Rabu, Juni 27, 2012

Renungan dari Sang Peziarah

Judul: Seperti Sungai yang Mengalir; Buah Pikiran dan Renungan
Penulis: Paulo Coelho
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, April 2012
Tebal: XVII + 303 halaman

Buku ini merupakan karya novelis ternama asal Brasil, yang terkenal dengan novelnya berjudul Alkemis. Hanya saja buku bukan berupa novel, melainkan kumpulan renungan dan cerita pendek, kisah-kisah yang menggugah tentang kehidupan dan kematian, suratan takdir dan pilihan, cinta yang hilang dan ditemukan. Buku ini ditulis dengan nada yang kadang humoris, kadang serius, tapi selalu dalam dan mengungkapkan artinya mengalami hidup dengan sepenuh-penuhnya.

Ia menawarkan refleksi pribadinya pada berbagai mata pelajaran dari busur panah dan musik untuk keanggunan, bepergian dan sifat baik dan jahat. Dikisahkan, seorang wanita tua menjelaskan kepada cucunya bagaimana pensil hanya dapat menunjukkan kepadanya jalan menuju kebahagiaan! Petunjuk tentang cara untuk mendaki gunung mengungkapkan rahasia untuk membuat impian Anda menjadi kenyataan. 


Karya ini menyajikan kisah Ghengis Khan dan Falcon yang mengajarkan tentang kebodohan akibat dari rasa amarah— seni persahabatan, dan seorang pianis yang melakukan contoh dalam memenuhi takdirnya. Paulo belajar tiga pelajaran penting ketika ia pergi untuk menyelamatkan seorang pria di jalan. Paulo menunjukkan kepada kita bagaimana kehidupan memiliki pelajaran untuk kita dalami, dari pengalaman terbesar, terkecil dan paling tidak biasa. Setelah membacanya, Anda akan mengerti, bahwa keindahan dan kebahagiaan ternyata ada dalam hal-hal sederhana. Kebijaksanaan ternyata sering bersembunyi di tempat-tempat tak terlihat. Kisah Upacara Minum Teh menunjukkan hal itu, pada saat Paulo berkunjung ke Jepang. “Upacara minum teh bertujuan untuk menghormati hal-hal yang indah dan sederhana” (hlm. 212). 


Simak juga bab berjudul “Genghis Khan dan Burung Rajawalinya” (hal. 32). Dikisahkan, Genghis Khan suatu pagi pergi berburu membawa burung rajawali kesayangannya. Saat sedang beristirahat di tengah hutan, ia tak bisa menemukan sumber air karena semua mata air saat itu sudah mengering dalam terkaman musim panas. Tiba-tiba Genghis Khan melihat ada air menetes-netes dari bebatuan di depannya. Ia lalu melepaskan rajawalinya dan mulai menampung tetesan air itu dalam cangkir yang selalu ia bawa. Setelah penuh terisi, ia pun meminumnya. 


Namun sebelum air itu sempat masuk ke mulutnya, rajawalinya menyambar cangkir itu sampai jatuh. Hal ini dilakukan berkali-kali hingga Genghis Khan murka. Ia pun menghunus pedangnya dan membunuh binatang kesayangannya itu. Karena tetesan air itu sudah berhenti, Khan penasaran dan naik ke atas bebatuan untuk mencari sumber air itu. Alangkah kagetnya Khan ketika menemukan bangkai ular berbisa di tengah genangan air di atas bebatuan—salah satu jenis ular paling berbisa di daerah sekitar situ. Ia bisa saja mati terkena bisa ular yang bercampur dengan air. Khan lalu memerintahkan anak buahnya untuk membuat patung emas burung itu. Di salah satu sayapnya ia meminta dituliskan kalimat ini: Saat seorang sahabat melakukan hal yang tidak berkenan di hatimu sekalipun, dia tetaplah sahabatmu. Di sayap yang satu lagi, ada tulisan: Tindakan apa pun yang dilakukan dalam angkara murka hanya akan membuahkan kegagalan. 


Dalam bab berjudul “Orang Katolik dan Orang Muslim” (hal. 277), Coelho menegaskan pentingnya kerukunan umat beragama. Ia mengisahkan pada saat itu ia sedang makan siang bersama seorang pastor Katolik dan seorang rekan beragama Islam. Rekannya yang Muslim ini sedang berpuasa sehingga tak ikut makan. Selesai makan, ada orang yang berkomentar pedas melihat si orang Muslim ini. “Kalian lihat betapa fanatiknya orang Muslim itu! Untunglah kalian orang-orang Katolik tidak seperti mereka.” 


Si pastor membalas perkataan tak sopan tersebut. “Tetapi kami pun sama. Dia berusaha mematuhi Tuhan, sama seperti saya. Hanya saja kami mengikuti hukum-hukum yang berbeda.” Lalu ia berkata kepada Coelho, “Sayang sekali orang hanya melihat perbedaan-perbedaan yang memisahkan mereka. Seandainya kita memandang dengan kasih yang lebih besar, kita akan lebih banyak melihat kesamaan-kesamaan, dan sebagian dari masalah-masalah di dunia akan terselesaikan.” 


Paulo ingin dikenal sebagai peziarah ketimbang novelis dan spiritualis, karena dari ziarah itulah dia mendapatkan pencerahan hidup, terutama saat ziarah ke Santiago, tempat peziarahan umat Katolik. Dan melalui buku ini kita banyak diajak berziarah ke pelbagai tempat di dunia yang menyimpan hikmah dan pelajaran.[] 


M. Iqbal Dawami Pencinta buku, penikmat secangkir teh.

Tidak ada komentar: