Minggu, Mei 23, 2010

Meluruskan Arti Jihad


KORAN JAKARTA, Jum'at 21 Mei 2010
========================

Judul: Fiqih Jihad
Penulis: Yusuf Qardhawi
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, April 2010
Tebal: 1260 halaman (termasuk indeks)
========================
Inilah buku teraktual yang membahas tentang jihad. Tidak hanya itu, buku ini pun boleh disebut buku babon perihal jihad. Betapa tidak, buku setebal 1260 halaman “hanya” berisikan jihad dari pelbagai sisi. Tak aneh, Yusuf Qardhawi, sang penulisnya, menyatakan bahwa buku termutakhirnya ini sebagai masterpiece-nya.

Buku ini lahir dari kegelisahan-intelektual Yusuf Qardhawi akan maraknya berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Ditulis dalam waktu yang sangat panjang—sekitar 6 tahun—dan sempat terhenti untuk melihat relevansi pembahasan dengan realitas yang terjadi, Yusuf Qardhawi dalam buku ini ingin menjawab kebutuhan umat Islam terhadap penjelasan mengenai Islam dan pandangan tentang jihad.

Selama ini, jihad seolah identik dengan perang. Pandangan mainstream seperti itu berakibat fatal, karena menganggap Islam sebagai agama teroris dan mengajarkan kekerasan. Fiqih Jihad mencoba mengubah mainstream itu dengan meletakkan jihad dalam konteks yang lebih luas. Bahkan, tidak hanya itu, Qardhawi, pemikir terkemuka fiqih di Dunia Muslim kontemporer ini, membahas dan sekaligus mendudukkan kembali pengertian, ajaran, dan praksis jihad.

Qardhawi membedakan jihad dengan perang (qital) baik dari segi bahasa maupun syari’at (hukum Islam). Jihad menurut bahasa adalah bentuk mashdar dari jahada-yujahidu-jihadan-mu
jahadatan, dan bentuk musytaq (derivatif) dari kata jahada-yajhadu-jahdan yang berarti menanggung kesulitan atau mencurahkan kemampuan.

Qital adalah bentuk mashdar dengan wazn (timbangan) fi’al dari qatala-yuqatilu-qitalan-muqatalatan, dan bentuk musytaq dari kata qatala-yaqtulu-qatalan yang berarti menghilangkan jiwa orang lain. Jadi secara bahasa, kedua kata tersebut berlainan makna, baik secara derivasi maupun semantik.
Kedua kata tersebut secara syari’at juga berlainan maknanya. Jihad bukan bermakna perang (qital) adalah penyebutan kata jihad pada ayat-ayat makiyyah (yang turun di Makkah) sebelum disyari’atkannya qital (perang) di Madinah. Salah satunya disebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Nahl ayat 110.

“Dan sesungguhnya Tuhanmu pelindung bagi orang-orang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Perang (qital) hanyalah salah satu bagian dari Jihad. Akan tetapi, hal ini tidak menafikan bahwa hukum keduanya tersebut berlainan dari sudut pandang realisasi dan perincian, dan bahwa cakupan jihad lebih luas daripada perang (qital) dan tingkatan jihad yang lain. Pembahasan kedua kata ini dijabarkan dengan cukup panjang dan argumentatif.

Melalui buku ini, Yusuf Qardhawi, ingin menghadirkan Islam yang toleran, moderat, realistis, dan ramah, tanpa mengabaikan pakem-pakem syari’at yang sudah ditetapkan. Dalam bahasa Qardhawi syariat Islam memuat hal-hal yang permanen (tsawabit), tetapi memberikan pula ruang-ruang yang bisa berubah (mutaghayyirat). Misalnya, syari’at jihad.[]

M Iqbal Dawami, pencinta buku, aktif di “Kere Hore Jungle Tracker Community” Yogyakarta

Minggu, Mei 16, 2010

Menguak BUMN Indonesia


KORAN JAKARTA, 27 April 2010
=========================
Judul : BUMN Expose; Menguak
Pengelolaan Aset Negara
Senilai 2.000 Triliun Lebih
Penulis : Ishak Rafi ck&Baso Amir
Penerbit : Ufuk Press
Tahun : I, Maret 2010
Tebal : 306 halaman
Harga : Rp94.900
=========================

Dalam Wikipedia.com disebutkan bahwa pascakrisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktik persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari badan usaha milik negara (BUMN).

Sebagai akibatnya, banyak BUMN yang terancam gulung tikar, tetapi beberapa BUMN lain berhasil memperkokoh posisi bisnisnya.

Indonesia memiliki 160 lebih BUMN. Dengan jumlah seperti itu mestinya BUMN dapat menghidupi rakyat Indonesia menuju hidup sejahtera. Namun kenyataannya ibarat panggang jauh dari api.

Coba kita lihat negara lain yang memiliki perusahaan- perusahaan BUMN. Singapura, misalnya. Negara ini mempunyai Singapore Airline dan Singapore Telcom di bawah BUMN, kini kedua perusahaan tersebut berkinerja bagus dan paling efisien di dunia.

Padahal, keduanya adalah BUMN. Demikian pula dengan China dan India, dua negara yang kini menjadi tumpuan harapan dunia setelah jatuhnya kedigdayaan ekonomi Amerika Serikat AS). Keduanya telah berkembang pesat berkat keberhasilan BUMN-BUMN mereka.

Dibanding negara lain, BUMN Indonesia bergerak hampir di seluruh sektor ekonomi, mulai dari pertanian, manufaktur, pertambangan, perdagangan, keuangan (bank dan nonbank), telekomunikasi, transportasi, sampai listrik, konstruksi, dan lain-lain.

Buku BUMN Expose; Menguak Pengelolaan Aset Negara Senilai 2.000 Triliun Lebih berusaha menyoroti BUMN luar-dalam.

Buku ini mengajak pembaca untuk menelusuri zaman kegelapan BUMN. Perusahaan-perusahaan BUMN dari masa awal kemerdekaan sampai akhir masa Orde Baru diulas tuntas di sini.

Bagaimana perusahaan-perusahaan itu berdiri, peranannya dalam pembangunan ekonomi bangsa, sistem tata kelolanya dalam hubungannya dengan penguasa, dan lain-lain. Menurut buku ini, saat itu, tidak ada transparansi dalam pengelolaan BUMN.

Sedang, perusahaan-perusahaan itu pun terserak di 17 departemen teknis. Sedang BUMN pada zaman ini hanya menjadi sapi perah dan sumber dana non-budgeter yang bisa digunakan untuk apa saja.

Selain itu, buku ini membahas pula upaya pembenahan BUMN sejak krisis memorak porandakan dunia usaha sampai akhir Kabinet Reformasi Pembangunan Habibie.

Diulas pula perjalanan Bank Mandiri sebagai salah satu BUMN, sampai ke bentuknya sekarang sebagai salah satu bank terbesar dan terbaik di Republik ini.

BUMN tidak seperti laiknya usaha bisnis yang mampu menghasilkan keuntungan. Bayangkan, total aset seluruh BUMN Indonesia pada 2004 mencapai 1.313 triliun rupiah, tapi laba bersihnya hanya mencapai 25 triliun rupiah.

Kinerja return on asset (ROA)-nya sangat rendah, sehingga BUMN menjadi entitas yang gemuk tapi tidak lincah menghasilkan profil atau keuntungan.Walhasil, jika saja BUMN dikelola secara modern dan profesional, hal seperti itu tidak seharusnya ada.

Buku ini membuka wawasan kita bahwa Indonesia memerlukan terobosan dan gagasan baru dalam mengembangkan BUMN, sebagaimana dikatakan Hendri Saparini, sehingga mampu mewujudkan perekonomian Indonesia yang mandiri dan berdaya saing.[]
 

M Iqbal Dawami, pencinta buku, bergiat di “Kere Hore Jungle Tracker Community” Yogyakarta