Minggu, Januari 31, 2010

stri Kesembilan Belas


Judul: The 19th Wife: Istri Ke-19
Penulis: David Ebershoff
Penerjemah: Ibnu Setiawan
Penerbit: Bentang, Yogyakarta
Cetakan: I, November 2009
Tebal: 590 hlm.
----------------

Suatu ketika David Ebershoff, seorang penulis dan pengajar di Columbia University, berbicara dengan seorang profesor di bidang sejarah perempuan abad ke-19. Mereka berdua melakukan pembicaraan yang sangat panjang, dan profesor itu memberitahu semua cerita yang menakjubkan mengenai kaum perempuan Amerika pada abad ke-19. Kemudian dia menyebutkan Ann Eliza Young, yang saat itu terkenal sebagai istri ke-19.
Istri ke-19? Sungguh sebuah angka yang aneh di depan kata istri. Selanjutnya Ebershoff ingin mendalami lagi siapa yang dimaksud dengan istri ke-19 itu? Kemudian dia mulai berandai-andai, bagaimana rasanya menjadi istri ke-19? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini di otaknya, dia kemudian menulis novel dengan judul The 19th Wife.
Lembut dan puitis, enak dibaca dan tidak terlupakan. Itulah kesan saya ketika selesai membaca novel The 19th Wife karya David Ebershoff. Sang penulis menggabungkan fiksi sejarah epik dengan misteri pembunuhan modern untuk menciptakan sebuah novel yang brilian dari segi ketegangan cerita.
Saat itu tahun 1875, dan Ann Eliza Young baru saja berpisah dari suaminya yang penuh kekuatan, Brigham Young, kepala pendeta dan pemimpin Gereja Mormon. Diusir dan dibuang dari masyarakat, Ann Eliza memulai usaha perjuangan suci untuk mengakhiri poligami di Amerika Serikat. Sebuah cerita penuh makna dari sejarah keluarga pelaku poligami disampaikan, termasuk bagaimana seorang perempuan muda menjadi istri yang kesekian tersebut.
Segera setelah cerita Ann Eliza dimulai, narasi kedua yang indah sekali dibuka – sebuah cerita mengenai pembunuhan yang melibatkan keluarga pelaku poligami yang tinggal di Utah pada masa kini. Jordan Scott, seorang lelaki muda yang dibuang dari sekte fundamentalisnya beberapa tahun yang lalu, harus memasuki kembali dunia yang bisa membawanya ke dalam sekte tersebut untuk menyingkap kebenaran di balik meninggalnya ayahnya.
Dan sebagai narasi Ann Eliza yang terjalin dengan pencarian Jordan, para pembaca ditarik lebih dalam memasuki misteri cinta dan iman.
Novel ini membawa kita melewati hidup Eliza, dimulai sebelum dia lahir saat kedua orang tuanya mulai memeluk kepercayaan Mormon, berjumpa di gereja hingga akhirnya menikah. Ann Eliza adalah seorang perempuan berpikiran kuat yang menekuni kepercayaannya dengan serius. Bagaimanapun juga, dia menentang poligami, sebuah institusi yang didukung oleh Pendeta Joseph Smith, pendiri Gereja Yesus Kristus Latter-Day Saints (LDS), pada tahun-tahun terakhirnya.
Melalui pengalaman kedua orang tuanya dan pengalamannya sendiri, dia mengetahui kerusakan yang bisa disebabkan oleh poligami. Selanjutnya dia akan mengambil sikap menentang praktik perkawinan dengan banyak pasangan, meninggalkan hampir segala sesuatu yang dulunya dia ketahui dan dia pegang teguh, termasuk imannya.
Hubungan antara praktik dan doktrin mengarahkan kepada perpecahan di tubuh gereja. Beberapa kelompok kecil yang mendukung dan percaya bahwa praktik perkawinan dengan banyak pasangan diwahyukan secara mutlak dari Tuhan, memisahkan diri dari Gereja LDS dan membentuk kelompok sendiri. Poligami masih ada saat ini.
Hal inilah yang membawa kepada cerita Jordan Scott. Dia adalah seorang anak hilang, dibuang oleh ibunya di tepi jalan ketika dia masih berusia 14 tahun atas perintah kepala pendeta. Jordan tumbuh dalam kelompok yang terasing di Utah. Ibunya adalah istri kesembilan belas dari seorang laki-laki terhormat dalam kelompok Mesadale. Setelah dewasa dan tinggal di California, Jordan merasa pasti bahwa dia tidak akan pernah melihat ibunya lagi.
Bagaimanapun juga, ketika kabar sampai kepada Jordan bahwa ibunya ditahan karena tuduhan telah membunuh ayahnya, Jordan memutuskan untuk kembali ke tempat yang sangat dia benci. Dia mengepak barang-barangnya, melompat ke dalam mobil, bergabung dengan rekannya yang sangat dipercaya, Elecktra, dan menuju Utah. Dia tidak yakin apa yang akan dia lakukan, namun setelah bertemu dengan ibunya dan berbicara dengan pengacaranya, dia memutuskan untuk menyelidiki kasus pembunuhan itu sendiri. Untuk melakukan ini, Jordan harus menghadapi masa lalunya.
Kedua cerita mengalir bersamaan melalui isi novel, menimbulkan hubungan yang muncul di sana-sini. Pengarang membawakan kedua cerita bersamaan dengan cara yang kreatif dan tidak bisa diterka.
Cerita yang dituturkan Ann Eliza membuat pembaca terpesona, terutama ketika dia menempati posisi yang penting dalam cerita dirinya. Dalam novel, dia tampil sebagai perempuan kuat yang tentu saja tetap mempunyai kelemahan, namun dia juga mengetahui pemikirannya sendiri. Saya mengagumi semangatnya dalam membela apa yang dia yakini. Saya bahkan tidak bisa membayangkan akan seperti apa jadinya dia karena meninggalkan kehidupan dan keimanan yang membentuk dunianya – satu-satunya hal yang pernah dia ketahui.
Ada banyak sekali materi dalam novel ini, melebihi apa yang bisa saya katakan. Saat poligami barangkali menjadi materi yang terlalu banyak dibahas dalam novel, cerita-cerita pribadi di dalamnya lah yang benar-benar menjadikannya sebuah novel. Saya sungguh-sungguh merekomendasikan novel The 19th Wife karya David Ebershoff ini.
Novel The 19th Wife ini tidak memberikan kesimpulan akhir mengenai poligami, sebaliknya justru memunculkan isu dari berbagai sudut pandang dan membiarkan pembaca membentuk idenya sendiri.
Novel ini secara tidak langsung mendedah sejarah poligami di Amerika Serikat, terutama poligami yang dijalankan oleh pengikut Gereja Mormon. Namun sejarah itu tidak berakhir pada tahun 1890, ketika Gereja Mormon mengubah sikapnya terhadap poligami. Sejak saat itu praktik poligami bagi warga Amerika merupakan tindakan sekunder. Para pelaku poligami saat ini tentu saja bukan penganut paham Mormon. Dan perlu diketahui juga, aliran Mormon saat ini tidak melakukan poligami.
Novel ini bergerak maju-mundur di antara sekian abad. Ini mungkin merupakan trik penulis agar bisa bercerita bolak-balik. Begitu sebuah momentum dibangun di atas salah satu sisi cerita, pembaca langsung dihadapkan pada sisi yang lain ketika membalik halaman berikutnya. Waktu demi waktu juga dibangun di atas poin yang sangat kuat sekadar untuk menerima perubahan narasi. Namun, kita mendapatkan kedua sisi cerita tersebut sama-sama menarik.[]

M. Iqbal Dawami,
Penikmat sastra, tinggal di Yogyakarta



Minggu, Januari 17, 2010

Rahasia Sukses Investor Dunia


Dimuat di Seputar Indonesia, 17 Januari 2010

Judul: The Secrets of Investment Legends
Penulis: Barrie Dunstan
Penerjemah: Epic Mustika Putro
Penerbit: Daras Books
Cetakan: I, Desember 2009
Tebal: 344 hlm. (termasuk indeks)
-------------------------------

Berinvestasi ibarat seni atau ilmu pengetahuan. Investasinya kadang merefleksikan barang dan jasa yang paling dasar,mulai dari produk-produk berorientasi konsumen.

Buku Barrie Dunstan ini memang mumpuni dalam hal dunia investasi. Kita diajak berkenalan dengan pelbagai investor dunia. Sebagai seorang wartawan profesional, Dunstan menulis secara teratur untuk Australian Financial Review tentang investasi dan pengelola investasi. Ia terlibat dalam penelitian tentang para investor paling menarik di dunia bertahun-tahun.

Ia membangun reputasi internasional sebagai jurnalis terkemuka di negaranya,Australia. Dunstan mempelajari ide-ide terbaik para investor dunia dan bagaimana berinvestasi dengan sukses ala mereka, kita mendapatkan manfaat serta memiliki pedoman yang bijak dan berwawasan darinya. Adapun kaum investor yang digali oleh Dunstan adalah: Peter Bernstein,Barton Biggs,John C Bogle, Anthony Bolton, Sir Ronald Brierley,Gary Brinson,Warren Buffet, Abby Joseph Cohen, Ray Dalio, Marc Faber, David Fisher, Jeremy Grantham, Bill Gross, Martin Leibowitz,dan Lewis Sanders.

Orang-orang di atas yang dipilih Dunstan tentu bukan tanpa alasan. Ia memilih mereka didasarkan pada pelbagai pencapaian. Orangorang seperti Warren Buffet dan Charlie Munger, plus Anthony Bolton dari Fidelity International dan David Fisher dari Capital Group International,memiliki rekor yang begitu dahsyat karena secara konsisten mendapatkan keuntungan investasi di atas rata-rata.

Lainnya menggunakan ide mereka dan menerapkannya untuk membangun atau membantu membentuk lembaga-lembaga investasi besar. Bill Gross di PIMCO, Gary Brinson di Brinson Partners,dan Jack Bogle di Vanguard adalah contoh-contoh orang yang terkenal.

Lewat karyanya, terlihat Dunstan berusaha mencari tahu apa yang membentuk mereka selama hidup dan pendidikan mereka,apa yang membawa mereka ke dalam industri ini,secuil filsafat investasi mereka, orang yang telah memengaruhi selama karier mereka,dan siapa di antara rekan-rekan mereka yang mereka kagumi.

Sebagian besar legenda investor dalam buku ini mengungkap sesuatu tentang kualitas yang diperlukan untuk berinvestasi dengan sukses serta membangun bisnis dan portofolio investasi yang sukses.Mereka memiliki ide yang amat kuat tentang bagaimana menangani investasi. Warren Buffet, misalnya hampir memiliki kategorinya sendiri.

Ia telah menjadi narasumber di ratusan buku dan merupakan pengelola investasi paling terkenal dan menonjol di dunia, seperti ditunjukkan oleh status multimiliardernya. Ia memiliki ingatan ensiklopedis untuk keputusan investasi. Ketika Buffet pada usia 77 tahun ditanya apa yang akan dikerjakan 10 tahun mendatang,“Saya akan melakukan persis dengan apa yang saya lakukan sekarang karena saya sekarang melakukan persis apa yang saya sukai”.

Landasan strategi Buffet paling dasar adalah berinvestasi di perusahaan yang diyakini akan menyediakan nilai investasi jangka panjang. Prinsip investasinya adalah “Jauh lebih baik membeli perusahaan yang menakjubkan di harga yang wajar daripada membeli perusahaan yang wajar di harga yang menakjubkan.” Investor lainnya,Gary Brinson, mengungkapkan sedikit contoh tentang penilaian ekstrem dalam kehidupan investasinya.

Charlie Munger percaya investor harus mengikuti aturan petaruh sukses di pacuan kuda yang menunggu hingga mereka bisa melihat taruhan yang baik.Bahkan para penentang yang nyata, seperti Marc Faber menekankan agar anda perlu paham kekuatan pasar dan ekonomi sebelum melawan arus utama. Selanjutnya Ray Dalio memperjelas bahwa penting untuk memastikan anda tahu bagaimana serta kapan bertaruh.

Di luar semua pengelola aktif yang berusaha menemukan saham yang tepat di antara ribuan saham, Jack Bogle berpendapat bahwa lebih baik membeli seluruh jerami dalam dana indeks daripada menghabiskan waktu dan uang mencaricari jarum di tumpukan jerami itu. Meskipun ada banyak glamor dalam pembicaraan para pengelola aktif, untuk investor rata-rata, pendekatan Bogle adalah titik awal yang baik.

Seperti,konsentrasikan upaya anda padaapayangbisaandakendalikan, terutama biaya dan pajak. Para legenda ini telah memainkan peran besar dalam membentuk bisnis manajemen investasi, baik dalam teori maupun praktik. Ada yang menjadi pemain pasar, menyesuaikan dan mempelajari keahlian baru selama bertahun- tahun.Lainnya—seperti Gary Brinson dan Marty Leibowitz— memperluas batas pemikiran investasi.

Bill Gross adalah salah seorang yang pertama kali mengenali penerapan teori menghitung alfa dan mengalihkannya pada kelaskelas aset. Demikian pula Ray Dalio mengenal sejak dini bagaimana perbedaan sumber keuntungan investasi alfa dan beta bisa digunakan dalam investasi praktis— dan menemukan istilah sendiri untuk hal ini: teori portofolio pascamodern.

Pesan para legenda ini adalah anda seharusnya mengambil keputusan investasi yang besar dan signifikan hanya bila anda bisa menyadari bahwa pasar atau saham itu berada di titik ekstremnya— dan titik ekstrem ini tidak sangat sering terjadi. Konsekuensinya sederhana, jadilah investor jangka panjang,bukan hanya spekulan jangka pendek. Memang pelajaran yang agak membosankan.

Namun, itu terus-menerus diulang-ulang dari wawancara ke wawancara.Demikian kesimpulan Dunstan. Buku ini dapat memandu pembaca untuk seolah belajar langsung dan menyelami pikiran para investor sukses tersebut dan mengetahui apa saja yang dibutuhkan agar bisa super-sukses di dunia finansial.

Isi buku ini disarikan dari praktik dan pengalaman para legenda itu selama puluhan tahun dan boleh jadi tidak bisa didapatkan dalam sekolah-sekolah bisnis. Pembaca dapat mengambil manfaatnya; bagaimana berinvestasi, memilih saham,dan menghasilkan keuntungan yang sinambung dari pasar finansial.(*)

Senin, Januari 11, 2010

Perjalanan Spiritual Seekor Lebah




Judul: To Bee or Not to Bee; Lebah yang Bosan Mencari Madu
Penulis: John Penberthy
Penerjemah: Mila Hidajat
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2009
Tebal: 154 hlm. 
-------------------

JIKA kisah ini benar-benar terjadi alias bukan fabel, betapa kita akan dibuat malu oleh seekor lebah yang satu ini. Lebah memang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dengungan, sengatan dan madunya begitu familiar dalam kehidupan kita. Namun di balik semua keunikannya, kita akan terkagum-kagum dengan pengalaman seekor lebah yang menjadi aktor utama dalam karya John Penberthy ini.

Nama lebah itu Buzz Bee. Dia merasa tersisih dari masyarakat koloninya karena kegelisahannya menanggapi pertanyaan-pertanyaan filosofi yang tiba-tiba muncul dalam dirinya: ‘Siapa sih aku sebenarnya? Mengapa aku berada di sini? Dari mana asalnya? Mengapa segala sesuatunya ada?’ Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuatnya sangat berbeda dari tingkah laku seekor lebah pekerja seperti dirinya. Dan, Buzz sering kali mendapati pikirannya berkelana tanpa henti.

Buzz merasa jengah dan muak dengan pemandangan yang setiap hari ia lihat dalam masyarakat koloninya. Lebah-lebah pekerja berdengung menjelajahi padang rumput untuk mencari bunga-bunga yang tepat, merunduk ke dalam bunga-bunga untuk mengambil madu dan serbuk sarinya, lalu kembali ke sarang sarat dengan muatan nutrisi. Ada semacam perasaan mati rasa yang muncul dari diri Buzz. Ia kelelahan namun tidak bisa puas bekerja setiap saat seperti para lebah lainnya. Batinnya selalu mengatakan ada yang lebih penting dalam kehidupan ini selain membangun sarang dan merawat anak-anak.

Teka teki dalam diri Buzz bertambah pelik ketika ia mulai berpikir tentang hakikat Tuhan, surga dan neraka.

Bahkan tak habis pikir, Buzz dan masyarakat koloninya selalu dihadapkan dengan masalah mendasar; menyelamatkan dan mempertahankan sarang dari gangguan si Boris Bear, beruang pemangsa madu. Buzz sangat tidak berdaya melihat Boris dalam waktu sepuluh menit menghancurkan sesuatu yang dibangun dengan menghabiskan waktu seumur hidup.

Di tengah kekalutannya, Buzz dikejutkan oleh kehadiran Bert, seekor lebah tua dengan satu antena bengkok di kepalanya yang bakal menjadi teman sekaligus guru yang mengajarkannya banyak hal. Buzz dan Bert mempunyai kecenderungan yang sama. Sama-sama terobsesi menemukan hakikat hidup dan sulit mempercayai sesuatu yang tidak logis.

Pertemuan dengan Bert menjadi awal petualangan Buzz dalam kisahnya mencari Tuhan dan teka-teki yang menggantung dalam benaknya. Akal sehat Buzz seperti dijungkirbalikkan menanggapi pernyataan-pernyataan Bert yang bermakna ganda dan sangat membingungkan. Rasa frustrasinya semakin memuncak ketika Buzz menyadari bahwa ia tak akan bisa kembali ke kehidupan normal seperti yang dijalaninya dulu. Buzz sudah tahu terlalu banyak dan mau tidak mau ia diseret habis-habisan memasuki sebuah kenyataan yang pada akhirnya disadari menjadi pelajaran yang sangat berharga.

Sepeninggal Bert, Buzz mulai berpikir dan menemukan tekad baru untuk melakukan perubahan, mencari impiannya yang sudah lama terkubur di sela-sela kesibukannya. Buzz terbang melintasi puncak gunung bergerigi yang sangat ganas. Bagi lebah sepertinya, terbang setinggi dua ribu kaki dengan medan yang sangat berat dan penuh bebatuan terjal, hanya akan mencari mati dan menemui kesia-siaan saja.

Meski begitu, pelajaran demi pelajaran memang harus dilalui, bagaimanapun kerasnya. Buzz dihantam dan dihempaskan begitu saja oleh amukan badai yang datang secara membabi buta. Sebuah celah sempit di antara retakan di lereng gunung telah menyelamatkannya dan cukup membuatnya terselip aman sebelum ia menyadari banyak keajaiban menimpa dirinya. Buzz sangat tercengang mendapati sekumpulan kecil tiga batang bunga liar yang mungil dengan ajaib melekat pada batu granit yang dingin dan tak bernyawa. Dan anehnya, madu yang keluar dari bunga itu adalah madu dengan rasa khas yang sama dengan yang pernah ia rasakan ketika Bert meninggal.

Pengalaman Buzz sungguh mengusik relung kesadaran kita sebagai manusia yang sejatinya diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna. John Penberthy berhasil menggali pelajaran-pelajaran berharga yang dapat dapat kita petik melalui penjelmaan seekor lebah. Buku ini pun sangat cocok sebagai bahan renungan untuk menengok dan menilik kembali misi hidup kita yang sebenarnya. Di dalamnya terdapat banyak pelajaran untuk memperoleh cara pandang berbeda mengenai kesempurnaan, perjalanan hidup, kebahagiaan, bahkan kematian.

Buku yang dari covernya beserta ilustrasi di dalamnya nampak seperti buku anak-anak ini penuh dengan aforisma dan pesan moral. Di antara aforismanya, seperti, “Pikiran adalah pelayan yang hebat, tapi merupakan majikan yang payah,” dan “Kehidupan adalah sebuah perjalanan dari aku menjadi kita.”

John Penberthy adalah seorang relawan yang menangani proyek penambahan vitamin A (mencegah kebutaan) untuk yayasan Hellen Keller International di Indonesia. Usaha kerasnya untuk melihat Tuhan dalam segala hal menuntunnya menulis buku ini.

Penberthy mampu menerjemahkan kehidupan seorang manusia ke dalam kehidupan seekor lebah dan koloninya, membuat kita merasa lebah itu tidak ada bedanya dengan kita. Boleh dikata, Buzz adalah cerminan orang ‘biasa’ yang jenuh bekerja siang malam untuk mencari nafkah dan menjalani hidupnya, yang kemudian mencoba mencari jawaban dengan melakukan pemikiran dan perjalanan spiritual.

Sekeras apapun kita bekerja, selayaknya kita jalani sebagai proses untuk meraih kesempurnaan hidup. Namun, alangkah naifnya jika di tengah-tengah kesibukan yang nyaris merampas semua waktu dan tenaga, kita begitu mudah terlena tanpa menyadari arti hidup ini. Karena, tanpa kesadaran itu hidup kita akan terasa hampa dan tak bermakna. Mengetahui semua itu membawa kita berpikir dan menyadari bahwa dunia ini bukan akhir segalanya. Akan tetapi dunia juga merupakan alat untuk belajar, sebuah kendaraan untuk kesadaran yang lebih besar.[]


M. Iqbal Dawami, penikmat sastra, tinggal di Yogyakarta