Minggu, Mei 31, 2009

Bocah Cilik Penangkap Hantu

Judul Buku : The Spook Apprentice
Penulis : Joseph Delaney
Penerbit: Matahati,Jakarta
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : 326 hlm
----------------

The Spook’s Apprentice ditulis berdasarkan cerita rakyat (folklore) bangsa Inggris di masa lampau. Novel karya Joseph Delaney ini merupakan seri pertama yang ditulisnya dalam rangkaian serial legenda Wardstone, sebuah titik tertinggi di County yang menyimpan misteri. Alur cerita dari novel ini berpusat pada bocah laki-laki yang berusia 13 tahun bernama Tom yang tinggal bersama keluarga besarnya di County, sebuah wilayah pedalaman Inggris di kota Lancashire.

Tom adalah putra ketujuh dari seorang ayah yang juga putra ketujuh. Sebuah keistimewaan bagi bocah itu, karena diyakini ia mempunyai kemampuan melihat sesuatu yang tak dapat dilihat orang lain, semisal makhluk-makhluk gaib: Boggart, ghast, ghost dan lain-lain.

Kisah ini bermula dari kunjungan sang Spook ke rumah Tom untuk menjadikannya sebagai murid Spook. Sang Spook tak lain adalah Mr. Gregory, lelaki tua berjubah yang selalu membawa tongkat kayu berkeliling County, menjaga penduduk lokal dari kejahatan yang muncul di malam hari; hantu (ghast, ghost), boggart dan sihir jahat.

Menjadi Spook adalah pekerjaan berat dan membahayakan bahkan kerap diasingkan banyak orang. Dalam kesehariannya sang Spook berkecimpung dengan dunia gaib, mengusir roh-roh jahat, hantu dan semacamnya. Banyak orang yang gagal menjadi murid Spook, menyerah dan menemui kematiannya menjadi korban kekejian Boggart.

Bukan kemauan Tom menjalani pekerjaan sebagai Spook, namun risiko yang harus ditanggungnya sebagai putra di keluarga besar menuntut dirinya untuk hidup mandiri. Dan bakat yang dimilikinya sebagai putra ketujuh dari putra ketujuh pula, turut menentukan takdirnya menjalani profesi sebagai seorang Spook.

Tom meninggalkan keluarganya, pergi bersama sang Spook dan menjalani masa pengujian di rumah tua yang dihuni banyak hantu. Horor pun dimulai. Tom terseok-seok dalam ketakutan yang nyaris meruntuhkan sendi-sendinya. Tapi Tom ingin melewati ujian dari sang Spook, karena ia tahu orang tuanya sangat menginginkan dirinya menjadi Spook. Walau patah arang, Tom terus berjuang menjadi murid yang tak akan mengecewakan guru dan orang tuanya.

Saat musim panas tiba, petualangan Tom berlanjut di rumah sang Spook, di Chipenden. Rumah yang dipenuhi kekuatan magic dan dijaga ketat oleh para boggart yang tak terlihat. Kisah yang paling menarik di sini adalah Tom harus selalu waspada dengan tanda lonceng yang dibunyikan sebagai jadwal makan. Karena begitu ia terlambat atau terlalu cepat mendatanginya, Tom akan merasakan akibatnya berduel dengan boggart yang misterius.

Beberapa bulan Tom menjalani training di Chipenden. Di saat sang spook pergi menyelesaikan urusannya untuk beberapa lama, Tom dihadapkan dengan gadis misterius bernama Alice yang membujuknya untuk memberikan kue-kue kepada nenek sihir yang ditahan sang Spook, di lubang sekitar taman rumah. Tom ragu akan membuat kesalahan jika melanggar peraturan yang sudah diwanti-wanti gurunya. Namun suatu malam ia nekat menjatuhkan kue-kue tersebut ke lubang nenek sihir, Mother Malkin, karena terikat janji dengan Alice.

Mother Malkin, tercatat sebagai penyihir paling jahat yang mengkonsumsi darah segar manusia. Begitu pula Bony Lizzie, cucu dari Mother Malkin yang juga bibi Alice. Bony Lizzie mempraktikkan sihir tulang yang didapatkan dari tulang-tulang manusia yang sudah dikulitinya. Horor semakin memuncak ketika Tom mengetahui bahwa Mother Malkin mulai menampakkan kekuatannya setelah melahap kue-kue yang belakangan diketahui berasal dari racikan darah manusia. Seorang anak berumur 3 tahun hilang, dan sebelumnya seorang bayi diduga telah diculik oleh penyihir jahat. Tom semakin gusar dan ketakutan. Sedangkan Mother Malkin telah berhasil keluar dari jeratan di dalam lubangnya. Tom pun harus bertindak cepat, menyelamatkan bocah tersebut dan menangkap kembali Mother Malkin tepat sebelum jatuh korban.

Kisah horor pun tidak serta merta berakhir. Secara mengejutkan Tom disekap oleh Tusk, makhluk menyeramkan peliharaan Lizzie dengan gigi-gigi yang terlalu banyak untuk muat di dalam mulutnya. Tom dilemparkan ke dalam lubang dengan kedalaman dua meter untuk dikuliti keesokan harinya sebelum matahari terbit. Semalaman Tom berada di dalam lubang antara hidup dan mati, menghadapi hantu Billy, murid terakhir sang Spook.

Tom diselamatkan Alice yang tiba-tiba berubah pikiran. Sedangkan Bony Lizzie dan Tusk berhasil diringkus sang Spook dan dimasukkan ke lubang penahanan. Pada akhirnya Tom mendapatkan cuti libur dan diperbolehkan pulang selama beberapa hari. Namun pulang ke rumah pun tidak lantas memberikan rasa aman bagi Tom. Ruh Mother Malkin datang menuntut balas padanya, dan siap merasuki tubuh siapapun yang ada di rumahnya.

Pelajaran terpenting yang dapat diambil adalah Tom tidak pernah ragu mengambil inisiatif, dan selalu berpegang pada apa yang telah diajarkan gurunya. Tom pun menyadari bahwa seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan tidak pernah berbuat apa-apa. Dia merasa bahwa kegelapan akan terus mengumpulkan kekuatannya, dan pekerjaannya akan semakin sulit. Tapi Tom akan terus belajar dan belajar seperti yang dipesankan ibunya.

Novel ini mutlak menyoroti dunia mistik dan tahayul yang berlangsung pada abad pertengahan di Inggris. Tema-tema magic dan kekuatan sihir memang menjadi daya tarik tersendiri yang sering dihadirkan dalam cerita novel bergenre horror. Kisahnya mengungkap petualangan yang mendebarkan sekaligus memikat. Penulis pun dengan lihai menyuguhkan figur keberanian sang tokoh utama dan kekejian sang penyihir sehingga mampu mengejutkan sekaligus menyenangkan bagi semua pembaca baik anak-anak maupun kalangan dewasa. Deskripsi tentang petualangan, marabahaya, cinta dan keberanian sangat mudah dirasakan begitu membaca novel ini dari awal sampai akhir.

Terdapat 5 seri novel lainnya yang ditulis Joseph Delaney setelah novel The Spook Apprentice ini. Dari seri-seri tersebut semuanya diangkat berdasarkan latar belakang sebuah tempat yang benar-benar nyata di Lancashire. Inspirasi novel serial sejarah Wardstone ini berkembang dari cerita dan legenda tentang hantu (ghast, ghost) setempat.***

Rabu, Mei 27, 2009

Kematian yang Indah

Judul: Temukan Lima Rahasia Sebelum Mati
Penulis: John Izzo
Penerjemah: Arif Subiyanto
Penerbit: Ufuk Press
Cetakan: 1, 2008
Tebal: viii + 270 hlm.
-----------------------

Mencari bimbingan kepada para tetua merupakan suatu masa yang dihormati dan praktik bijak yang sayangnya tidak terlalu sering dilakukan saat ini, terutama di Barat. John Izzo mendorong kita untuk kembali kepada tradisi tersebut melalui bukunya Temukan Lima Rahasia Sebelum Mati. Buku ini telah menjadi daftar bestseller di Benua Amerika dan Eropa. Pembicara dan penulis inspirasional ini mengarahkan suatu diskusi yang menggairahkan mengenai makna hidup dalam seri televisi yang kemudian difilmkan untuk Biography Channel.

Pembaca akan belajar lima rahasia ini yang dia percaya semua orang harus tahu untuk mendapatkan yang terbesar dari kehidupan: lebih merenung, lebih mengambil resiko, lebih mencintai, lebih menikmati, dan lebih memberi. Izzo mewawancarai seribu orang hingga dia mengerucutkan mereka menjadi 235 orang tua yang bijak yang menemukan makna dan kebahagiaan dalam hidup mereka. Dia terinspirasi untuk lebih fokus pada apa yang paling bermakna setelah istrinya mengalami stroke hingga ulang tahunnya yang ke-50.

Mereka yang diwawancarai Izzo dikenal oleh teman-teman dan keluarganya sebagai “seseorang yang mereka ketahui telah menemukan kebahagiaan dan makna.” Orang-orang ini ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan, seperti: “Apa yang membuat anda sampai pada pengertian makna terbesar dan tujuan dalam hidup?” dan “Apa ketakutan terbesar pada akhir hidup anda?” Mereka juga diminta untuk menyelesaikan kalimat: “Andaikan saya dulu…”. Orang-orang tua ini berasal dari beragam pekerjaan: pengarang, profesor, pemilik bisnis, perawat, pemimpin spiritual, ahli psikologi, biologi, dan seorang tukang potong rambut yang fenomenal, serta orang yang selamat dari Holocoust dan korban rasisme.

Lima rahasia tersebut adalah, pertama, jujurlah pada diri sendiri. Ini adalah kalimat yang umum. Izzo membantu kita mengeksplorasi apakah kita benar-benar jujur terhadap diri kita sendiri dengan mengajukan pertanyaan apakah kita mengikuti kata hati kita dan berfokus pada apa yang benar-benar bermakna? Kedua, jangan ada penyesalan. Hal ini mensyaratkan hidup dengan keberanian dan tanpa ketakutan.
Kebanyakan orang memiliki beberapa hal yang mereka lakukan berbeda, akan tetapi Izzo mengingatkan bahwa orang yang bahagia tidak tinggal dalam penyesalan. Seorang wanita bernama Elsa, misalnya, dalam usia ketujuh puluhnya mengatakan bahwa dia menerima nasehat yang paling bernilai dari anak perempuannya. “Bu.., ibu harus menyapu debu sendiri dan bangkit kembali”.

Ketiga, jadilah cinta. Ini adalah satu rahasia terpenting. Dr. Izzo membantu mendefinisikan cinta menjadi lebih dari sekadar kata, karena di dalamnya sarat makna. Namun Izzo mengingatkan bahwa kita harus membedakan antara emosi cinta dan keputusan untuk mencinta. “Masyarakat umum hanya melihat cinta sebagai emosi semata. Kita biasa mengatakan kata-kata seperti “dia benar-benar cinta pada pria itu,” tak ubahnya kita mengatakan bahwa kita “suka pada golf dan pizza”, atau keranjingan berpesta,” dan sebagainya. Padahal yang kita bicarakan itu hanya sekadar emosi perasaan cinta atau suka. Namun, setelah menyimak penuturan sekian banyak narasumber itu, saya mulai menyadari ketika mereka membahas tentang pentingnya cinta dalam hidup mereka, sesungguhnya mereka lebih memaknai cinta sebagai suatu keputusan daripada hanya sekadar perasaan,” ujar Izzo (hlm. 105). Rahasia untuk meraih hidup bahagia dan penuh makna adalah memilih untuk menjadi orang yang penuh cinta, atau dengan kata lain menjelma menjadi cinta itu sendiri.

Keempat, jalanilah hidup dengan sepenuh hati. Hal ini berarti menjalani, menghayati, dan mensyukuri setiap detik kehidupan kita, bukannya menilai atau melaknati kehidupan, melainkan menjalaninya dengan sepenuh hati. Jika hidup memang begitu singkat, maka salah satu rahasia untuk meraih bahagia adalah dengan semaksimal mungkin menikmati dan memanfaatkan waktu yang sempit itu, dan mengupayakan agar setiap detik dan hari yang kita lalui benar-benar menjadi sebuah anugerah.
Kelima, berikan lebih banyak dari yang anda dapatkan. Ini adalah rahasia kelima yang didapatkan Izzo saat mewawancarai para tetua nan bijak. Apabila kita semakin banyak memberi, kita juga akan semakin banyak mendapatkan berkah, dan kita akan menyatu dan terkait dengan kisah akbar kemanusiaan yang memberi makna bagi kehidupan. “Saya menjadi sadar bahwa kita semua dapat meleburkan diri dengan sempurna ke dalam kisah besar kemanusiaan ini.” Ujar Izzo (hlm. 182).

Buku ini ibarat mutiara. Di sini, terdapat kisah-kisah yang semuanya berisikan tentang hidup dengan bijak, hidup dalam momen tersebut, ada yang lucu dan ada yang sedih. Semuanya akan menjadi bahan pikiran kita. Konsistensi pelajaran memberikan pemahaman yang mudah dan skema yang mudah dicerna. Mengambil satu rahasia pada suatu waktu untuk dipraktikkan mungkin sangat baik bagi sebagian orang, berhenti sebentar mengonsumsi buku ini untuk ketika menerapkan rahasia tersebut. Yang lain mungkin melahap seluruh buku sekali duduk dan kembali merefleksikan secara lebih cermat ketika mereka memikirkan pesannya.

Tidak seperti kebanyakan buku-buku psikologi populer, buku Izzo mulai dengan sebuah deskripsi menyeluruh mengenai mengapa dan bagaimana tepatnya dia dan para asistennya melakukan studinya. Premisnya kelihatan cukup sederhana: jika terdapat orang-orang di dunia ini yang panjang umur dan berhasil dalam menemukan makna dan kebahagiaan selama itu, kenapa tidak menanyakan apa yang telah mereka singkap dan bagaimana? Tak lain semua itu agar kita pada saatnya meraih kematian yang indah.***

M.Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang, penulis buku “Cita-Cita; The Secret and Power Within” (2009)

Minggu, Mei 24, 2009

Seni Memimpin Dari Legenda Jepang

Judul buku : The Swordless Samurai; Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI
Penulis : Kitami Masao diedit oleh Tim Clark
Penerbit : Redline Publishing, Jakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2009
Tebal buku : 256 halaman
-----------------------

Jepang, dalam kebanyakan sejarahnya, telah dikuasai oleh para kaisar yang powerfull. Akan tetapi dalam abad XVI – yang disebut orang Jepang sebagai masa peperangan antar-klan (Age of Warring Clans) – penguasa regional (baca: Shogun) berperang satu sama lain dengan sedikit tentara pejuang samurai mereka. Terdapat salah satu pemimpin legendaris Jepang yang berhasil menyatukan antar-klan di abad XVI, yaitu Toyotomi Hideyoshi.

Buku The Swordless Samurai; Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI ini bercerita tentang bagaimana Toyotomi Hideyoshi melakukan hal itu. Hideyoshi dilahirkan dari keluarga petani pada 1537 yang menjadi seorang samurai meskipun dia tidak mempunyai keturunan darah samurai. Dengan perawakan pendek, petarung yang payah, dan tidak cukup menarik untuk dipandang, membuat dirinya menjadi bahan olokan, dan sering disebut “monyet.” Namun, di balik itu, dengan berbekal hasrat belajar yang besar, Hideyoshi berhasil melejitkan potensinya sehingga dia mencapai status wakil kaisar yang memungkinkan dia menghentikan pertikaian di antara para klan yang telah lama berperang di seluruh pelosok Jepang pada waktu itu.

Hideyoshi dianggap sebagai Swordless Samurai; seorang samurai tanpa pedang, di mana kemampuannya tidak terletak pada kelihaian memainkan pedangnya melainkan otaknya. Dia menapaki tangga batasan kelas yang kuat tanpa bantuan sama sekali. Dia seorang petani asli, yang mengabdi pada Lord Nobunaga yang sangat berkuasa, dan menjadi orang yang terus semakin berguna baginya. Hideyoshi mendapatkan dukungan yang kuat. Kemudian, dia menghancurkan semua batasan kelas dan akhirnya menjadi orang yang paling kuat di Jepang.

Hideyoshi mampu mencapai semua itu melalui kecakapannya yang hebat sebagai seorang perencana dan negosiator, dan kemampuannya untuk memimpin kelompok-kelompok subordinat yang besar melalui komunikasi yang cerdik, bukan melalui kekuatan militer atau pun ketakutan akan pembalasan. Beberapa tindakan heroiknya yang terkenal di antaranya merekrut sejumlah petani untuk mengalihkan aliran sungai dan membanjiri wilayah di sekitar kastil musuh, sehingga dapat menghentikan suplai dan bala bantuan bagi musuhnya, yang kemudian memaksa mereka untuk menyerah.

Selain itu, dalam sebuah pertempuran tanpa pertumpahan darah, dia beberapa kali mengirim pasukannya untuk menyamar sebagai pedagang untuk membeli semua beras musuh. Benteng pertahanan musuh menjual semua beras mereka dari gudang persediaan. Hideyoshi dan tentaranya kemudian hanya menunggu musuhnya kelaparan dan menyerah dengan sendirinya. Legenda lainnya adalah saat dia memerintahkan kepada tentara untuk membangun benteng di sebuah posisi yang strategis hanya dalam semalam. Bagaimana cara dia melakukan hal itu, dipaparkan secara gamblang di buku ini.
Tim Clark, editor edisi bahasa Inggris dari buku ini, memberi catatan bahwa “Swordless Samurai” adalah istilah yang dia temukan sendiri. Hideyoshi tidak pernah dikenal dengan nama itu dan tidak ada persamaannya dalam bahasa Jepang. Namun, istilah tersebut digunakan untuk menyimpulkan filosofi Hideyoshi yang menggunakan perencanaan yang cermat dan tindakan yang menentukan dalam mengganti kekerasan yang telah menjadi cara samurai.

Penulis buku ini, Kitami Masao berhasil menciptakan sebuah autobiografi yang melacak kehidupan Hideyoshi yang mengagumkan dari awal mula sebagai seorang yang sederhana hingga mencapai puncak kekuasaan, dan selanjutnya kemunduran yang berasal dari upaya perluasan kekuasaannya menuju Korea. Masing-masing bab ditandai dengan pepatah yang mencita-citakan seorang eksekutif bisnis seperti “Jadilah seorang pemimpin, bukan seorang yang superior,” dan “Ubahlah kelemahan menjadi kekuatan.” Sebagaian kecil dari pepatah tersebut menjadi ciri khas perusahaan Jepang pada masa kini, misalnya, “Rendahkan kepentinganmu berada di bawah kepentingan pemimpinmu.”

Kitami mengakui bahwa hampir tidak ada yang mengetahui tentang Hideyoshi yang sebenarnya pada masa-masa awal. Beberapa dari pencapaiannya yang lebih spektakuler terlihat sangat meragukan di mata sejarawan. Namun Kitami menerima informasi yang dapat diperoleh dari nilai dan usahanya mengenai kecakapan-kecakapan dalam memimpin dan bernegosiasi. Kitami juga berusaha membahas kelemahan dan kejatuhan Toyotomi dalam bab-bab terakhir, sebagai sebuah aforisme.

Sosok Hideyoshi sejatinya merupakan model bagi pemimpin bisnis masa kini. Para pebisnis saat ini dalam membidik posisi pemimpin, terutama jika mereka terkait dengan perusahaan dan praktik bisnis Jepang akan secara meyakinkan menemukan sesuatu yang dapat diterapkan dalam kerja mereka dari buku ini. Kepemimpinan Hideyoshi dan ajaran kesuksesannya diungkapkan dalam bentuk narasi ketika Hideyoshi mendapatkan banyak kemenangan dan menganalisa kemunculannya menjadi pemimpin yang tertinggi. Intuisinya yang tepat terhadap apa yang terjadi—kemampuan, kecerdasan, antisipasi, dan determinasi—dapat dengan mudah dipahami para pebisnis masa sekarang.

Meskipun kita tidak tertarik dalam aspek untuk membantu pengembangan sendiri (self-help) dari buku ini, kita mungkin mengapresiasi buku ini sebagai sebuah pengantar yang sangat perlu dibaca mengenai seorang figur yang sangat penting dalam sejarah Jepang pada masanya. Untuk itu, kehadiran buku ini dalam edisi Bahasa Indonesia patut dipuji, sebagaimana halnya pujian yang diberikan oleh Arvan Pradiansyah dan Andy F. Noya dalam endorsement buku ini.***

M. Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang

Rabu, Mei 20, 2009

Petualangan Ranger Muda

Judul Buku : Ranger’s Apprentice; Reruntuhan Gorlan
Penulis : John Flanagan
Penerbit : Matahati, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : 384 hlm
------------------

Ranger’s Apprentice adalah novel serial anak-anak yang sarat dengan petualangan. Sebuah epik fantasi yang mampu membangkitkan imajinasi setiap pembacanya. Tokoh utamanya adalah Will, seorang ranger muda yang pemberani. Ia sering berhadapan dengan berbagai ancaman dari monster mengerikan yang selama itu hanya ada dalam legenda dan mitos.

Sebenarnya menjadi ranger bukanlah impian Will. Bocah laki-laki 15 tahun yang dibesarkan sebagai anak asuh di kastil Redmont, sangat terobsesi menjadi ksatria prajurit berbaju besi seperti sosok ayah yang dibanggakannya. Will tahu ranger adalah sekelompok orang misterius yang kehadirannya ditakuti banyak orang. Namun di hari pemilihan yang menegangkan, ia terpilih menjadi murid ranger dan menjalani pelatihannya berpetualang di dunia yang sangat fantastis.

Lima belas tahun yang lalu Will ditemukan terbungkus dalam selimut kecil dan diletakkan dalam keranjang di tangga bangunan ward (nama bangsal). Sebuah catatan dilekatkan di selimutnya: Ibunya meninggal saat melahirkan. Ayahnya meninggal sebagai pahlawan, tolong pelihara dia. Namanya Will. Fakta inilah yang diketahuinya. Bocah yatim piatu ini bahkan tidak pernah tahu latar belakang dirinya dan sejarah keluarganya. Oleh karenanya ia kerap menanggung malu menghadapi olok-olok dari Horace, teman sesama anggota ward. Tubuhnya yang kecil amat merisaukan konsentrasinya di hari pemilihan sekolah. Keadaan itu disadarinya bahwa kecil kemungkinan ia diterima di sekolah tempur. Namun menjadi ksatria pejuang adalah satu-satunya impian yang didambakannya untuk mengikuti jejak sang ayah yang tak pernah dikenalnya.

Hanya Will yang tersisa di hari pemilihan. Dan ia sudah membayangkan takdirnya akan berakhir menjadi buruh tani dan ternak di desa sekitar. Itulah resiko bagi anggota ward yang tidak terpilih oleh guru keahlian di kastil Redmont. Tapi di saat itulah ia dikejutkan oleh sosok ranger yang muncul tiba-tiba di ruang pemilihan dan menyodorkan secarik kertas kepada Baron Arald, sang pemimpin kastil. Will yakin kertas itu berkaitan dengan nasib yang bakal didapatkannya.

Walau bertubuh kecil, Will adalah anak pemberani, gesit, cerdik dan selalu ingin tahu terhadap setiap hal. Dipicu oleh misteri secarik kertas, Will menyelinap dan memanjat dinding menara kastil yang menjulang tinggi, memperdayai penjaga, lalu masuk ke ruangan sang baron. Namun ketika catatan itu ditemukannya, Will dikejutkan oleh ranger yang tiba-tiba menghalau tangannya.

Ulah Will memanjat dan menyelinap yang tak sedikitpun terlihat mata, menjadi titik balik yang menentukan bakatnya sebagai murid ranger-Halt. Will terpilih sebagai murid Halt, meninggalkan kastil dan menjalani latihan sebagai ranger. Di sinilah babak petualangan ranger muda telah dimulai. Berbulan-bulan Will menjalani latihan keras: memanah, memainkan pisau ranger, dan mengasah kemampuannya bergerak tak terlihat.

Satu hal yang tak bisa diabaikan dari novel ini adalah kisah pertemanan Will dengan Horace, salah satu temannya yang diterima di sekolah tempur. Meskipun awalnya Horace adalah musuh yang amat dibencinya karena perangainya yang arogan. John Flanagan, penulis novel ini dengan lihai membelokkan karakter tokoh Horace yang memicu kebencian setiap orang, menjadi anak yang mampu mengundang simpati pembacanya. Sejak peristiwa perburuan di hutan, Horace menyadari keberanian Will yang telah menyelamatkan hidupnya dari ancaman monster babi. Ketika Will dan Horace dipertemukan lagi, keduanya menjadi tim kompak yang harus menjaga keselamatan satu sama lain.

Selama dalam gemblengan Halt, Will menampakkan bakat yang sangat mengagumkan. Namanya mencuat di kalangan kastil Redmont dan penduduk sekitar pun mengeluk-elukkan keberaniannya. Ketika kerajaan Araluen mendapat teror dari Kalkara, monster tak terkalahkan yang berasal dari campuran beruang dan kera, Will dan Halt menjalankan aksi petualangan yang sangat mendebarkan. Keduanya harus bergerak cepat mencari jejak monster di antara semak-semak di dataran terpencil, melewati kawasan seruling bebatuan yang mengeluarkan dentingan suara mencekam.

Rupanya desas desus monster itu sudah beredar di sebuah pertemuan korps ranger yang diadakan secara rutin. Morgarath, penguasa Pegunungan Hujan dan Malam, sekaligus mantan Baron Gorlan di Kerajaan Araluen, melancarkan aksi balas dendam dengan mengirim monster jahat yang siap menerkam mangsa incarannya. Dalam satu adegan klimaks, Will, Halt dan Gilan, salah satu anggota korps ranger, terlibat perburuan mencari jejak Kalkara yang ditengarai bersembunyi di puing-puing reruntuhan Gorlan, bekas kerajaan Morgarath. Bentrokan antara ranger dan monster pun tak dapat dielakkan. Halt pontang panting dan diselamatkan Baron Arald serta Sir Rodney yang didatangkan Will dari Kastil Redmont. Namun pada akhirnya Will muncul sebagai pemenang yang menyelamatkan guru sekaligus kedua ksatria tangguh dengan panah berapi yang dihujamkan ke tubuh Kalkara.

Jiwa petualang sekaligus pemberani yang diusung novel ini menjadi menu bacaan yang sangat layak bagi anak-anak. Perannya sangat penting untuk memotivasi anak gemar membaca. Seperti disampaikan penulisnya, penulisan novel ini pada dasarnya untuk memotivasi putranya yang berumur 12 tahun agar suka membaca. Meski begitu novel ini juga cukup menghebohkan bagi setiap pembaca dari semua tingkatan umur. Novel ini di dalamnya mengundang selera pembaca yang memiliki hobi berpetualang. Didukung dengan atmosfir alam yang mengagumkan. Dan detail novel ini seolah-olah mampu dirasakan setiap pembacanya secara riil.

Novel ini merupakan seri pertama dari beberapa seri Ranger’s Apprentice yang ditulis John Flanagan. Serial ini sudah muncul dalam daftar terlaris New York Times dan secara rutin terdaftar dalam penghargaan buku anak-anak di Australia dan negeri lainnya***

M.IQBAL DAWAMI
Staf pengajar STIS Magelang

Minggu, Mei 17, 2009

Sang Pengubah Mitos

Judul buku : The Swordless Samurai; Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI
Penulis : Kitami Masao diedit oleh Tim Clark
Penerbit : Redline Publishing, Jakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2009
Tebal buku : 256 halaman
-----------------------

Siapa sangka seorang bocah petani mampu menjadi penakluk dan penguasa tertinggi Jepang. Dan siapa pula yang mengira seorang samurai tak berpedang menjadi pemenang tunggal dari perang berkepanjangan dan berhasil menyatukan negeri yang sudah tercabik-cabik selama lebih dari 100 tahun. Dialah Toyotomi Hideyoshi, anak petani yang bertubuh kecil, tak berotot, berwajah jelek, dan tak berpendidikan. Bahkan tak ada sejengkal pun dari tubuhnya yang meninggalkan kesan seorang samurai. Namun, segala kekurangannya itu diubah menjadi kekuatan besar yang dapat mengungguli para pesaingnya yang berdarah biru dan menjadi penguasa seluruh Jepang.

Hideyoshi lahir di tengah berkecamuknya masa peperangan antar klan, zaman di mana satu-satunya hukum yang ada adalah hukum pedang. Ia lahir di Nakamura, provinsi Owari tercatat tahun 1536 dan saat usianya tujuh tahun ayahnya meninggal sehingga ia harus mendapati ayah tiri yang kerap bertengkar dengannya.

Ia mengerti betul betapa keras hidup keluarganya, terutama ibu yang dikasihinya. Satu saat ia membuat keputusan untuk pergi mencari pekerjaan di saat berusia 15 tahun. Hideyoshi telah bertekad untuk meringankan beban orang tuanya, keluar dari belenggu kemiskinan yang menjeratnya.

Bagi rakyat jelata sepertinya tak ada sedikit pun aset maupun ketrampilan yang dimiliki untuk bertahan hidup dan mencari peruntungan. Hidup di jalanan sebagai pedagang jarum dan menjalani pekerjaan serabutan, telah mengajarinya menjadi mahir dalam menilai karakter orang. Namun antusiasmenya begitu besar untuk menjadi pengikut salah satu klan penguasa yang dianggapnya akan menjadi pijakan karir hidupnya. Hideyoshi menjadi pengikut setia Oda Nobunaga, yang sebelumnya sempat menjadi pelayan keluarga Matsushita. Ia mengabdikan diri sepenuhnya dan memulai karir sebagai pelayan rendahan sembari mendapatkan julukan Monyet dari tuannya.

Meski dengan pekerjaan remeh—sebagai pembawa sandal—Hideyoshi menganggap tugasnya sebagai pijakan menuju jabatan yang lebih tinggi. Karenanya ia melakukan dengan ekstra keras sembari mencari peluang-peluang emas untuk mendemonstrasikan dedikasinya kepada tuannya. Bahkan ia jarang tidur nyenyak semalaman demi mengantisipasi saat-saat tidak biasa di mana sang majikan akan memerlukan bantuannya.

Bagi Hideyoshi, bergabung dengan klan Oda adalah titik balik yang menentukan perkembangannya sebagai seorang pemimpin. Nobunaga sangat mempercayai kompetensi bawahannya, memiliki visi ke depan dan memahami dedikasi. Di sinilah Hideyoshi berhasil mencapai banyak hal yang semestinya mustahil untuk diraih. Sikapnya yang keras terhadap dirinya sendiri membuahkan prestasi yang begitu mencengangkan. Bahkan ia menjadi tangan kanan Lord Nobunaga yang sangat terpercaya dan bersama-sama menjalankan misi menyatukan Jepang, membawa Jepang menuju hari yang baru.

Hideyoshi berhasil mengubah kesan kelemahannya menjadi kekuatan besar yang mengejutkan banyak orang. Karirnya melejit ke puncak kekuasaan, bermula dari panglima perang biasa menjadi pemimpin para penguasa; dari seorang pemimpin yang mengepalai puluhan menjadi penguasa jutaan. Ketika Nobunaga meninggal dibunuh Mitsuhide, dia mengobarkan semangat untuk menuntut balas. Hideyoshi meneruskan perjuangan Nobunaga, menyatukan Jepang dan kemudian menjadi wakil kaisar. Dalam sejarah Jepang tercatat dirinya menjadi orang pertama yang menempati posisi itu tanpa pertalian darah dengan kaum bangsawan.

Buku ini seolah menjadi replika diri Hideyoshi sendiri yang mendeskripsikan filosofi seorang pemimpin legendaris Jepang di abad XVI. Kitami Masao, penulis buku ini, mengulas Hideyoshi dari sudut pandang orang pertama, sehingga kehadiran tokoh utamanya benar-benar dapat dirasakan oleh setiap pembacanya.

Kisah Hideyoshi menjadi inspirasi tersendiri untuk dapat diterapkan dalam jalan menuju kesuksesan. Kemauan yang keras dan kenekatannya mengubah keadaan telah menjadi kekuatan pendobrak yang mampu membalik mitos yang tak terbantahkan di zamannya. Dalam kamusnya, siapapun dan dari kalangan manapun mempunyai peluang yang sama dalam memperjuangkan cita-cita dan meraih kemenangan. Adapun pesan yang selalu didengungkan Hideyoshi adalah bekerja keras, bertindak berani dan bersyukur.
Warisan berharga lain yang dapat kita petik yaitu prinsip kepemimpinannya. Hideyoshi merupakan pemimpin yang berangkat dari karir pelayan. Maka inti dari kepemimpinannya adalah pengabdian. Dan yang terpenting lagi, seorang pemimpin harus
mendemonstrasikan integritas mereka dan memenuhi janji mereka berapapun harga yang harus dibayar.

Prinsip dan ajaran di atas menjadi warisan berharga setiap generasi yang menginginkan perubahan ke arah lebih baik. Buku ini sangat cocok bagi siapa pun yang menginginkan perubahan dalam dirinya menuju lebih baik. Arvan Pradiansyah dan Andy F. Noya pun—di dalam endorsement-nya merekomendasikan buku ini.***

M.Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang

Rabu, Mei 13, 2009

Al-Qur’an Bertutur Tentang Kesehatan

Judul: Al-Qur’an The Amazing Secret
Penulis: dr. Muhammad Suwardi
Penerbit: Ufuk Press
Cetakan: I, Februari 2009
Tebal: xxii + 223 hlm.
---------------------

Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa ada seorang manusia yang tidak pernah sakit semasa hidupnya, kecuali hanya sekali, yaitu saat menjelang ajalnya, padahal kesehariannya penuh dengan berbagai tanggung jawab: Utusan Tuhan (Rasulullah), kepala negara, kepala rumah tangga, dan lain-lain.

Manusia itu bernama Muhammad. Ia tidak pernah sakit, bukan hanya karena seorang Rasul yang selalu dijaga kesehatan oleh-Nya tanpa upaya untuk hidup sehat, tetapi memang karena dirinya selalu berusaha untuk menjadi sehat. Bukankah ia juga manusia seperti kita yang perlu makan dan minum? Lantas, apa sesungguhnya rahasia beliau?

Buku ini menyebutkan bahwa inti resep beliau agar tetap sehat adalah konsep makan yang dijalaninya. Hal ini senada dengan kesaksian yang terdapat dalam sebuah kisah bahwa raja Mesir bernama Muqauqis menghadiahi Rasulullah seorang dokter. Dokter itu tinggal di Madinah. Sang dokter tidak pernah bekerja sedikit pun meskipun telah sekian lama menetap. Mengapa demikian? Sebab, tidak ada seorang pun yang sakit di tempat itu. Sang dokter merasa heran dan bertanya kepada Rasulullah. beliau menjawab, “Kami adalah satu kaum yang tidak makan sebelum lapar dan apabila kami makan tidak sampai kenyang.”

Kenyataan di atas menyadarkan Muhammad Suwardi untuk menulis buku ini. Pasalnya, ada keironisan saat melihat kenyataan saat ini bahwa banyak kaum muslimin yang tidak bisa menjaga kesehatannya, sehingga terkena banyak penyakit, padahal Nabinya begitu menjaga kesehatan. Dan, yang lebih memprihatinkan lagi adalah sebagian besar yang terkena penyakit itu masih usia produktif.

Sang penulis buku ini tahu betul kenyataan tersebut, lantaran ia sebagai dokter yang setiap hari menyaksikan hal itu. Ia mengatakan bahwa penyakit-penyakit kardiovaskular dan penyakit gangguan metabolik, seperti hipertensi, jantung koroner, stroke, kencing manis, asam urat, sampai kanker biasanya diderita boleh orang berusia lanjut. Namun, seiring kemajuan zaman penyakit-penyakit tersebut tidak lagi dimonopoli oleh mereka yang berusia lanjut, malah cenderung meningkat angka penderitanya pada usia muda atau usia produktif.

Suwardi mengajak kepada khalayak pembaca untuk belajar pada konsep dan pola makan yang diperlihatkan Rasulullah yang sejatinya merupakan pengejawantahan dari pesan-pesan Al-Qur’an. Nabi bersabda: “Panasnya buah yang satu ini (kurma) akan dihilangkan oleh dinginnya buah yang lain (melon), dan dinginnya buah yang satu ini (melon) akan dihilangkan oleh panasnya buah yang lain (kurma).” Secara alami dan medis, pola makan yang dilakukan oleh sang Nabi merupakan suatu kombinasi ideal karena berprinsip pada keseimbangan asam-basa. Tubuh akan sehat jika berada dalam kondisi seimbang. Menurunnya pH sedikit saja ke arah asam atau kenaikan pH ke arah basa akan mudah menimbulkan suatu penyakit.

Oleh karena itu, kita perlu menjaga keseimbangan asam-basa tubuh seperti yang dicontohkan Rasulullah. Beliau makan kurma yang bersifat panas sebagai asam karena mengandung banyak kalori, sedangkan melon atau mentimun yang bersifat dingin banyak mengandung air bertindak sebagai basa. Antara kurma dan mentimun atau melon saling menetralkan. Sungguh, suatu kombinasi yang menyehatkan.

“Seorang anak cucu Adam tidak pernah memenuhi satu bejana pun yang lebih jelek daripada perutnya. Cukuplah bagi seorang anak cucu Adam beberapa suap makanan yang dapat menegakkan punggungnya. Jika dia harus makan, hendaklah sepertiga (dari perutnya) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk udara,” tutur sang Nabi.

Secara medis, apabila ketiga kata kunci dalam sabda di atas dilaksanakan dengan baik maka terbukti dapat menjaga kesehatan tubuh. Menurut Suwardi bahwa ketiga prinsip ini pada intinya untuk mengurangi asupan kalori secara berlebihan. Bahwa penurunan asupan kalori akan meningkatkan sistem detoksifikasi (penawaran atau penetralan toksin di dalam tubuh). Hal ini memberi perlindungan dari kanker, gangguan daya tahan tubuh, penyakit jantung, penyakit turunan, serta dapat memperpanjang usia hidup. Sebaliknya, terlalu banyak makan akan memudahkan timbulnya radikal bebas. Radikal bebas merupakan penyebab dasar dari penyakit-penyakit kanker, kardiovaskular, dan degeneratif (penyakit turunan).

“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Al-A’raf: 31). Larangan Allah dalam surah tersebut mengandung hikmah dan pelajaran yang berharga. Secara medis, ternyata makan dan minum yang berlebihan bisa berdampak buruk bagi kesehatan karena dapat menimbulkan berbagai macam penyakit di dalam tubuh. Penyakit karena pola makan yang salah ini disebut penyakit metabolik yang dapat diikuti dengan berbagai komplikasinya, seperti kencing manis, asam urat, hipertensi, dan penyakit-penyakit berbahaya lainnya.

Pada surah al-Jumu’ah ayat 10, kita diperintahkan bertebaran di muka bumi pada siang hari untuk mencari karunia Tuhan (baca: rezeki). Pola ini sebagai simbol fase pencernaan makanan. Pada siang hari, kita bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kita. Dan, pada malam hari, kita diperintahkan untuk beristirahat, seperti pada surah Yunus ayat 67. Ini sebagai simbol fase penyerapan. Setelah beraktivitas di siang hari yang menguras tenaga, malam hari adalah saatnya menyerap dan charger energi untuk memulihkan sel-sel tubuh yang telah aus; mendetoksifikasi racun-racun, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar tubuh; dan selanjutnya pengeluaran pada pagi hari.

Kesimpulan dari buku ini adalah bahwa ada benang merah antara pola makan Rasulullah dengan ilmu kedokteran. Selain itu, buku ini mengajak pembaca agar meniru pola makan sang Nabi yang sejatinya beliau mengamalkan pesan-pesan Al-Qur’an. Dengan demikian, kita dapat terhindar dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh pola makan yang tidak sehat.***

M. Iqbal Dawami,
Staf pengajar STIS Magelang, hobi makan tempe dan sayur bayam

Minggu, Mei 10, 2009

Petualangan Detektif Sugawara Akitada

Judul Buku : The Dragon Scroll
Penulis : I.J. Parker
Penerbit : Penerbit Kantera
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : 484 hlm
--------------------------
Dengan mengambil latar budaya dan sejarah Jepang di abad kesebelas, novel ini mengisahkan tentang misteri-misteri dan intrik politik di lingkungan pemerintah. Di masa ini Jepang belum masuk pada era samurai. Novel ini mengangkat tema yang cukup modern pada masanya, diramu dengan kisah-kisah detektif dan kriminal.

Sugawara Akitada, seorang penyelidik muda di kementrian kehakiman kaisar ditugaskan ke Kisarazu propinsi Kazusa guna menyelidiki hilangnya pengiriman pajak selama tiga tahun berturut-turut. Sebuah tugas yang diterimanya dengan antusias karena—dia pikir—hal itu adalah suatu kehormatan, dan bukan kebetulan. Ada harapan besar untuk meningkatkan reputasinya sebagai seorang panitera dan melakukan perjalanan keluar Heian Kyo (Kyoto). Dia ditemani pelayan tuanya, Seimei. Di tengah perjalanan dia diserang perampok dan diselamatkan pemuda berandalan yang gagah berani, Tora, yang kemudian diangkat menjadi pelayannya.

Akitada adalah tokoh intelektual yang berpendidikan kota, seorang keturunan dari keluarga bangsawan kuno yang memiliki nilai-nilai yang inspiratif dan penuh introspeksi diri. Pada halaman-halaman pertama, aksi didatangkan dengan berlatar belakang budaya yang mengagumkan. Pembaca seolah diajak berpetualang tentang pembunuhan seorang bangsawan wanita sebagai misteri yang menjadi tantangan tersendiri bagi Akitada.

Awal kedatangannya di Kazusa, Akitada berspekulasi menjadikan gubernur Motosuke sebagai tersangka utama. Namun kecurigaan Akitada terhadap sang gubernur sulit dibuktikan. Bahkan Akitada dan pelayannya, Seimei, tercengang dengan efisiensi kerja para staf dan kerapian berkas-berkasnya. Alih-alih berhasil meringkus penjahat Negara, Akitada merasa misinya hanya akan berakhir sia-sia. Karena rumor yang beredar bahwa sudah lama pemerintah ingin kasus ini dilupakan. Kegelisahan Akitada untuk tetap menegakkan hukum semakin mendorongnya berfikir keras, menemukan dalang di balik kejahatan ini. Orang-orang lain yang patut dicurigai dan mulai dijadikan modus operandinya adalah Residen Ikeda, Kapten Yukinari—sang kepala Garnisun, Lord Tachibana—mantan Gubernur—beserta Lady Tachibana (istri mudanya yang cantik mempesona) serta master Joto, sang kepala biara Empat Wajah Kebijaksanaan.

Masalah semakin pelik ketika terjadi pembunuhan berantai. Mantan gubernur Lord Tachibana ditemukan tewas di ruang kerjanya saat Akitada mengunjunginya. Lalu seorang pelacur dibunuh dengan cara mengerikan. Begitu pula pembantaian yang terjadi di rumah Higekuro, pemilik perguruan bela diri bojutsu. Dan usaha pemerkosaan terhadap putrinya—gadis tunarungu—oleh beberapa rahib pengkhianat.

Apa motif di balik pembunuhan sang mantan gubernur? Firasat Akitada mengatakan bahwa aksi tersebut ada hubungannya dengan kasus perampokan pajak. Istri mantan gubernur pun ditengarai memiliki skandal dengan Kapten Yukinari dan Residen Ikeda. Kisah ini kemudian berkembang menjadi sebuah konspirasi yang juga melibatkan kepala biara Empat Wajah Kebijaksanaan. Hal itu berdasarkan fakta pembangunan biara yang meningkat drastis. Namun pada akhirnya Akitada memperoleh titik terang setelah ditemukannya sebuah sketsa lukisan Badai Naga karya Otomi, putri Higekuro. Sketsa itulah yang menjadi kunci penting dalam penyelidikan tersebut.

Ditemani Tora dan Ayako—gadis pesumo yang membuat Akitada jatuh cinta—Akitada menyusup ke dalam Biara Empat Wajah Kebijaksanaan dan menemukan bukti kebengalan para rahib. Kala segalanya terbuka, bentrokan pun tak terelakkan. Dalam satu adegan klimaks, yang terjadi pada sebuah perayaan biara yang besar, ketegangan mencapai puncaknya. Akitada dan kelompoknya berhasil membongkar monster jahat yang terselubung di balik kedok sang rahib suci. Misteri sekeping bunga biru pun menyingkap pembunuhan wanita bangsawan, Lady Asagao, selir kesayangan Kaisar. Tapi yang lebih buruk, upaya penyelidikan dan pengungkapan yang dilakukan Akitada malah mengancam hubungan cinta dan kariernya. Sungguh, sebuah ending yang mengharukan.
Akitada sangat shock karena mendapati sang menteri, atasannya, naik pitam mendengar kabar keberhasilannya. Akibatnya mimpi dan cita-cita Akitada kandas.
I.J. Parker, penulis novel ini, menciptakan narasi yang sangat tepat dan menggairahkan, sesuatu yang menarik perhatian pembaca saat melihat aksi atau pun penyampaian kultur dan tradisi Jepang Periode Heian (794-1185 M). Dalam proses mencapai kesimpulan, novel ini menginvestigasi kejahatan beserta pemberantasannya, dipadu dengan komedi, tragedi, petualangan dan roman.

Novel ini pun menyingkap Informasi yang mengagumkan tentang stratifikasi budaya dan pemisahan antara bangsawan dan orang biasa. Penulis juga sangat cermat menciptakan karakter-karakter yang seakan-akan hidup dan menggiring pembacanya untuk larut dengan mereka, meskipun ada jarak ratusan tahun antara aksi tersebut dengan kehidupan dan masa pembacanya.

Novel ini sebuah seri baru yang pantas mendapatkan tempat di hati pembaca. Misteri-misteri Sugawara Akitada begitu mengagumkan dan menggairahkan pembaca untuk menelisik lebih jauh. Parker amat lihai melibatkan pembacanya dalam peristiwa-peristiwa yang berasal dari ratusan tahun yang lalu. Dalam detail novel ini, seperti pemakaian kostum para tokoh, sarana transportasi, dan perilaku formal menambah rasa realitas tersendiri dalam benak setiap pembaca.

Novel The Dragon Scroll secara kronologis merupakan novel ketiga setelah Rashomon Gate (2002) dan the Hell Screen (2003), di mana kedua novel ini mendapatkan penghargaan dari St. Martin Monotaur. Semua novel Parker itu mempunyai tokoh utama yang sama, yaitu Sugawara Akitada, seorang pegawai rendahan kementerian kehakiman Kyoto abad kesebelas yang melakukan penyelidikan terhadap kejahatan yang berlatar Periode Heian Jepang (794-1185).***

M.Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang, penikmat sastra Jepang

Rabu, Mei 06, 2009

Sejarah Islam Yang Terukir Di Malam Hari

Judul: The Great Nights; 24 Malam Yang Mengubah Dunia Islam
Penulis: DR. Husain Mu’nis
Penerbit: Ufuk Press
Cetakan: I, maret 2009
Tebal: 180 hlm.
-----------------

“Sejarah direncanakan di malam hari dan terlaksana pada siang hari” (Montesque)

Boleh jadi belum pernah ada buku yang khusus mengulas cuplikan sejarah dari perspektif waktu kejadian, seperti apakah kejatuhan Soeharto terjadi pada waktu pagi, siang, atau sore hari? Jam berapakah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dikumandangkan? Atau dalam dunia Islam, misalnya, kapan wafatnya sang Nabi Saw, pagi, siang, atau malam? dan seterusnya.

Imaji kita seringkali mentahbiskan bahwa acapkali sejarah selalu terjadi pada siang hari. Semua peristiwa seolah-olah hanya dimiliki siang. Dan malam hilang dari pusaran sejarah. Realitasnya, banyak terukir sejarah di malam hari. Tidak terhitung urusan yang direncanakan di malam hari. Buku The Great Nights; 24 Malam Yang Mengubah Dunia Islam yang ditulis Husain Mu’nis hendak membuktikan hal itu. Betapa banyak kejadian-kejadian penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada malam hari. Boleh jadi kejadian itu dirasa sepele, namun sesungguhnya amatlah menentukan.


Di antara kejadian itu adalah kesepakatan di Aqabah yang di dalamnya terdapat rekonsiliasi antara penduduk Yatsrib (Madinah) dengan Rasul Saw. Peristiwa itu terjadi di pertengahan malam. Dan juga saat Shalahuddin al-Ayyubi mengerahkan pasukannya untuk menyerbu ke benteng lawan, ternyata berakhir di malam hari, di mana sebelumnya sudah terjadi pertempuran kecil antara tentara Muslim dengan tentara Salib.

Buku yang ditulis oleh pakar sejarah Islam ini lebih terfokus pada persoalan “sejarah yang tercipta di malam hari”. Ide penulisan subjek ini sendiri muncul ketika sang penulis membaca berbagai buku sejarah Islam, di mana banyak sekali sejarah Islam yang terjadi di malam hari.

Buku ini memuat 24 kisah dunia Islam yang dibagi ke dalam enam bagian. Tapi, pembagian tersebut tidak begitu jelas, berdasarkan kategori apa pembagian itu? Karena setiap bagiannya tidak diberi judul. Untung saja, buku ini langsung membius saya dengan sebuah kisah menarik di bagian pertama, meski tidak diurutan pertama. Kisah itu diberi judul “Selesainya Buku Muqaddimah Karya Ibn Khaldun”.

Nama Ibn Khaldun begitu mendunia. Ia termasuk tokoh yang paling banyak disebut dalam sejarah intelektual. Reputasinya sangat dikagumi oleh kalangan intelektual timur maupun barat, kalangan muslim maupun non muslim. Dirinya bukan saja dikenal sebagai Bapak sosiologi, tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Ibn Khaldun sejatinya pemikir dan ulama peletak dasar Ilmu Sosiologi dan Politik melalui karya magnum opus-nya, Muqaddimah.
Dalam buku ini diceritakan bagaimana saat-saat terakhir Ibn Khaldun menyelesaikan karyanya itu. “Dengan diterangi sebuah pelita dari lampu minyak, lelaki itu hanyut dalam barisan kertas yang ia tulis. Ia tenggelam dalam buku rujukan yang ia kutip untuk lembaran akhir dari buku yang tengah ia tulis. ‘Telah selesai juz pertama yang mencakup dari pembukaan yang ditulis dalam waktu lima bulan di pertengahan tahun 779 Hijriah. Alhamdulillah, semua ini ditulis pada malam kesembilan dari bulan Jumadilakhir, pada tahun yang telah disebut oleh hamba yang fakir dan senantiasa mengharap rahmat…’” (hlm.33).

Demikianlah, di tengah kebisuan malam, Ibn Khaldun telah dapat menyelesaikan karya master piece-nya. Ia menyelesaikan buku tersebut dalam ketenangan malam, di antara tahun 1373-1378 Masehi.

Kisah yang menarik lain lagi adalah “Wafatnya Ratu Mumtaz Mahal”, yang tak lain cikal bakal dibangunnya Taj Mahal di India. Mumtaz Mahal yang bernama aslinya Arjuman Bano Begum adalah istri seorang raja India dari Dinasti Mughal bernama Shah Jehan. Pada masa itu Islam sedang mengalami kejayaannya. Sejak menjadi pangeran, panglima perang, hingga menjadi raja, Shah Jehan selalu didampingi Mumtaz Mahal baik dalam keadaan senang maupun susah. Kisah cinta mereka tersiar di semua kalangan.

Mumtaz Mahal selalu berada di samping suaminya setiap kali suaminya mendapat ujian hidup. Oleh karenanya, kehidupan sang raja di kerajaan aman dari makar, rasa iri dan dengki. Ia sering memberikan nasihat untuk suaminya. Ia juga sangat memerhatikan kehidupan para wanita fakir. Ia membangun sepuluh pabrik tenun dan sajadah sebagai tempat untuk mempekerjakan para fakir wanita.

Ia pula orang yang kali pertama membangun kantor untuk konsultasi dan penampungan bagi para janda. Ia termasuk perintis gerakan kewanitaan menyamakan taraf hidup wanita dengan kaum lelaki pada waktu itu, seperti mendirikan sekolah dan mengajarkan kepada wanita India untuk membaca dan menulis. Melihat kesetiaan dan prestasinya itu, sang suami begitu kehilangan saat istrinya meninggal. Kematian menjemputnya pada tengah malam, sesaat setelah melahirkan.

Untuk mengabadikan cintanya kepada sang istri, Shah Jehan membangun monumen yang bernama Taj Mahal, yang tak lain diambil dari nama istrinya. Sebanyak 43 jenis batu permata, termasuknya berlian, jed, kristal, topaz dan nilam telah digunakan untuk memperindah Taj Mahal. Pembuatan Taj Mahal memakan waktu selama 22 tahun. “Monumen cinta” ini menjadi salah satu dari Tujuh keajaiban dunia dan termasuk warisan kebudayaan Islam.

Selain dua kisah di atas, masih ada 22 kisah yang tak kalah menariknya, di mana masing-masing kisahnya mempunyai keunikan dan pesan yang berbeda. Misalnya, kisah Al-Maqrizi, ulama tersohor pada masa Daulah Mamalik di Mesir, yang berhasil menulis kitab dengan ketebalan 80 halaman hanya dalam satu malam. Bagaimana prosesnya serta apa saja yang ditulisnya dapat kita baca dalam buku ini. Ada pula kisah seorang wanita yang mampu membiayai sendiri untuk membangun masjid Jami’ di Turki. Dan itu berawal dari sebuah mimpi yang menggetarkan dirinya pada pertengahan malam di bulan Ramadhan.
***

Buku ini selayaknya mendapat apresiasi yang mendalam. Tidak hanya keunikannya karena menulis subjek yang jarang digarap oleh kebanyakan penulis Arab, tetapi juga pesan yang hendak disampaikannya. Maka, tak heran buku dalam edisi aslinya (berbahasa Arab) menjadi bestseller di Timur Tengah, sejak tahun 2002 hingga sekarang, dan mengalami beberapa kali cetak ulang.

Spirit Islam sangat terasa dalam buku ini, meski barangkali penulisnya tidak menyadarinya, karena dalam pendahuluan maupun penutupnya sama sekali tidak menyinggung ajaran Islam yang sejatinya Islam begitu mengistimewakan malam hari. Di antaranya, shalat malam (qiyamullail);yang begitu dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw, turunnya Al-Qur’an;kitab suci yang menjadi pedoman hidup dan inspirasi, serta perjalanannya Nabi Muhammad ke Sidartul Muntaha; cikal bakal perintahnya shalat lima waktu.

Tidak hanya itu, di dalam Al-Qur'an pun ada 114 kata ‘malam’, dengan berbagai macam informasinya, antara lain: Waktu yang paling tepat untuk bersujud (Ali-Imran:113), bertasbih (Al-Anbiyaa:20; Thaha:130), mencari hikmah (Adh-Dhukhan:4), mohon ampun (Adz-Dzariyaat:18), beristirahat (An-Naml:86), dijadikan sebagai pelajaran dan mensyukuri nikmat Allah (Al-Furqan:62), merenungi tanda-tanda kebesaran Allah (Al-Isra':1), dan lain-lain.

Dari berbagai informasi tersebut, tampaklah bahwa waktu malam adalah waktu yang istimewa. Suatu waktu yang hebat untuk melakukan perubahan diri menuju kebaikan. Dan buku inilah yang akan menginsiprasi Anda untuk melakukan perubahan itu.***

M.IQBAL DAWAMI
Staf Pengajar STIS Magelang, sering menulis dan “bermuhasabah cinta” di pertengahan malam

Minggu, Mei 03, 2009

Menyuarakan Fakta yang Tersembunyi

Judul: Gelegar Gaza; Denyut Perlawanan Palestina
Penulis: Muhsin Labib dan Irman Abdurrahman
Penerbit: Zahra
Cetakan: I, Maret 2009
Tebal: 196 hlm.
----------------

Di penghujung 2008, dunia tersentak oleh sebuah aksi barbar tentara Israel atas penduduk Gaza, Palestina. Olmert dan para pemimpin Israel lainnya menggempur Gaza selama 22 hari dalam sebuah kampung besar yang tertutup rapat dari semua penjuru. Hasilnya, lebih dari 1500 anak-anak, wanita, dan warga sipil meregang nyawa akibat serbuan peluru dari darat, laut, dan udara. Dan lebih dari 5000 manusia cedera dan cacat.

Aksi demonstrasi untuk mengutuk kekejaman Israel dari Australia hingga Panama membahana. Namun penulis buku ini membeberkan hal yang ironis, di antaranya, di saat maraknya demonstrasi, namun mulut para pemimpin dunia tergagap. Dan lebih parahnya lagi, para pemimpin Arab seolah membiarkan genosida itu, bahkan memberkatinya.

Buku ini mengajak pembaca memasuki lorong waktu penjarahan Palestina sejak berdirinya monster struktural bernama zionisme hingga tragedi genosida di Gaza secara blak-blakan. Buku ini niscaya akan menghentak pembaca dengan pengungkapan fakta yang lebih utuh seputar konflik Palestina, berikut “kabut konspirasi” yang melingkupinya, dan mendudukan persoalan Palestina secara objektif dan adil. Tak lain, usaha ini diakui oleh penulisnya sebagai salah satu bentuk dukungan moral.

Selain di atas, ada hal yang lebih penting lagi dari buku ini, yaitu keprihatinan sang penulis melihat ketidakseimbangan informasi dan opini seputar Agresi Israel atas Gaza. Tidak sedikit orang yang termakan oleh media pro Israel dan Imperialisme AS sehingga beranggapan bahwa serangan Israel atas Gaza yang menelan korban wafat 1500 orang lebih itu merupakan reaksi dari serangan roket Hamas terhadap Israel. Padahal, menurut penulis buku ini, serangan roket-roket sederhana itu merupakan reaksi dari blokade Israel atas darat, udara dan laut Gaza selama lebih dari 2 tahun.

Buku ini terdiri dari lima bagian. Pertama, mengulas legalitas Opsi perlawanan terhadap pendudukan dan penjajahan. Kedua, menggelar dua organisasi Palestina yang memilih perjuangan bersenjata. Ketiga, memaparkan proses demokrasi dan kedudukan politik Hamas di mata publik Palestina. Keempat, mengupas agresi Israel atas Gaza. Kelima, membahas peta politik Timur Tengah antara kubu “moderat”; Mesir—Saudi—Jordan—Fatah, dan kubu “perlawanan”; Iran—Suriah—Hizbullah—Hamas dan Jihad Islami.

Melalui buku ini terungkap bahwa setelah perang 2006, Israel benar-benar gatal untuk menjajal Hizbullah kembali, tetapi tidak memiliki dalih militer atas milisi Syiah itu. Pada pertengahan 2008, Israel berusaha keras memprovokasi pemerintah Presiden George W. Bush untuk menyerang dengan dalih program nuklir Iran yang dicurigai bertujuan militer; sebuah serangan yang nantinya diharapkan akan memprovokasi Hizbullah juga. Namun kali ini, Washington masih sedikit waras.

Tekanan krisis keuangan dan jatuhnya popularitas Bush di mata rakyat AS setidaknya menjadi faktor keengganan AS untuk menuruti keinginan Israel. Tinggallah Israel gigit jari. Kredibilitas Israel untuk melakukan teror turun satu tingkat lagi. Bagi Israel, tampaknya inilah saat yang tepat untuk menemukan sebuah target yang lemah sebagai sasaran penghancuran. Dan Gaza adalah “lokasi latihan menembak” favorit Israel, meskipun di sana ada pejuang-pejuang Palestina yang pada Juni 2008 memaksa Israel untuk menyepakati gencatan senjata.

Sejak pertengahan 2007, jalur Gaza, sebuah wilayah yang tidak mencapai setengah luas Jakarta dan padat dihuni oleh lebih dari 1,5 juta populasi, diblokade dari darat, laut, dan udara. Penduduknya dipaksa bergantung hidup dari bantuan kemanusiaan yang aksesnya juga dibatasi. Hidup tanpa pilihan di bawah blokade yang ketat seperti itu mengharuskan mereka bertindak, dan perlawanan adalah satu-satunya pilihan. Mereka menggali terowongan-terowongan sempit melintasi perbatasan demi meneriakkan perlawanan terhadap ketidakadilan yang ditimpakkan kepada mereka.

Walhasil, membaca buku ini kita menjadi maklum mengapa penduduk Palestina melakukan perlawanan. Selain hal di atas, perlawanan mereka sebenarnya dilegitimasi Resolusi PBB no. 37/43 yang berbunyi: “Menegaskan lagi legitimasi perjuangan bangsa-bangsa bagi kemerdekaan, integritas teritorial, kesatuan nasional, dan kebebasan dari penjajahan dan dominasi asing dengan semua cara yang tersedia, termasuk perjuangan bersenjata” (hlm. 16). ***

M.IQBAL DAWAMI
Staf Pengajar STIS Magelang