Rabu, Desember 21, 2011

Menemukan Potensi dalam Diri


Judul: Winning with Passion
Penulis: Jimmy Gani & Ervin A. Priambodo
Penerbit: Esensi
Cetakan: 1, 2011
Tebal: xxvi + 284 hlm.

Setiap orang dilahirkan dengan potensi untuk menjadi pemenang. Sayangnya, kebanyakan dari kita terlalu sibuk memelihara keyakinan yang sebaliknya, bahwa kita tidak layak menang. Alhasil, kita pun menjadi pecundang, menggenapi keyakinan yang kita pegang. Jimmy Gani dan Ervin A. Priambodo mencoba mematahkan mitos yang Anda percayai dan membantu Anda meyakini potensi pemenang dalam diri Anda. Melalui enam cetak biru praktis dan teruji, kepercayaan diri Anda dipulihkan dan semangat Anda digelorakan kembali untuk mengenali, menggali, serta memaksimalkan potensi pemenang di dalam diri Anda.


Membaca buku ini akan menyadarkan Anda bahwa kemenangan sudah ada di depan mata jika Anda memiliki passion. Buku ini dapat menjadi solusi bagi mereka yang pernah gagal dan ingin bangkit dari keterpurukannya. Tulisan-tulisan di dalamnya memacu kita untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan. Mengubah mindset, mengenali kekuatam diri, selalu optimistis, lalu terus berbaik sangka kepada Tuhan, diibaratkan sebuah jalan tol yang mempercepat mencapai kemenangan. Buku ini bermanfaat bagi generasi muda penerus bangsa dan siapa pun yang membacanya, agar Indonesia mampu menyetarakan potensi dan realisasinya sehingga setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Seseorang yang percaya bahwa harapan sudah tidak ada, otomatis akan kehilangan gairah. Tentu hal ini memengaruhi proses pencapaian tujuan yang pada akhirnya memengaruhi hasil akhir yang dicapai. Jadi gairah seseorang bergantung pada state of mind-nya. Semakin positif state of mind seseorang, semakin bergairah orang tersebut dan semakin besar peluangnya untuk mencapai sasaran maupun impian.

Winning with Passion adalah sebuah metode mengelola sumber daya dengan penuh gairah. Kunci dari kemampuan seseorang untuk bisa melakukan manajemen dengan gairah adalah berfokus pada pencapaian impian yang ia tetapkan dengan mindset yang senantiasa positif. Winning with Passion dapat dirangkum dengan penerapan konsep: winning mindset: berprasangka baik kepada Tuhan bahwa setiap usaha dan doa akan ia kabulkan dengan memberikan yang terbaik. Selain itu, kita harus memiliki mindset yang positif ketika memandang berbagai hal dan permasalahan yang dihadapi.

Winning behavior: membangun sebuah perilaku yang positif hingga membentuk dan menjalankan perilaku layaknya seorang juara: jujur, unggul, amanah, risk taker, rendah hati, dan adil. Winning attitude in change: mampu melihat, mengamati dan terlibat aktif dalam suatu perubahan dari sudut pandang passion seorang juara. Winning mentality: membangun mental dan passion layaknya seorang juara, berpendirian teguh dalam kebenaran dan mampu menyalakan api kehidupan, mengenal potensi diri, serta berkarya menjadi mulia.

Winning way: usaha untuk mencapai harapan dengan menerapkan langkah dan metode sistematis yakni dengan melakukan Niat, Doa, Ikhtiar, Pasrah, Syukur, Ikhlas. Winning system: mencoba untuk menetapkan impian dan sasaran yang SMART (Specific, Measureable, Agreeable, Realistic, Traceable) sejelas-jelasnya hingga dapat diwujudkan.[]

M. Iqbal Dawami, pecinta buku, tinggal di Yogyakarta

Jumat, Desember 02, 2011

Kepemimpinan Dahlan Iskan di PLN

Judul: Dua Tangis dan Ribuan Tawa
Penulis: Dahlan Iskan
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan: I, November 2011
Tebal: xiii + 349 hlm.
Harga: Rp. 64.800,-

Buku berjudul Dua Tangis Ribuan Tawa ini merupakan kumpulan CEO noted yang dibuat oleh Dahlan Iskan—mantan direktur PLN yang sekarang menjabat Menteri BUMN—selama dia memimpin PLN. Bahasanya yang sederhana, jenaka, namun berbobot, Dahlan membahas pengalaman dan usaha yang dilakukan segenap jajaran karyawan dalam melakukan reformasi di PLN, termasuk rintangan dan keberhasilannya.
 

Dahlan Iskan bukan ahli listrik tetapi wartawan dan entrepreneur media yang menjadi CEO PLN, dengan memakai logika dan common sense dalam menyelesaikan persoalan. Dengan gayanya yang mudah dimengerti ia menulis CEO Noted bagi seluruh karyawannya untuk memberi motivasi. Demikian yang dikatakan M. Jusuf Kalla, mantan wakil Presiden RI dan juga seorang pengusaha. Namun lebih dari itu, CEO Noted tersebut juga menjadi inspirasi perubahan bagi seluruh karyawan PLN untuk menjadi lebih baik memenuhi kebutuhan energi di daerah dan seluruh Indonesia. 

Di dalam buku ini kuyup dengan kisah-kisah suka-duka Dahlan Iskan dan para pegawai PLN (yang dikisahkan Dahlan) yang memerlihatkan betapa keputusan-keputusan yang mereka ambil membawa perubahan yang signifikan; pesimis menjadi optimis, lamban menjadi cepat, cacian menjadi pujian, dan sebagainya. Maka secara tidak langsung, ini bisa juga dikatakan kiat-kiat CEO PLN dalam meningkatkan “perusahaan”-nya. Dan melalui CEO Noted inilah pola komunikasi antara pimpinan dan karyawan tetap terjaga secara baik, terbuka, dan blak-blakan.
 

Di CEO Noted ini Dahlan memilih bentuk komunikasi yang tidak langsung. Bentuknya tidak seperti sambutan, tidak seperti imbauan dan bukan pula berisi instruksi. Dia juga menghindari khotbah di dalamnya. 
 

Masalah yang paling sederhananya misalnya mengenai pengadaan baju seragam PLN. Banyak di antara karyawan PLN yang hampir 50.000 orang itu mempersoalkan pengadaan baju seragam. Ada yang bilang telah terjadi KKN di situ. Juga permainan komisi. Ada yang menghendaki agar baju seragam diatur per provinsi. Jangan dipusatkan. Bahkan ada yang minta agar seragam diberikan dalam bentuk uang. Masing-masing karyawan bisa membuat sendiri. Permintaan manakah yang Dahlan penuhi?
 


Jika dipenuhi salah satunya akan menimbulkan ketidakpuasan yang lain, dan akan menjadi pembicaraan di kalangan wartawan yang tak henti-hentinya, mengalahkan pembicaraan untuk mengatasi krisis listrik. Maka Dahlan memutuskan: baju seragam dihapus!
 

Dahlan mengatakan bahwa tulisan menjadi sarana paling efektif dan efisien untuk menjangkau karyawan PLN yang tersebar di seluruh Indonesia. Komunikasi lewat tulisan sangat penting agar pikiran-pikiran pemimpin tertinggi di perusahaan bisa menjangkau seluruh karyawan, bahkan hingga level terbawah.
 

Terkait judul buku ini, “Dua Tangis dan Ribuan Tawa” diambil dari salah satu tulisannya ketika enam bulan menjabat Dirut PLN. Selama enam bulan itu, Dahlan menangis dua kali, tetapi bisa tertawa bahagia ribuan kali. Mengapa Dahlan menangis hingga dua kali? Silakan pembaca membacanya langsung.
 

Dan selama di PLN, Dahlan menangis tiga kali. Yang ketiga yaitu saat dirinya harus meninggalkan PLN karena ditunjuk menjadi menteri negara (Menneg) BUMN. []
 

M. Iqbal Dawami, esais. 

Senin, November 14, 2011

Hamka Plagiat?

Judul: Aku Mendakwa Hamka Plagiat; Skandal Sastra Indonesia 1962-1964
Penulis: Muhidin M Dahlan
Penerbit: Scripta Manent
Cetakan: I, September 2011
Tebal: 238 hlm.

Buku ini diakui oleh penulisnya, Muhidin M Dahlan, sebagai pengantar untuk niat Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan “Lentera” membukukan polemik berkepanjangan perihal plagiasi yang dilakukan Hamka, sastrawan cum ulama. Bahkan bagi saya yang tidak menyaksikan polemik itu lantaran hidup pada masa kini, bukan hanya pengantar, tapi juga penyambung lidah Pram untuk mengangkat isu skandal tersebut ke masa kini.
 

Semua bermula dari esei Pram yang dimuat di Bintang Timur pada Jumat 10 Oktober 1962 berjudul “Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun”. Dari situ terus bermunculan tulisan-tulisan lainnya yang ditulis para penulis lain, namun isunya cuma satu bahwa roman Tenggelamnya Kapal van Der Wijck (TKvDW) adalah plagiasi dari roman yang ditulis pengarang Prancis Aplhonse Karr, Sous less Tilleuls. Ditengarai para pendakwa, Hamka mengambilnya dari hasil saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) berjudul Al-Majdulin (Magdalena).
 

Abdullah Sp, di antara salah satu penulis yang turut mengkritisi novel TKvDW. Ia mengirimkan satu resensi-esei dengan judul “Sekali lagi membaca buah tangan Hamka: Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia?” Dalam esei pertama itu, mula-mula Abdullah Sp menceritakan pengalamannya sewaktu jadi santri di “santri asrama”, Majalengka, Jawa Barat, dan menemukan roman karya Hamka.
 

“Karya Hamka itu (cetakan pertama, th 1938), entah, sudah tujuh kali kubaca, kutelentang-telungkupkan, kutelentang-bukakan lagi, kubaca lagi, tak jemu2nya laksana surat Al-Fatihah. Begitu asik aku dipukau HAMKA. Ia telah mengetuk gerbang hatiku, pernah pula pada suatu hari—sesudah membacanya—menangis sendirian di sudut sunyi…!” (hlm. 30-31)
 

Namun kekagumannya kepada Hamka itu berubah menjadi rasa muak setelah Abdullah tahu dalam salah satu film yang diadaptasi dari karya Al-Manfaluthi yang ditontonnya suatu hari “mirip” dengan karya Hamka. Film itu berjudul: Dumu el- Hub (Airmata Cinta) (hlm. 31). Dan dia menyimpulkan bahwa Hamka melakukan plagiasi secara mentah-mentah.
 

Sepekan kemudian Abdullah Sp mengirim tulisan lagi, dimana kali ini dia membandingkan di antara kedua karya tersebut (karya Hamka dan karya Al-Manfaluthi). Klimaks tulisannya adalah pemuatan yang ketiga, yakni dua pekan kemudian di Bintang Timur. Judul tulisannya langsung menohok, “Aku Mendakwa Hamka Plagiat!” Ia menguraikan dan membandingkan bagaimana novel Hamka TKvDW dijiplak dari karya Manfaluthi berjudul Magdalena.
 

Dari sinilah kemudian para pegiat sastra terbelalak. Reaksi bermunculan, baik yang pro maupun kontra. Dari kubu yang kontra dengan mazhab Pram yakni yang diimami HB Jassin tak jelas sikapnya, apakah karya Hamka plagiat, jiplakan, saduran, atau terjemahan? Jassin hanya mengatakan bahwa novel tersebut adalah pengalaman khas Hamka. Abdullah Sp langsung menjawab bahwa “khas Hamka” itu ditimba dari pengalaman Karr/Manfaluthi.
 

Lantas, bagaimana sikap Hamka? Hamka tidak melayani tuduhan tersebut. Hamka hanya menjawab bahwa itu adalah tugas “Panitia Kesusasteraan” untuk menyelidikinya.
 

Pramoedya sebenarnya waktu itu sudah menyiapkan buku berjudul Hamka Plagiator. Tapi, sampai saat ini tidak ada yang tahu kemana rimbanya. Penulis hanya mendapatkan sepotong guntingan koran di Bintang Timur/”Lentera” yang menandaskan bahwa tentara di bawah korps Peperda (Penguasa Perang Daerah) Jakarta Raya melarang diteruskannya usaha “Lentera” membersihkan “daki2 sastra Indonesia”.
 

Hingga saat ini persoalan “Hamka Plagiat” anti-klimaks. Buku ini memang tidak mengkritisi hal-ihwal soal itu, tapi hanya mengajak pembaca untuk membuka kembali suatu peristiwa penting dalam sejarah sastra Indonesia, sebuah polemik yang berkepanjangan. Jadi, paparannya deskriptif semata. Namun, buku ini sangat penting dibaca dan menjadi khazanah berharga bagi generasi muda, terlebih bagi yang concern dengan sejarah Kesusastraan Indonesia. Layak dibaca.[]

M. Iqbal Dawami, penikmat sastra.  

Agama Itu Seperti Seni

Judul: Masa Depan Tuhan
Penulis: Karen Armstrong
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, 2011
Tebal: 608 hlm.

Inilah buku yang membahas “sejarah” Tuhan dari masa ke masa. Saya akui pengklasifikasiannya luar biasa, runut dan sistematis, mulai dari “Tuhan yang tidak diketahui”—dari 30.000 SM hingga 1500 M—hingga “Tuhan Modern”—dari 1500 M hingga sekarang.
 

Agama adalah sebuah disiplin praktis yang mengajari kita menemukan kemampuan baru pikiran dan hati. Inilah yang menjadi salah satu tema buku ini. Menurut Karen Armstrong tidak ada gunanya menimbang ajaran-ajaran agama secara otoritatif untuk menilai kebenaran atau kepalsuannya sebelum menjalani cara hidup religius. Anda akan menemukan kebenaran—atau ketiadaan kebenaran—di dalamnya hanya setelah Anda menerjemahkannya ke dalam ritual atau perbuatan etis. Tak berbeda dengan setiap keterampilan, agama memerlukan ketekunan, kerja keras, dan disiplin. Sebagian orang cakap dalam hal itu dibanding yang lain, sebagian lagi sangat tidak berbakat, dan yang lain sama sekali luput darinya.
 

Kaum Daois perdana memandang agama sebagai semacam “kecakapan” yang diperoleh melalui latihan terus-menerus. Zhuangzi salah satu tokoh terpenting dalam sejarah spiritual Cina, menjelaskan bahwa tidak ada gunanya berusaha untuk menganalisis agama secara logis.
 

Dia mengutip Bian si tukang kayu: “Ketika saya mengerjakan sebuah roda, jika saya menekan terlalu pelan, meskipun nyaman, saya tidak akan menghasilkan roda yang baik. Jika saya menekan terlalu keras, saya jadi lelah dan hasilnya tidak bagus! Jadi, jangan terlalu pelan, jangan terlalu keras. Saya memegangnya di tangan saya dan merasakannya dan merasakannya di dalam hati saya. Saya tidak dapat menyatakan ini dengan perkataan di mulut, saya hanya tahu. Si bungkuk yang menangkap tonggeret di hutan dengan tongkat berujung lengket tidak pernah meleset sekali pun. Dia telah menyempurnakan konsentrasinya sehingga dirinya larut di dalam pekerjaannya, dan tangannya seolah-olah bergerak dengan sendirinya. Dia tidak bisa menjelaskan bagaimana dia melakukan itu, tetapi hanya mengetahui bahwa dia telah memperoleh keahlian itu setelah berlatih berbulan-bulan. Keadaan kehilangan-diri ini, jelas Zhuangzi, adalah sebuah ekstasis yang memungkinkan Anda untuk “melangkah keluar” dari prisma ego dan mengalami yang Ilahi.
 

Patut disesalkan Dawkins, Harris, dan Hitchens mengekspresikan diri mereka dengan terlalu garang, sebab beberapa dari kritik mereka memang sah. Orang beragama memang telah melakukan berbagai kekejaman dan kejahatan, dan teologi fundamentalis yang diserang kaum ateis baru memang “tidak cakap”, meminjam istilah Buddha. Namun, mereka menolak, pada prinssipnya, untuk berdialog dengan para teolog yang lebih mewakili tradisi arus utama. Sebagai akibatnya, analisi mereka sayangnya menjadi dangkal karena didasarkan pada teologi yang begitu rapuh.
 

Amstrong dapat bersimpati pada kejengkelan kaum ateis baru karena selama bertahun-tahun dia sendiri pernah berkeinginan untuk tidak punya hubungan apa-apa dengan agama, dan beberapa buku pertamanya jelas-jelas cenderung ke arah Dawkins-esque. Tetapi, pengkajiannya tentang agama-agama dunia selama dua puluh tahun terakhir telah mendorongnya untuk merevisi pendapatnya yang terdahulu. Itu bukan hanya telah membukakan pikirannya pada berbagai aspek agama seperti yang dipraktikkan dalam tradisi-tradisi yang dipandang sebagai iman yang terbatas dan dogmatis dari masa kecilnya, tetapi penilaian yang saksama atas bukti itu telah membuat dia melihat Kekristenan secara berbeda. Salah satu hal yang dia pelajari adalah bahwa bertengkar tentang agama tidak ada manfaatnya dan tidak kondusif bagi pencerahan. Bukan hanya membuat pengalaman religius yang autentik menjadi mustahil, hal itu juga melanggar tradisi rasionalis Socratik.
 

Pada bagian pertama buku ini, Armstrong mencoba menunjukkan bagaimana orang-orang berpikir tentang Tuhan di dunia pramodern dalam cara yang, dia harap, memberi kejelasan tentang beberapa isu yang kini dirasa orang-orang bermasalah—kitab suci, inspirasi, penciptaan, mukjizat, wahyu, iman, kepercayaan, dan misteri—dan juga menunjukkan bagaimana agama menjadi kacau.
 

Pada bagian kedua, dia menelusuri kebangkitan “Tuhan modern”, yang menggulingkan begitu banyak persangkaan agama tradisional. Ini, tentu saja, tidak dapat menjadi uraian yang lengkap. Arsmtrong berfokus pada Kristen, sebab itu merupakan tradisi yang paling terkena dampak bangkitnya modernitas ilmiah dan juga dihantam pukulan keras dari serangan ateistik baru. Lebih jauh, di dalam tradisi Kristen, dia berkonsentrasi pada tema dan tradisi yang berbicara secara langsung tentang masalah-masalah religius kontemporer kita.
Kita telah terbiasa berpikir bahwa agama harus menyediakan informasi bagi kita. Apakah Tuhan ada? Bagaimana dunia terbentuk? Tetapi, ini adalah penyimpangan modern. Agama tidak pernah seharusnya menyediakan jawaban atas pertanyaan yang berada dalam jangkauan akal manusia. Itu adalah peran logos. 

Tugas agama, sangat mirip dengan seni, adalah membantu kita hidup secara kreatif, damai, dan bahkan gembira dengan kenyataan-kenyataan yang tidak mudah dijelaskan dan masalah-masalah yang tidak bisa kita pecahkan: kematian, penderitaan, kesedihan, keputusasaan, dan kemarahan pada ketidakadilan dan kekejaman kehidupan.
 

Rasionalitas ilmiah dapat memberi tahu kita mengapa kita menderita kanker, bahkan dapat menyembuhkan kita dari penyakit. Tetapi tidak dapat meredakan kengerian, kekecewaan, dan kesedihan yang datang bersama diagnosis itu, juga tidak dapat membantu kita untuk mati dengan baik. Itu tidak berada dalam wewenangnya. Akan tetapi, agama tidak akan bekerja secara otomatis; ia membutuhkan upaya besar dan tidak akan berhasil jika ia dangkal, palsu, memberhala, atau memperturutkan kehendak sendiri.
 

Agama adalah disiplin amaliah, dan wawasannya tidak berasal dari spekulasi abstrak, tetapi dari latihan spiritual dan gaya hidup yang berdedikasi. Tanpa amalan seperti itu, mustahil untuk memahami kebenaran ajarannya. Hal ini juga berlaku untuk filsafat rasionalisme. Orang-orang datang kepada Socrates bukan untuk belajar sesuatu—dia selalu menekankan bahwa dia tidak punya apa-apa untuk diajarkan kepada mereka—melainkan untuk mengalami perubahan pikiran.
 

Pemahaman agama tidak hanya menuntut upaya intelektual yang berdedikasi untuk melampaui “berhala-berhala pikiran”, tetapi juga gaya hidup penuh kasih yang memungkinkan kita keluar dari prisma kedirian. Logos yang agresif, yang berusaha untuk menguasai, mengontrol, dan membunuh oposisi, tidak dapat membawakan wawasan transenden ini. Pengalaman membukuktikan bahwa ini hanya mungkin jika orang menumbuhkan sikap reseptif, mendengarkan, tidak berbeda dengan cara kita mendekati seni, musik, atau puisi. Agama memerlukan kenosis, “kapabilitas negatif”, “kepasifan yang bijak”, dan hati yang “mengamati dan menerima”. []

M. Iqbal Dawami,
alumnus Tafsir-Hadis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

Selasa, November 01, 2011

Tafsir Sufi sebagai Kritik Sosial


Judul: Tafsir Al-Jailani
Penulis: Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Penerjemah: Aguk Irawan
Penerbit: Zaman
Cetakan: I, 2011
Tebal: 299 hlm.

Saya baru tahu kalau Syekh Abdul Qadir al-Jailani mempunyai kitab tafsir. Sebelumnya saya hanya tahu kitab-kitabnya mengenai dunia tasawuf, seperti al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, Al-Fath ar-Rabbani, Jala' al-Khawathir, Sirr al-Asrar, dan Asror Al Asror. Awal 2009 salah satu penerbit Turki menerbitkan Tafsir al-Jailani, yang diambil dari manuskrip yang ditemukan di Vatikan Italia, perpustakaan Qadiriyyah, dan India.  

            Tentu saja penerbitan (dan bahkan penemuan) tafsir tersebut saya sambut dengan bahagia, dan kebahagiaan saya berlipat saat penebit zaman menerbitkan edisi bahasa Indonesianya. Para pengkaji tafsir era klasik maupun modern sedikit sekali (untuk mengatakan tidak ada) membahas tafsir Abdul Qadir al-Jailani ini. Husain al-Dzahabi, penulis kitab al-Tafsir wa a-Mufassirun yang menjadi rujukan para pengkaji tafsir, tidak menyebutkan tafsir ini. Orientalis bernama Ignaz Goldziher, yang juga karyanya (sudah diterjemahkan oleh ke dalam bahasa Indonesia berjudul Mazhab Tafsir; Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Jogjakarta: eLSAQ Press, 2006) dianggap representatif perihal karya dan aliran tafsir luput dari tafsir ini. Ia tidak menyebutkannya. 

Di kalangan umat Islam Indonesia (khususnya NU) sudah tidak asing lagi dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani (ada juga yang menyebut “al-Jilani”). Beliau adalah seorang sufi besar asal Jailan, Iran. Namanya selalu disebut—dijadikan wasilah—saat kaum muslim mengadakan tahlilan. Beliau juga pendiri tarekat Qodiriyah. Dengan latar belakang seorang sufi, karya-karya al-Jailani pun sangat kental dengan nuansa kesufian. Termasuk karya tafsirnya ini.

            Dalam buku ini dia mencoba mencari makna Ta’awwudz, Basmalah, Tobat, dan Takwa. Sebagaimana menjadi ciri khas tafsir sufi, tafsir Al-Jailani ini menekankan dzauq (rasa) dan aspek esoteris (ruhani, batiniah).  Al-Jailani mampu menyibak “rahasia-rahasia” di balik ayat (literal) yang maknanya tak aus oleh dinamika perubahan zaman.
            Misalnya tentang “Ta’awwudz”, Al-Jailani mengatakan bahwa ibadah pada dasarnya perbuatan melawan godaan setan dan hawa nafsu. Perlawanan itu disebut jihad atau mujahadah. Dan inilah sebesar-besarnya jihad, bahkan dari jihad perang sekali pun. Mengapa bisa dikatakan begitu? Al-Jailani memberikan alasan bahwa jihad melawan hawa nafsu bersifat terus-menerus, memiliki tingkat bahaya yang jauh lebih besar. Sebab, jika nafsu tak diperangi, dikhawatirkan, ketika meninggal, seseorang akan berada dalam kondisi su’ul khatimah.
            Oleh karena itu, Tuhan memerintahkan manusia untuk memohon perlindungan dari godaan setan. Sedikitnya disebutkan oleh al-Jailani ada 3 ayat yang menunjukkan hal itu sesuai dengan konteksnya masing-masing, yakni surah an-Nahl [16]: 98, Ali Imran [3]: 36, dan al-A’raf [7]: 17. Rasulullah bersabda, “Barang siapa beristiadzah sekali maka Allah akan menjaganya sepanjang hari.” “Tutuplah pintu-pintu kemaksiatan dengan ta’awwudz dan bukalah pintu-pintu ketaatan dengan bismillah.”
Yang ditakuti dan diwaspadai setan adalah permohonan perlindungan seorang hamba kepada Allah dan pancaran cahaya makrifat orang-orang ‘arif (orang yang mengenal Allah dengan baik), ujar al-Jailani. Dan itu, apabila tidak termasuk orang yang ‘arif, mohonlah perlindungan sebagaimana isti’adzah orang-orang bertakwa (al-muttaqin), niscaya derajat terangkat ke tingkatan ‘arif (hlm.17). Dan hanya dengan itulah pancaran cahaya hati dapat mematahkan kekuatan setan, mengalahkan pasukannya, membinasakan para pendukungnya, serta mengikis habis segala rayuannya. Ia bahkan bisa jadi cahaya untuk memenjara setan sehingga tidak mampu lagi menggoda dirimu, saudaramu, dan pengikutmu. (hlm. 19)
Menurut a-Jailani seeorang agar mencapai kebebasan dari godaan setan ada beberapa hal yang harus diamalkan, yakni: selalu mengucap kalimat ikhlas (la ilaha illallah)dan zikir kepada Allah, memperbanyak bacaan bismillah, dan membuang hasrat dan keinginan meraih karunia dari para penggemar duniawi.   
Penafsiran makna ta’awwudz dengan aroma kesturi sufi ini sungguh relevan dalam kondisi zaman saat ini. Karena jika ditilik kepada situasi kondisi sosial al-Jailani hidup, nampaknya tidak jauh beda dengan saat ini, yakni krisis dalam pelbagai dimensi kehidupan, meski kehidupan sudah modern di zamannya pada saat itu. Dan untuk itulah barangkali al-Jailani membuat tafsirannya bercorak sufistik yang lebih mengedepankan hal-hal dasar dan esoteris.
Inilah karya al-Jailani dalam bidang tafsir yang boleh jadi sebagai kritik sosial atas zamannya. Dan saya kira buku ini menemukan relevansinya pada saat ini, di mana kekuasaan dan uang sebagai panglima. Oleh karena itu sangat layak dibaca dan dijadikan tafsir alternatif, di tengah serbuan tafsir yang mengedepankan sisi hukum “kapitalistik” yang tidak menyentuh ke sisi batiniah.
Wa ila hadroti Sulthonil Auliya’ Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani, lahu alfatihah.[]

M. Iqbal Dawami, pencinta buku.


Minggu, Oktober 30, 2011

Mendidik ala China

Judul: Battle Hymn of The Tiger Mother
Penulis: Amy Chua
Penerjemah: Maria Sundah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2011
Tebal: 237 hlm.

Masyarakat Amerika gempar saat buku ini terbit. Padahal isinya “hanya” kisah pribadi dan menceritakan perjalanan hidup penulisnya dalam mendidik kedua putrinya yang bernama Sophia dan Lulu. Hanya saja penulis buku ini tidak sembarang mendidik. Cara mendidik kedua anaknya terbilang ekstrem. Terlebih dilihat dari kacamata masyarakat Barat.
 

Penulis buku ini, Amy Chua, adalah seorang akademisi keturunan China yang menikah dengan keturunan Yahudi. Keduanya sepakat kalau anaknya akan dididik secara China. Amy mengatakan bahwa cara-cara seorang ibu Amerika dalam mendidik anak sangat jauh berbeda dengan cara-cara seorang ibu dari warga negara keturunan China. Seorang ibu keturunan China, seperti Amy, akan sangat memaksa agar anak-anaknya memperoleh nilai A, belajar piano dan biola dan menjadi nomor 1 di kelasnya untuk segala bidang.
 

Sang ibu dari keturunan China akan sangat cerewet, galak dan keras kepada anak-anaknya untuk mengejar target tersebut. Tidak ada kesempatan bagi sang anak dalam keluarga ini, untuk misalnya bermain game dan menonton Televisi. Filosofinya, seorang anak akan menjadi hebat kalau terus menerus tekun belajar.
 

Buku ini menginisiasi perdebatan dalam cara orangtua Amerika mendidik anak-anaknya, untuk menghadapi persaingan di masa mendatang. Banyak anak-anak di Amerika dibebaskan oleh orangtuanya untuk seharian bermain game, menonton televisi, tidak pernah belajar dan terkadang hidup dengan berpesta dan melakukan seks bebas.
 

Amy menceritakan bagaimana dirinya dulu dididik dengan sangat keras oleh orangtuanya. Berkat kesuksesannya saat ini tidak lepas dari campur tangan orangtuanya dalam mendidiknya. Nah, Amy ingin pula menerapkan pada kedua anaknya. Ia menerapkan aturan yang sangat ketat serta mengatur segala hal dalam kehidupan anak-anaknya. Cerita-cerita lain yang ia lakukan terhadap dua putrinya cukup menakutkan dan membuatnya mendapat julukan "tiger mom".
 

Amy menggambarkan bagaimana ia mengharuskan kedua putrinya belajar main piano berjam-jam lamanya. Juga keras dalam membentuk sikap dan kepribadian, seperti melarang pergi malam, lama menonton TV, dan banyak lagi hal yang biasa diizinkan oleh ibu Amerika. Anaknya harus mendapat nilai-nilai tertinggi dalam pelajaran apa saja dan selalu mengusahakan mencapai peringkat terbaik di sekolah.
 

Buku ini mengundang reaksi ramai yang menilai Amy Chua sebagai ibu tanpa cinta kasih kepada anaknya, bahkan menyebutnya monster. Tapi Amy menolak disebut monster yang tanpa kasih sayang kepada anak-anaknya. Ia cuma tidak mau menjadikan anak-anaknya orang-orang lemah yang berkembang menjadi pecundang dalam kehidupan yang penuh persaingan. Ia dulu malah mengalami pendidikan yang lebih keras dari ibu-bapaknya. Kini, Sophia, anak pertamanya menjadi pianis yang adi luhung dari usia 14 tahun, sedang Lulu, anak kedunya, pemain biola berbakat.
 

Buku ini meroket ke puncak buku terlaris di New York Times Bestsellers’ list, bahkan menduduki rangking nomor 2 terpopuler, versi koran tersebut, untuk kategori non-fiksi.
 

Buku ini menjawab rasa penasaran saya dengan prestasi China dalam segala bidang, terutama olahraga dan musik. Membaca buku ini saya menjadi tahu apa yang dilakukan orangtua China sampai-sampai berhasil menjadikan begitu banyak juara dalam cabang olahraga, matematika, dan musik.[]

M. Iqbal Dawami, pengamat pendidikan. 

Bukan Sekadar Panduan

Judul: Berguru Pada Pesohor; Panduan Wajib Menulis Resensi Buku
Penulis: Diana AV Sasa&Muhidin M Dahlan
Penerbit: 1#dbuku
Cetakan: I, April 2011
Tebal: 266 hlm.

Masih bingung dan tidak tahu bagaimana meresensi buku? Bacalah buku ini! Ingin tahu rekam jejak sejarah resensi di Indonesia? Bacalah buku ini. Ya, buku ini mengandung dua hal itu. Jadi, boleh dikata buku ini merupakan kiat meresensi buku plus-plus. Kita tidak hanya diberi tahu bagaimana cara meresensi buku, tetapi juga informasi pelbagai kisah dunia resensi tempo doeloe di Indonesia. Gabungan keduanya menjadikan unik dan istimewanya buku ini. Haqqul yaqin, suatu hal yang tidak bisa ditemukan dalam buku-buku sejenisnya.   
 

Buku yang ditulis oleh dua orang ini diawali dengan “iming-iming” apa manfaat dan keuntungan meresensi buku, dilihat dari sisi psikologi, jaringan, ekonomi, dan keilmuan. Meresensi memberi suntikan spiritualitas bagi penulisnya (psikologi), mengetahui bagaimana cara menulis buku (keilmuan), di samping mendapatkan kemasyhuran (jaringan), dan meraup rupiah (ekonomi).
 

Setelah itu, dijelaskan syarat sah dan rukun meresensi buku. Syarat sahnya cuma satu, yakni membaca. Ya, membaca buku yang hendak diresensi. Membaca hukumnya fardhu ‘ain. “Membaca bagi peresensi adalah pekerjaan mutlak. Bukan peresensi buku kalau tak membaca buku yang diresensinya.” (hlm. 23). Membaca tidak sembarang membaca. Membaca seorang peresensi itu membaca tingkat tinggi. Kedua penulis ini mengibaratkan mata baca seorang peresensi buku itu gabungan dari mata wisatawan dan mata seorang penyidik. Satu sisi memuji, sisi lain mengeritik. Tangan kanan memberikan madu, tangan kiri menyuguhkan racun.
 

Sedang rukun meresensi buku yakni membuat judul menggugah, menaklukkan paragraf pertama, mengolah tubuh resensi, dan mengunci paragraf terakhir. Ada beberapa jenis judul yang kerap muncul di media massa yang bisa kita tiru, di antaranya: sarkastis; “Aku Menuduh Hamka Plagiat!” (Abdullah SP, Bintang Timur, 7 September 1962), ironi; “Cina, Komunis yang Pro-Adam Smith” (Elba Damhuri, Republika, 23 November 2008), dan tindakan tokoh; “Menyelami Pikiran Kiki Syahnakri” (Moh. Samsul Arifin, Jawa Pos, 18 Januari 2009).
 

Ada juga yang membuat judul dari segi waktu; “Hikayat Orang Indonesia di Negeri Belanda” (Ahmad Musthofa Haroen, Ruang Baca Koran Tempo, 4 Desember 2008), penulis; “Mencederai Kundera” (Nirwan Dewanto, Tempo, 22 Januari 2001), pertanyaan; “Siapa di Balik Kematian Tan Malaka?” (Yunior Hafidh Hery, Suara Pembaruan Online, 15 April 2007), metafora; “Menulis itu Seperti Para Darwis yang Menari sampai Trance” (Muhidin M Dahlan, Kompas, 1 Juli 2001), dan lain-lain.
 

Tak jarang orang masih bingung dan kesulitan bagaimana membuat kalimat pertama yang kemudian bisa dikembangkan menjadi sebuah paragraf. Tidak hanya itu, bagaimana membuat paragraf pertama yang membuat orang “jatuh cinta” pada pandangan pertamanya. Ya, paragraf pertama menurut penulis buku ini ibarat halaman rumah. Halaman harus asri nan elok dan memikat; tidak hanya bersih tapi juga harus sesuai “fengshui”-nya, agar orang merasa nyaman saat hendak memasuki rumahnya.
 

Pembahasan ini menjadi penting, karena ternyata dibutuhkan keahlian dalam membuka paragraf pertama. Penulis buku ini mengumpulkan model-model paragraf pertama yang kerap dipakai oleh para peresensi di pelbagai media massa, yaitu model tema dan metode, pertanyaan, penulis buku, gaya penulisan, deskripsi, kisah yang paling menarik, fisik buku, kritik, kutipan, keunggulan buku, perbandingan, angka unik, dan puisi. 
Tidak ada alasan lagi bukan untuk merasa kesulitan membuka paragraf pertama?
Tentu saja ada hal yang lebih penting lagi yaitu membuat tubuh resensi. Pembuatannya haruslah fokus, mengarah pada satu sasaran. Tubuh resensi bisa difokuskan pada soal jenis buku (Saleh A. Djamhari, Tempo, 04 Maret 1989), metode penulisan (Muhidin M Dahlan, Jawa Pos, 21 September 2008), tema (Redaksi, Tempo, 21 November 1992), bagian vital (Gatot Widayanto, Ruang Baca Koran Tempo, 28 Desember 2010), atau juga kisah pribadi peresensi yang dikaitkan dengan buku yang diresensinya (Hasan Aspahani, Ruang Baca Koran Tempo, 25 Februari 2009). Dan masih banyak lagi. 
 

Setelah menyelesaikan tubuh resensi, kini tinggal mengunci paragraf terakhir. Paragraf ini berisikan tiga hal: pertama, kepada siapa buku tersebut ditujukan. Rincinya, buku tersebut pas untuk pembaca seperti apa, dilihat dari tema, isi, penyajian, atau bahkan nilai ekonomis. Kedua, kritikan. Hal ini bisa mengeritik pendekatan, terjemahan, desain, riset naskah, maupun tata bahasa. Ketiga, pujian, bisa memuji pendekatan, terjemahan, dan lainnya sebagaimana mengeritik.
 

Rukun yang terakhir adalah proses akhir penulisan resensi. Jika resensi sudah selesai, tugas selanjutnya adalah pengendapan. Silakan Anda beristirahat sampai pikiran Anda jernih kembali, entah itu tidur, jalan-jalan, maupun kegiatan lainnya. Nah, setelah segar, silakan lihat kembali resensi Anda secara keseluruhan untuk direvisi, siapa tahu ada yang harus dibenahi. Kedua penulis ini menyarankan dua hal dalam proses editing: membaca dengan mengeluarkan suara dan meminta orang lain untuk membacakannya.
 

Sebagaimana dikatakan di muka bahwa buku ini sejatinya bukan sekadar panduan meresensi buku, tetapi juga tempias dengan kisah-kisah seputar dunia resensi. Misalnya, resensi pembunuh buku yang legendaris yaitu resensi Puradisastra berjudul “Dari Barat, atau Islam?” (Tempo, 16 september 1978). Resensi tersebut membuat bukunya ditarik kembali dari pasaran. Atau resensi “Aku Menuduh Hamka Plagiat” (Bintang Timur, 7 September 1962) karya Abdullah SP. Resensi ini menyulut kontroversial selama bertahun-tahun. Data historis semacam itu menjadi kelebihan tersendiri buku ini.
 

Buku ini merupakan sumbangsih yang amat berharga bagi siapa saja yang mau belajar menulis resensi buku. Sebuah buku yang pantas dibaca juga bagi insan-insan peresensi buku, umumnya pencinta buku. Akhirul kalam, janganlah putus asa dan merasa tak punya bakat meresensi sebelum membaca buku ini. Iqra![]

M Iqbal Dawami, peresensi buku, aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Yogyakarta
    

Sabtu, Oktober 29, 2011

Belajar dari Bangsa Jepang


Judul: Ganbatte! Meneladani Karakter Tangguh Bangsa Jepang
Penulis: A.A. Azhari
Penerbit: Grafindo
Cetakan: I, Juni 2011
Tebal: 238 hlm.

Sedari dulu kita sudah mafhum kalau bangsa Jepang memang sungguh digdaya. Hampir semua lini mengalami kemajuan, dari waktu ke waktu. Dari teknologi, budaya, ekonomi, hingga sastra. Mereka sudah bisa bersaing dengan Barat. Salah satu faktornya sebagaimana dibahas dalam buku ini, yakni semangat belajar atau menuntut ilmu.

Sudah sejak Restorasi Meiji, bangsa Jepang mendapat mandat untuk menuntut ilmu sampai kemana pun untuk meraih kemajuan. Mereka rela melakukan apa pun demi meraih ilmu. Tidak heran di Jepang ada pepatah: sinu made, benkyo (sampai mati, harus belajar).

Karena itu, orang Jepang sangat gemar membaca. Mereka membaca selain untuk menambah ilmu, juga buat hiburan yang mengurangi stress. Di mana pun orang Jepang dapat membaca, termasuk di dalam kereta dan bus. Menurut Simon J. sibarani, seorang konsultan sumber daya manusia yang beberapa kali ke Jepang, di sana pengarang atau penulis buku termasuk kelompok masyarakat yang ekonominya paling makmur karena buku sangat laku. Maka, harga buku pun bisa murah dan terjangkau.

A.A. Azhari, penulis buku ini pernah mengunjungi daerah Kanda-Jimbocho. Kanda-Jimbocho adalah kawasan buku yang dimulai pada masa Restorasi Meiji tahun 1889-an. Sejumlah besar toko di Kanda-Jimbocho telah ada selama dua atau tiga generasi. Toko-toko buku tersebut memiliki jaringan yang kuat dengan usaha sejenis di berbagai negara.

Dan tradisi penerjemahan di Jepang sudah ada jauh sebelum Restorasi Meiji. Pada tahun 1684 dibentuk lembaga penerjemahan kekaisaran. Tugasnya menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Jepang. Namun, sebelum Restorasi Meiji masih sangat sedikit orang Jepang yang mempelajari bahasa asing, apalagi diperbolehkan ke luar negeri, sehingga penerjemahan pun terbatas. Setelah Restorasi Meiji, khususnya pada abad ke-19, penerjemahan di Jepang makin luas dan meningkat sampai saat ini. Tidak heran jika terdapat sebuah buku terbit di Barat, di Jepang dalam sepekan saja sudah tersedia terjemahannya.

Ini bermula dari kesadaran yang dini. Bangsa Jepang sudah sadar dari awal kalau mereka tertinggal dalam ilmu pengetahuan dibanding Barat. Karena itu, mereka rela meniru produk-produk Barat dan mencari tahu ilmu itu. Sejak Restorasi Meiji 1868 banyak pelajar dikirim ke luar negeri untuk mempelajari aneka ilmu yang diterapkan di Jepang. Memang, Jepang bukan bangsa penemu, namun mereka mampu menyempurnakannya. Saat di dunia Barat telah ditemukan radio, televisi, tape rekoder, dan sebagainya, bangsa Jepang pun membelinya. Tapi tak sekadar membeli, mereka meniru dan membuat barang serupa lebih bagus, bahkan lebih canggih lagi.

Azhari memberi contoh perusahaan Sony. Perusahaan elektronik itu memproduksi walkman yang membuat siapa saja dapat menikmati musik sambil jalan-jalan. Walkman sekadar memodifikasi dari tape rekorder ukuran besar yang telah diproduksi di negara-negara industri lain. Itu membuktikan, Jepang tidak sekadar mengikuti trend atau selera pasar, tapi juga menciptakan trend dan pasar sendiri.

Tak heran Jepang menguasai ilmu dan teknologi. Kemampuan mereka membuat produk made in Japan yang berkualitas adalah berkat usaha keras dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dasar, seperti fisika, matematika, kimia, dan biologi. Penguasaan ilmu-ilmu dasar itu membuat Jepang unggul dalam ilmu-ilmu terapan di bidang elektronika, robotika, serta home-entertainment and appliance. Sebagai akibatnya, tidak mengherankan jika Jepang memegang peranan yang penting dalam menentukan ekonomi dunia. Jumlah ekspor hasil produk teknologinya boleh dikatakan mendominasi pasaran dunia terutama dalam bidang elektronika. Sebut saja merek-merek kelas dunia made in Japan seperti Sony, Panasonic, Mitsubishi, Honda, Toyota, Suzuki, Madza, Nissan, Isuzu, Hino, Nikon, Canon, Yamaha, Toshiba, dan Sanyo.

Filosofi Ganbatte
Ada satu falsafah Jepang yang menjadi ruh bangsanya, yaktu Ganbatte. Ganbatte mengumpulkan tiga arti, “lakukan sebaik mungkin”, “jangan menyerah”, dan “berikan usaha terbaik”. Kata dasar ganbatte adalah ganbaru. Jika dalam pergaulan sehari-hari khususnya pada teman dekat banyak diucapkan, “Ganbare!”

Filosofi ganbatte sungguh dahsyat. Kata ini sudah turun-temurun sejak ratusan tahun silam. Ganbaru sendiri artinya “berusaha keras pada tugas sampai tugas itu selesai”, dengan kata lain “berusaha keraslah hingga mencapai sukses”.

Sejak kecil, anak-anak di Jepang sudah diajarkan tentang filosofi ganbaru ini. Kalau mengikuti lomba, mereka saling berkata, “Ganbaru!” kalau mau ujian, mereka juga berkata, “Ganbaru!” mau ke sekolah, bekerja, mereka saling berkata, “Ganbaru!” Ganbaru menyuruh bangsa Jepang tidak mudah menyerah sampai detik-detik terakhir. “Doko made mo nintai shite doryoku suru.” (Bertahan sampai ke mana pun juga dan berusaha habis-habisan.

Itulah mengapa Jepang menjadi raksasa mendunia saat ini. Mereka menjadi bangsa yang kuat baik dalam meraih impiannya maupun dalam gempuran pelbagai cobaan, seperti gempa bumi, tsunami, bahkan bom atom sekalipun. Saatnya bangsa Indonesia belajar dari bangsa Jepang. Sekarang juga.[]

M. Iqbal Dawami
Pencinta buku, penulis Sang Pengubah Mitos (2010)

Jumat, September 23, 2011

Pengaruh Internet Terhadap Dunia Literasi


Judul: The Shallows; Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita?
Penulis: Nicholas Carr
Penerjemah: Rudi Atmoko
Penerbit: Kaifa
Cetakan: I, Juli 2011
Tebal: 279 hlm.

The Shallows secara harfiah menyiratkan orang-orang yang cara berpikirnya menjadi dangkal setelah terlalu dimanjakan oleh internet. Kalangan ini lalu dicirikan sebagai orang yang tak sabaran, yang tak tahan lama-lama membaca buku tebal atau artikel panjang. Yang lama dan yang bertele-tele sudah tidak mendapat tempat lagi. Begitu komentar Ninok Leksono, rektor Universitas Multimedia Nusantara, atas buku ini.
 

Nicholas Carr, penulis buku ini merasakan beberapa tahun merasa seseorang, atau sesuatu, mengutak-atik otak dan memetakan kembali sirkuit saraf, serta memprogram ulang memorinya. Pikirannya tidak hilang namun berubah. Cara berpikirnya tidak seperti dulu lagi. Dia merasakan terutama saat membaca. Dia bercerita kalau dulu dia begitu mudah tenggelam ke dalam buku atau artikel yang panjang. Pikirannya akan hanyut ke dalam seluk-beluk cerita atau pendapat, dan dia biasa menghabiskan berjam-jam untuk membolak-balik lembaran prosa. Kini, tidak demikian. Konsentrasinya mulai hilang setelah satu atau dua halaman. Dia mulai gelisah, kehilangan fokus, dan mulai mencari-cari aktivitas lain.
 

Tak lain semua itu disebabkan Internet, ujar Carr. Internet memang menjadi media serbaguna, saluran bagi sebagian besar informasi yang mengalir melalui mata dan telinga ke pikiran kita. Anugerah tersebut memang benar. Namun ada harga yang harus dibayar. Internet mengikis kemampuan kita berkonsentrasi dan merenung.
 

Saat kita bermain-main internet selama beberapa jam, kita merasa pikiran kita begitu gembira, kita merasa seperti lebih pintar. Perasaan ini begitu memabukkan sehingga bisa membuat kita tak memedulikan dampak kognitif yang lebih dalam dari Internet.
 

Carr mengisahkan bahwa selama lima abad terakhir, semenjak mesin cetak Gutenberg membuat membaca buku menjadi sebuah keasyikan umum, pikiran linear dan sastra telah menjadi inti dari seni, ilmu, dan masyarakat. Dengan lentur dan lembut, pikiran semacam ini telah menjadi pikiran imajinatif di Masa Renaisans, pikiran rasional di Masa Pencerahan, pikiran inventif di Masa Revolusi Industri, dan pikiran memberontak di Masa Modernisme. Tidak lama lagi pikiran linear mungkin akan menjadi pikiran yang ketinggalan zaman.
 

Otak menuntut untuk diberi makan seperti yang dilakukan Internet—dan semakin banyak otak diberi makan, semakin lapar dia. Bahkan ketika kita jauh dari komputer, kita rindu sekali untuk memeriksa e-mail, mengklik link, dan googling. Kita ingin terhubung. Seperti halnya Microsoft Word telah mengubah kita menjadi pengolah kata yang memiliki daging dan darah.
 

Uskup Zaman Pertengahan bernama Isaac, dari Suriah, menjelaskan bagaimana, setiap kali dia membaca, “bagaikan di alam mimpi, saya memasuki kondisi saat indra dan pikiran saya menyatu. Lalu, seiring semakin lamanya keheningan ini kekacauan ingatan di dalam hati saya lenyap, gelombang kegembiraan yang terus-menerus bergolak dikirimkan kepada saya oleh pikiran dalam, yang di luar dugaan tiba-tiba hadir untuk membahagiakan hati saya.” Membaca buku adalah sebuah tindakan perenungan, namun tidak melibatkan pengosongan pikiran.
 

Kemajuan teknologi buku mengubah pengalaman personal membaca dan menulis. Kemajuan ini juga memiliki dampak sosial. Dengan cara yang tak kentara maupun yang mencolok mata, budaya yang lebih luas mulai terbentuk dari praktik membaca buku tanpa bersuara. Hakikat pendidikan dan keilmuan berubah, saat universitas mulai menekankan membaca secara pribadi sebagai pelengkap penting dalam ceramah di kelas.
Saat nenek moyang kita menenggelamkan pikiran mereka secara disiplin untuk mengikuti sebaris pendapat atau cerita melalui rangkaian halaman cetak, mereka menjadi lebih kontemplatif, reflektif, dan imajinatif. Heningnya membaca secara mendalam menjadi bagian dari pikiran.
 

Buku-buku yang dianggap paling berpengaruh dari abad kesembilan belas adalah On the Origin of Species karya Darwin. Sedang di abad kedua puluh, etika sastra mengalir melalui buku-buku yang sangat beragam seperti Relativity karya Einstein, General Theory of Employment, Interest and Money karya Keynes, Structure of Scientific Revolutions karya Thomas Khun, dan Silent Spring karya Rachel Carson. Semua prestasi intelektual penting ini takkan mungkin terwujud tanpa adanya perubahan dalam aktivitas membaca dan menulis—dan memahami dan berpikir—yang didorong oleh reproduksi efisien atas bentuk tulisan pada halaman cetak yang panjang. Semua karya yang disebut di atas adalah hasil deep reading (membaca secara mendalam). Bisakah jaman “Internet” ini menghasilkan karya-karya semacam itu?
 

Buku ini layak dibaca untuk mengetahui dampak Internet atas cara berpikir kita dan mewaspadai agar kita tidak dikendalikan oleh Internet, melainkan sebaliknya, mengendalikannya.
 

Sebuah sajak yang digubah Wallace Stevens mengemukakan penggambaran yang amat mengena mengenai pentingnya membaca secara mendalam: Rumah ini hening dan dunia ini tenang.//Pembaca menjadi buku; dan malam musim panas//Seperti nyawa buku itu.//Rumah ini hening dan dunia ini tenang.//Kata-kata diucapkan seolah tidak ada buku,//Kecuali jika pembaca membungkuk di atas halaman,//Ingin membungkuk, sangat ingin menjadi//Cerdik pandai yang baginya bukunya adalah kebenaran, yang baginya//Malam musim panas seperti kesempurnaan malam.//Rumah ini hening karena memang harus begitu.//Keheningan adalah bagian dari makna, bagian dari pikiran://Jalan kesempurnaan menuju ke halaman.[]
 

M. Iqbal Dawami, aktif  di dunia literasi, tinggal di Yogyakarta

Refleksi Kehidupan Sehari-Hari


Judul: Merajut Kata-Kata
Penulis: Stephie Kleden-Beetz
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2011
Tebal: 159 hlm.

Merefleksikan hidup sungguh mulia. Refleksi itu mampu menyadarkan diri kita kepada hakikat, baik hakikat kita sebagai hamba Tuhan, maupun sebagai makhluk sosial (homo hominilupus) dan berpikir. Meski begitu, tak banyak orang melakukannya. Entah karena sibuk, maupun tak bisa menyempatkan diri untuk bertafakur.
 

Karena itu apa yang dilakukan Stephie Kleden yang terejawantahkan dalam buku ini sungguh terpuji, di mana ia melakukan kerja refleksi atas apa yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Boleh jadi apa yang direfleksikannya pernah kita alami juga, hanya saja kita tak pernah merefleksikannya.
 

Dalam judul “Ajaib”, misalnya, Kleden bercerita perihal menu makan yang super lezat dan bergizi di meja makannya. Menu lezat di meja makan membuatnya  merenung. Berapa ribu tangan yang harus bekerja sebelum nasi ini terhidang di atas meja makan. Berapa banyak nelayan yang tekun menanti ikan sebelum ikan goreng ini bisa dinikmati. Tentu petani sayur harus menanam, menunggu dengan sabar, menyiangi, memanen, memikulnya ke pasar, dan sekarang sayur ini tersaji di meja. Jangan lupa pula garam. Tanpanya, semua hambar. Betapa panjang jalannya sebelum tiba di dapur (hlm. 8-9).
 

Jarang sekali orang bisa berpikir sampai kesitu, terlebih di lingkungan yang serba hedonis dan kemurungsung (tergesa-gesa). Apa yang kita santap di meja makan sesungguhnya melibatkan banyak orang. Bahkan, tidak hanya itu, hampir di semua bidang melibatkan banyak sentuhan manusia. Barangkali pesan yang hendak disampaikan lewat refleksi “hidangan di meja makan” tersebut adalah bahwa kita harus mampu menghargai dan mensyukuri atas apa yang kita dapatkan. Tanpa ada petani, peternak, pedagang, dan sebagainya, kita tidak bisa menyantap makanan. Maka dari itulah kita harus pandai berterima kasih.
 

Refleksi Stephie juga menyentuh pada dimensi spiritual. Misalnya, tentang gelas kepunyaannya. Gelas itu dibuatnya sendiri di pabrik gelas di Cekoslovakia. Ketika dibawa ke Malang, gelas itu pecah. Stephie Sedih. Dan akal sehatnya mencoba menghibur. “Ah, tak perlu berlama-lama menyesal, karena siapa tahu dengan pecahnya gelas tersebut kita diingatkan bahwa semua di bumi ini fana adanya, maka kita senantiasa diajak untuk mencari yang abadi, yaitu Allah Pencipta. Memang gelas bisa dibeli di mana saja, tetapi berbeda, karena setiap benda punya riwayat dan menyimpan kenangan tersendiri,” ujar Stephie (Hlm. 30). Dia juga menyitir pepatah Jerman: Glueck und Glas wie leicht bricht das (Kebahagiaan dan kaca betapa mudah pecah).
 

Usaha refleksi Stephie sesungguhnya memberikan faedah yang luar biasa, salah satunya adalah membuat kita tetap waras dalam mengarungi hidup ini. Bayangkan setiap hari kita selalu disuguhkan pelbagai peristiwa baik secara langsung bergesekan dengan diri sendiri maupun tidak. Dan peristiwa itu memancing kita untuk bereaksi, apakah secara positif, negatif, maupun biasa-biasa saja. Namun, dengan merefleksikan peristiwa tersebut akan selalu membuat kita sadar, bahwa sesungguhnya semua peristiwa itu membawa pesan, hikmah, serta pelajaran.
 

Maka saya mengamini komentar Martin L. Sinaga dalam Kata Pengantar buku ini bahwa keunikan tulisan Stephie adalah mempunyai pesan mendalam dan baru. Tulisannya tampak seperti kupu-kupu, yang hanya bisa terbang atau bernas kalau ia menempuh momen bergulat dalam kepompong kehidupan.
 

Buku yang terdiri dari tiga bab ini, yaitu Rasa, Pikir, dan Hidup, banyak kisah memukau yang menjalin jalan ke dalam hati saya. Saya tersentuh. Buku ini seolah mengajak saya untuk beristirahat sejenak, merenung, dan bersyukur atas karunia hidup ini, contemplatio ad amorem—permenungan yang sampai menyentuh perasaan syukur dan cinta.
 

Membacanya dari halaman ke halaman, ada ekstase untuk terus mereguknya.

M. Iqbal Dawami
Aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Yogyakarta 

Pengusaha Sukses Wanita Muda


Judul: A Gift A Friend; Dari Sekolah Ke Dunia Bisnis
Penulis: Merry Riana & Alva Tjenderasa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2011
Tebal: 255 hlm. 


Di usia yang masih muda (26 tahun), Merry Riana telah mencapai banyak kesuksesan, bahkan lebih daripada yang pernah dicoba untuk dilakukan oleh orang-orang yang usianya dua kali lipat darinya. Dia telah memenangkan berbagai penghargaan dan memecahkan rekor industri dari waktu ke waktu.
 

Dalam beberapa tahun terakhir, Merry telah mengembangkan organisasinya, MRO (Merry Riana Organization), sehingga sekarang beranggotakan lebih dari 50 orang. Semua anggotanya adalah profesional muda yang luar biasa, yang percaya akan visinya dan telah bekerja bersama dengannya untuk mencapai impian mereka bersama.
 

Pada saat ini Merry memiliki dan mengelola beberapa bisnis di industri yang berbeda, yaitu di bidang jasa keuangan, bidang seminar & pelatihan, dan bidang nonprofit. Melalui organisasinya, MRO, Merry memperluas jangkauannya bahkan sampai lebih dari bisnis-bisnisnya saat ini, dengan menggunakan semangat, hasrat, dan keahlian bisnis yang sama, yang telah membuat usaha-usaha sebelumnya sukses di Asia. MRO berbasis di Singapura, tempat dia saat ini berada.
 

Melalui buku ini Merry Riana hendak menghilangkan persepsi bahwa kesuksesan tidak bisa dicapai di usia muda. Merry percaya bahwa koneksi yang tepat dapat mempercepat pencapaian tujuan. Dia membangun jaringan koneksinya untuk membantu perkembangan bisnisnya sehingga dapat menciptakan kesuksesan seumur hidup. Jaringan koneksi ini membantunya menggapai kesempatan-kesempatan emas.
 

Merry mulai berangan-angan mengenai masa depannya ketika sedang kuliah. Merry sadar bahwa dirinya sudah hampir berumur 20 tahun dan orangtuanya sudah berada di usia 50-an. Melihat bagaimana mereka masih harus bekerja keras untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka, menyimpan uang yang cukup untuk hari tua mereka, membuat Merry berpikir. Jika dirinya sukses suatu hari nanti, dia ingin sukses ketika masih muda, sebelum ulang tahun ke-30, bukan ketika dia berumur 40-50 tahun.
 

Teman-temannya mengira dirinya sudah gila ketika dia memberitahu mereka mengenai ide berwirausaha setelah dia lulus. Sebagian besar mereka, yang tidak begitu akrab dengannya, berpikir bahwa dia terpaksa menjadi seorang pengusaha karena dia tidak mendapatkan lowongan pekerjaan yang baik. Mereka yang mengenalnya lebih dekat mengerti bahwa alasan dia memilih jalan kewirausahaan adalah karena impiannya.
 

Merry berpikir bahwa untuk membangun suatu bisnis yang sukses, dia harus memiliki komponen 3 C: Capital (Modal), Contacts (Koneksi), dan Capability (Keahlian). Dengan menerapkan prinsip-prinsip dalam buku ini, Anda akan dapat meniru kesuksesan yang telah Merry capai dalam hidup, dengan cara yang mudah dan pasti. 

Tujuan buku ini adalah membagi pengalamannya tentang perbedaan apa yang mengubah hidup dia menjadi lebih baik. Harapannya yang terdalam, Anda bisa menemukan strategi dan filosofi yang dibagikan dalam halaman-halaman buku ini dan menguatkan Anda sebagaimana strategi dan filosofi itu telah menguatkannya. Kekuatan yang secara ajaib dapat mengubah hidup menjadi impian terbesar sedang menunggu kita. sekaranglah waktu untuk mewujudkannya. Dan itu dimulai dengan membaca buku ini.