Sabtu, Agustus 30, 2014

Leader 3.0.



Judul: Everyone Can Lead
Penulis: Hasnul Suhaimi
Penerbit: B-First
Cetakan: I, 2013
Tebal: xvii + 192 hlm.

Sejak menjabat sebagai CEO perusahaan telekomunikasi, Hasnul Suhaimi terus menunjukkan gebrakan mengejutkan. Ia memangkas tarif telepon seluler menjadi Rp 100/menit, menjadikan perusahaan tersebut sebagai bagian dari tren anak muda, dan melejitkan marjin keuntungan perusahaan. Banyak yang menyangka bahwa keberhasilannya itu berkat “tangan besinya” yang kokoh. Namun ternyata, orang-orang di sekeliling Hasnul membuktikan bahwa ia adalah sosok atasan yang hangat dan mau mendengarkan. Hasnul sukses menularkan semangat “coopetation”.

Dalam buku berjudul Everyone Can Lead ini Hasnul membeberkan rahasia kesuksesannya. Bagi Hasnul siapa pun bisa menjadi pemimpin. Seperti halnya dirinya yang mempunyai latar belakang orang biasa, ia bisa mencapai posisi pemimpin di perusahaan besar. Dia menjalaninya setapak demi setapak, dari titik terendah di sebuah perusahan. Kini ia menjadi salah satu perusahaan telekomunikasi terkemuka di Indonesia, dan sebelumnya pernah memimpin beberapa perusahaan telekomunikasi terkemuka lainnya.

Menurut Hasnul seorang pemimpin biasanya memiliki kualitas tertentu di dalam dirinya yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal misalnya iktikad dan niat sungguh-sungguh untuk menjadi pemimpin maupun naluri bawaan bagi mereka yang terlahir lengkap dengan kualitas ini dalam dirinya. Sementara itu, faktor eksternal dapat berupa pola pengasuhan dalam keluarga, dorongan dari kelompok, serta kondisi genting.

Kualitas diri yang berkolaborasi dengan kedua faktor ini kemudian melahirkan karakter pemimpin. Contohnya, ada seseorang yang memiliki potensi menjadi pemimpin, mampu berpikir cepat dalam menyelesaikan masalah, tetapi tak terlalu percaya diri untuk speak up. Ketika ia didukung oleh lingkungan oleh lingkungan yang memercayai kemampuannya, lalu ia sendiri mendorong dirinya untuk mengasah kemampuan people management dan public speaking misalnya, ia tengah menjejaki anak tangga kepemimpinan.

Hasnul memberikan teladan konkrit. Paling tidak ada dua hal contoh hasil kepemimpinannya, yaitu membuat satu kode yang sama untuk semua operator. Jika pelanggan mau mengaktifkan RBT, tak perlu lagi ribet. Kita tinggal mengaktifkan satu kode, tidak peduli apa pun operator selulernya. Prinsip satu kode untuk semua ini memudahkan operator karena tak akan ada lagi macam-macam kode berjubel dalam iklan. Pemilik lagu pun akan diuntungkan karena dengan sekali pasang iklan ia sudah bisa menjangkau pelanggan dari semua operator seluler.

Contoh kedua, pembangunan tower pemancar base transceiver station (BTS). Satu tower dipakai secara berjamaah oleh banyak operator. Biaya pembangunan tower bisa dipapras, biaya operasional bisa dipangkas, dan ‘mengembalikan keindahan kota’ pun jadi tujuan pamungkas.

Melihat keberhasilan itu saya sepakat dengan komentar Hermawan Kartajaya dalam endorsement buku ini, yang mengatakan, “Buku ini menunjukkan bahwa Hasnul Suhaimi adalah Leader 3.0.”

@iqbalsheldon



Kamis, Agustus 28, 2014

DNA Abu Nawas




Judul: Jomblo Tapi Hafal Pancasila
Penulis: Agus Mulyadi
Penerbit: B-First
Cetakan: I, Juli 2014
Tebal: xii x 309 hlm.
  



“Dengan wajah jelek ini, saya memang susah mendapatkan pacar. Tapi, saya enjoy saja. Terkadang saya berpikir, Percuma juga mempunyai wajah ganteng, tapi punya pacar sama-sama gantengnya,” ucap Agus Mulyadi. 

Anda tahu siapa Agus Mulyadi? Dia adalah seorang blogger, “lahir di Magelang, hidup di Magelang, dan besar dizalimi,” tulis dia dalam bab “Profil Penulis” di bukunya. Pada mulanya adalah jasa edit foto-bareng member JKT48. Banyak orang meminta jasanya. Walhasil, dari situ ia mulai dikenal. Namun, tak lama kemudian ia tobat menjalankan bisnis ini, karena menimbulkan pro&kontra. Bejonya, dia sudah terlanjur terkenal. Orang kemudian mengikuti postingan di blognya. Buku ini adalah kumpulan tulisan di blognya yang kemudian diterbitkan.

Unik. Lucu. Cerdas. Tiga kata itu barangkali bisa mewakili isi buku ini. Unik, karena cara penyajiannya betul-betul otentik. Agus Mulyadi, yang akrab dipanggil Gus Mul, “hanya” menulis cerita pengalamannya sendiri. Ia menulis by field research. Dari hal-hal remeh hingga “berat”ia tulis dengan narasi yang santai namun memikat. Ia menulis seperti bertutur, seolah sedang bercerita langsung kepada pembaca, di hadapannya. Tak jarang, sering kali ia memunculkan ungkapan-ungkapan Bahasa Jawa keseharian yang khas.  

Ia cerita, misalnya, tentang pengalaman bertemu orang Belanda gegara dia memposting sebuah tulisan tentang makam Van Der Steur. Orang Belanda itu memberi tahu bahwa wajah model Gus Mul itulah yang disukai wanita Belanda. Atau cerita tentang kucingnya yang lucu dan setia. Maksud setia di sini, setia menemani kejombloan tuannya.   

Lucu, karena kisah-kisahnya dilumuri dengan hal-hal lucu. Tak jarang di setiap babnya diselipkan ungkapan-ungkapan yang membikin pembaca tertawa. Dan lucunya juga unik, lantaran ia menertawakan dirinya sendiri. Misalnya, tentang kawannya yang pasang susuk. Gus Mul bertanya kepada kawannya, seandainya mau pasang susuk, diletakkan dimana? Jawaban temannya sungguh membuat saya tertawa. Atau cerita tentang pengalaman bersama bapaknya yang kena setrum, gegara meletakkan gantungan baju di bohlam yang ada aliran listrinya. Melihat bapaknya kena setrum, Gus Mul tertawa. Tapi, setelah itu bapaknya balik menertawakan dirinya. Ada apa gerangan? Baiknya Anda baca sendiri.

Nah, yang terakhir adalah cerdas, kenapa? Karena si penulis mampu menggabungkan antara pengalaman dan opininya. Bagaimana, misalnya, dia beropini saat memerhatikan sinetron-sinetron Indonesia yang ungkapan dan alur ceritanya mudah ditebak. Ia juga beropini perihal pilkada yang sekarang dengan yang dulu. Pengalamannya sungguh mengharukan. Kecerdasannya juga terlihat dari cara menertawakan hidup, dalam hal ini soal kejombloannya karena tidak dikaruniai wajah tampan. Ia mengolok-olok dirinya yang sebetulnya mengkritik orang lain yang serba ingin sempurna.

Ada beberapa kekurangan dalam buku ini. Banyak istilah maupun ungkapan yang tidak diberi penjelasan. Misalnya, “El-Dorado”, “Nggragas”, “Kulonuwun, Pak, Buk, nyuwun jamune nggih???”, dll. Tentu saja segmen pembaca buku ini bukan hanya orang Jawa, karena itu dibutuhkan penjelasan setiap kali ada ungkapan Jawa-nya. Ada juga salah penempatan “koma” sehingga mengganggu nada membaca. Seperti pada halaman 99, dalam kalimat, “Gitu aja kok, repot lho sampeyan!” Mestinya penempatan “koma”nya setelah kata “repot”. 

Selain itu, soal penyebutan keterangan waktu. Banyak sekali penulis menyebutkan keterangan waktu yang tidak jelas pada saat menceritakan pengalamannya. Barangkali penulis maupun editor lupa bahwa tulisan ini yang sejatinya dari blog sudah dibukukan, sehingga keterangan waktu harus diperjelas. Karena itu pembaca menjadi tahu konteks tulisan tersebut. Hal ini bisa kita lihat dalam bab “Kucingku Oh Kucingku” dan “Kembang Telon yang Kesepian”.

Beberapa tulisan juga terkesan dipaksakan untuk diikutkan ke dalam buku ini. Selain tidak ada kaitannya dengan judul buku, kisahnya juga cukup pendek dan  “garing”. Untuk menyasar ke kalangan remaja buku ini terlalu tebal, sehingga berpengaruh terhadap kocek, dan kurang asyik pula untuk di-tenteng-tenteng saat bepergian.

Terlepas kekurangannya, buku ini cukup menghibur. Tak jarang saya dibuat tertawa tak kenal tempat. Jangan-jangan Gus Mul ini punya DNA Abu Nawas. []
@iqbalsheldon