Jumat, Februari 24, 2012

Mengupas Intisari Ajaran Agama

Judul: Compassion; 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih
Penulis: Karen Armstrong
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Januari 2012
Tebal: 247 halaman

Tahun 2007 penghargaan TED (Technology, Entertainment, Design) diberikan kepada sejarawan agama yaitu Karen Armstrong. TED adalah sebuah organisasi nirlaba swasta yang setiap tahunnya memberikan penghargaan kepada orang-orang yang dianggap membuat perbedaan dan ide-idenya pantas disebarluaskan. Atas penghargaan tersebut, Karen Armstrong menulis buku ini. Sejak bukunya A History of God diterbitkan pada tahun 1993, ia telah menetapkan dirinya sebagai seorang sejarawan agama. Ia telah menghasilkan serangkaian teks yang sudah ditandai tidak hanya oleh kedalaman penelitian dan pemahaman, tetapi dengan kebijaksanaan dan kewarasan. Ini penting terutama pada saat perang agama telah pecah dengan semua kepahitan masa lalu yang kini dilancarkan dengan senjata baru dan lebih merusak. Dia telah memposisikan dirinya sebagai mediator independen yang menafsirkan agama dengan kecerdasan yang menawan nan berbudaya.


Karen Armstrong berujar bahwa kita dapat mengejar tujuan yang sulit dipahami dengan belajar dari tradisi agama kita. Setiap tradisi, katanya, menawarkan mitos yang mengajarkan kita kebaikan dan empati. Tidak peduli sebanyak apa mitos tersebut, karena, semua tradisi agama, filosofis, dan etis didasarkan pada prinsip belas kasih. Hanya saja belas kasih menjadi luntur mana kala direcoki perihal ekonomi yang berbasis pasar alias kapitalisme. 

Ekonomi berbasis pasar didorong oleh keserakahan, bankir dan pedagang terkunci dalam persaingan tanpa henti dan tanpa kasihan memangsa satu sama lain. Dan peran agama muncul dalam masalah itu. Islam, misalnya, mengajarkan etos belas kasih yang dibawa oleh Nabi Muhammad, di mana pada waktu itu yakni abad keenam Mekkah telah menjadi pusat "kerajaan komersial." Nabi Muhammad menerima wahyu untuk melawan kapitalisme agresif tersebut.

Jika kita bisa bicara tentang proyek Armstrong, tampaknya ada dua papan utama dalam platform-nya, keduanya dibangun kokoh ke dalam buku barunya ini. Yang pertama adalah konsepnya dari mitos yang bertentangan dengan logos sebagai bahasa agama. Logos adalah faktual, pengetahuan ilmiah, sedangkan mitos adalah "upaya untuk mengungkapkan beberapa aspek yang lebih sulit dipahami hidup yang tidak dapat dengan mudah disajikan secara logis diskursif". Misalnya, ia membahas mitos Yunani Demeter, dewi panen dan biji-bijian, dan putrinya, Persephone. Dia mengatakan bahwa untuk meminta orang-orang Yunani apakah ada dasar historis untuk mitos akan menjadi tumpul. Bukti kebenaran dari mitos adalah cara dunia datang untuk lahir di musim semi setelah kematian musim dingin. Saya setuju bahwa cerita Demeter adalah mitos yang tepat, salah satu yang menggunakan narasi untuk mengungkapkan suatu kebenaran abadi.

Papan kedua dalam platform-nya adalah bahwa kasih sayang atau belas kasih adalah inti sari dari agama-agama besar dunia. Dia adalah manusia yang sangat penyayang, dan baru-baru ini meraih piagam “Kasih Sayang” tersebut, karenanya ia menempatkan itu dalam kata pengantar buku ini, hendak mengembalikan kasih sayang kepada jantung kehidupan agama dan moral. Dua belas Langkah untuk Hidup Penuh Kasih adalah baik manifesto dan manual self-help. Sebagai manifesto, itu mempromosikan kampanyenya untuk menempatkan kasih di jantung agama; sebagai panduan dimodelkan pada program 12 langkah, ia menawarkan latihan ditujukan untuk meningkatkan kasih sayang kita sendiri. Ini akan membuat panduan brilian untuk pemimpin spiritual dan lokakarya tentang kehidupan penuh kasih, dan sebagai repositori kebijaksanaan dicerna dari agama-agama dunia.

Dalam buku 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih ini, Armstrong mengesampingkan perdebatan tentang doktrin dan sejarah agama. Tujuannya adalah untuk menanam keinginan berakar untuk ekuitas. Dia berusaha untuk mengubah mereka yang telah mengeras menjadi memihak kepada kebenaran. Baginya agama adalah yang terbaik ketika dapat membantu menampilkan peta dan terus dalam pencarian dan akan menjadi buruk ketika mencoba mencari jawabannya secara otoritatif dan dogmatis.

Dua belas langkah ini mencoba untuk mengupas belenggu ego dan memperbesar kapasitas simpatik kita. Baginya, ketika kita melampaui orang-orang yang tidak suka, diri kita tumbuh dan perspektif kita keluar. Komitmennya untuk tujuan menuju hidup penuh kasih ini begitu sengit, kasih sayang untuknya bukan hanya hangat-hangat kuku saja melainkan energik. Arsmtrong meyakini bahwa kasih mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah untuk meringankan penderitaan sesama makhluk hidup, untuk menurunkan takhta diri kita sendiri dari pusat dunia kita dan untuk menghormati kesucian, memperlakukan semua orang, tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan dan rasa hormat.

Salah satu poinnya yang menarik adalah bahwa setiap interpretasi dari kitab suci yang menyebabkan penghinaan itu tidak lah sah. Kitab suci harus dibaca dengan amal dan niat baik. Armstrong membantah dogma bahwa kita tertanam untuk keegoisan, tapi tidak altruisme atau belas kasih. Kita ini menanam kebaikan, katanya.

Buku ini ditutup dengan contoh-contoh dari tokoh politik transenden seperti Nelson Mandela, Martin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, dan lain-lain. Hal yang bisa kita pelajari para tokoh tersebut bahwa mencaci musuh kita hanyalah bayangan dari keinginan kita sendiri yang ingin terpenuhi. Beberapa orang mungkin menganggap proyek ini sebagai utopia belaka. Dalam buku ini dia berusaha untuk melatih kita dari pandangan ego yang berbahan bakar dari keberpihakan dan prasangka kepada kemanusiaan.

Saya kira buku ini sangat relevan untuk konsumsi masyarakat Indonesia, agar tercipta dan terjaga kedamaian antar sesama. Sungguh, buku yang patut untuk dibaca dan dipraktikkan dalam kegiatan sehari-hari. []

M. Iqbal Dawami, pencinta buku, tinggal di Yogyakarta.