Jumat, September 23, 2011

Pengaruh Internet Terhadap Dunia Literasi


Judul: The Shallows; Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita?
Penulis: Nicholas Carr
Penerjemah: Rudi Atmoko
Penerbit: Kaifa
Cetakan: I, Juli 2011
Tebal: 279 hlm.

The Shallows secara harfiah menyiratkan orang-orang yang cara berpikirnya menjadi dangkal setelah terlalu dimanjakan oleh internet. Kalangan ini lalu dicirikan sebagai orang yang tak sabaran, yang tak tahan lama-lama membaca buku tebal atau artikel panjang. Yang lama dan yang bertele-tele sudah tidak mendapat tempat lagi. Begitu komentar Ninok Leksono, rektor Universitas Multimedia Nusantara, atas buku ini.
 

Nicholas Carr, penulis buku ini merasakan beberapa tahun merasa seseorang, atau sesuatu, mengutak-atik otak dan memetakan kembali sirkuit saraf, serta memprogram ulang memorinya. Pikirannya tidak hilang namun berubah. Cara berpikirnya tidak seperti dulu lagi. Dia merasakan terutama saat membaca. Dia bercerita kalau dulu dia begitu mudah tenggelam ke dalam buku atau artikel yang panjang. Pikirannya akan hanyut ke dalam seluk-beluk cerita atau pendapat, dan dia biasa menghabiskan berjam-jam untuk membolak-balik lembaran prosa. Kini, tidak demikian. Konsentrasinya mulai hilang setelah satu atau dua halaman. Dia mulai gelisah, kehilangan fokus, dan mulai mencari-cari aktivitas lain.
 

Tak lain semua itu disebabkan Internet, ujar Carr. Internet memang menjadi media serbaguna, saluran bagi sebagian besar informasi yang mengalir melalui mata dan telinga ke pikiran kita. Anugerah tersebut memang benar. Namun ada harga yang harus dibayar. Internet mengikis kemampuan kita berkonsentrasi dan merenung.
 

Saat kita bermain-main internet selama beberapa jam, kita merasa pikiran kita begitu gembira, kita merasa seperti lebih pintar. Perasaan ini begitu memabukkan sehingga bisa membuat kita tak memedulikan dampak kognitif yang lebih dalam dari Internet.
 

Carr mengisahkan bahwa selama lima abad terakhir, semenjak mesin cetak Gutenberg membuat membaca buku menjadi sebuah keasyikan umum, pikiran linear dan sastra telah menjadi inti dari seni, ilmu, dan masyarakat. Dengan lentur dan lembut, pikiran semacam ini telah menjadi pikiran imajinatif di Masa Renaisans, pikiran rasional di Masa Pencerahan, pikiran inventif di Masa Revolusi Industri, dan pikiran memberontak di Masa Modernisme. Tidak lama lagi pikiran linear mungkin akan menjadi pikiran yang ketinggalan zaman.
 

Otak menuntut untuk diberi makan seperti yang dilakukan Internet—dan semakin banyak otak diberi makan, semakin lapar dia. Bahkan ketika kita jauh dari komputer, kita rindu sekali untuk memeriksa e-mail, mengklik link, dan googling. Kita ingin terhubung. Seperti halnya Microsoft Word telah mengubah kita menjadi pengolah kata yang memiliki daging dan darah.
 

Uskup Zaman Pertengahan bernama Isaac, dari Suriah, menjelaskan bagaimana, setiap kali dia membaca, “bagaikan di alam mimpi, saya memasuki kondisi saat indra dan pikiran saya menyatu. Lalu, seiring semakin lamanya keheningan ini kekacauan ingatan di dalam hati saya lenyap, gelombang kegembiraan yang terus-menerus bergolak dikirimkan kepada saya oleh pikiran dalam, yang di luar dugaan tiba-tiba hadir untuk membahagiakan hati saya.” Membaca buku adalah sebuah tindakan perenungan, namun tidak melibatkan pengosongan pikiran.
 

Kemajuan teknologi buku mengubah pengalaman personal membaca dan menulis. Kemajuan ini juga memiliki dampak sosial. Dengan cara yang tak kentara maupun yang mencolok mata, budaya yang lebih luas mulai terbentuk dari praktik membaca buku tanpa bersuara. Hakikat pendidikan dan keilmuan berubah, saat universitas mulai menekankan membaca secara pribadi sebagai pelengkap penting dalam ceramah di kelas.
Saat nenek moyang kita menenggelamkan pikiran mereka secara disiplin untuk mengikuti sebaris pendapat atau cerita melalui rangkaian halaman cetak, mereka menjadi lebih kontemplatif, reflektif, dan imajinatif. Heningnya membaca secara mendalam menjadi bagian dari pikiran.
 

Buku-buku yang dianggap paling berpengaruh dari abad kesembilan belas adalah On the Origin of Species karya Darwin. Sedang di abad kedua puluh, etika sastra mengalir melalui buku-buku yang sangat beragam seperti Relativity karya Einstein, General Theory of Employment, Interest and Money karya Keynes, Structure of Scientific Revolutions karya Thomas Khun, dan Silent Spring karya Rachel Carson. Semua prestasi intelektual penting ini takkan mungkin terwujud tanpa adanya perubahan dalam aktivitas membaca dan menulis—dan memahami dan berpikir—yang didorong oleh reproduksi efisien atas bentuk tulisan pada halaman cetak yang panjang. Semua karya yang disebut di atas adalah hasil deep reading (membaca secara mendalam). Bisakah jaman “Internet” ini menghasilkan karya-karya semacam itu?
 

Buku ini layak dibaca untuk mengetahui dampak Internet atas cara berpikir kita dan mewaspadai agar kita tidak dikendalikan oleh Internet, melainkan sebaliknya, mengendalikannya.
 

Sebuah sajak yang digubah Wallace Stevens mengemukakan penggambaran yang amat mengena mengenai pentingnya membaca secara mendalam: Rumah ini hening dan dunia ini tenang.//Pembaca menjadi buku; dan malam musim panas//Seperti nyawa buku itu.//Rumah ini hening dan dunia ini tenang.//Kata-kata diucapkan seolah tidak ada buku,//Kecuali jika pembaca membungkuk di atas halaman,//Ingin membungkuk, sangat ingin menjadi//Cerdik pandai yang baginya bukunya adalah kebenaran, yang baginya//Malam musim panas seperti kesempurnaan malam.//Rumah ini hening karena memang harus begitu.//Keheningan adalah bagian dari makna, bagian dari pikiran://Jalan kesempurnaan menuju ke halaman.[]
 

M. Iqbal Dawami, aktif  di dunia literasi, tinggal di Yogyakarta

Refleksi Kehidupan Sehari-Hari


Judul: Merajut Kata-Kata
Penulis: Stephie Kleden-Beetz
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2011
Tebal: 159 hlm.

Merefleksikan hidup sungguh mulia. Refleksi itu mampu menyadarkan diri kita kepada hakikat, baik hakikat kita sebagai hamba Tuhan, maupun sebagai makhluk sosial (homo hominilupus) dan berpikir. Meski begitu, tak banyak orang melakukannya. Entah karena sibuk, maupun tak bisa menyempatkan diri untuk bertafakur.
 

Karena itu apa yang dilakukan Stephie Kleden yang terejawantahkan dalam buku ini sungguh terpuji, di mana ia melakukan kerja refleksi atas apa yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Boleh jadi apa yang direfleksikannya pernah kita alami juga, hanya saja kita tak pernah merefleksikannya.
 

Dalam judul “Ajaib”, misalnya, Kleden bercerita perihal menu makan yang super lezat dan bergizi di meja makannya. Menu lezat di meja makan membuatnya  merenung. Berapa ribu tangan yang harus bekerja sebelum nasi ini terhidang di atas meja makan. Berapa banyak nelayan yang tekun menanti ikan sebelum ikan goreng ini bisa dinikmati. Tentu petani sayur harus menanam, menunggu dengan sabar, menyiangi, memanen, memikulnya ke pasar, dan sekarang sayur ini tersaji di meja. Jangan lupa pula garam. Tanpanya, semua hambar. Betapa panjang jalannya sebelum tiba di dapur (hlm. 8-9).
 

Jarang sekali orang bisa berpikir sampai kesitu, terlebih di lingkungan yang serba hedonis dan kemurungsung (tergesa-gesa). Apa yang kita santap di meja makan sesungguhnya melibatkan banyak orang. Bahkan, tidak hanya itu, hampir di semua bidang melibatkan banyak sentuhan manusia. Barangkali pesan yang hendak disampaikan lewat refleksi “hidangan di meja makan” tersebut adalah bahwa kita harus mampu menghargai dan mensyukuri atas apa yang kita dapatkan. Tanpa ada petani, peternak, pedagang, dan sebagainya, kita tidak bisa menyantap makanan. Maka dari itulah kita harus pandai berterima kasih.
 

Refleksi Stephie juga menyentuh pada dimensi spiritual. Misalnya, tentang gelas kepunyaannya. Gelas itu dibuatnya sendiri di pabrik gelas di Cekoslovakia. Ketika dibawa ke Malang, gelas itu pecah. Stephie Sedih. Dan akal sehatnya mencoba menghibur. “Ah, tak perlu berlama-lama menyesal, karena siapa tahu dengan pecahnya gelas tersebut kita diingatkan bahwa semua di bumi ini fana adanya, maka kita senantiasa diajak untuk mencari yang abadi, yaitu Allah Pencipta. Memang gelas bisa dibeli di mana saja, tetapi berbeda, karena setiap benda punya riwayat dan menyimpan kenangan tersendiri,” ujar Stephie (Hlm. 30). Dia juga menyitir pepatah Jerman: Glueck und Glas wie leicht bricht das (Kebahagiaan dan kaca betapa mudah pecah).
 

Usaha refleksi Stephie sesungguhnya memberikan faedah yang luar biasa, salah satunya adalah membuat kita tetap waras dalam mengarungi hidup ini. Bayangkan setiap hari kita selalu disuguhkan pelbagai peristiwa baik secara langsung bergesekan dengan diri sendiri maupun tidak. Dan peristiwa itu memancing kita untuk bereaksi, apakah secara positif, negatif, maupun biasa-biasa saja. Namun, dengan merefleksikan peristiwa tersebut akan selalu membuat kita sadar, bahwa sesungguhnya semua peristiwa itu membawa pesan, hikmah, serta pelajaran.
 

Maka saya mengamini komentar Martin L. Sinaga dalam Kata Pengantar buku ini bahwa keunikan tulisan Stephie adalah mempunyai pesan mendalam dan baru. Tulisannya tampak seperti kupu-kupu, yang hanya bisa terbang atau bernas kalau ia menempuh momen bergulat dalam kepompong kehidupan.
 

Buku yang terdiri dari tiga bab ini, yaitu Rasa, Pikir, dan Hidup, banyak kisah memukau yang menjalin jalan ke dalam hati saya. Saya tersentuh. Buku ini seolah mengajak saya untuk beristirahat sejenak, merenung, dan bersyukur atas karunia hidup ini, contemplatio ad amorem—permenungan yang sampai menyentuh perasaan syukur dan cinta.
 

Membacanya dari halaman ke halaman, ada ekstase untuk terus mereguknya.

M. Iqbal Dawami
Aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Yogyakarta 

Pengusaha Sukses Wanita Muda


Judul: A Gift A Friend; Dari Sekolah Ke Dunia Bisnis
Penulis: Merry Riana & Alva Tjenderasa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2011
Tebal: 255 hlm. 


Di usia yang masih muda (26 tahun), Merry Riana telah mencapai banyak kesuksesan, bahkan lebih daripada yang pernah dicoba untuk dilakukan oleh orang-orang yang usianya dua kali lipat darinya. Dia telah memenangkan berbagai penghargaan dan memecahkan rekor industri dari waktu ke waktu.
 

Dalam beberapa tahun terakhir, Merry telah mengembangkan organisasinya, MRO (Merry Riana Organization), sehingga sekarang beranggotakan lebih dari 50 orang. Semua anggotanya adalah profesional muda yang luar biasa, yang percaya akan visinya dan telah bekerja bersama dengannya untuk mencapai impian mereka bersama.
 

Pada saat ini Merry memiliki dan mengelola beberapa bisnis di industri yang berbeda, yaitu di bidang jasa keuangan, bidang seminar & pelatihan, dan bidang nonprofit. Melalui organisasinya, MRO, Merry memperluas jangkauannya bahkan sampai lebih dari bisnis-bisnisnya saat ini, dengan menggunakan semangat, hasrat, dan keahlian bisnis yang sama, yang telah membuat usaha-usaha sebelumnya sukses di Asia. MRO berbasis di Singapura, tempat dia saat ini berada.
 

Melalui buku ini Merry Riana hendak menghilangkan persepsi bahwa kesuksesan tidak bisa dicapai di usia muda. Merry percaya bahwa koneksi yang tepat dapat mempercepat pencapaian tujuan. Dia membangun jaringan koneksinya untuk membantu perkembangan bisnisnya sehingga dapat menciptakan kesuksesan seumur hidup. Jaringan koneksi ini membantunya menggapai kesempatan-kesempatan emas.
 

Merry mulai berangan-angan mengenai masa depannya ketika sedang kuliah. Merry sadar bahwa dirinya sudah hampir berumur 20 tahun dan orangtuanya sudah berada di usia 50-an. Melihat bagaimana mereka masih harus bekerja keras untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka, menyimpan uang yang cukup untuk hari tua mereka, membuat Merry berpikir. Jika dirinya sukses suatu hari nanti, dia ingin sukses ketika masih muda, sebelum ulang tahun ke-30, bukan ketika dia berumur 40-50 tahun.
 

Teman-temannya mengira dirinya sudah gila ketika dia memberitahu mereka mengenai ide berwirausaha setelah dia lulus. Sebagian besar mereka, yang tidak begitu akrab dengannya, berpikir bahwa dia terpaksa menjadi seorang pengusaha karena dia tidak mendapatkan lowongan pekerjaan yang baik. Mereka yang mengenalnya lebih dekat mengerti bahwa alasan dia memilih jalan kewirausahaan adalah karena impiannya.
 

Merry berpikir bahwa untuk membangun suatu bisnis yang sukses, dia harus memiliki komponen 3 C: Capital (Modal), Contacts (Koneksi), dan Capability (Keahlian). Dengan menerapkan prinsip-prinsip dalam buku ini, Anda akan dapat meniru kesuksesan yang telah Merry capai dalam hidup, dengan cara yang mudah dan pasti. 

Tujuan buku ini adalah membagi pengalamannya tentang perbedaan apa yang mengubah hidup dia menjadi lebih baik. Harapannya yang terdalam, Anda bisa menemukan strategi dan filosofi yang dibagikan dalam halaman-halaman buku ini dan menguatkan Anda sebagaimana strategi dan filosofi itu telah menguatkannya. Kekuatan yang secara ajaib dapat mengubah hidup menjadi impian terbesar sedang menunggu kita. sekaranglah waktu untuk mewujudkannya. Dan itu dimulai dengan membaca buku ini.