Selasa, Juni 30, 2015

14 Tahun Kesunyian Sofyan RH. Zaid


seperti ulat jadi kupu-kupu # aku masih kepompong waktu
bergantung di ranting sunyi # kosong diri dari nyanyi
Jibril senantiasa datang # melempar sekuntum kembang
kau dan aku: kebenaran # terus berjalan menuju keselamatan

Puisi di atas begitu syahdu. Puisi tersebut terdapat dalam judul “Nabi Kangen”. Kesunyian menjadi kepompong waktu yang sedang mempersiapkan diri menuju pencerahan. Begitu saya tafsirkan bait-bait puisi di atas. Kesunyian tampaknya menjadi porsi terbesar dari kumpulan puisi ini. Bahkan menjadi satu bab tersendiri yaitu “Sabda Kesunyian” yang di dalamnya ada 10 puisi.

Seorang penyair dalam proses kreatifnya akan melewati masa-masa kontemplasi, dan di situlah dia akan berteman dengan kesunyian. Walau kesunyian bukan berarti kesepian. Kesunyian memproduksi sesuatu berupa ide atau gagasan, yang berasal dari pikiran dan perasaan. Kesepian sebaliknya, ia justru mengontra produksi sesuatu. Begitu juga dengan penyair. Bagi penyair kesunyian adalah jalan menemukan kata-kata yang berisi gagasan atau buah perenungan.

Buku ini adalah penanda Sofyan RH. Zaid dalam laku kepenyairannya selama 14 tahun. Belasan tahun memang belum relatif lama tapi capaiannya sungguh luar biasa. Puisinya sudah dimuat di pelbagai media cetak, seperti majalah sastra Horison, Annida, Pikiran rakyat, dll. Belum lagi di sejumlah buku antologinya, seperti Empat Amanat Hujan (DKJ, 2010), Negeri Cincin Api (Lesbumi, 2011), dll. Dari sunyi ke sunyia ia lakoni sehingga menghasilkan puisi yang luar biasa.  

Capaian produktifitas dalam laku kepenyairan Sofyan dibarengi dengan eksperimentasinya dalam model pembuatan rima puisinya. Dalam Mukadimah ia menyebutnya puisi nadhaman, terinspirasi dari nadham arab di pesantren. Nadham adalah syair yang berima dua-dua atau empat-empat. Dalam khazanah kitab kuning, seringkali pakar bahasa menulis kitabnya dengan nadham, sebut saja misalnya Alfiyyah ibn Malik karya Ibnu Malik al-Andalusy dan Imrithi karya Syaikh Syarofuddin Yahya Al-Imrithi. Keduanya adalah kitab nahwu (tata bahasa arab).

Eksperimen yang kemudian menjadi ciri khas Sofyan patut diapresiasi. Ia keluar dari pakem model-model puisi yang sudah digariskan para pengkaji puisi. Di sisi lain pilihan pembuatan model puisi ini juga menimbulkan pro-kontra di kalangan para penyair yang mengenalnya. Ada yang kecewa namun ada pula yang mendukung. Polemik ini pun semakin mencuat tatkala Dimas Indiana Senja, kritikus sastra, membahas model puisi Sofyan di Republika dengan judul Estetika Nadhaman. Tulisan Dimas memunculkan tulisan-tulisan lain baik yang pro maupun kontra. 

Namun di luar itu semua, Sofyan hanya ingin terus menulis dan menulis puisi.  Sofyan berujar, “... saya bahagia hidup bersama puisi. Puisi telah memberi saya banyak hal berharga yang tidak pernah bisa saya dapatkan dari yang lain.”

Kesunyian Sofyan
Saya melihat tema kesunyian mendapat porsi yang banyak dalam kumpulan puisi Sofyan ini. Apakah puisi baginya menjadi teman di kala sunyi? Atau kah ada hubungannya dengan kegalauan dirinya di usia muda? Usia muda memang sarat dengan gejolak emosi yang membuncah, terhadap lingkungan, persahabatan, bahkan saat jatuh cinta. Atau bisa jadi Sofyan di kala sunyi itu pikirannya terlempar ke masa silam kepada sesuatu yang dikenangnya, walaupun kita tidak tahu siapa yang dimaksud. Hal itu bisa kita lihat dalam puisi “Lembah Sembah”: Sudah bertahun silam # dalam kenangan tenggelam/Menyebut namamu hari ini # aku masih berdebar sunyi.

Dalam “Serat Kesunyian”, ia merindukan kekasihnya. Ia berharap kekasihnya datang di saat kesunyiannya itu. Berikut  puisinya, Datang-datanglah kau padaku, kekasih # aku menunggu dari hari ke perih/Padam mata arah nyala mata waktu # aku rabah hati masih dalam rindu/Air mata menulis kalimat harap # angin membacakannya kepada gelap/Tak tahan sudah aku menabung duka # biarkan kata saja yang menanggungnya/Dalam bahasa rahasia cuaca # menjadi serat di lembaran udara.

Pemilihan kalimat “dari hari ke perih” (galibnya “dari hari ke hari”) menunjukkan ia semakin hari semakin tersiksa dengan rindunya itu. Terlebih ditambah dengan kalimat “Tak tahan sudah aku menabung duka”. Pada saat sunyi seringkali memang kita dihinggapi dengan kenangan-kenangan yang menyiksa. Tentu biasanya yang kita kenang adalah adalah orang-orang yang kita cintai. Terlebih apabila kita saat berjauhan dengan orang yang kita cintai.  Puisi “Rindu Ibu, Rindu Pulang” menyiratkan hal itu. Ia menulis,  Jauh darimu, ibu # aku menjadi debu. Puisi itu di samping mempunyai keindahan rima (ibu dan debu), juga kedalaman makna.

Sofyan menganggap dirinya debu. Debu merupakan partikel padat kecil yang mudah terbang. Apakah tamsil debu dijadikan gambaran dirinya sebagai sosok seorang anak yang kehilangan arah lantaran jauh dari ibunya? Atau Sofyan merasa dirinya tak punya sandaran dan pijakan, menjadi tak berarti, fana, dan tak berdaya menghadapi ruang dan waktu?

Puisi berjudul “Sederhana” punya kesunyian yang berbeda. Sofyan melemparkan dirinya jauh ke depan. Ia berharap kepada “cinta”-nya bisa selalu hidup bersama dalam satu rumah. “Cinta” di sini masih misteri. Kita tidak tahu persis apakah merujuk kepada seseorang atau cinta itu sendiri. Kalimat “sampai lupa cara berpisah” sebuah ungkapan lain dari “sampai maut memisahkan kita”. Sungguh puitis.  

Usia Sofyan masih tergolong muda (kelahiran 1986). Puisi-puisinya tentu menggambarkan gairah anak muda. Begitu juga pada saat dia dalam kesunyian. Kesunyian khas anak muda. Namun, apa yang membedakannya dengan anak muda lainnya? Dia melakukannya dengan produktif nan artistik. 14 tahun dalam perjalanan kepenyairannya sungguh memperkaya hidupnya.[]
   

Selasa, Juni 23, 2015

Pertemuan Orientalis dan Oksidentalis di Indonesia

Judul: Antara Timur dan Barat
Penulis: Al Makin
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Maret 2015
Tebal: XI + 258 hlm.

Indonesia adalah negara yang unik. Alamnya yang subur dan sukunya yang banyak menjadikan karakternya begitu khas yang tidak bisa disamakan dengan negara lain. Belum lagi terjadinya akulturasi budaya, perjumpaan antar-suku, sehingga memunculkan karakter-karakter lainnya.

Hal ini berpengaruh pula dengan agama, utamanya agama Islam. Geografi, iklim, dan manusia, akan membedakan cara beragamanya. Indonesia merupakan penganut Islam terbesar di dunia. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti, khususnya peneliti dari Barat.

Al Makin dalam buku ini memaparkan betapa banyak para peneliti Barat mengkaji Indonesia dari pelbagai aspek, terutama dari aspek agama. Misanya William (bob) Hefner meneliti bagaimana Islam dan negara berinteraksi di Indonesia. Hasil penelitiannya adalah Indonesia bisa menjadi model masyarakat demokrasi di dunia Islam. Hefner cukup optimis dengan keterbukaan, keragaman, dan perkembangan masyarakat Indonesia, demokrasi akan tumbuh (hlm. 152).

Ada juga Clifford Geertz, peneliti asal Amerika, yang meneliti akulturasi Jawa dan Islam. Ia meneliti daerah Pare, Kediri. Ia mengikuti tradisi setempat: upacara kelahiran, kematian, selametan, dan lain-lain. Ia kemudian menyimpulkan varian atau model yang ada dalam masyarakat Jawa: Abangan, santri, dan priyayi. Varian ini dijadikan kategorisasi umum oleh kalangan akademik Indonesia sehingga menjadi populer.

Menurut Geertz Indonesia sangat sinkretik dan akomodatif terhadap ajaran dan budaya lokal. Hal itu kemudian menjadi ciri khas Islam di Indonesia (hlm. 169). Selain Hefner dan Geertz, masih banyak lagi peneliti lainnya yang tidak kalah menarik seperti Mark Woodward, Willian Liddle, Peter Carey, Ricklefs, dan lain-lain.

Banyaknya peneliti Barat meneliti Indonesia menimbulkan pertanyaan, apa sesungguhnya motif mereka menjadikan Indonesia sebagai objek kajiannya? Dalam ranah Islam dan Indonesia sebagai objek kajian, Al Makin mengutip Mukti Ali, paling tidak ada 3 motivasi: kepentingan kolonialisasi, misionaris, dan akademisi (hlm. 153).

Namun seiring perubahan zaman, motivasi itu sudah menjadi bias, bahkan tidak berlaku lagi. Para peneliti baik dari Barat maupun Timur sudah melebur. Tidak ada sekat lagi di antara peneliti. Lebih dari itu, mereka saling belajar dan bersahabat. Mereka saling bekerjasama, bahu-membahu, memberi informasi dan kemudahan satu sama lain. Sebut saja Martin van Bruinessen, Karel Steenbrink, Nico Kaptein, dan lain-lain.

Uniknya lagi, tidak setiap peneliti Barat mempunyai pandangan yang sama atas objek yang sama. Mereka bisa saja berbeda pandangan. Hal ini menandakan bahwa peneliti Barat tidak perlu dicurigai secara berlebihan seperti halnya pada zaman kolonialisme. Di zaman modern perbedaan antar-peneliti adalah sebuah hal yang lumrah, bahkan dengan sesama peneliti Barat sendiri.

Kritik Mark Woodward terhadap Clifford Geertz membuktikan hal itu. Mark mengkritik atas kategorisasi yang diberikan Geertz yaitu santri, priyayi, dan abangan. Geertz dianggap lalai dengan tradisi literatur Jawa yang memuat konsep-konsep penting tentang Islam, sufi, dan tradisi Jawa. Geertz hanya fokus pada satu daerah dan terobsesi pada pengamatan masyarakat, praktik keseharian, sementara konsep-konsep penting terlupakan. Jadi hasil penelitian Geertz dianggap ahistoris (hlm. 172-173).

Membaca buku ini kita seperti sedang diajak jalan-jalan ke Barat (Amerika dan Eropa) dan Timur (Indonesia). Kita diperkenalkan dunia akademik dan tokoh-tokoh pentingnya, siapa saja para peneliti Barat meneliti Timur (orientalisme) dan peneliti Timur meneliti Barat (oksidentalisme). Era globalisasi ini kesempatan mengkaji Barat dan Timur begitu mudah, nyaris tanpa ada halangan. []

Minggu, Juni 21, 2015

Menjadi Solopreneur

Judul: The $100 Startup
Penulis: Chris Guillebeau
Penerjemah: Sugianto Yusuf
Penerbit: Gramedia
Cetakan: I, 2015
Tebal: xx + 340 hlm.

Alhamdulillah, aku sudah mengkhatamkan buku ini. Ada yang kupahami ada yang tidak. Paham sih, tapi tidak benar-benar paham, haha...

Aku sudah janji untuk membuat resensinya buatmu. Jadi, aku nekat saja membuatnya, meskipun tidak paham-paham amat. Ya, buku ini secara keseluruhan benar-benar memberi pengetahuan baru bagiku. Mungkin tidak bisa dikatakan tulisanku ini sebuah resensi, karena ada opini dan gagasan yang kutuangkan di dalamnya, sebagai reaksi dari hasil bacaanku.

Aku merasa buku ini semacam panduan menjadi freelancer, tapi setelah kubaca bab-bab selanjutnya hingga akhir rupanya tidak juga. Dan aku menyimpulkan bahwa semangat buku ini menurutku ada dua: kemerdekaan dan solopreneurship.

Seperti yang disebutkan di subjudulnya bahwa buku ini mengajarkan bagaimana cara mencari penghasilan dari apa yang kita cintai. Ada banyak sampel kisah di buku ini yang mempunyai penghasilan dari kesenangan mereka, sehingga mereka menciptakan masa depannya sendiri, dengan tak diduga dan tak disangka. Kisah mereka dalam buku ini rata-rata yang resign dari pekerjaan tetapnya, kemudian membangun bisnisnya sendiri (mirip-mirip aku lah).

Mereka membangun bisnis berbasis internet, dan tanpa kantor. Sambil jalan-jalan mereka tetap bisa menjalankan bisnisnya. Kisah-kisah mereka memang indah, tapi untuk mencapai kesana rupanya banyak juga tantangannya. Mereka butuh beberapa tahun meraih kesuksesan itu. 

“Cara sulit untuk untuk memulai sebuah bisnis adalah meraba karena tidak yakin apa gagasan besar Anda akan pas dengan apa yang konsumen inginkan. Yang mudah adalah mencari tahu apa yang orang inginkan, kemudian mencari cara memberikannya kepada mereka,” ujar penulis buku ini.  Ada satu kisah yang menarik dan kupikir ada sedikit persamaan denganmu yang pintar bahasa inggris. Orang itu bernama Benny lewis, penghasilannya $65.000 setahun. Hobinya traveling. Usianya 24 tahun. Hobinya adalah belajar bahasa. Ada 7 bahasa yang ia kuasai dengan sangat baik, dan ditempuh hanya 3 tahun saja semua bahasa itu. Ia kemudian ingin berbagi cara belajar bahasa yang ia gunakan. Lalu ia membuat program yang namanya “Fluent in 3 Month”. Kupikir kamu pun bisa melakukan hal itu.

Buku ini memang berbasis pengalaman dan teoritis. Penulisnya juga pelaku bisnis model kayak ginian. Dan untuk menyiapkan buku ini, dia melakukan riset dan wawancara langsung secara intensif dan mendalam. So, aku percaya dengan apa yang dikatakannya, meskipun tidak mudah melakukannya. Dia mengatakan, “Anda tidak butuh banyak uang atau pelatihan khusus untuk menjalankan usaha. Anda hanya perlu produk atau jasa, sekelompok orang yang ingin membelinya, dan metode pembayarannya.” Dia kemudian memberikan enam langkah yang perlu diambil:
1.       Putuskan produk atau jasa apa
2.       Bangun situs web, yang paling sederhana sekalipun
3.       Kembangkan tawaran
4.       Pastikan metode pembayarannya
5.       Umumkan tawaran Anda ke dunia
6.       Belajar dari langkah 1 sampai 5


Kupikir aku bisa melakukan hal itu, bahkan beberapa poin dari 6 itu sudah aku lakukan. Tinggal aku menekuni dan mengembangkannya dengan pelbagai cara. Beberapa bab dalam buku ini mencoba memberi langkah-langkahnya baik secara filosofi maupun praktisnya. Sudah kebayang sih apa yang hendak aku lakukan sesuai dengan nasihat dan langkah-langkah konkrit yang dikasih penulis buku ini. Dan aku sepakat dengan ucapannya bahwa pertarungan terbesar kita adalah melawan ketakutan dan inersia (kemalasan untuk berubah) kita sendiri.

Buku ini cukup recomended bagi siapa pun yang mau berwira usaha secara kecil-kecilan (mikro). Ada banyak inspirasi dan langkah-langkah konkrit yang bisa dilakukan. Tapi, lebih penting dari itu, segeralah bertindak ketika sudah selesai membaca buku ini.

Dari secuil tulisan ini, kuharap kamu mendapat gambaran perihal isi buku ini, haha..