Senin, September 03, 2012

Membangun Spirit Wirausaha

Judul: B.O.M.: Business Owner Mentality
Penulis: Hendrik Lim, MBA
Penerbit: Elex Media
Cetakan: I, Juli 2012
Tebal: xii + 506 halaman

Sebuah survey di London menunjukkan bahwa sekitar 80% pekerja “tidak merasakan apa-apa” saat pergi ke tempat kerja. Ini sama dengan mengatakan bahwa mereka tidak begitu senang harus pergi ke tempat kerja. Pergi bekerja hanya sebuah kewajiban. Bahkan bisa menjadi sebuah beban yang harus dihadapi dan tidak ada pilihan lain.

Sedang dalam sebuah riset lainnya dikatakan bahwa perusahaan yang bisa memiliki perilaku organisasi Business Owner Mentality selalu berkinerja hebat. Mereka punya iklim kerja yang menggairahkan dan profitable. Mereka senang dengan pekerjaannya. Mereka menjalankan perusahaan dengan akuntabilitas dan ownership seperti menjalankan perusahaan milik sendiri.

 Dari dua penelitian di atas sangat jelas jika sebuah perusahaan menginginkan kemajuan, hal yang harus dibenahi dulu adalah sumber daya manusianya, terutama mentalitas dan cara berpikirnya. Hal ini diamini oleh seorang mantan CEO di kelompok anak perusahaan Djarum Group dan GM Asia Pacific, Hendrik Lim. Dia mengatakan bahwa pola pikir, mentalitas dan mindset amat berpengaruh terhadap kelangsungan dan kebesaran sebuah perusahaan. Dia telah bekerja sama dengan banyak perusahaan. Dia mendapat kehormatan membantu mereka mendesain organizational behavior dan corporate culture agar iklim kerja menjadi vibrant. 

Tentu, Hendrik memahami betul mengapa para pekerja “tidak merasakan apa-apa” saat bekerja. Hendrik mengatakan, “Ketika ritme sebuah kerja itu menunjukkan pola yang sama, dan hal-hal yang bersifat risk taking seperti mencoba hal-hal baru yang inovatif tidak dicoba dalam diri kita, maka orang akan kelelahan mental. Ini wajar saja kalau orang mengerjakan sesuatu yang berulang-ulang tanpa tantangan. Ia akan burn out. Salah satu indikasi kelelahan mental: hari Sabtu atau Minggu, ia akan tidur seharian dan tidak merencanakan kegiatan apa pun bersama keluarga. Dan memulai lagi hal yang sama pada hari Senin,” (hlm.81). 

Lantas, bagaimana pemecahannya? Tak lain, yaitu membangun mental entrepreneur di semua lini, termasuk pekerja, ujar Hendrik. Entrepreneur adalaha sikap mental. Ini bisa dimiliki oleh semua orang dan profesi, bukan hanya pengusaha. Seseorang yang memiliki karakter entrepreneur akan selalu sukses dimanapun mereka berada, apa pun profesinya. 

Hal itulah yang hendak dibahas Hendrik dalam buku ini. Dia mengatakan bahwa siapa pun bisa menjadi entrepreneur, dan bisa mengadopsi mentalitas tersebut di mana pun ia bekerja. Oleh karena itu, sebuah perusahaan bisa mengadopsi entrepreneurial spirit ini, dan mengombinasikannya dengan praktik management leadership. 

Engagement
Saat ini sudah bukan zamannya lagi seorang direktur/CEO memimpin dengan rigid dan status quo, serta otoriter. Zaman yang semakin kompetitif ini dibutuhkan inovasi dan kreativitas agar sebuah perusahaan tetap bersaing. Maka, seorang pemimpin harus melibatkan seluruh komponen perusahaan, salah satunya adalah meng-engage pekerja dan executive dalam mencapai target dan cita-cita organisasi. Engagement adalah mengajak seluruh komponen untuk ikut terlibat secara aktif dalam sebuah pencapaian. 

Engagement hadir dalam level pikiran, perasaan, kehendak, dan semangat dalam diri pekerja. Direktur maupun karyawan harus menyadari bahwa mereka tidak bisa mengembangkan konsep diri sebagai "ambtenar" yang menunggu instruksi dari "pusat" atau "atas". Setiap individu, apa pun dan di mana pun posisinya, harus sudah menjadi pemain dalam bisnis yang dijalankan perusahaan. Ini berarti mereka sendiri yang mesti punya visi mengenai seperti mereka nantinya di masa datang. 

Hendrik mengibaratkan proses engagement itu mirip mengarahkan uap air panas secara kolektif dan menyalurkannya pada outlet tertentu, tidak membiarkannya buyar bergerak bebas, melainkan ternavigasi ke sebuah sasaran yang jelas. Sebagai orang yang sudah banyak “makan garam”, Hendrik menyadari betul bahwa tidak banyak hal besar yang bisa dihasilkan kalau sebuah organisasi hanya bisa ‘membeli’ badan dan tangan pekerja, tapi tanpa mendapatkan pikiran dan jiwanya. Oleh karena itu, membekali pekerja/profesi dengan pengetahuan dan keterampilan sudut pandang seperti yang dimiliki pemilik perusahaan akan melengkapi kemampuan executive management menjadi semakin lengkap.  

Intangible  
Mengembangkan mentalitas entrepreneur berarti mengajak setiap individu untuk melihat dirinya sebagai profesional sukses, di mana kesuksesan tersebut sambung-menyambung dan terus hidup untuk menyambut tantangan baru. Eileen Rachman dan Sylvina Savitri dari Experd Consultant, memberi contoh, pengusaha kripik home-industry di Bandung, yang bisa meraup keuntungan puluhan juta rupiah per hari. Mereka mengembangkan pemasaran dari rekan-rekan dan karyawan yang mereka sebut sebagai “jendral”. Para “jendral” dengan mentalitas entrepreneur yang terus berpikir kreatif inilah yang menghidupkan bisnis dan terus memperluas jaringan. 

Melalui buku ini Hendrik sesungguhnya mengajak para pebisnis untuk bertansformasi yang sampai menyentuh pada intangibles (aset nirwujud yang terekam dalam mental dan karakter). Rhenald Kasali (2010) menjelaskan bahwa perusahaan yang progresif adalah perusahaan yang memobilisasi harta-harta nirwujudnya. Sementara perusahaan yang semata memfokuskan perhatian pada tangible assets akan menjadi stagnan. Karakteristik intangibles misalnya: keberanian, kreatif, tidak menunggu, antusias, tidak egois, dan lain-lain. Buku ini sangat layak dijadikan referensi guna mendapatkan insight, menumbuhkan karir dan bisnis.[] 

M. Iqbal Dawami Direktur Iqro’ Corporation

Rabu, Juni 27, 2012

Renungan dari Sang Peziarah

Judul: Seperti Sungai yang Mengalir; Buah Pikiran dan Renungan
Penulis: Paulo Coelho
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, April 2012
Tebal: XVII + 303 halaman

Buku ini merupakan karya novelis ternama asal Brasil, yang terkenal dengan novelnya berjudul Alkemis. Hanya saja buku bukan berupa novel, melainkan kumpulan renungan dan cerita pendek, kisah-kisah yang menggugah tentang kehidupan dan kematian, suratan takdir dan pilihan, cinta yang hilang dan ditemukan. Buku ini ditulis dengan nada yang kadang humoris, kadang serius, tapi selalu dalam dan mengungkapkan artinya mengalami hidup dengan sepenuh-penuhnya.

Ia menawarkan refleksi pribadinya pada berbagai mata pelajaran dari busur panah dan musik untuk keanggunan, bepergian dan sifat baik dan jahat. Dikisahkan, seorang wanita tua menjelaskan kepada cucunya bagaimana pensil hanya dapat menunjukkan kepadanya jalan menuju kebahagiaan! Petunjuk tentang cara untuk mendaki gunung mengungkapkan rahasia untuk membuat impian Anda menjadi kenyataan. 


Karya ini menyajikan kisah Ghengis Khan dan Falcon yang mengajarkan tentang kebodohan akibat dari rasa amarah— seni persahabatan, dan seorang pianis yang melakukan contoh dalam memenuhi takdirnya. Paulo belajar tiga pelajaran penting ketika ia pergi untuk menyelamatkan seorang pria di jalan. Paulo menunjukkan kepada kita bagaimana kehidupan memiliki pelajaran untuk kita dalami, dari pengalaman terbesar, terkecil dan paling tidak biasa. Setelah membacanya, Anda akan mengerti, bahwa keindahan dan kebahagiaan ternyata ada dalam hal-hal sederhana. Kebijaksanaan ternyata sering bersembunyi di tempat-tempat tak terlihat. Kisah Upacara Minum Teh menunjukkan hal itu, pada saat Paulo berkunjung ke Jepang. “Upacara minum teh bertujuan untuk menghormati hal-hal yang indah dan sederhana” (hlm. 212). 


Simak juga bab berjudul “Genghis Khan dan Burung Rajawalinya” (hal. 32). Dikisahkan, Genghis Khan suatu pagi pergi berburu membawa burung rajawali kesayangannya. Saat sedang beristirahat di tengah hutan, ia tak bisa menemukan sumber air karena semua mata air saat itu sudah mengering dalam terkaman musim panas. Tiba-tiba Genghis Khan melihat ada air menetes-netes dari bebatuan di depannya. Ia lalu melepaskan rajawalinya dan mulai menampung tetesan air itu dalam cangkir yang selalu ia bawa. Setelah penuh terisi, ia pun meminumnya. 


Namun sebelum air itu sempat masuk ke mulutnya, rajawalinya menyambar cangkir itu sampai jatuh. Hal ini dilakukan berkali-kali hingga Genghis Khan murka. Ia pun menghunus pedangnya dan membunuh binatang kesayangannya itu. Karena tetesan air itu sudah berhenti, Khan penasaran dan naik ke atas bebatuan untuk mencari sumber air itu. Alangkah kagetnya Khan ketika menemukan bangkai ular berbisa di tengah genangan air di atas bebatuan—salah satu jenis ular paling berbisa di daerah sekitar situ. Ia bisa saja mati terkena bisa ular yang bercampur dengan air. Khan lalu memerintahkan anak buahnya untuk membuat patung emas burung itu. Di salah satu sayapnya ia meminta dituliskan kalimat ini: Saat seorang sahabat melakukan hal yang tidak berkenan di hatimu sekalipun, dia tetaplah sahabatmu. Di sayap yang satu lagi, ada tulisan: Tindakan apa pun yang dilakukan dalam angkara murka hanya akan membuahkan kegagalan. 


Dalam bab berjudul “Orang Katolik dan Orang Muslim” (hal. 277), Coelho menegaskan pentingnya kerukunan umat beragama. Ia mengisahkan pada saat itu ia sedang makan siang bersama seorang pastor Katolik dan seorang rekan beragama Islam. Rekannya yang Muslim ini sedang berpuasa sehingga tak ikut makan. Selesai makan, ada orang yang berkomentar pedas melihat si orang Muslim ini. “Kalian lihat betapa fanatiknya orang Muslim itu! Untunglah kalian orang-orang Katolik tidak seperti mereka.” 


Si pastor membalas perkataan tak sopan tersebut. “Tetapi kami pun sama. Dia berusaha mematuhi Tuhan, sama seperti saya. Hanya saja kami mengikuti hukum-hukum yang berbeda.” Lalu ia berkata kepada Coelho, “Sayang sekali orang hanya melihat perbedaan-perbedaan yang memisahkan mereka. Seandainya kita memandang dengan kasih yang lebih besar, kita akan lebih banyak melihat kesamaan-kesamaan, dan sebagian dari masalah-masalah di dunia akan terselesaikan.” 


Paulo ingin dikenal sebagai peziarah ketimbang novelis dan spiritualis, karena dari ziarah itulah dia mendapatkan pencerahan hidup, terutama saat ziarah ke Santiago, tempat peziarahan umat Katolik. Dan melalui buku ini kita banyak diajak berziarah ke pelbagai tempat di dunia yang menyimpan hikmah dan pelajaran.[] 


M. Iqbal Dawami Pencinta buku, penikmat secangkir teh.

Agar Bahagia dalam Bekerja

Judul: I Love Monday; Mengubah Paradigma dalam Bekerja dan Bisnis
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Kaifa Cetakan: I, Juni 2012
Tebal: x + 299 hlm.

“Sebab aku percaya satu-satunya cara berbagi cinta personal kita adalah dengan melalui kerja,” ujar Paulo Coelho, novelis ternama asal Brasil. Ya, bekerja sejatinya adalah sebentuk ekspresi berbagi kepada khalayak manusia. Dengan bekerja, kita menjadi bahagia, karena sudah memberikan hidup yang bermanfaat bagi orang lain. Dengan demikian bekerja adalah alasan kita berada di dunia ini. Namun, kenyataannya masih banyak orang bekerja dalam keadaan tidak bahagia. Mereka bekerja dengan perasaan galau, tidak bahagia dengan apa yang mereka kerjakan, sehingga mereka membenci hari senin, sebagai awal hari dimulainya bekerja, setelah sehari-dua hari sebelumnya mereka berlibur. Sungguh ironik.


Yang membuat orang tidak bahagia dalam bekerja sesungguhnya bukanlah karena pekerjaan itu sendiri, melainkan paradigmanya terhadap pekerjaan. Bagaimana bisa bahagia jika seseorang melihat pekerjaannya hanya sebagai setumpuk tugas yang harus diselesaikan? Arvan Pradiansyah, seorang motivator, trainer, dan Happiness Inspirer, dalam buku terbarunya I Love Monday (2012) memaparkan sisi-sisi indah sebuah pekerjaan. Ia membuat tipologi manusia melihat pekerjaan yakni job, career, dan calling. 


Pertama, melihat pekerjaan sebagai job. Tipe pekerja seperti ini adalah tipe orang yang menjalankan skenario orang lain. Dia datang ke kantor hanya sekadar menjalankan tugas yang diberikan kepadanya. Tidak ada greget untuk meningkatkan performanya. Yang penting adalah pekerjaan selesai, mendapat gaji, dan merindukan hari libur. Mereka hanya menjalani rutinitas, tidak menyukai pekerjaannya, terlebih menikmatinya. Walhasil, mereka bekerja dengan beban berat. 


Kedua, melihat pekerjaan sebagai career. Tipe pekerja seperti ini adalah tipe orang yang menjalankan skenarionya sendiri. Dia tidak hanya bekerja, tetapi juga mempunya inisiatif, inovatif, dan kreatif. Mengapa orang jenis ini melakukan seperti itu? Karena dia mempunya mimpi dan cita-cita. Dia tidak sebatas hendak bekerja seperti itu selamanya. Dia mempunyai misi bagaimana perusahaan tempat dia bekerja bisa maju. Dan secara tidak langsung, hal itu akan meningkatkan kualitas dirinya sendiri. Konsekuensinya adalah kesuksesan. 


Ketiga, melihat pekerjaan sebagai calling. Tipe pekerja seperti ini adalah tipe orang yang menjalankan skenario Tuhan. Dia tidak lagi berfokus pada diri sendiri, melainkan pada orang lain. Dia bekerja di bidang tersebut karena memang panggilan (hidup). Tipe pekerja jenis ini sadar bahwa dirinya sesungguhnya adalah utusan Tuhan yang dikirimkan-Nya ke dunia ini karena sebuah maksud tertentu. Orang yang melihat dunia seperti itu akan beroleh kebahagiaan dalam bekerja, dan api semangatnya tak pernah padam. Dia tidak hanya mendatangkan kesuksesan hidup, tetapi juga kebahagiaan hidup. 


Uang
Bekerja adalah tujuan terpenting penciptaan manusia di alam semesta ini. Sesungguhnya, bekerja adalah alasan Tuhan menurunkan kita ke dunia ini. Setiap orang, sejatinya adalah manusia hebat jika mereka mampu menemukan panggilan jiwa mereka dan mengelolanya dengan baik. Tetapi, menemukan panggilan jiwa bukanlah hal mudah. Ini adalah perjalanan kita untuk menemukan jati diri kita. Ini adalah perjalanan spiritual seumur hidup kita. Tentu saja, ada banyak kendala yang sering menghadang kita. Salah satu yang terbesar bernama uang. 


Uang, menurut Arvan, memang dapat menghasilkan kesenangan dan kenikmatan, tetapi kegiatan tersebut tidak akan menghasilkan perasaan berguna dan bermakna. Dan ketika Anda hanya mendapatkan kesenangan dan kenikmatan, rasa bosan akan sering melanda diri Anda. Sembari memperkuat argumennya, Arvan mengutip kata-kata Steve Jobs, bahwa “Kepuasan kerja sejati tidak terletak pada uang yang dijanjikan, tetapi pada pengembangan diri untuk terus memperbaiki kualitas sumber daya sebagai bekal yang tidak terseret inflasi seiring perkembangan waktu.” 


Ia juga memaparkan hasil penelitian Tim Kasser dan Richard Ryan, bahwa orang yang menempatkan uang dalam daftar utama prioritas mereka sangat berisiko menderita depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri. Semakin mencari kepuasan dari sesuatu yang bersifat material, semakin sulitlah kita menemukannya. Tak salah memang kita bekerja dengan niat mendapatkan uang. Tapi, niat seperti itu mudah terkena “penyakit”, baik penyakit fisik maupun psikis, sebagaimana dipaparkan di atas. 


Pelayanan 
Arvan memberikan solusi yang bagus bahwa agar kita bekerja dengan dengan penuh makna dan bahagia yang nilainya jauh dari soal uang, yakni bekerja untuk melayani orang lain. Esensi bekerja bukanlah mencari uang, melainkan melayani sesama manusia yang membutuhkan. Dengan melayani, kita akan merasa penting, bermanfaat, dan berguna. Dan apabila Anda melayani orang lain, uang akan datang dengan sendirinya sebagai sebuah konsekuensi, karena melayani sesungguhnya adalah konsep bisnis. Mementingkan orang lain adalah rahasia bisnis terpenting sepanjang masa. 


Ketika Anda menemukan diri Anda bermanfaat bagi orang banyak, dalam diri Anda telah tercipta api semangat yang menyala-nyala dan tak akan pernah padam. Mencari manfaat dan makna adalah sesuatu yang paling besar yang dicari oleh manusia di dunia ini, jauh melebihi pencarian akan uang. Bekerja dengan niat melayani ini juga yang dimaksud Arvan termasuk pada kategor calling, yakni orang yang bekerja karena panggilan hidup, yang semata-mata melayani sesama sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Bukankah semua tindakan yang kita lakukan untuk membantu orang lain (baca: pelayanan) merupakan perwujudan dari ketundukan dan pelayanan kita kepada Tuhan itu sendiri? 


Buku ini akan mengubah paradigma Anda soal pekerjaan, yang tadinya pekerjaan dijadikan sebagai job, akan beralih ke career, dan yang career berhijrah ke calling. Jika sudah menganggap bekerja sebagai panggilan hidup, maka Anda akan mengucapkan dengan penuh antusias, “Selamat datang hari senin!”[] 


M. Iqbal Dawami Direktur Iqro Corporation

Selasa, April 24, 2012

Ketika Lan Fang Menulis Esai

Judul: Imlek tanpa Gus Dur
Penulis: Lan Fang
Penerbit: Gramedia
Cetakan: I, 2012
Tebal: vi+112 hlm.  

Almarhumah Lan Fang, sastrawati asal Surabaya, lebih dikenal sebagai novelis dan cerpenis, ketimbang esais. Wajar, karena memang karya-karyanya banyak berupa novel dan kumpulan cerpen. Tapi, buku ini memperkenalkan kepada khalayak pembaca bahwa seorang Lan Fang juga sangat piawai dalam menulis non-fiksi, dalam hal ini esai. Ya, buku ini membuktikan hal itu. Di dalamnya adalah kumpulan esai yang berjumlah 22 tulisan. Dibuka dengan esai "Adat dan Adab Menulis" dan ditutup dengan esai "What is Bahasa Daerah".

Jika dicermati dari ragam judul tulisannya, Lan Fang mengangkat beberapa tema, di mana tema-tema tersebut tidak jauh dari kehidupan yang menyertai dirinya. Tema-tema tersebut banyak berbicara perihal ketionghoaan, sebut sebut saja, misalnya, "Ghirah Sastra Tionghoa Terus Menyala", "Makam Suci di Bukit Lingzhan", "Sastra Cina: Bangkit dari Mati Suri", dan lain-lain. 

Barangkali salah satu tulisan utama yang mengandung tema ketionghoaan adalah sebagaimana yang dijadikan judul buku ini yakni "Imlek Tanpa Gus Dur". Tulisan ini menjadi "maskot" buku ini. Hal ini wajar, karena Gus Dur adalah seorang pembaharu bagi warga Tionghoa, karena ia pada saat menjadi presiden mengeluarkan Keppres tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional. Ini sungguh luar biasa di mata warga keturunan Tionghoa, karena mereka merasa diakui sebagai bagian dari warga negara Indonesia. 

Untuk itulah, Lan Fang dalam tulisan "Imlek tanpa Gus Dur" berkisah secara personal yang menyeolahkan dirinya berbicara langsung dengan Gus Dur. Minggu, 14 februari 2010, adalah Imlek ke-8 diakui pemerintah sebagai hari libur nasional. Imlek kali itu berbeda yang dirasakan Lan Fang, sebab perayaannya tanpa Gus Dur. Lan Fang berkisah masa kecilnya di Banjarmasin. Toko orangtuanya ramai pembeli saat bulan puasa Ramadhan. Saat Idul Fitri, Lan Fang bertanya-tanya, "Saya juga ingin mempunyai hari raya, tetapi kenapa tidak pernah ada?" 

Namun, selama bertahun-tahun tidak ada yang bisa memberikan jawaban padanya. Termasuk orangtuanya. Sampai suatu ketika, keluarganya menyulut hiosua di pintu belakang toko, kemudian mereka makan misua dan telor rebus. Setelah itu, dia sungkem kepada orangtua dan para sesepuh lalu menyelipkan angpau di kantong Lan Fang. Pada hari itu, dia juga memakai baju bagus seperti pada saat Idul Fitri. Ketika itulah, orangtuanya menjelaskan bahwa dirinya sedang merayakan hari raya juga. 

Tapi, dia heran, kenapa "Idul Fitri" mereka sangat sepi? Bahkan sepertinya dirayakan dengan sembunyi-sembunyi. Hari raya yang dirayakan dengan diam-diam saja. Sampai pada saat Indonesia memasuki era reformasi dan Gud Dur menjadi presiden, Imlek baru dijadikan hari libur nasional. Hari raya yang sebelumnya hanya dirayakan dalam kesenyapan tiba-tiba menjadi gempita. Mengucapkan gong xi fa chai sama meriahnya dengan saat mengucapkan minal aidin wal faidzin atau merry christmas. Baju jibao menjadi salah satu trendsetter mode pakaian. Bahkan, pada saat perayaan Imlek, Gus Dur tampak tidak canggung memakai baju jibao tersebut. 

Bagi Lan Fang, Gus Dur adalah orangtuanya. Karena sudah memenuhi keinginan masa kecilnya terdahulu untuk merayakan Imlek layaknya Idul Fitri. Dalam tulisan ini Lan Fang, secara jujur, betapa inginnya dia sungkem kepada Gus Dur saat Imlek. Lan Fang begitu menghormati Gus Dur karena telah dia anggap sebagai ayahnya sendiri. 

Dalam tulisan lainnya, Lan Fang juga berkisah tentang lawatannya ke negeri Cina. Dia mengamati perjumpaan antara Cina dengan Islam. Dia bercerita tentang pusara suci sahabat Nabi Muhammad di Cina yang dahulu diutus untuk mengenalkan pesan damai Islam di sana. Dari tulisan-tulisan semacam ini, ada pesan yang bisa kita gali bahwa Lan Fang sangat menjunjung kerukunan umat beragama. Dia tidak canggung berdialog dan bergaul dengan keyakinan yang bukan dianutnya. Dia juga sudah biasa bicara di tengah masyarakat muslim, semisal di lingkungan pondok pesantren. ]

Walhasil, lewat esai-esainya yang terhimpun dalam buku ini, kita dapat melihat bahwa Lan Fang adalah pribadi yang terbuka dengan budaya dan keyakinan lain. Meski seorang penulis—yang identik penyendiri—ia ternyata mampu bersosialisasi dengan masyarakat luas tanpa ada rasa canggung. Perhatiannya terhadap multikultural, kesenian, kebudayaan, dan keberagamaan begitu besar. Satu hal lagi, adanya buku ini juga menandaskan bahwa ia tidak hanya piawai dalam menulis novel atau cerpen, tetapi juga esai. 

Namun sayang, buku ini tidak dilengkapi kata pengantar, biodata penulis, dan endorsement, sehingga terkesan asal naik cetak saja. Padahal, buku ini sungguh menarik dan mempunyai sumbangsih yang mendalam bagi dunia sastra, budaya, agama, dan seni.[]

M. Iqbal Dawami, esais dan pencinta sastra, tinggal di Pati.

Senin, April 16, 2012

Meraih Sukses Sejati


Sindo, 15 April 2012
===============
Judul: 7 Hal Gratis yang Menentukan Kesuksesan Anda
Penulis: Peng Kheng Sun
Penerbit: Elex Media
Cetakan: I, Februari 2012
Tebal: ix +244 hlm.
===============

SIAPA yang tidak ingin sukses? Barangkali tidak ada. Semua orang sepakat bahwa manusia dalam hidupnya pasti ingin sukses. Pelbagai cara dilakukan. Dan terkadang kita masih di tempat yang sama seolah kesuksesan semakin dikejar semakin menjauh. Padahal tahukah anda bahwa Tuhan telah menyediakan sejumlah hal gratis yang sangat bernilai bagi setiap orang yang mau memanfaatkannya untuk mendapat kesuksesan tersebut. Setiap orang memiliki kapasitas untuk mendapatkan semua hal gratis tersebut.

Buku ini dapat membantu siapa saja yang ingin meraih kesuksesan dalam pelbagai bidang kehidupan dengan memanfaatkan semua hal gratis yang sudah tersedia. Karena bisa mendapatkan sesuatu secara gratis, kita jadi kurang menghargai apa saja yang bisa didapatkan secara gratis. Jarang sekali orang bersyukur bisa mendapatkan berbagai gratis yang lain. Ketujuh hal gratis yang dimaksud adalah: ide, kesempatan, cita-cita, rencana, semangat, mental, dan sahabat.

Meski ide merupakan hal yang sangat luar biasa, tapi ide itu merupakan hal yang gratis. Artinya, setiap orang sebenarnya bisa menghasilkan ide sebanyak-banyaknya sesuai dengan keinginannya. Namun ide baru tidak datang begitu saja. Setiap orang perlu berusaha untuk mendapatkannya. Ide baru yang bisa diwujudkan dengan baik ibarat mata uang yang membuat anda mempunyai nilai tambah dan "laku" di masyarakat. Contoh, Hong Kong tidak mempunyai tempat-tempat wisata alam seperti di Indonesia, tapi mengapa banyak turis mancanegara tertarik mengunjungi Hong Kong? Tidak lain karena penguasa Hong Kong mempunyai ide cemerlang dengan menawarkan wisata jenis lain, yakni wisata menikmati keindahan kota Hong Kong.

Tanpa ide seperti itu, Hong Kong jelas bukan tempat yang menarik untuk dikunjungi. Ini fakta bahwa ide sungguh mampu membuat hasil yang berbeda. Sebaliknya, banyak daerah di Indonesia yang sudah mempunyai tempat wisata alam yang indah dan menarik, tapi karena Pemda setempat tidak mempunyai ide untuk memanfaatkannya secara maksimal, maka tidak menjadi tempat pariwisata yang menarik dan ramai dikunjungi orang. Jika anda hanya mengandalkan ide-ide lama yang sudah usang, tentu hasil yang akan anda lakukan dapatkan juga tidak maksimal. Ide-ide yang tidak ditindaklanjuti tidak ada manfaatnya betapapun bagusnya ide tersebut. Ide baru yang tidak pernah ditindaklanjuti sa,a saja dengan tidak mempunyai ide.

Ide adalah sesuatu yang dahsyat, bernilai dan sekaligus menemukan kesuksesan anda. Bahkan semua produk yang kita nikmati sekarang berawal dari ide-ide cemerlang. Ide juga mampu menjadi tambang emas bila anda mampu menggunakannya dengan baik. Bermodal ide membuat pencarian lebih mudah, Google menjadi raksasa internet. Keinginannya untuk menghubungkan orang lain membuat Mark Zuckerberg menjadi sosok termuda yang menjadi miliarder dalam sejarah. Ide jua yang membuat Hendy Setiono mengekspor kebabnya hingga ke luar negeri.

Penulis buku ini memberikan cara mendapatkan ide cemerlang yang menuntun pada kesuksesan tersebut, yaitu melalui pengamatan, menyimak, meniru dan memodifikasi ide orang lain, bermain, membaca dan menulis.

Kesempatan juga gratis. Namun anda perlu usaha dan mungkin juga biaya untuk mengolah kesempatan agar bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Anda akan menuai hasil yang besar dan memuaskan jika berhasil mengolah kesempatan menjadi nyata. Dengan demikian, keuntungan anda akan menjadi berkali lipat. Kesempatan tidak kasatmata, maka sering anda tidak menyadari kehadirannya.

Karena itu, banyak orang jarang berlatih mengenali berbagai kesempatan yang sebenarnya sangat dekat dengannya. Kesempatan yang sebenarnya bisa didapatkan secara gratis tapi justru sering disia-siakan. Kita sering melewatkan kesempatan-kesempatan emas dalam hidup yang singkat ini sampai semuanya menjadi sangat terlambat. Benarlah pepatah yang mengatakan bahwa, "Penyesalan selalu datang terlambat". Penyesalan terjadi manakala orang gagal memanfaatkan kesempatan.

Cara mendapatkan kesempatan di antaranya: mulailah memanfaatkan kesempatan kecil, lakukan perbaikan-perbaikan kecil, menjadi pengamat yang terlatih, berinisiatif, dan memiliki kebiasaan yang baik. Jika Anda adalah seorang Penggemar permainan catur, anda mungkin mengenal nama Jose Raol Capablanca. Mantan juara dunia catur asal Kuba ini diakui oleh dunia catur sebagai salah satu pemain catur terkuat yang pernah ada. Salah satu kekuatannya terletak pada kemampuannya memanfaatkan kombinasi-kombinasi kecil untuk meruntuhkan pertahanan lawan. Cara inilah yang membuat Capablanca selalu mendapat kesempatan untuk mengalahkan lawan-lawannya dengan mengesankan.

Kesempatan-kesempatan kecil sangat mudah anda temukan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, jika anda ingin mendapatkan banyak kesempatan bagus, mulailah dari memanfaatkan kesempatan-kesempatan kecil dulu. Cita-cita dan semangat juga gratis. Dalam bidang apa pun, cita-cita akan memberikan semangat yang menyala-nyala kepada pemiliknya. Inilah yang menyebabkan orang yang memiliki cita-cita biasanya juga sekaligus memiliki semangat yang tinggi untuk mencapainya. Itu merupakan modal besar membuat mereka meraih kesuksesan.

Peng Kheng Sun, penulis buku ini, pernah bekerja sebagai analis kredit, dosen, pedagang buku, staf administrasi, penulis, dan sebagainya. Setidaknya ada sekitar sepuluh macam pekerjaan yang pernah dilakukannya. Namun dia selalu bisa menemukan cara untuk mencintai pekerjaan-pekerjaannya selama pekerjaan tersebut tidak bertentangan dengan hati nuraninya. karena itu, dia selalu bisa bekerja dengan semangat tinggi.

Penulis buku ini berpesan bahwa apa pun pekerjaan anda, selalu ada sisi menarik dan menyenangkan. Dengan kata lain, jika mau berusaha, anda juga pasti bisa menemukan cara untuk mencintai pekerjaan anda. Jika tetap tidak bisa, carilah pekerjaan yang benar-benar anda senangi sehingga anda bersemangat tinggi mengerjakannya.

Sahabat juga hal gratis. Dengan sahabat segala sesuatunya akan terasa mudah dan bias saling membantu kesuksesan kita. Bunda Teresa mengatakan: anda dapat melakukan apa yang tidak dapat saya lakukan. Saya dapat melakukan apa yang tidak dapat anda lakukan. Bersama-sama kita dapat melakukan perkara-perkara besar. Meski begitu tidak mudah sesungguhnya untuk menjalin persahabatan. Hal ini digambarkan dalam aforisme yang terkenal: persahabatan sejati adalah persahabatan yang telah teruji oleh waktu dan berbagai kondisi.

Buku ini sangat layak dibaca bagi siapa saja yang mau belajar meraih kesuksesan, bukan hanya lantaran diambil dari pengalaman orang-orang suskes, tetapi juga disaripatikan dari kehidupan si penulisnya sendiri. Inilah yang menjadi kekuatan emas buku ini.[]

M. Iqbal Dawami
Esais, tinggal di Pati.

Selasa, April 10, 2012

Merayakan Hidup dengan Gembira


Judul: 366 Reflections of Life
Penulis: Sidik Nugroho
Penerbit: BIP
Cetakan: I, 2012
Tebal: x + 384 hlm.

BUKU ini adalah hasil serangkaian interaksi penulis (Sidik Nugroho) dengan pelbagai sisi kehidupan yang ada di sekitarnya. Dia tidak saja menyuguhkan peristiwa, tetapi juga mampu merefleksikannya. Ada getaran-getaran syukur dan ikhlas tatkala membacanya. Setiap kali ia menuliskan cuplikan peristiwa selalu saja diakhiri dengan refleksi, yang berarti bahwa kita diajak merenung perihal anugerah hidup dan Maha Rahman dan Rahim-Nya Tuhan. Cuplikan peristiwa yang diangkat bisa dari pengalaman si penulis, buku-buku yang dibacanya, maupun film-film yang ditontonnya. Ia bisa menceritakan seorang tokoh, peristiwa bersejarah, atau pun hal-hal sederhana dalam keseharian.

Misalnya, saat ia dan keluarganya tengah berbahagia, lantaran telah lahir seorang putri dari kakaknya. Ia pun memberi kabar gembira kepada beberapa temannya. Dan salah satu temannya berujar,"...Seluruh dunia turut merayakannya." ketika memandangi keponakannya, ia teringat kata-kata Mahatma Gandhi: saya datang ke dunia dengan menangis dan semua orang tertawa; biarlah saya pergi dari dunia dengan tertawa dan orang lain menangis.

Sidik mengatakan bahwa semua manusia dewasa pernah menjadi bayi, dan kini mereka berjuang untuk mempertahankan hidup. Daya hidup diuji. Jika daya hidup besar, maka manusia akan tegar ketika badai datang. Contoh lainnya saat ia merefleksikan bahwa hidup ini sangat berharga, yaitu pada saat rumah tetangga kakaknya dilanda kebakaran. Kebakaran itu hampir mengenai rumah kakaknya. Ia dan kakaknya dengan sigap mengeluarkan barang-barang berharga untuk diselamatkan sebagai langkah antisipatif. Dari peristiwa itu ia merenung bahwa ketika dekat dengan bahaya yang mengancam hidup kita akan menyadari bahwa hidup ini sangat berharga.

Dalam tulisan "Keluasan Suatu Visi" ia mengajak kita untuk memiliki visi yang jelas. Hal itu ia dapatkan dari pengalamannya bolak-balik Malang-Sidoarjo. Dan dalam tulisan lainnya "Orang Gila di Warkop" ia bertutur tentang orang gila yang sedang ngopi bersamanya di warung kopi (warkop) dekat alun-alun Sidoarjo. Awalnya, ia tidak sadar kalau yang di sampingnya adalah orang gila, tapi bau pesing dan tingkahnya yang aneh, barulah ia ngeh bahwa ternyata yang berada di sampingnya adalah majnun alias gila. Sesampai di kos ia berpikir bagaimana nasib orang gila tersebut yang sedang kedinginan dan kelaparan saat turun hujan. Apakah kemudian orang gila itu diajak ke kosnya? Anda akan temukan jawabannya dalam buku ini.

Sedang dari contoh film, misalnya dari film The Shawshank Redemption, ia mendapatkan pelajaran berharga dari anugerah Tuhan. Kesalahan masa lalu tidak harus membuat hidup menjadi berantakan di masa kini. Dari film Hannibal Rising mengajarkannya untuk tidak memiliki dua jiwa, lantaran menyimpan dendam masa lalu terhadap seseorang. Buku ini menunjukkan bahwa apa pun gerak kehidupan bisa dijadikan bahan renungan. Renungan itu menggerakkan kita untuk mensyukuri anugerah hidup ini, dan peristiwa-peristiwa yang kita alami terdahulu disadari atau tidak memberikan efeknya pada masa kini.

Buku ini sesungguhnya tidak hanya sekadar refleksi tetapi juga sebentuk kontemplasi yang bisa memberikan pencerahan bagi pembacanya. Kombinasi antara (mantan) pendakwah, guru, dan penulis, menjadikan ia piawai mengolah bahan-bahan peristiwa menjadi nutrisi yang bergizi bagi batin yang tidak hanya menyehatkan, tetapi juga meneduhkan.

Buku ini enak dibaca sembari menyesap secangkir teh dan sepiring gogodoh.

M. Iqbal Dawami, esais, tinggal di Pati.

Sabtu, April 07, 2012

Kitab Sakti Menulis Novel


Judul: Menulis Fiksi itu Seksi
Penulis: Alberthiene Endah
Penerbit: Gramedia
Cetakan: I, 2011.
Tebal: 255 hlm.

"KENAPA saya menulis? sebab dengan menulis, saya nggak akan kehabisan dunia. Saya selalu temukan ruang-ruang baru dengan sensasi mendebarkan. Menulis adalah cara yang indah untuk memperbarui hatimu dan memperluas cakrawala." Begitu buku ini dibuka. Kata-kata Alberthiene Endah, penulis buku ini, cukup membuat saya tersenyum, senyum kebersyukuran saya yang juga menggeluti dunia tulis menulis, meski dalam taraf tertentu saya tidak sepenuhnya mengamini. Ya hal itu wajar saja, karena pengalaman saya dan Endah berbeda. Keberbedaan itulah kiranya kita tak perlu memperuncing sedemikian rupa. Jadi, mari kita nikmati bersama suguhan Endah ini perihal pandangan dia terhadap dunia tulis menulis.

Endah menarasikan kisah hidupnya dalam dunia tulis menulis. Di dalamnya ada banyak pengalaman dia saat menulis novel-novelnya. Entah itu pendapatan ide, observasi yang dalam, dan keluhan-keluhan dia terhadap orang yang mengeluh perihal tulis menulis. Misalnya, terhadap orang yang tak kunjung menulis lantaran seabreg alasan: tidak ada mood, mentok, takut menuliskannya, dan lain sebagainya. Bagi Endah itu hanya alasan belaka, alasan untuk menutupi "sesuatu", dan sesuatu itu bernama malas.

Ya, orang mestinya harus mengakui kalau dirinya malas saat memulai menulis, tanpa perlu mengatakan tidak adanya mood, atau yang sebangsanya. Dengan begitu, ia akan selamat dari cibiran orang, terlebih dari para penulis kawakan semacam Endah itu. "Gue tahu, lo bukannya nggak mood...,(tapi) sama-sama depannya 'M'. Lo males," ujar Endah. Ya, mood alias suasana hati sering dijadikan kambing hitam dalam arena penulisan. Atas nama tidak ada mood, seorang penulis menunda karyanya sampai satu minggu, dua minggu, tiga bulan, setahun, dua tahun. Rahasia Endah agar tidak malas dan selalu moody adalah mengamalkam kredo ini: Tahap awal harus dilawan! Jangan biarkan rasa malas benar-benar mengunci kesempatan kamu.

Kiranya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa buku ini buku fardu kifayah, untuk tidak dikatakan fardu ain, karena sharing Endah atas dunia menulis fiksi (baca: novel) begitu berharga. Pengalamannya yang kaya bisa kita terapkan dalam proses kreatif kita. Bagi saya, buku ini memberi saya kekuatan dan keyakinan bahwa profesi menulis adalah profesi yang menjanjikan baik kesehatan finansial maupun kebahagiaan. Saya senada dengan apa yang dikatakan Endah: "Membaca dan menulis adalah dua kekuatan hebat yang membuat saya merasa hidup. Ada banyak hal yang bisa membuat kita mampu memaknai hidup, dan kita semua memiliki pilihan yang sesuai dengan kata hati" (hlm. 33).

Sayang sekali buku ini terlalu condong ke persoalan mentalitas menulis ketimbang teknis. Hal ini terkesan dangkal dan buru-buru menulisnya. Kurang sabaran penulisnya untuk mengeksplor lebih jauh, menjadikan buku ini serba canggung nan tanggung dipelajari oleh pembacanya. Menurut saya, idealnya, buku ini menyuguhkan pengalamannya secara berimbang antara persoalan mentalitas menulis dan teknisinya. Namun, harus dipahami, bahwa mentalitas sangat penting dalam dunia tulis menulis. Emha Ainun Nadjib, yang akrab dipanggil Cak Nun, pernah berkata, "Menulis itu lebih kepada persoalan mental ketimbang bakat dan teknik."

Walhasil, buku ini sangat layak dibaca bagi mereka yang ingin segera merealisasikan hasrat untuk menulis.[]

M. Iqbal Dawami, pecinta sastra.

Mencari Obat Galau


Judul: Rahasia Sepuluh Malam
Penulis: Achmad Chodjim
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Januari 2012
Tebal: 427 hlm.

APA yang dimaksud dengan sepuluh malam? Itu yang ada dalam benak saya tatkala membaca judul buku ini. Dan apa pula rahasianya? Inilah yang hendak digali dalam buku ini. Lembar demi lembar saya baca, 'sepuluh malam' itu saya temukan jawabannya pada halaman 14. Ternyata, buku ini berangkat dari Alquran surat Al-Fajr, utamanya ayat kedua. Ayat itu berbunyi "Demi malam yang sepuluh". Ada apa dengan sepuluh malam itu? Inilah yang hendak dicari Achmad Chodjim, sang penulis buku ini.

Menurut Chodjim, malam adalah simbol kegelapan atau ketidaksadaran. Kebutaan jiwa. Karena buta, hidup ini bagaikan berjalan di dalam terowongan gelap. Tapi, kita harus keluar dari terowongan yang gelap itu (hlm. 16). Di antara kegelapan itu adalah kebodohan. Kebodohan bisa dalam pengertian ketidaktahun dan ketidakmautahuan. Chodjim membagi ketidaktahuan menjadi tiga macam: ketidaktahuan terhadap keinginan, kesenangan, dan kepercayaannya. Ketiga macam inilah yang menjadi penyebab terjadinya kekecewaan, penderitaan, bahkan putus asa. Selain itu juga seringkali memunculkan penyakit-penyakit hati seperti rakus, kikir, kufur, bahkan zalim.

Kegelapan semacam itu harus ditembus dengan cahaya. Maka tugas manusialah yang mencari cahaya tersebut. Jadi, setelah kita tahu berbagai macam kegelapan yang menyelimuti kehidupan manusia, kita harus mencari jalan keluar. Kita harus keluar dari terowongan dan lorong yang gelap itu. Chodjim dalam buku ini menawarkan jalan keluarnya dengan membuka selubung rahasia sepuluh malam, yaitu: rahasia tobat, sabar, syukur, zuhud, rida, ikhlas, taslim, tawakal, fana, dan mahabbah (cinta).

Itulah sepuluh aksi untuk keluar dari kegelapan hidup, menurut Chodjim. Kesepuluh aksi tersebut boleh jadi tidak asing di telinga kita. Atau paling tidak hanya beberapa poin saja yang belum kita ketahui seperti taslim dan fana. Taslim adalah berserah diri secara total kepada Tuhan. Keberserahan itu dilakukan karena kita sadar bahwa daya dan kekuatan itu kepunyaan Allah. Sedang fana adalah mengosongkan dari sifat-sifat keduniawian dan mengisinya dengan sifat-sifat Allah dan Rasul. Lantas bagaimana proses dan prosedur agar bisa mempraktikkan taslim dan fana? kita akan temukan jawabannya dalam buku ini.

Salah satu keistimewaan dan keunikan buku ini adalah kita dimanjakan dengan adanya latihan praktis bagaimana bisa mempraktikkan masing-masing kesepuluh hal itu. Jadi, buku ini tidak hanya memberikan solusi tapi juga menuntun kita untuk meraih kesepuluh solusi dari kegalauan hidup.

M. Iqbal Dawami, esais, tinggal di Pati.

Kamis, Maret 29, 2012

Sastra dalam Secangkir Kopi


Judul: Filosofi Kopi
Penulis: Dewi Lestari (Dee)
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I, Januari 2012
Tebal: 152 halaman

Nama Dewi Lestari (yang akrab dipanggil Dee) masih harum. Seharum buku ini yang sesungguhnya terbit pada 2006. Meski karya paling anyarnya adalah Madre (2011), lantaran keharumannya, buku ini diterbitkan kembali oleh penerbit yang berbeda. Bak aroma kopi dalam cangkir, buku ini juga nampak harumnya masih belum pudar. Pembaca masih merasakan sensasinya. Buku ini adalah kumpulan cerita dan prosa satu dekade, rentang 1995 hingga 2005. Judulnya diambil dari salah satu judul tulisan di dalamnya. Barangkali ini menjadi tulisan andalan dari tulisan lainnya.


Seorang lelaki bernama Ben, peracik kopi yang mencari cita rasa kopi yang sempurna. Saat mendapatkan kesempurnaan, maka saat itu pula akan mendapatkan ketidaksempurnaannya. Ya, Ben memang tergila-gila pada kopi. Dia berkeliling dunia demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri serta berkonsultasi dengan para ahli peracik kopi. Walhasil, dia termasuk salah satu peramu kopi handal. Dia membuka kedai kopi dengan nama Kedai Koffie. Dia mengajak kawannya, Jody, sebagai manajernya.

Dia tidak sekadar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang dia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi. Baginya, setiap kopi punya karakter masing-masing. Mulai dari cafe latte, cappucino, hingga kopi tubruk. Lalu dia mengganti nama kedainya menjadi Filosofi Kopi, berikut slogannya, ‘Temukan Diri Anda di Sini.’ Semua racikannya punya arti.

Kedainya menjadi magnet, banyak orang betah tinggal di situ. Hingga suatu hari ada seorang pengusaha kaya mencari kopi yang punya arti : kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup. Berhubung kopi tersebut tidak ada, maka lelaki itu menantang Ben untuk membuatnya, dengan bayaran 50 juta, apabila Ben berhasil menemukan racikan sesuai dengan arti tersebut. Ben tertantang. Berminggu-minggu Ben melakukan uji coba. Kedainya berubah menjadi laboratorium.

Ben berhasil menemukan racikannya. Kopi tersebut berhasil memenangkan taruhannya. Sang pengusaha terkagum-kagum sembari memberikan cek senilai 50 juta. kopi tersebut dinamakan Ben's Perfecto; sukses adalah wujud kesempurnaan hidup. Keuntungan kedai meningkat dan berlipat ganda sejak hadirnya kopi tersebut. Namun, tak lama kemudian kebanggaannya pudar seketika, saat dia menemukan warung kopi sederhana di puncak Merapi. Cita rasanya sungguh aduhai. Barangkali itulah refleksi manusia modern. Idealisme dibenturkan dengan kapitalisme. Haus kesempurnaan dan pengakuan. Mengejar kemapanan dalam arti holistik.

Karya yang “Dipaksakan”
Membaca “Filosofi Kopi” dan Mencari Herman” adalah dua kisah tentang obsesi. Yang pertama obsesi perihal kopi yang punya cita rasa sempurna, dan yang kedua obsesi akan sosok bernama Herman. Dua-duanya mendapatkan jawaban dari ketidaksengajaan dan kesederhanaan. Sama halnya “Filosofi Kopi”, “Mencari Herman” juga kisah tentang pencarian kesempurnaan. Hera, perempuan remaja, terobsesi mencari lelaki bernama Herman hingga dewasa. Namun tidak kunjung menemuinya. Hingga Hera mati mengenaskan.

Buku ini sebenarnya mempunyai potensi kumpulan cerpen, jika saja beberapa tulisan prosa dikembangkan seperti halnya Filosofi Kopi, Mencari Herman, dan Rico de Coro. Maka, dengan berat hati saya katakan bahwa karya ini terlalu dipaksakan untuk menjadi sebuah buku. Jadi, sebenarnya hanya beberapa tulisan saja yang pantas dijadikan peran penting dalam buku ini. Selebihnya pelengkap saja, sekadar mempertebal halaman agar dijadikan sebuah buku.

Kaver menjadi kelebihan tersendiri untuk buku ini. Meski agak spekulatif juga dengan mempertebal kata "Kopi" dari yang lainnya. Karena, bagi pembaca yang tidak tahu kalau ini adalah karya sastra, boleh jadi menganggap buku ini tentang kopi atau filsafat. Dan, bisa jadi, buku ini ditaruh di rak toko buku bagian tanaman atau filsafat apabila karyawan toko buku buta atas isi buku ini.

Keegoisan penulis untuk memaksakan kehendak dengan memasukkan tulisan-tulisan pendeknya sungguh sebentuk pemaksaan kepada khalayak pembaca. Saya merasa terganggu oleh tulisan-tulisan tersebut. Secara tidak langsung hal itu memengaruhi rasa suka saya pada karya lainnya yang luar biasa, seperti Supernova dan Perahu Kertas yang berkualitas prima itu. “Mumpungisme” telah dipraktikkan oleh penulisnya. Seolah semua tulisan pasti disukai oleh pembaca.

Mestinya dia tidak memaksakan kehendak untuk memilah dan memilih tulisan sesuai kategorisasi. Jika tulisan prosanya masih sedikit, sabarlah sebentar, tulis dulu prosa yang lainnya, sehingga ketika sudah banyak bisa diterbitkan secara mandiri. Tulisan yang tidak mesti dimasukan ke dalam buku, yang terkesan dipaksakan di antaranya: Salju Turun, Kunci Hati, Selagi Kau Lelap, Jembatan Zaman, Kuda Liar, Diam, Cuaca, Lilin Merah, Spasi, dan Cetak Biru.

Meski tulisan-tulisan itu pendek namun harus diakui, bahasanya begitu nyastra dan padat makna. Dalam Lilin Merah, misalnya, Dee menulis dengan indah sekali. Adakalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu. Lilin merah berdiri megah di atas glazur, kilau apinya menerangi usia yang baru berganti. Namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah. Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap. Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari.

Dee juga piawai dalam bermetafora. Dalam Spasi, bisa kita lihat. Dee mengatakan, Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

Saya berharap Dewi Lestari bisa menulis lebih bagus lagi, meski sudah mapan. Biasanya, godaan seorang penulis yang sudah terkenal, karyanya menjadi dangkal. Idealisme sudah tidak dibangun lagi. Dia telah memasuki ranah industri, yang notabene-nya mengutamakan keuntungan ketimbang kualitas karya. Saya rindu karya-karya Dee semisal Supernova yang mengundang pro-kontra dan Perahu Kertas yang asyik, kocak, namun tetap memerhatikan cita rasa sastranya. Kedua karya itu sama-sama menjaga kedalaman makna dan kedetailannya.

M. IQBAL DAWAMI, penikmat sastra, tinggal di Pati.

Jumat, Maret 09, 2012

Kisah Mengesankan Pengajar Muda


Judul: Indonesia Mengajar : Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri
Penulis: Pengajar Muda
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: II, Desember 2011
Tebal: xviii + 322 hlm.

Ayu Kartika Dewi jatuh cinta pada Iman, salah satu muridnya di SD. Dia dibuat kagum oleh tingkahnya yang kharismatik, disenangi dan didengarkan teman-temannya. Dalam pandangannya, Iman kelak menjadi seorang pemimpin besar negeri ini. Saat pelajaran Bahasa Indonesia, dia mengajak siswanya menulis puisi. Iman membuat puisi yang ditujukan untuknya. Kontan dia tersentuh.

Sebaliknya, Rahmat Danu Andika, dirindukan oleh Upi, salah satu muridnya di kelas 2 SD di Halmahera Selatan. “Pak Guru! Uba kita pe luka dulu! (Pak Guru! Obati luka saya dulu!)”. Kegiatan mengobati luka, begitu menarik buat Upi. Tingkahnya menunjukkan bahwa ia kurang perhatian dan kasih sayang. Ia berbakat dengan angka-angka. Senang matematika. Ia ingin berlama-lama dengan Rahmat, gurunya. Upi si anak berbahasa angka, yatim piatu. Dia sering pura-pura sakit agar bisa berlama-lama dengan gurunya.

"Cinta saya kepada Ibu lebih besar dari uang sakuku." Kalimat itu terletak dalam surat ucapan terima kasih yang dibuat murid-murid SD Paser kepada Diah Setiawaty dalam rangka hari guru. Bagi murid-murid tersebut, sekolah adalah perjuangan. Banyak dari mereka yang harus menyeberang sungai terlebih dahulu untuk ke sekolah. Buku dan uang saku adalah kemewahan bagi mereka. Uang saku mereka yang kecil sekadar membeli minuman yang bisa membasahi kerongkongan dan untuk mengganjal perut seadanya setelah berjalan yang melelahkan. Bagi mereka uang saku begitu berharga. Maka tidak aneh mereka membuat ucapan seperti itu.

Ketiga kisah di atas adalah sepercik pengalaman berkesan yang dialami oleh para Pengajar Muda saat mengajar dan tinggal selama satu tahun di pelosok negeri Indonesia. Kisah-kisah dari pengajar lainnya bisa kita baca dalam buku berjudul Indonesia Mengajar (2011))yang diterbitkan Bentang Pustaka. Hanya selang satu bulan sejak terbit, buku ini sudah cetak ulang kedua. Sungguh luar biasa. Animo masyarakat sungguh tinggi terhadap kiprah para pengajar muda ini yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar (GIM).

Pengajar Muda adalah sebutan untuk para guru hasil didikan GIM. Pada angkatan pertama, GIM memberangkatkan 51 Pengajar Muda. Para Pengajar Muda ini hasil seleksi dari 1.383 pelamar yang sudah melalui proses seleksi ketat sejak pertengahan tahun 2010. Untuk membekali Pengajar Muda, mereka diwajibkan mengikuti seluruh rangkaian pelatihan selama 7 minggu di Ciawi, Bogor sejak akhir September 2010 hingga awal November 2010.

Lokasi penempatan Pengajar Muda yaitu di Kabupaten Bengkalis, Riau, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, dan Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. GIM merupakan sebuah program yang digagas oleh Anies Baswedan. Program ini memiliki tujuan ganda, pertama, untuk mengisi kekurangan guru berkualitas Sekolah Dasar di daerah terpencil. Kedua, untuk membekali pemuda terbaik yang berpotensi menjadi world class leader with grass root understanding, yaitu pemimpin yang memiliki visi ke depan namun memahami dan mengerti seluk beluk permasalahan rakyat di akar rumput.
GIM mendorong kemajuan pendidikan di Indonesia, bukan melalui seminar dan diskusi tetapi melalui program kongkret mengirimkan sarjana terbaik Indonesia menjadi Guru SD. Anak-anak muda terbaik meninggalkan kemapanan kota, melepaskan peluang karier dan melewatkan semua kenyamanan lalu memilih menjadi guru SD di desa-desa tanpa listrik. Seperti yang dikisahkan Erwin Puspaningtyas, pengajar muda yang ditempatkan di Majene, “Jika saat ini kau ingin mengeluh karena listrik padam, bersyukurlah karena itu hanya beberapa menit atau jam saja. Di sini, listrik pun bahkan tidak ada. Jika kamu makan sampai puluhan dan ratusan ribu, uang itu adalah penyambung hidup kami di sini selama sebulan. Bersyukurlah atas apa yang kamu punya.”

Begitu juga yang dikisahkan Rusdi Saleh, pengajar muda di Tulang Bawang Barat. Genset, andalan desa tersebut, adalah sumber energi bagi ponsel, laptop, dan alat-alat elektronik lain yang mereka miliki. Genset itu beroperasi hanya 4,5 jam. Dari pukul enam sore sampai setengah sebelas malam. Setelah itu genset dimatikan lagi.

Para Pengajar Muda hadir memberikan harapan. Pengajar Muda hadir mendekatkan jarak mereka dengan pusat kemajuan, hadir membuat anak-anak SD di pelosok negeri memiliki mimpi dan hadir membuat para orangtua di desa-desa terpencil ingin memiliki anak yang terdidik seperti para Pengajar Muda.

Menjadi Pengajar Muda dituntut untuk mampu menyampaikan materi sesuai dengan dengan kegiatan siswa sehari-hari, seperti membuat soal cerita matematika yang temanya menggunakan kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan. Seperti yang dialami Ijma Sujiwo, Pengajar Muda Paser, Kalimantan Timur. Dia memberikan ujian di kelas 4. Dalam soal matematika nomor 4 dia membuat pertanyaan, "Apakah yang dimaksud dengan sudut tumpul?" Ada salah satu siswa menjawab, "Karena tidak diasah." Jawaban tersebut di luar dugaan. Anak-anak menjawab sesuai dengan apa yang mereka lihat, dengar, dan kerjakan sehari-hari.

Kisah-kisah yang mereka tuliskan ini sungguh menginspirasi dan merangsang semua untuk melihat pendidikan sebagai Perjuangan Semesta: saling bantu, saling dukung. Mulai dengan mensyukuri perkembangan, memperbaiki kekurangan, dan diikuti dengan kesiapan untuk turun tangan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Kata Pengantar, Anies Baswedan mengatakan bahwa mendidik adalah tugas konstitusional negara, tetapi sesungguhnya mendidik adalah tugas moral tiap orang terdidik.

Tantangan Pengajar Muda tidak serta merta dari soal pendidikan saja, perihal bagaimana proses belajar mengajar yang efektif, melainkan juga soal interaksi sosial dengan masyarakat setempat. Para Pengajar Muda di Majene, misalnya, sempat ditolak oleh para penduduk, karena masih trauma dengan kejadian masa lalu. Penduduk pernah kecewa dengan orang yang dahulu pernah datang seperti pengajar muda itu.
Mereka diberi banyak janji palsu, dan mengakibatkan perpecahan di masyarakat.
Selain fakta sosial, mereka (Pengajar Muda) juga melihat fakta ekonomi di sana.
Mereka menilai bahwa usaha ekonomi pedalaman tidak ada value adding yang dilakukan. Misalnya para petani tambak warga Labuangkalo. Jika saja mereka paham mengenai pengolahan, pemasukan warga akan jauh lebih tinggi. Proses penjualan bahan mentah amat statis dan berpotensi tereksploitasi oleh pembeli karena dapat saja harga belinya ditekan atau dialihkan sumber bahan mentah para warga. Para Mengajar Muda menilai hanya pendidikan yang mampu memotong rantai tersebut.

Buku ini merupakan cara dan pesan yang amat indah untuk menyampaikan perihal tantangan menjadi guru di pelosok Indonesia. Kisah-kisah yang dialami Pengajar Muda yang terekam dalam buku ini begitu otentik dan menyentuh kepada hati pembaca. Semoga pembaca tergerak untuk bangkit dan turut mengambil bagian dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.[]

M. Iqbal Dawami, direktur Iqro Corporation.

Jumat, Februari 24, 2012

Mengupas Intisari Ajaran Agama

Judul: Compassion; 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih
Penulis: Karen Armstrong
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Januari 2012
Tebal: 247 halaman

Tahun 2007 penghargaan TED (Technology, Entertainment, Design) diberikan kepada sejarawan agama yaitu Karen Armstrong. TED adalah sebuah organisasi nirlaba swasta yang setiap tahunnya memberikan penghargaan kepada orang-orang yang dianggap membuat perbedaan dan ide-idenya pantas disebarluaskan. Atas penghargaan tersebut, Karen Armstrong menulis buku ini. Sejak bukunya A History of God diterbitkan pada tahun 1993, ia telah menetapkan dirinya sebagai seorang sejarawan agama. Ia telah menghasilkan serangkaian teks yang sudah ditandai tidak hanya oleh kedalaman penelitian dan pemahaman, tetapi dengan kebijaksanaan dan kewarasan. Ini penting terutama pada saat perang agama telah pecah dengan semua kepahitan masa lalu yang kini dilancarkan dengan senjata baru dan lebih merusak. Dia telah memposisikan dirinya sebagai mediator independen yang menafsirkan agama dengan kecerdasan yang menawan nan berbudaya.


Karen Armstrong berujar bahwa kita dapat mengejar tujuan yang sulit dipahami dengan belajar dari tradisi agama kita. Setiap tradisi, katanya, menawarkan mitos yang mengajarkan kita kebaikan dan empati. Tidak peduli sebanyak apa mitos tersebut, karena, semua tradisi agama, filosofis, dan etis didasarkan pada prinsip belas kasih. Hanya saja belas kasih menjadi luntur mana kala direcoki perihal ekonomi yang berbasis pasar alias kapitalisme. 

Ekonomi berbasis pasar didorong oleh keserakahan, bankir dan pedagang terkunci dalam persaingan tanpa henti dan tanpa kasihan memangsa satu sama lain. Dan peran agama muncul dalam masalah itu. Islam, misalnya, mengajarkan etos belas kasih yang dibawa oleh Nabi Muhammad, di mana pada waktu itu yakni abad keenam Mekkah telah menjadi pusat "kerajaan komersial." Nabi Muhammad menerima wahyu untuk melawan kapitalisme agresif tersebut.

Jika kita bisa bicara tentang proyek Armstrong, tampaknya ada dua papan utama dalam platform-nya, keduanya dibangun kokoh ke dalam buku barunya ini. Yang pertama adalah konsepnya dari mitos yang bertentangan dengan logos sebagai bahasa agama. Logos adalah faktual, pengetahuan ilmiah, sedangkan mitos adalah "upaya untuk mengungkapkan beberapa aspek yang lebih sulit dipahami hidup yang tidak dapat dengan mudah disajikan secara logis diskursif". Misalnya, ia membahas mitos Yunani Demeter, dewi panen dan biji-bijian, dan putrinya, Persephone. Dia mengatakan bahwa untuk meminta orang-orang Yunani apakah ada dasar historis untuk mitos akan menjadi tumpul. Bukti kebenaran dari mitos adalah cara dunia datang untuk lahir di musim semi setelah kematian musim dingin. Saya setuju bahwa cerita Demeter adalah mitos yang tepat, salah satu yang menggunakan narasi untuk mengungkapkan suatu kebenaran abadi.

Papan kedua dalam platform-nya adalah bahwa kasih sayang atau belas kasih adalah inti sari dari agama-agama besar dunia. Dia adalah manusia yang sangat penyayang, dan baru-baru ini meraih piagam “Kasih Sayang” tersebut, karenanya ia menempatkan itu dalam kata pengantar buku ini, hendak mengembalikan kasih sayang kepada jantung kehidupan agama dan moral. Dua belas Langkah untuk Hidup Penuh Kasih adalah baik manifesto dan manual self-help. Sebagai manifesto, itu mempromosikan kampanyenya untuk menempatkan kasih di jantung agama; sebagai panduan dimodelkan pada program 12 langkah, ia menawarkan latihan ditujukan untuk meningkatkan kasih sayang kita sendiri. Ini akan membuat panduan brilian untuk pemimpin spiritual dan lokakarya tentang kehidupan penuh kasih, dan sebagai repositori kebijaksanaan dicerna dari agama-agama dunia.

Dalam buku 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih ini, Armstrong mengesampingkan perdebatan tentang doktrin dan sejarah agama. Tujuannya adalah untuk menanam keinginan berakar untuk ekuitas. Dia berusaha untuk mengubah mereka yang telah mengeras menjadi memihak kepada kebenaran. Baginya agama adalah yang terbaik ketika dapat membantu menampilkan peta dan terus dalam pencarian dan akan menjadi buruk ketika mencoba mencari jawabannya secara otoritatif dan dogmatis.

Dua belas langkah ini mencoba untuk mengupas belenggu ego dan memperbesar kapasitas simpatik kita. Baginya, ketika kita melampaui orang-orang yang tidak suka, diri kita tumbuh dan perspektif kita keluar. Komitmennya untuk tujuan menuju hidup penuh kasih ini begitu sengit, kasih sayang untuknya bukan hanya hangat-hangat kuku saja melainkan energik. Arsmtrong meyakini bahwa kasih mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah untuk meringankan penderitaan sesama makhluk hidup, untuk menurunkan takhta diri kita sendiri dari pusat dunia kita dan untuk menghormati kesucian, memperlakukan semua orang, tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan dan rasa hormat.

Salah satu poinnya yang menarik adalah bahwa setiap interpretasi dari kitab suci yang menyebabkan penghinaan itu tidak lah sah. Kitab suci harus dibaca dengan amal dan niat baik. Armstrong membantah dogma bahwa kita tertanam untuk keegoisan, tapi tidak altruisme atau belas kasih. Kita ini menanam kebaikan, katanya.

Buku ini ditutup dengan contoh-contoh dari tokoh politik transenden seperti Nelson Mandela, Martin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, dan lain-lain. Hal yang bisa kita pelajari para tokoh tersebut bahwa mencaci musuh kita hanyalah bayangan dari keinginan kita sendiri yang ingin terpenuhi. Beberapa orang mungkin menganggap proyek ini sebagai utopia belaka. Dalam buku ini dia berusaha untuk melatih kita dari pandangan ego yang berbahan bakar dari keberpihakan dan prasangka kepada kemanusiaan.

Saya kira buku ini sangat relevan untuk konsumsi masyarakat Indonesia, agar tercipta dan terjaga kedamaian antar sesama. Sungguh, buku yang patut untuk dibaca dan dipraktikkan dalam kegiatan sehari-hari. []

M. Iqbal Dawami, pencinta buku, tinggal di Yogyakarta.

Senin, Januari 30, 2012

Menjadi Pribadi Visioner


Judul: Start from the Finish Line; Saatnya Menciptakan Hidup Hidup Sesuai Pilihan Anda
Penulis: Mohamad Ramdan
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan: I, Desember 2011
Tebal: 206 hlm

Saat usia 17, Sidney Sheldon, novelis ternama, pernah melakukan percobaan bunuh diri. Hal yang mendorong untuk melakukan itu adalah karena ia merasa hidupnya tidak bahagia. Cita-citanya saat itu adalah ingin kuliah dan menjadi penulis. Tapi keinginannya itu seperti membentur tembok, lantaran ekonomi keluarga tidak mendukung.
Saat pulang kerja, ia mempersiapkan percobaan bunuh dirinya. Saat itu orangtuanya hendak silaturrahmi ke rumah saudaranya. Ketika mereka semua sudah pergi, maka ia mengeluarkan minuman yang bisa langsung mematikannya. Dan ketika hendak meminumnya, tiba-tiba ayahnya muncul. Keduanya sama-sama terkejut. Sheldon tak menyangka ayahnya akan balik lagi. Ayahnya pun tak menduga kalau Sheldon hendak mengakhiri hidupnya. Ayahnya bertanya mengapa ia ingin bunuh diri?

Ia lalu mengajak Sheldon jalan-jalan sembari menasihatinya. “Hidup ini seperti novel,” ujar ayahnya, “Penuh ketegangan. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi hingga kau buka halamannya. Setiap hari adalah halaman yang berbeda, Sidney, dan setiap hari bisa penuh kejutan, kau tak pernah tahu apa yang akan ada selanjutnya sebelum kau buka halaman itu, ” ujar ayahnya. Mulai saat itu hidup Sheldon bersemangat lagi. Kata-kata itu terus dikenangnya hingga Sheldon beranjak senja.


Kisah di atas mengisyaratkan tentang pentingnya membangun visi dalam hidup ini. Jika tidak mempunyai visi, maka hidup mudah goyah, tanpa arah, dan cenderung pasrah (saat keadaan buruk datang). Salah satu cara agar bisa melaksanakan visi adalah dengan memulai sesuatu dengan tujuan akhir. Mohamad Ramdan, dalam buku ini, memberikan ilustrasi soal itu. Dia mengibaratkannya dengan gawang dalam pertandingan sepak bola. Pertandingan akan berlangsung ngawur dan membosankan jika tidak ada gawangnya; tidak ada target yang hendak dituju.

Hal yang sama juga dalam hidup. Jalan cerita hidup dari sekarang hingga akhir nanti tidak akan ngawur dan membosankan apabila kita memiliki tujuan yang jelas dalam hidup. Semua tujuan hidup kita tersebut hanya akan dapat dinikmati hasilnya apabila kita membingkainya dalam batas-batas waktu dan kriteria target yang jelas. Betapa sebenarnya hidup kita berpusat kepada tujuan akhir yang kita tetapkan sekarang. Dari tujuan akhir itulah kita akan menentukan rute terbaik yang harus kita tempuh untuk selanjutnya menyiapkan strategi dan amunisi yang tepat untuk menjalaninya (hlm. 33).

Dengan becermin pada peristiwa yang dialami Sheldon di atas, penjelasan Ramdan menemukan signifikansinya. Ramdan mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki rancangan peta jalan hidup yang jelas, sering kali mendapatkan diri mereka dalam keadaan kebingungan karena tidak memiliki arah hidup yang jelas, perasaan hampa karena tidak mengerjakan sesuatu sesuai dengan minatnya, putus asa karena minimnya persiapan menjalani pola hidup yang ekstrem, sampai kepada menyalahkan Tuhan atau nasib karena merasa diperlakukan tidak adil.

Proaktif
Dia mengingatkan bahwa di saat mengalami peristiwa buruk kita harus menjaga diri agar tidak reaktif. Orang yang reaktif cenderung membiarkan pengaruh-pengaruh dari luar untuk mengendalikan respons mereka. Orang reaktif akan selalu menempatkan dirinya sebagai korban dari stimulus negatif maupun positif saat mereka menemukan fakta bahwa ternyata hasil dari respons mereka tidak menguntungkan dirinya. Sebaliknya, kita harus bersikap proaktif. Karena, orang proaktif paham bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengendalikan respons terhadap stimulus yang dihadapinya. Bagi mereka, baik stimulus negatif maupun positif tetap menyisakan ruang yang dapat digunakan untuk menentukan pilihan dalam memberi respons.

Ramdan mempraktikkan hal itu. Saat baru satu bulan mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja, dia merasakan betapa beratnya menjalani hidup. Apabila sebelumnya hanya tinggal mendelegasikan pekerjaan kepada anak buah, maka saat baru merintis usaha sebagai konsultan, dia harus terlibat 100% di semua detail pekerjaan. Pada waktu dia merasa kelelahan dan putus asa karena begitu sulitnya mendapatkan klien, tiba-tiba salah seorang sahabatnya menelepon dan menawarkan sebuah pekerjaan dengan posisi dan gaji yang cukup menggoda bagi seorang yang sedang dilanda kesulitan seperti dia saat itu.

Saat dalam posisi dilematis itu, tiba-tiba dia diingatkan kembali akan tujuan akhirnya tentang keinginan untuk menjadi konsultan dan trainer di bidang ilmu kepemimpinan (leadership). Apabila dia kembali menjadi karyawan, mungkin masalah yang dia hadapi saat itu seketika akan hilang, namun mungkin dia tidak akan pernah sampai kepada tujuan akhir yang dia cita-citakan. Ibarat kapal, dia hanya tertambat di dermaga. Berlindung dari ombak besar yang sebenarnya berpotensi membawanya ke sebuah pulau harapan. Dia pun memutuskan menolak tawaran menggiurkan itu dan memilih untuk tetap teguh menjalankan pilihan kariernya yang baru, demi mengejar tujuan akhir hidupnya sebagai pemilik perusahaan konsultan dan training di bidang leadership.

Buku yang berjudul Start from the Finish Line; Saatnya Menciptakan Hidup Hidup Sesuai Pilihan Anda ini diambil dari pengalaman hidup si penulisnya sendiri. Ramdan merumuskan perjalanan hidup suksesnya, terutama dalam kariernya. Oleh karena itu, buku ini penuh dengan kisah nyata yang diambil dari pengalamannya sendiri maupun orang-orang yang ada di lingkungannya. Buku ini mengajak kita untuk bermain-main dengan “remote control kehidupan” yang dapat kita gunakan untuk membawa diri kita “melompat” ke masa depan dan melihat bagaimana akhir dari kisah hidup kita di dunia ini. Begitu kita mendapatkan gambaran yang jelas akan akhir kisah hidup kita di masa depan, maka kita pun dapat kembali ke masa sekarang dan merancang peta jalan hidup yang akan membawa kita kepada kebahagiaan yang hakiki.

Saat bermain-main dengan “remote control kehidupan”, kita akan benar-benar menyadari bahwa pada hakikatnya semua nasib yang akan kita alami di akhir kehidupan kita di dunia, sebagian besar adalah konsekuensi alamiah dari serentetan pilihan yang kita ambil sepanjang hidup. Melalui buku ini kita akan akan menemukan rahasia-rahasia bijak bagaimana cara menjadi manusia yang memiliki kendali penuh terhadap sebagian besar akhir kisah hidup kita. Selain itu, kita juga diberikan cara-cara agar mempunyai pribadi yang visioner, yakni sebuah pribadi yang mampu merancang dan mewujudkan kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsip hidup yang kita yakini membawa kebahagiaan.

Buku ini layak Anda baca sebagai bekal agar bisa menjalani hidup lebih baik lagi. Dengan tuturan bahasannya yang enak, buku ini cocok sekali dibaca sembari menyesap teh hangat dan sepiring pisang goreng di pagi hari. Selamat membaca.[]

M. Iqbal Dawami, pencinta buku, aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Jogjakarta

Perjalanan Mencari Kebahagiaan


Judul: The Geography of Bliss
Penulis: Eric Weiner
Penerjemah: M. Rudi Atmoko
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, November 2011
Tebal: 512 hlm.

Eric Weiner, seorang jurnalis Amerika, ingin melihat dunia dengan niat untuk mencari tahu apa yang membuat orang-orang di sana bahagia atau murung. Buku ini campuran antara catatan perjalanan, psikologi, sains, dan humor. Ia membawa pembaca melanglangbuana ke berbagai negara, dari Belanda, Swiss, Bhutan, hingga Qatar, Islandia, India, dan Amerika.



Setiap negara yang hendak dituju, ia menyelipkan pertanyaan-pertanyaan menggelitik, seperti apakah orang-orang Swiss lebih bahagia karena negara mereka paling demokratis di dunia? Apakah penduduk Qatar menemukan kebahagiaan di tengah gelimang dolar dari minyak mereka? Apakah Raja Bhutan seorang pengkhayal karena berinisiatif memakai indikator kebahagiaan rakyat yang disebut Gross National Happiness sebagai prioritas nasional? Kenapa penduduk di Islandia, yang suhunya sangat dingin dan jauh dari mana-mana, termasuk negara yang warganya paling bahagia di dunia? Kenapa di India kebahagiaan dan kesengsaraan bisa hidup berdampingan? 


Menurutnya di Belanda kebahagiaan adalah angka, di Swiss kebahagiaan adalah kebosanan, di Bhutan kebahagiaan adalah kebijakan, di Qatar kebahagiaan adalah menang lotre, di Moldova kebahagiaan adalah berada di suatu tempat lain, di Thailand kebahagiaan adalah tidak berpikir, di Britania Raya kebahagiaan adalah karya yang sedang berlangsung, di India kebahagiaan adalah kontradiksi, dan di Amerika kebahagiaan adalah rumah. 


Kesimpulan itu berdasar pengamatannya di masyarakat masing-masing negara dalam lingkungan tertentu. Jadi, penelitiannya ini tidak bisa dijadikan patokan kekhasan soal kebahagiaan menurut pandangan Weiner. Pandangan setiap orang pasti berbeda dalam melihat dan menilai sesuatu. Tapi, paling tidak lewat buku ini kita bisa mengetahui barometer masing-masing negara apa makna kebahagiaan yang dirasakan dan dipikirkannya.
Pada saat di Belanda dia menemui Ruut Veenhoven, seorang profesor “kebahagiaan” yang mempunyai “World Database of Happiness”. Sejumlah waktunya dihabiskan untuk meneliti soal kebahagiaan di seluruh dunia.

Menemuinya bermanfaat sekali untuk bekal perjalanan Weiner ke pelbagai negara. Bagi Weiner Belanda adalah negara yang terlalu bebas. Dia sudah merasakan ketidaknyamanannya, dan tidak bisa membayangkan andai dia tinggal di sana. Dia membayangkan setiap harinya akan mengisap mariyuana, dengan pelacur di samping kiri dan kanannya. 


Di Swiss, negara yang demokratis, dan tertata segala sesuatunya. Masyarakat di sana betah dengan kondisi demikian. Namun, Weiner tidak. Baginya, keadaan itu sungguh membosankan. Tidak ada tantangan yang membuat dirinya terpacu untuk menjadi lebih baik. Di sana segala sesuatu terlalu datar. Setelah Bhutan, Weiner kemudian mengunjungi Qatar. Qatar adalah negara kaya karena sumber daya minyak yang melimpah. Para penduduknya banyak yang kaya mendadak. Ada pergeseran budaya dan gaya di sana. Mereka hidup mewah. Segala sesuatu bisa dibeli. Itulah kebahagiaan bagi mereka, dalam penilaian Weiner.  


Setelah melakukan perjalanan mencari kebahagiaan ke pelbagai negara, apakah Weiner menemukan kebahagiaan? Yang manakah yang cocok baginya dari macam-macam kebahagiaan yang ditemuinya? Jawabannya Anda dapat temukan di buku ini. Pada akhirnya, budaya yang berbeda memang mengikuti jalan yang berbeda untuk meraih kebahagiaan.

M. Iqbal Dawami, pecinta buku, aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Jogjakarta.