komunikasi, baik yang tradisional maupun non-konvensional, dimanfaatkan secara optimal. Strategi komunikasi politik tim kampanye Obama dan eksekusinya di lapangan sungguh merupakan pameran pemanfaatan media dan elaborasi isu-isu yang efektif dan cukup inovatif.

Fenomena Obama di atas menyiratkan satu hal bahwa komunikasi politik adalah suatu hal penting yang mesti dipelajari bagi siapa pun yang menghendaki pemahaman atas sebuah fakta politik baik sebagai subjek mapun objek. Untuk itu, buku Komunikasi Politik : Media Massa Dan Kampanye Pemilihan ini sangat penting untuk dijadikan referensi. Di dalamnya bukan saja membicarakan realitas komunikasi politik secara umum, tetapi juga memuat tentang konteks keindonesiaan. Dan ini sangat jarang dilakukan oleh penulis lain. Oleh karena itu, buku ini diharapkan dapat mengisi kekosongan yang sudah lama dirasakan secara luas baik di kalangan akademik maupun kalangan politisi di Indonesia.

Melalui buku ini dijelaskan bahwa komunikasi politik merupakan suatu sub-disiplin ilmu yang tergolong ke dalam ilmu perilaku. Komunikasi politik sebagai sub-dispilin ini lebih berorientasi pada persoalan bagaimana manusia saling berbagi atau menyampaikan pesan-pesan berkenaan dengan urusan penjatahan sumber daya publik, walau pesannya senantiasa tidak steril dari kepentingan (siapa memperoleh apa).

Komunikasi politik sebagai suatu sub-disiplin ilmu berpijak pada dua disiplin ilmu: Ilmu komunikasi dan ilmu politik. Namun, kita sulit mengidentifikasi apakah komunikasi politik lebih dekat dengan ilmu politik ataukah lebih dekat dengan ilmu komunikasi. Perlu diingat bahwa baik ilmu komunikasi maupun ilmu politik adalah sama-sama ilmu perilaku yang karenanya bersifat interdispliner, konsekuensinya, konsep-konsep, pandangan-pandangan teoritik, serta prosedur-prosedur, metodologis pada kedua ilmu sangat dipengaruhi oleh cabang-cabang ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, sejarah, dan ekonomi. Hal demikian sudah tentu berlaku juga pada komunikasi politik sebagai suatu sub-disiplin ilmu.

Buku ini diawali dengan membahas tentang pengertian komunikasi politik serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Secara umum komunikasi politik dipandang sebagai suatu proses. Komunikasi politik merupakan kegiatan yang terus-menerus berlangsung. Artinya, apa yang terjadi sekarang sebenarnya merupakan kelanjutan dari apa yang terjadi sebelumnya dan semua akan disambung dengan apa yang terjadi di waktu yang akan datang. Sebagai suatu proses, komunikasi politik dapat dipahami dengan melibatkan setidaknya lima unsur: Pelibat (aktor dan partisipan), pesan, saluran, situasi atau konteks, dan pengaruh atau efek.

Pada bab selanjutnya, buku ini membicarakan tentang pendekatan dan metode penelitian komunikasi. Ada banyak pendekatan dan metode penelitian yang dapat digunakan dalam ranah komunikasi politik. Dalam pendekatan, misalnya, ada pendekatan fungsional, linguistik, lingkungan, institusional, konstruktivisme, uses and gratifications, framing, dan posmodernisme. Sedang dalam metode penelitian, misalnya, kuantitatif, kualitatif, dan multiple-methods.

Kemudian, yang tak kalah penting untuk dibaca dalam buku ini adalah perihal keterkaitan antara media massa dan kampanye, serta pemasaran politik. Mafhum, media massa memiliki kedudukan istimewa dalam kancah politik, terutama pada periode pemilihan, seperti di Indonesia saat ini. Dan kajian mengenai media massa dalam konteks kampanye pemilihan dapat dilakukan dengan menitikberatkan pada, di antaranya: Dampak media terhadap strategi dan jalannya kampanye, pengaruh media terhadap pemilih, iklan kampanye, reportase kampanye, dan isu-isu berkaitan dengan teori demokrasi yang muncul sebagai konsekuensi dari kehadiran media massa.

Melalui buku ini, pembaca diharapkan dapat memahami komunikasi politik sebagai bidang studi yang mencoba berdiri sendiri. Melalui buku ini pula, kita dapat mengetahui para politisi menggunakan komunikasi politiknya, misalnya, pendekatan mana yang digunakan tergantung siapa yang menyampaikan pesan politik dan kepada siapa pesan itu ditujukan. Muatan pesan politisi juga menentukan paradigma komunikasi mana yang digunakan.

Buku ini sangat relevan dengan kondisi negeri kita saat ini, yang sedang beranjak pada periode pemilihan. Para praktisi dan elite politik serta kalangan akademik dan media sangat dianjurkan untuk membaca buku ini. Dengan mengetahui arti dan manfaatnya komunikasi politik dalam tatanan kehidupan politik diharapkan masyarakat sudah menangkap dengan jelas keberadaan model-model komunikasi yang ditimbulkan dalam perpolitikan. Sungguh, peran komunikasi memegang peran penting dalam mengupayakan kepekaan setiap kejadian politik yang berlangsung dewasa ini.

M IQBAL DAWAMI
Dosen STIS Magelang, pengelola blog http://resensor.blogspot.com

Rabu, Maret 04, 2009

Jalan Hidup Seorang Samurai

Judul: The Way Of The Warrior
Penulis: Andrew Matthew
Penerbit: Matahati
Tahun: Desember 2008
Tebal: 199 halaman
--------------------
The Way of The Warrior, sebuah novel legendaris dari negeri sakura yang berlatar belakang peristiwa pertempuran Mikata ga Hara pada tahun 1572. Novel ini berkisah tentang jalan hidup seorang samurai yang diyakini sebagai kelas tertinggi di masa keshogunan Tokugawa.

Menjadi samurai dikenal sebagai jalan ksatria yang berbekal kepiwaian berperang dengan didasarkan loyalitas dan kepatuhan yang tinggi terhadap sang penguasa. Kewajiban utamanya adalah pengabdian yang tanpa ragu kepada tuannya, sampai pada taraf dimana ia bersedia mengorbankan nyawanya jika itu yang diminta darinya.

Seorang samurai akan teguh berpegang pada kode bahwa segala sesuatu diawali dan diakhiri dengan kehormatan.

Shimomura Jimmu, anak laki-laki berusia 10 tahun putra dari keluarga Shimomura Lord Kensu, kehilangan segalanya ketika sang ayah melakukan seppuku akibat dipermalukan oleh Choju Ankan. Sang ayah dianggap sudah mencorengkan aib keluarganya.

Begitu memalukan hingga sang kaisar memutuskan bahwa nama Shimomura tak boleh lagi ada, dan seluruh harta bendanya harus dikorbankan. Lord Kensu menikam perutnya sendiri, dengan tanto—belati—miliknya. Hanya dengan merobek tubuhnya ia bisa menunjukkan kepada orang lain bahwa jiwanya akan tetap berani dan murni dalam menghadapi kecemaran. Dan ibunya menelan racun terlebih dahulu, menjalani kematian secara perlahan sekaligus menyakitkan.

Setelah semuanya lenyap, Jimmu hanya punya satu tujuan suci yaitu menjadi seorang samurai untuk membalaskan dendam sang ayah serta memulihkan nama baik keluarganya. Ia melatih diri bersama Araki Nichiren, guru sekaligus ayah pengganti yang dulunya adalah pengawal samurai kepercayaan ayahnya. Jimmu menjalani tujuh tahun lebih dalam gemblengan Nichiren. Sampai usianya yang ke tujuh belas, ketika Nichiren akhirnya menjadi lemah dan menemui kematiannya, Jimmu nyaris bisa mendengar Nichiren melangkah di sampingnya dengan mengulang kata-kata: “Darah Lord Ankan akan membersihkan aib ayahmu, kau harus membalaskan dendam ayahmu dengan membunuh orang itu, dan barulah kau pantas disebut putra Lord Kensu, dan kematianmu akan jadi suatu kebanggaan.”

Dengan modal keahliannya bertarung, Jimmu bertekad menemukan Lord Ankan dan menyamar sebagai samurai yang ingin mengabdi kepada Lord Ankan. Jimmu diterima menjadi penjaga kastil Mitsukage keluarga Choju Ankan dan mulai membuat perencanaan untuk mengintai mangsanya. Ia sudah mempersiapkan segalanya, mempelajari tata letak kastil dan menyelidiki keadaan.

Takdir yang dipilihkan untuk Jimmu telah menyeretnya berada di tengah-tengah kastil Mitsukage, di antara gerombolan penjaga kastil yang seolah melemahkan dirinya sebagai bocah petani yang hina. Namun di situlah Jimmu memperjuangkan reputasinya sebagai samurai tangguh yang tak mudah dikalahkan. Ia mendapatkan kepercayaan berlebih dari Lord Ankan, dan dipercaya menjadi pengawal putri kesayangannya. Gadis yang telah mengagetkannya di tengah malam ketika ia berlatih membuat rute pembunuhan Lord Ankan.

Kisah ini nyaris berjalan mulus dengan peristiwa-peristiwanya yang cukup melegakan perasaan pembacanya. Hanya saja klimaks dari novel ini akan cukup mengagetkan pembaca. Ada intrik yang begitu menegangkan semenjak meletusnya pertempuran antara pasukan Takeda dengan pasukan Ieyasu dan sekutu-sekutunya. Takdir telah menentukan kalau Jimmu harus terjun ke medan perang bersama Choju Ankan. Dan inilah kesempatan yang sudah dinanti-nantikannya, Ankan akan mati di tangannya tanpa sempat mencicipi manisnya kemenangan dalam peperangan ataupun pahitnya kekalahan. Akan tetapi kenyataan menjadi lain, ketika Lord Ankan menunjukkan keberaniannya dan rela mati demi sekutu-sekutunya.

Menjelang akhir kisah ini Jimmu seolah mempertanyakan takdir yang telah dijalaninya selama bertahun-tahun. Ia merasa ada sebuah penghianatan dan kebohongan besar dalam kehidupan masa lalunya. Pergulatan batinnya berbicara lain, bertentangan dengan keyakinan yang sudah dicekokkan selama hidupnya bersama Nichiren. Sosok Lord Ankan yang diyakininya sebagai musuh yang keji dan licik justru menampakkan pemandangan yang amat mengesankannya. Jimmu dapat melihat ketulusan yang memancar dari mata Choju Ankan, jauh dengan kenangan dirinya sendiri bersama ayahnya yang kaku dan keras. Terlebih putri Lord Ankan sendiri, Jimmu kerap memimpikannya dan terpesona oleh kecantikannya.

Jimmu gagal menghabisi nyawa Lord Ankan di tengah perang yang memberinya banyak kesempatan untuk membayar semuanya. Perasaannya menjadi kabur, kekuatan dan keteguhan hatinya mendadak surut. Seluruh latihan, perencanaan, serta perjuangannya sia-sia. Semuanya menjadi jelas bahwa ia hanya diperalat oleh pengawal ayahnya yang sangat membenci Lord Ankan saudara tirinya sendiri. Kebohongan Nichiren sudah mengubah diri Jimmu menjadi seseorang yang bukan dirinya. Pada akhirnya Jimmu telah menemukan kebenaran, ia bertekad menjadi samurai Choju Ankan dan bersumpah untuk mengabdikan diri sepenuhnya.

Novel ini sarat nilai sejarah, memiliki gaya bahasa yang menarik dan mudah dimengerti. Banyak hal dalam novel ini yang bisa dipelajari selain dari yang telah penulis sebutkan. Di antaranya kebiasaan bunuh diri di kalangan ksatria Jepang dengan membelah perutnya, yang dikenal dengan istilah seppuku. Juga bagaimana kesetiaan para samurai terhadap tuannya.

M Iqbal Dawami
Penikmat sastra, tinggal di Jogjakarta