Judul:
Menjelajah Dunia, Mendidik Indonesia
Penulis:
Ruswanto
Penerbit:
Metagraf
Cetakan: I,
Oktober 2017
Tebal: xvi +
248 hlm.
===================================
Rhenald Kasali (2017) membagi kriteria guru
ke dalam dua jenis: guru kurikulum dan guru inspiratif. Menurutnya, guru
kurikulum adalah guru yang amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila
tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Guru tersebut mengajarkan
sesuatu yang standar (habitual thinking). Sedang guru inspiratif adalah
guru yang mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking), melihat
sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu
membawa kembali keluar, ke masyarakat luas.
Sosok guru inspiratif yang disebutkan Rhenald
di atas dapat saya lihat dalam diri Ruswanto, guru yang di setiap sekolah di
mana dia mengajar, selalu memberikan ide-ide kreatif kepada anak didiknya. Misalnya,
pada saat mengajar Biologi di Sekolah Indonesia Jeddah, dia menciptakan ular
tangga, sebuah permainan papan menggunakan dadu. Setiap siswa menandai dengan
kotaknya di kotak pertama. Tidak dijalankan berdasarkan jumlah mata dadu yang
menurut istilah dilempar. Ketika langkah pemain berhenti di kotak dengan ular,
ia harus turun. Apabila pemain berhenti di kotak dengan tangga ia dapat menaiki
ke ujung tangga. Permainan ini adalah permainan yang sangat digemari oleh
anak-anak Indonesia. Akan tetapi, karena ini bagian dari pelajaran sehingga Ruswanto
buat sedikit berbeda. Dia memodifikasinya dengan mencampurkan pembelajaran Biologi
tanpa menghilangkan ular dan tangga.
Ruswanto yang kini sebagai guru Sekolah
Indonesia Singapura (SIS) adalah tipe guru yang tidak ingin berada di zona
nyaman. Dia tidak ingin menjadi guru yang biasa-biasa saja. Oleh sebab itu, dia
bekali dirinya dengan beberapa keterampilan, di antaranya critical thinking
and problem solving (Berpikir kritis dan pemecahan masalah), Creativity
and imagination (Kreativitas dan imajinasi), dan inovasi. Berbekal keterampilan
itulah yang mengantarkan Ruswanto terpilih menjadi pemenang di pelbagai macam
lomba tingkat nasional.
Disruptif
Guru semacam
Ruswanto begitu diperlukan oleh semua lembaga pendidikan, mengingat gelombang
disruptif terus merongrong siapa saja yang tidak mau meng-upgrade
dirinya dengan pelbagai pengetahuan dan keterampilan. Era disruptif merupakan
era ketiga, setelah era keterhubungan (connectivity) dan era media
sosial (Rhenald Kasali, 2017).
Era ini
berlaku dalam segala bidang. Siapapun akan terkena dampaknya apabila dirinya tidak
mengantisipasinya lantaran hidup dalam zona nyaman. Sebut saja Nokia. Perusahaan
yang begitu perkasanya di era keterhubungan ini, menjadi sirna di era distrupsi.
Ia kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan baru yang sadar dengan era ini.
Begitu juga
dalam bidang pendidikan. Apabila sebuah lembaga pendidikan minim dengan inovasi
dan kreasi, serta terbuai dengan prestasi masa lalu, maka bersiap-siaplah akan
terkena gelombang disruptif. Ruswanto sadar bahwa apabila dirinya ingin maju,
dia harus kreatif dalam mengajar. Buku yang ditulisnya ini menjadi gambaran
bagaimana dirinya bisa meraih setiap impian yang dibuatnya sebagai guru yang
berprestasi.
Mantra Ajaib
Banyak jalan
terjal yang Ruswanto lalui dalam meniti karirnya sebagai guru selama hampir 18
tahun. Kegagalan dan keberhasilannya datang silih berganti. Semuanya dia
syukuri. Tanpa kegagalan dia tidak mungkin tahu artinya perjuangan. Dan adanya
keberhasilan dia menjadi tahu bahwa segala hal sangat memungkinkan untuk
dicapai.
Ruswanto
mengatakan hal tersebut lantaran dirinya adalah orang yang lahir dari salah
satu desa di kabupaten Purbalingga dengan kondisi keluarga yang pas-pasan, untuk
tidak mengatakan miskin. Sebagai gambaran, pada saat sakit amandel dan diharuskan
operasi, orangtuanya membawanya ke dukun ketimbang ke dokter, karena tidak
punya biaya. Rasa sakit pada saat “dioperasi” oleh dukun seolah menahbiskan
dirinya bahwa dia harus berjuang dari lingkaran kemiskinan agar punya
penghidupan yang layak di masa depan. Dan jalan yang ditempuhnya adalah
pendidikan. Bagaimana pun caranya dia harus sekolah setinggi mungkin. Termasuk
sambil berdagang pun dia lakoni.
Pada saat SMA,
Ruswanto muda sudah bercita-cita ingin menjadi guru, tapi dia merasa dirinya
tidak cerdas. Keinginan itu awalnya tidak dia pupuk, hingga salah seorang
gurunya bernama Runut menyentak dirinya dengan mengatakan bahwa untuk menjadi
guru tidak harus cerdas, tapi ketekunanlah yang menentukannya. “Tetekan tekun
sira tekan (siapa yang takun akan sampai pada tujuan)”, ujar gurunya tersebut
dengan bahasa Jawa Banyumas. Dari situ, mantra
“tekun” menjadi mantra ajaib Ruswanto dalam meraih segala hal yang
diimpikannya.
Dia bukan hanya berhasil menjadi guru, tapi
menjadi guru teladan dan berprestasi yang tidak semua guru mendapatkan
kesempatan luar biasa ini. Dalam karirnya, Ruswanto mendapat Science Education Award (2001), Guru Inovatif (2010 dan 2011), Guru Berprestasi (2012), 7
pendidik terbaik di Indonesia (2013), Best Indonesian Islamic Educator oleh Universitas
Negeri Jakarta (UNJ) (2013), dan Guru terbaik dalam ajang LP3i Award 2014. Dia juga
penah mengantarkan siswanya menjadi juara dalam kategori The Most Invormative
Booth dalam ajang promosi budaya se-Asia Tenggara. Ruswanto percaya bahwa hasil
tidak pernah mengkhianati proses.
Ruswanto
benar-benar menghayati dirinya sebagai guru. Dia begitu totalitas dan all
out pada saat membimbing peserta didiknya. Keberhasilannya dalam mengajar lantaran
dirinya mempelajari terlebih dahulu karakteristik setiap siswanya. Dengan begitu,
antara dirinya dan peserta didik terjalin chemistry, sehingga mudah
dalam proses belajar-mengajarnya.
Inilah buku yang mengisahkan seorang guru
desa yang mengajar mulai di sekolah tingkat kecamatan, kabupaten, hingga internasional,
yakni di SMAN 1 Mojogedang, SMAN 1 Rembang, SMAN 1 Purbalingga, Sekolah
Indonesia Jeddah (di Arab Saudi), dan kini di Sekolah Indonesia Singapura (di Singapura).
Buku yang ditulis layaknya novel ini
dilengkapi dengan beberapa karya tulis ilmiah yang mengantarkan Ruswanto meraih
penghargaan, salah satunya Guru Terbaik 2014 yang diadakan LP3i. Karya tulis
ilmiah tersebut memanjakan pembaca untuk mendapatkan gambaran konkret sebuah produk
karya yang sudah teruji di hadapan para juri.
Buku ini menyiratkan bahwa Ruswanto bukan
hanya piawai mentransfer pengetahuan lewat lisan, tetapi juga lewat tulisan. Ia
menulis dengan rasa dan ingatan yang tajam, serta penuh kejujuran. Menulis dari
hati tentulah akan sampai ke hati pula.
Tak syak lagi, melalui buku ini, Ruswanto hendak
mengajak para guru untuk terus men-charge diri dengan pengetahuan dan
keterampilan yang disertai ketekunan, inovatif, dan kreatif, agar guru tidak
terhempas oleh gelombang disruptif.[]
M. Iqbal Dawami, Penulis, Editor, dan Trainer Kepenulisan.