Minggu, September 27, 2009

Pewaris Mimpi Sang Ayah

Judul: Dreams From My Father: Pergulatan Hidup Obama
Penulis: Barack Obama
Penerjemah: Miftahul Jannah Saleh, dkk.
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, Juni 2009
Tebal: 493 hlm.
------------------

Inilah buku perjalanan hidup sang presiden Amerika Serikat (AS) saat ini, Barack Obama, yang ditulis oleh Obama sendiri. Selama ini banyak sekali buku mengenai Obama dari pelbagai sisi semenjak dia menjadi orang nomor satu di AS. Kisah hidup dan spekulasi kiprah politiknya menjadi daya tarik para penulis dari pelbagai dunia. Untuk itu, buku ini sebenarnya referensi utama buku tentang Obama dari sudut pandang dirinya sendiri.

Buku pergulatan Obama ini menjadi inspirasi bagi pembaca, karena memiliki kekuatan impian, harapan, cita-cita, persaudaraan, serta toleransi yang nyata. Hal ini pula yang menjadikan buku ini bestseller versi New York Times sebagai peraih British Book Award 2009 kategori Biografi terbaik. Sungguh, sebuah prestasi yang prestisius.

Dalam buku ini, secara detail Obama menuturkan asal-usulnya, masa kecilnya di Hawaii, lalu kepindahannya ke Jakarta, serta kuliahnya di Chicago. Pria berayahkan pria kulit hitam asal Kenya dan ibu asli Amerika ini juga menelusuri perjalanan mencari akar budayanya di Afrika, di tengah-tengah kerabatnya yang muslim. Di buku ini, Obama yang akrab disapa Barry mengaku sempat kehilangan jati diri. Dia marah dan frustrasi akibat diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam.

Namun, Obama tak mampu menuangkan amarahnya, karena selalu teringat ibunya yang berkulit putih. Logikanya, jika dia melampiaskan kebenciannya kepada orang-orang kulit putih, berarti sama saja benci terhadap ibunya. Padahal, ibunya adalah orang yang begitu dia cintai. Akibat dilema itu, dia kesal atas dirinya sendiri. Kekesalan itu membuat dirinya putus asa, hidup tak bersemangat, dan akrab dengan madat, serta minuman beralkohol.

Namun, keadaan itu tidak menyembuhkan dirinya. Setelah jenuh dengan keadaan itu, dia sadar. Titik nadirnya itu menyadarkannya bahwa banyak hal positif bisa dilakukan ketimbang melakukan hal negatif yang sebenarnya merusak dirinya sendiri. Kemudian, dia bangkit. Pertama yang dilakukannya adalah merengkuh semangat persaudaraan yang melintasi warna kulit yang menyatukan ayah dan ibunya (kulit hitam dan kulit putih).

Obama menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu merupakan impian sang ayah yang belum tercapai. Ayahnya bercita-cita membuat persaudaraan antar-warna kulit, di mana masa itu rasisme begitu kental dan sering terjadi kekerasan dan diskriminasi yang menjadi konsumsi sehari-hari. Keinginan tersebut, ayah Obama merintisnya melalui jalur pendidikan dan politik.

Obama merasa menemukan kembali impian yang diwariskan ayahnya itu. Dulu, ayahnya seorang anak miskin kulit hitam dari desa terpencil di Kenya mengejar ilmu sampai ke Amerika. Obama pun mengikuti jejak sang ayah. Dia menjadi aktifis, satu-satunya senator dari kulit hitam, yang hingga kini kemudian menjadi presiden Amerika Serikat.

Dalam buku ini pun, Obama menulis bagian khusus mengenai Indonesia. Dia menceritakan bahwa Ibunya menikah dengan Lolo Soetoro, asal Indonesia, yang bertemu saat di Hawaii. Awalnya, Obama menganggap Indonesia sebagai Negara miskin, belum berkembang yang sama sekali asing dibandingkan Negara lain. Namun, setelah menikmati hidup di Jakarta pandangannya pun berubah mengenai Indonesia. Bahkan, dia mengaku banyak pelajaran berharga yang dia dapatkan selama di Indonesia.

Obama begitu sayang dan bangga kepada kedua orangtuanya—Barrack Hussein Obama Sr - Shirley Ann Dunham—meski keduanya telah berpisah saat Obama berusia dua tahun. Walaupun Obama tinggal dan dibesarkan oleh ibunya, namun hubungan dengan ayah dan keluarga besarnya yang masih tinggal di Kenya, Afrika, tak pernah putus. Dari sini pula Obama mengetahui ayahnya lebih mendalam dan impian yang belum tercapai. Impian-impian yang sejatinya menyangkut pada kemanusiaan.

Memoar Rasa Sastra
Memoar ialah tulisan tentang peristiwa masa lalu yang menyerupai autobiografi, bahkan bisa dikatakan semi-autobiografi. Isinya bisa macam-macam. Bisa pendapat, kesan, atau kritikan terhadap peristiwa pada waktu yang diihat dan dialami si penulisnya. Yang membedakan di antara keduanya ialah pesannya. Autobiografi biasanya yang ingin perlihatkan adalah perjalanan sang tokoh tersebut, terutama perjalanan kesuksesannya. Sedangkan memoar menitikberatkan pada kesan sang tokoh tersebut terhadap sebuah peristiwa yang dia temui. Kesannya bisa berupa kritikan, gagasan, ataupun yang lainnya.

Buku Obama ini dapat dikategorikan memoar. Dia mengisahkan perjalanan hidupnya dari masa kecil hingga masa mudanya. Tepatnya sampai pada awal-awal karier politik dan tunangannya dengan Michelle Robinson. Dia mengawali kisahnya dengan berita bahwa ayah kandungnya meninggal dunia dalam kecelakaan mobil, padahal selama itu sosok ayahnya lebih merupakan mitos yang diceritakan ibunya daripada kenyataan. Kematian mendadak itu memberi dia inspirasi pengembaraan emosional, pertama-tama ke sebuah daerah kecil di Kansas, menapaki lagi perpindahan keluarga ibu ke Hawaii, kemudian ke Kenya, negeri tempat sisi Afrika dirinya berasal, berhadap-hadapan dengan kenyataan pahit kehidupan sang ayah, dan akhirnya menerima warisan terbelah dalam dirinya. Di sinilah dia bercerita tentang pertama kali merasakan arti rasisme dan artinya bagi seorang African American. Refleksi tentang ras dan hubungan antar-ras di AS banyak disinggung di sini.

Bagi penikmat sastra akan mengetahui bahwa Obama menggunakan teknik penulisan sastra dalam penulisan buku ini. Narasinya begitu kuat dan memukau hingga pembaca bisa terbawa pada kegetiran, kekecewaan, dan kecemasan yang ditimbulkan oleh politik rasial dan kemiskinan di AS. Klimaks dalam memoar ini adalah terjadi di pedesaan Kenya, yang dia kunjungi sebelum masuk Harvard Law School. Perasaannya berkecamuk tatkala dia duduk di antara kuburan ayah dan kakeknya. Dia menitikkan air mata.

Mengenang Indonesia
Dalam buku ini menyisihkan sub-bab yang berjudul Indonesia. Ketika Ibu Obama bercerai dengan ayah Obama, Ibunya kemudian menikah lagi dengan lelaki asal Indonesia, bernama Lolo Soetoro. Pernikahan tersebut menjadikan Obama mencicipi tanah Indonesia. Obama tinggal di Indonesia, tepatnya di Jakarta, kira-kira empat tahun, yaitu pada 1967 hingga 1971, ketika berumur 6-10 tahun. Di Indonesia, dia sempat sekolah di dua SD, pertama SD Katolik Franciskus Assisi, dari kelas 1 hingga kelas 3, kemudian meneruskan sekolah di SDN 1 Menteng sampai pertengahan kelas 5.

Di Jakarta, keluarga Obama awalnya tinggal di sekitar wilayah Warung Buncit, namun kemudian pindah ke kawasan Menteng. Di sini pengalaman masa kecilnya cukup banyak dikenang oleh Obama.

Membaca tuturan pengalamannya di Indonesia, Obama nampaknya terkenal ramah, mudah bergaul, berjiwa pemimpin, dan suka membawa teman-teman main ke rumahnya; kalau tidak dia main-main dengan teman di lingkungan sekitar. Di sini dia terkenang suka main bola ketika hujan, becek-becekan, main lumpur di sawah, mengejar-ngejar ayam, dan permainan yang biasa dilakukan anak-anak Indonesia, misalnya, kelereng. Di sekolahnya, dia sering jadi pengatur barisan sebelum anak-anak masuk ke kelas dan suka melindungi anak lemah dari tekanan anak nakal. Kisah-kisah seperti itu memenuhi halaman 56 hingga 75.

Selain itu Obama juga memotret realita yang ada di Indonesia pada masa itu dan mencoba merefleksikannya. Dia melihat pandangan kosong wajah-wajah petani pada tahun ketika hujan tak jua datang dan putus asa ketika tahun berikutnya hujan turun selama satu bulan, dan memenuhi sungai dan sawah. Korupsi, perubahan radikal polisi dan militer, seluruh industri dikelola oleh keluarga presiden dan pengikutnya, para pengemis, dan kualitas pelayanan Rumah Sakit, adalah sisi lain yang diingat Obama dalam memoarnya. Begitukah gambaran Indonesia di mata Obama?

Namun, di sisi lain, Indonesia juga mengajari dan memberikan wawasan dirinya untuk toleransi, kerja sama di masyarakat, dan rukun antar umat beragama.

Peran Orangtua
Peran orangtua begitu memengaruhi karakter Obama. Membaca memoarnya, tidak heran jika Obama saat ini menjadi orang nomor satu di AS. Obama bukan berasal dari keluarga berada, tapi orangtuanya adalah orang-orang yang terpelajar. Ibunya menempuh pendidikan sampai doktor. Ayahnya setelah lulus dari Universitas Hawaii juga sempat melanjutkan ke Universitas Harvard. Ayah tirinya, Lolo Soetoro, juga lulusan Universitas Hawaii.

Dalam buku ini, terlihat bahwa Obama berusaha mengenali sosok ayah kandungnya. Setelah mendapat kabar ayahnya telah meninggal karena kecelakaan, tak ada yang bisa diperbuatnya lagi. Dia hanya mengenalinya dari cerita-cerita ibu dan kakek-neneknya. Pesona ayahnya rupanya mengalir pula pada Obama yang di semasa kuliah pernah terlibat dalam kampanye mendukung gerakan pembebasan Afrika Selatan. Bahkan, dipercaya membuka sebuah rapat dengan sebuah orasi—pidato pertamanya—yang masih terekam dalam benaknya hingga saat ini.

Mencuri perhatian teman-teman kulit putih Obama di kelas adalah sebuah bukti kehebatan dari sang ayah. Dan mencuri perhatian dunia, kini adalah sebuah bukti kehebatan Obama—presiden pertama AS dari kalangan kulit berwana. Ibunya, kerap bercerita kepada Obama tentang sosok ayah kandungnya.Tak ayal, bagi Obama, ayah kandungnya lebih menyerupai mitos daripada manusia. Ayah kandung Obama mewariskan semangat integrasi, cinta-kasih, dan perdamaian.

Kondisi perceraian baik dengan ayah kandungnya maupun dengan ayah tirinya membuat Obama lebih dekat kepada ibunya dan mengagumi sebagai perempuan yang luar biasa. Obama dilatih berempati kepada orang lain yang tertindas. Dia juga dilatih berdisiplin. Saat di Indonesia, misalnya, ibunya membangunkan dan mengajari Obama kecil dini hari jam 4 pagi belajar bahasa Inggris. Ibunya mengajarkan nilai-nilai kehidupan, kemandirian, tidak banyak menuntut, dan kesopanan. Ibunya juga mengajarkan untuk mengabaikan gabungan antara kebodohan dan kesombongan yang acap kali mencirikan orang Amerika.

Terlepas dari ukuran font yang terlalu padat dan rapat sehingga membuat mata lelah, buku ini mampu menyihir saya dengan decak kagum akan kelihaian Obama menuturkan perjalanan hidupnya. Saya salut dengan kemampuan Obama dalam merekam balada hidupnya. Gaya bahasanya pun begitu hidup dan nyastra.

Kini, Obama menjadi presiden AS. Obama memiliki kesempatan besar untuk mewujudkan mimpi-mimpi ayahnya yang belum terwujud sebagaimana dipaparkan dalam buku ini. Dunia sedang menunggunya.***

Rabu, September 23, 2009

Fenomena Wikipedia

Judul: Kisah Sukses Wikipedia :Ensiklopedia Gratis Terbesar Dan Terpopuler di Dunia
Penulis: Andrew Lih
Penerjemah: Alex Tri Kantjono W.
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: I, 2009
Tebal: xxi + 287 hlm.
-----------------------

“Bayangkan sebuah dunia ketika setiap orang bisa mendapatkan semua pengetahuan yang telah dicapai oleh manusia secara cuma-cuma. Itulah yang sedang kami usahakan.”(Jimmy Wales, pendiri Wikipedia)

Buku ini adalah kisah proyek ensiklopedia bebas dan multibahasa yang didukung oleh Yayasan Wikimedia. Nama situs Web ini menggabungkan makna dua kata, yakni Wiki (teknologi untuk menciptakan situs Web kolaboratif) dan Ensiklopedi. Sepuluh juta artikel Wikipedia telah ditulis secara kolaboratif oleh relawan-relawan dari seluruh dunia, dan hampir semua artikelnya dapat disunting oleh siapa pun yang dapat mengakses situs Web Wikipedia.

Diluncurkan pada tahun 2001 oleh Jimmy Wales dan Larry Sanger, kini Wikipedia menjadi karya rujukan umum paling besar dan paling populer di Internet. Buku ini menapak tilas sukses fenomenal Wikipedia ke akar-akarnya, dan menampilkan orang-orang yang telah memberikan sumbangan mereka dalam meraih tujuan memberi setiap orang akses bebas ke kumpulan pengetahuan manusia.

Andrew Lih, penulis buku ini, telah menjadi administrator (pengguna yang memperoleh kepercayaan untuk memiliki akses ke fasilitas-fasilitas teknis) di Wikipedia selama lebih dari empat tahun, selain menjadi pembawa acara tetap dalam mingguan Podcast Wikipedia. Dalam buku ini, ia merinci proses kelahiran situs Wikipedia pada tahun 2001, evolusinya, serta pertumbuhannya yang luar biasa, sambil menerangkan reaksi-reaksi budayanya yang lebih besar. Wikipedia tidak hanya sebuah situs web; Wikipedia juga komunitas global yang terdiri atas kontributor-kontributor yang sengaja bergabung berkat hasrat bersama untuk menjadikan pengetahuan sesuatu yang bebas.

Dengan lebih dari 2.000.000 artikel tentang segala sesuatu dari Aa! (Sebuah kelompok penyanyi pop Jepang) hingga Zzyzx, California, yang ditulis oleh banyak sekali kontributor relawan, Wikipedia menjadi situs kedelapan paling populer di World Wide Web. Dibuat (dan dikoreksi) oleh siapa pun yang memiliki akses ke komputer, kumpulan pengetahuan dalam jumlah sangat mengesankan ini tumbuh dengan laju perkembangan yang memesona, lebih dari 30.000.000 kata dalam satu bulan.

Wikipedia adalah ensiklopedia bebas lisensi yang ditulis oleh sejumlah relawan dalam banyak bahasa. Sekarang Wikipedia besar sekali. Ensiklopedia ini berisi lebih dari satu miliar kata, yang menjadikannya beberapa kali lebih besar daripada gabungan Britannica dan Encarta.

Dalam waktu kurang dari satu dasawarsa Wikipedia telah melengkapi sekaligus mengubah dunia ensiklopedia, dengan melibas hampir setiap ensiklopedia yang sudah mapan dalam berbagai bahasa di dunia.

Wikipedia menjadi begitu populer sehingga tanpa disengaja orang mengambil informasi dari dalamnya setiap hari di internet, dan juga semakin sering dirujuk dalam buku-buku, dokumen-dokumen legal, bahkan budaya pop. Namun, hanya sebagian kecil masyarakat pengguna Wikipedia sadar bahwa Wikipedia sepenuhnya dibuat oleh sejumlah besar relawan yang tidak menerima bayaran, dan sering tidak ingin dikenal. Setiap artikel dalam Wikipedia mempunyai sebuah tombol bertuliskan “edit this page”, yang memungkinkan siapa pun, termasuk anonim yang semula hanya “numpang lewat”, menyunting isi setiap entri yang ada.

Karena telah menemukan cara untuk bekerja sama (co-labor), komunitas Wikipedia telah mampu menghasilkan kerja sama sehari-semalam yang lebih cepat daripada kantor pemberitaan mana pun yang bekerja dua puluh empat jam. Wikipedia tidak akan menjadi sepopuler hari ini tanpa laporan-laporan yang tepat waktu dan tersusun rapi secepat kejadian-kejadian yang sedang diberitakan. Dengan cara ini, Wikipedia melanggar peran tradisional sebuah ensiklopedia sebagai rangkuman sejarah yang sudah berlalu. Kebalikannya, Wikipedia bekerja secepat media pemberitaan. Secepat kejadian yang sedang berlangsung, seperti lebah pekerja yang sedang sibuk di sebuah sarang, Wikipedia mencatatkan, menyunting, dan mengorganisasikan berita-berita sampai detik terakhir ke dalam artikel-artikel di situs web ini. Fungsinya sebagai mesin pencatat sejarah yang terus berjalan betul-betul belum pernah memiliki tandingan dan secara unik mengisi “kesenjangan informasi” tradisional yang tercipta oleh selang waktu antara penerbitan surat kabar dan buku sejarah.

Dalam Wikipedia berbahasa Inggris, dengan kegiatan yang tak kenal henti, artikel-artikelnya telah menjadi potret sesaat situasi dunia, yang bertindak sebagai catatan sejarah yang terus dilengkapi.

Awalnya, Wikipedia didominasi oleh sekelompok pengguna yang ahli dalam teknologi komputer. Akan tetapi, setelah menjadi besar dan makin dipandang penting, kelompok pengguna serius dan setia yang tumbuh belakangaan mencakup orang-orang non-teknik—mahasiswa, akademisi, pakar hukum, dan seniman. Mereka yang menemukan kebahagiaan setelah menyumbangkan karya mereka ke dalam proyek ini secara online menemukan bahwa mereka juga ingin bertemu di dunia nyata. Wikipedia adalah sebuah produk maya di sebuah ruang maya, tetapi ia tetap mempunyai implikasi di “ruang pertemuan” fisik.***

Rabu, September 16, 2009

Filsafat Ketuhanan Whitehead

Resensi ini dimuat di Seputar Indonesia, Minggu, 04 Oktober 2009

Judul: Mencari Tuhan Sepanjang Zaman: Dari Agama-Kesukuan Hingga Agama Universal
Penulis: Alferd North Whitehead
Penerjemah: Alois Agus Nugroho
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, Juli 2009
Tebal: xxxiii+204 hlm. (termasuk indeks)
-----------------------

Buku Mencari Tuhan Sepanjang Zaman ialah renungan tentang perkembangan agama dan penghayatan ketuhanan berdasarkan Kosmologi Proses. Berbeda dengan konsep evolusi Darwin, kosmologi proses menganggap alam semesta berevolusi menurut “hukum” kebaikan menuju suatu finalitas (tujuan). Pola atau hukum itu menjadi “format” dalam evolusi semesta, namun manusia yang merdeka harus jatuh bangun menafsirkannya. Sedangkan, tujuan itu ialah Tuhan sebagai “muara” dari kehidupan setiap makhluk, sehingga kehidupan duniawi ini tak sekadar gelembung sabun dari kesia-siaan yang tandas.

Whitehead melihat perkembangan “agama-agama dunia” dari kacamata pengalaman manusia dalam kebudayaan. Meskipun bertolak dari penghayatannya sebagai seorang Kristianis, yang dibicarakannya sebagai filosof sebenarnya adalah semua agama dunia. Dalam penafsiran Whitehead, agama-agama dunia berkembang dari “masa kanak-kanak” berupa “agama suku”, ke arah kesadaran bahwa agama bersangkutan adalah “rahmat bagi seluruh alam”. Dalam perkembangannya itu, agama semakin melengkapi diri selain dengan unsur-unsur ritual yang menggugah emosi, juga dengan pernyataan-pernyataan iman, dan akhirnya dengan penalaran-penalaran teologi atau ilmu kalam.

Filsafat Agama dari Whitehead ini mengantar pembaca pada Filsafat Ketuhanan yang oleh Charles Hartshorne diberi nama “Pan-en-theisme”. Filsafat Ketuhanan itu mereguk inspirasi spiritual dari agama-agama dunia yang lahir di Timur Tengah dan yang lahir di India. Tak berlebihan, kalau dalam zaman yang dieja oleh Habermas sebagai “the Post-secular Age” ini, membaca perenungan Whitehead akan menyegarkan iman kita masing-masing, betapa pun berbeda kosakata yang kita pakai.

Whitehead pada awalnya tidaklah dikenal sebagai filosof, apalagi metafisikawan. Pemikiran tentang metafisika, termasuk di dalamnya tentang agama dan Tuhan, barulah mengkristal pada periode ketiga dalam perkembangan hidup dan perkembangan pemikiran Whitehead. Dalam periode pertama, yang berlangsung sampai dengan 1910, Whitehead lebih dikenal sebagai seorang ahli matematik.

Whitehead tidak hanya penulis produktif, melainkan juga pemikir orisinal dan sistematikawan ulung. Buku ini memperhalus dan mengembangkan tulisan sebelumnya, Science and the Modern World, yakni tentang “Abstraksi” dan “Tuhan”. Whitehead menata pemikirannya ke dalam suatu keseluruhan yang sistematis yang di dalamnya sains dan agama menduduki tempat yang penting.

Konsep “Tuhan” dalam sistem pemikiran Whitehead mula-mula berkait dengan sebab-sebab formal (formal cause) yang selama ini dikesampingkan oleh sains modern. Sains modern pada umumnya hanya memerhatikan sebab musabab material dan sebab musabab efisien, sambil menyisihkan sebab musabab formal, dan sebab musabab final.

Sebab-sebab formal itu berkait dengan keberadaan “eternal objects” atau “realm of forms”, yaitu bentuk-bentuk atau pola-pola yang tertuang dalam proses perwujudan suatu hal konkret. Sebagian kecil dari dunia kemungkinan yang tak terbatas itu “di-format-kan”, “di-informasi-kan”, dalam setiap proses perwujudan diri. Dunia kemungkinan ini sudah diisyaratkan sebagai dunia “idea-idea” dari Plato atau “universalia” Abad Pertengahan, meskipun bagi Whitehead, yang ada hanyalah yang aktual dan dunia bentuk hanyalah salah satu unsur formatif dari yang sungguh-sungguh ada.

Konsep “Tuhan” dalam pemikiran Whitehead merupakan hasil dari intuisi dan sistematis. Sistematisasi boleh dikatakan mencapai bentuknya yang lebih ketat. Tuhan dalam sistem metafisika Whitehead pertama-tama dikaitkan dengan “permanensi”. Aspek pertama berkait dengan permanensi dari forma-forma yang tertata yang diformatkan, diinduksikan, diinformasikan, atau dipersuasikan kepada dunia semesta. Aspek kedua berhubungan dengan permanensi dari apa saja yang “menjadi”, semua yang pernah datang dan semua yang menghilang.

Konsep Whitehead tentang Tuhan tersebut diramu dari pelbagai intuisi tentang Tuhan di dalam sejarah metafisika dan sejarah agama-agama yang dewasa, yang dalam istilah Whitehead disebut sebagai “agama rasional”. Agama yang berkembang ke arah kedewasaaan, menurutnya, tetaplah peduli pada segi perasaan dan peribadatan dari hidup beragama, tetapi juga tidak menelantarkan segi doktrin atau ajaran. Peribadatan dan Perasaan malah dapat dikatakan perlu diintegrasikan dengan ajaran. Agama-agama dewasa menyadari pentingnya kesaksian iman dan dogma, namun lebih lebih dari itu, agama-agama mencapai kedewasaan dalam perkembangannya apabila tidak bersifat dogmatis. Artinya, agama dewasa terus-menerus menyusun dogma-dogma menjadi suatu sistem yang koheren, logis, adekuat, dan aplikatif. Jadi, agama sendiri adalah sesuatu yang berada dalam proses, sesuatu yang “menjadi”.

Konsep ketuhanan Whitehead dan filsafat proses pada umumnya muncul dari pendekatan antara agama dan metafisika ini. Memang, dalam pemikiran Whitehead terjadi pendekatan antara dogma agama dan metafisika. Pendekatan agama dan metafisika itu pun dilakukan dalam rangka proyek yang lebih besar lagi, yakni pendekatan antar-semua cabang kebudayaan (agama, seni, ilmu pengetahuan, dan filsafat) yang masing-masing memberi kontribusi—dengan keterbatasan masing-masing pula—kepada hidup dan peradaban manusia.

Agama yang dewasa pada intinya adalah agama yang mampu mengharmoniskan, mampu menyeimbangkan segi rasionalitas dengan perasaan, segi batin dengan ekspresi lahiriah, keheningan soliter dengan kolektivitas komunal. Yang batiniah, yang rasional, dan yang soliter dalam pengalaman beragama ini menurut Whitehead tidak akan menjadikan orang beriman individualistis atau egoistis. Justru sebaliknya. Pengalaman batiniah, rasionalitas, dan keheningan soliter itu akan menumbuhkan apa yang oleh Whitehead disebut sebagai “world loyalty”, yakni loyalitas yang tidak hanya tertuju kepada keluarga, puak, suku, ras, atau “umat” sendiri, melainkan merengkuh seluruh manusia, bahkan seluruh alam semesta. Para penyair berbicara tentang “peak experience” dan “epiphany”. Yang pertama muncul ketika kita merasa tubuh kita menyatu dengan alam yang mahaluas. Yang kedua muncul ketika kita menyadari pikiran kita menyatu dengan alam yang mahaluas.

Jadi, konsep Whitehead tentang “agama” dalam perkembangannya yang dewasa, boleh dikatakan merupakan jalan tengah di antara pandangan yang menekankan individu di satu pihak dan pandangan yang menekankan komunitas di pihak lain. Para pemikir semisal William James, Friedrich Schleimacher, dan Rudolf Otto memberi penekanan kuat pada segi perasaan dari pengalaman religius. Bagi mereka, agama lebih merupakan penghayatan pribadi. Sebaliknya, Max Weber dan Emile Durkheim memberi garis bawah tebal pada ritus, institusi, dan kesaksian iman. Bagi mereka ini, agama lebih merupakan gejala sosial. Whitehead menyadari bahwa kedua hal tersebut sama-sama berperanan. Satu sama lain saling memengaruhi.

M Iqbal Dawami,
Staf pengajar STIS Magelang

Sabtu, September 05, 2009

Asing Kuasai Pasar Indonesia

Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, Kamis, 03 September 2009
-------------------------------------------
Judul: Di Bawah Cengkeraman Asing
Penulis: Wawan Tunggul Alam
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta
Tahun : I, Juli 2009
Tebal : 224 halaman
---------------------------
Disadari atau tidak, kenyataan membuktikan bahwa Indonesia secara ekonomi masih dijajah oleh bangsa lain. Kini, negeri ini diduduki oleh para korporator dari negara-negara Barat.
Dengan kata lain, bangsa ini masih tetap bergantung dan menggantungkan diri pada kekuatan asing.
“Pernahkah Anda menyadari, dari bangun tidur, beraktivitas, hingga tidur lagi, semuanya telah dikuasai perusahaan asing?” (hlm. 13). Begitulah Wawan membuka pembahasannya.
Lihat, dari mulai minum Aqua (74 persen sahamnya dikuasai perusahaan Danone asal Prancis), atau minum teh Sariwangi (100 persen sahamnya milik Unilever, Inggris), minum susu SGM (milik Sari Husada yang 82 persen sahamnya dikuasai Numico, Belanda), mandi dengan sabun Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (milik Unilever), dan merokok Sampoerna (97 persen sahamnya milik Philips Morris, Amerika Serikat).

Kenyataan lain membuktikan bahwa ternyata sumber daya alam kita digunakan sebagian besar bukan untuk kita, melainkan untuk negara-negara lain.

Kekayaan alam dikuras dan dijarah oleh korporasi asing. Bahkan tidak hanya itu, sektor-sektor vital ekonomi lainnya seperti perbankan dan industri juga dikuasai orang asing. Inilah model penjajahan akhir abad ke-20 dan ke-21.

Hampir setiap kebijakan domestik dan kebijakan luar negeri Indonesia selalu terpengaruhi untuk mengikuti aturan yang mereka buat.

Hematnya, kepentingan asing selalu melemahkan kepentingan nasional bangsa kita sendiri. Indonesia telah terseret menjadi sekadar subordinat atau agen setia bagi kepentingan asing.

Kekuatan asing dalam bidang ekonomi yang terjalin dalam korporasi-korporasinya memang telah mendikte bukan saja perekonomian nasional—seperti perdagangan, perbankan, penanaman modal, kepelayaran, dan kepelabuhan, kehutanan, perkebunan, pertambangan migas dan nonmigas, dan lain-lain—tetapi juga pada kebijakan politik dan pertahanan. Lantas, masihkah Indonesia pantas disebut sudah merdeka?

Kita memang sudah merdeka lebih dari enam dasawarsa. Kemerdekaan yang telah kita lewati ini, mestinya kaum elite Indonesia sudah berhasil membawa Indonesia ke tahapan yang betul-betul merdeka. Tapi, kekayaan alam kita masih tak bisa kita nikmati dan mencukupi kehidupan kita.

Padahal, di dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 sangat jelas dinyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Kenyataannya ternyata tidak demikian. Hampir semua aset negara sahamnya telah dikuasai oleh pihak asing.

Jadi, kalau sekarang ini perusahahaan asing bisa merajalela menguasai lahan-lahan di Indonesia, tentu saja hal ini besar kemungkinannya ada unsur kesengajaan dari pihak kita. Dan, hal inilah yang dipertanyakan oleh Wawan: kenapa bisa?

Jadi, disadari atau tidak, negeri kita ini telah mengalami penjajahan gaya baru. Penjajahan itu masuk melalui perusahaan-perusahaan asing yang mengisap kekayaan bangsa Indonesia.

Dan, yang menyedihkan, mereka mulai masuk justru melalui pemerintahan atau melalui sistem politik yang berlaku, untuk melakukan pengisapan.

Jalan masuk melalui pemerintahan dan sistem politik itu tujuannya tak lain untuk mengegolkan produk-produk hukum atau kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung pengeksploitasian habis-habisan sumber daya ekonomi kita.***

M. Iqbal Dawami
Blogger buku di http://resensor.blogspot.com/