Rabu, April 29, 2009

Belajar Pada Klub Sepakbola Eropa

Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, 23 Mei 2009
Judul: Raksasa Klub Bola Eropa
Penulis: Zaidan Almahdi
Penerbit: Harmoni
Cetakan: I, 2008
Tebal: 215 hlm.
------------------

Kini, Liga Champions Eropa sudah memasuki semi final. Anehnya, dari tahun ke tahun hanya klub-klub itu saja yang menjadi langganan perdelapan final hingga final, seperti Manchester United, Chelsea, Liverpool, Arsenal, Real Madrid, Barcelona, Inter Milan, AC Milan, Juventus, dan Bayern Munchen. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar bagi sebagian orang mengapa tim-tim di atas tersebut selalu mendominasi babak-babak akhir Liga Champions? Apa sesungguhnya rahasianya?

Dalam buku ini terdapat jawaban atas pertanyaan di atas. Zaidan Almahdi, penulis buku ini, mengungkapkan bahwa salah satu rahasia mengapa tim-tim di atas tersebut selalu mendominasi babak-babak akhir Liga Champions, tak lain terletak pada bisnis yang dijalankan oleh tim tersebut.

Kombinasi penghasilan dari hak siar televisi, penonton yang berlimpah, serta pemasaran merchandise membuat tim-tim tersebut berlimpah uang. Dengan uang itu mereka bisa mengontrak pemain bagus dan manajer hebat.

Di benua Eropa, sepakbola sudah menjadi industri besar yang menghasilkan uang jutaan dolar baik bagi pemain, manajer, maupun klub. Michael Ballack, misalnya, dari Chelsea FC mendapat gaji perpekan sebesar 2 miliar rupiah. Padahal masih ada 10 pemain lagi yang harus dibayar oleh Chelsea FC. Hal ini memberi sinyal bahwa pemasukan klub Chelsea FC amat luar biasa.

Buku ini berbicara mengenai legenda-legenda klub raksasa di Eropa, yaitu Manchester United (MU), Chelsea, Liverpool, Arsenal, Real Madrid, Barcelona, Inter Milan, AC Milan, Juventus, dan Bayern Munchen. Dijelaskan di dalamnya bahwa klub-klub tersebut sebetulnya berawal dari klub kecil yang kenyang dengan kekalahan dan kebangkrutan. Tapi mereka terus belajar dan belajar sehingga berkembang menjadi legenda-legenda Eropa dan menjuarai berbagai macam kompetisi baik tingkat domestik maupun internasional, bahkan kejuaraan antar klub dunia. MU, misalnya, pada awalnya hanya tim yang terdiri dari para pekerja jalan Kereta Api. Di awal-awal tahun pendiriannya mereka selalu kalah dari klub-klub lainnya. Namun, seiring waktu berjalan, klub ini menjadi klub raksasa hingga saat ini.

Klub-klub yang disebutkan di atas menjadi besar ternyata didukung oleh manajemen yang baik, pemilik klub yang punya visi dan misi, serta pendukung yang fanatik. Semuanya itu akan membentuk suasana kondusif bagi para pemain bintang untuk menorehkan prestasi di lapangan hijau dan mengeluarkan segala kemampuannya. Para klub raksasa itu tidak hanya mendapatkan penghasilan dari tiket penonton di stadionnya, tapi mereka juga dibanjiri uang dari setiap tayangan pertandingan yang disiarkan di televisi, pemasukan saham dari bursa efek, kontrak dari sponsorship, dan penjualan merchandise. Misalnya saja untuk Football Association (FA) di Inggris, Barclaycard, sebuah perusahaan bonafid, berani menandatangani kontrak sebesar 49 juta poun untuk 3 musim di tahun 2001, itu belum termasuk sponsor bagi para klub raksasa ini yang jumlahnya jauh lebih besar. Tidak heran jika para klub ini mampu membeli dan menggaji tinggi para pemain bintang.

Melalui buku ini semoga kita dapat mengambil pelajaran bagi dunia sepakbola tanah air, yang semakin gersang prestasi dan (malah) semakin subur kerusuhan baik yang disebabkan oleh suporter maupun pemain. Mengaca pada manajemen klub-klub Eropa di atas, kita harus mendorong klub-klub sepakbola di Indonesia agar menjadi profesional dan tidak menggantungkan pada APBD saja, tapi bisa mencari sponsor sendiri dari perusahaan-perusahaan daerah atau nasional, menjual merchandise-nya, dan mendapat hak tayang dari televisi. Untuk itu, buku ini sangat layak dijadikan daftar bacaan bagi yang peduli atas nasib sepakbola Indonesia dan yang hobi dengan dunia sepakbola.***

M. IQBAL DAWAMI
Staf pengajar STIS Magelang, mantan pemain sepakbola amatiran tingkat desa dan kecamatan di Pandeglang

Minggu, April 26, 2009

Hegemoni Yahudi

Resensi ini dimuat di surat kabar Seputar Indonesia pada 03 Mei 2009

Judul : Rahasia Bisnis Yahudi; Bagaimana Pengusaha Yahudi Mengendalikan Amerika, Negara-Negara Muslim&Dunia Dengan Kekuatan Ekonomi
Penulis : Anton A. Ramdan
Penerbit : Zahra
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : 208 halaman
-----------------------

Cina dan Yahudi adalah sampel yang tepat untuk masuk pada kategori pernyataan berikut ini: Jika suatu bangsa memiliki sistem bisnis yang kuat, maka walaupun tidak memiliki komoditas sendiri mereka bisa mengolah komoditas bangsa lain demi menghasilkan keuntungan. Bahkan, keuntungan yang mereka dapat jauh lebih besar dibanding bangsa yang memiliki komoditas itu sendiri.

Harus diakui, saat ini, di antara bangsa-bangsa di dunia, Cina dan Yahudi terlihat memiliki kekuatan bisnis yang lebih unggul dan bernilai lebih. Semua orang sudah mengetahui bagaimana kehebatan bisnis orang-orang Cina di setiap negara yang mereka tempati. Mereka selalu bisa beradaptasi untuk menjalankan bisnisnya. Seringkali bisnis yang mereka jalankan lebih hebat dibanding bisnis yang dilakukan oleh orang-orang asli atau pribumi.

Nah, begitu juga dengan Yahudi. Penulis buku ini, Anton A. Ramdan, mengatakan bahwa bangsa Yahudi memiliki hegemoni yang lebih kuat lagi ketimbang Cina, bahkan bisa dibilang merajai bisnis seluruh dunia. Apalagi pasca Perang Dunia II, sepak terjang para pebisnis Yahudi terlihat semakin menjadi-jadi. Perusahaan demi perusahaan mereka bangun hingga akhirnya menjadi kerajaan bisnis yang luas hingga ke setiap negara di dunia. Berbagai bidang bisnis pun mereka kuasai, dari bisnis retail, barang tambang, industri, perbankan, hingga teknologi mutakhir.

Di setiap bidang bisnis, selalu pebisnis Yahudi yang berjaya. Dan tidak hanya lahan bisnis, para pebisnis Yahudi juga mengendalikan berbagai institusi pendukung bisnis, seperti IMF dan World Bank. Lebih nekat lagi, mereka pun berani mempengaruhi institusi politik apa pun taruhannya, asalkan bisa mendukung kemajuan bisnis mereka. Contohnya Amerika Serikat. Melalui negara ini, para pebisnis Yahudi mampu mempengaruhi institusi politik berkelas internasional lainnya, seperti IMF dan World Bank.

Kaum Yahudi dapat melakukan itu semua karena mereka memiliki satu sistem bisnis dan ikatan kebangsaan yang lebih kuat dari bangsa mana pun. Mereka memiliki suatu sistem bisnis buatan mereka sendiri yang kemudian mereka sebarkan ke seluruh negara di dunia, dengan harapan bangsa-bangsa lain tunduk di bawah sistem tersebut.

Secara nalar, jika bangsa Yahudi merupakan pembuat sistem bisnis yang kini berlaku di seluruh dunia, maka pastinya merekalah yang paling jago menjalankan sistem ini. Contohnya sistem perbankan dengan riba (bunga?). Sistem riba merupakan sistem bisnis terkuat yang dimiliki oleh tangan-tangan bisnis bangsa Yahudi. Sistem itu diperkuat dengan adanya ikatan kuat di antara mereka, yang tidak lain adalah ikatan berdasarkan ras atau etnis yang terjalin sejak dahulu kala ketika pertama kali peradaban mereka terbentuk.

Ketika Muhammad diutus oleh Tuhan ke tanah Arab, di sana sudah hidup dan menetap orang-orang Yahudi. Kehidupan bisnis di Madinah dikuasai oleh bangsa Yahudi. Komoditas-komoditas penting mereka kuasai. Mereka juga memberi dana pinjaman dengan riba kepada kabilah-kabilah Arab yang sedang berperang dan tentu juga dengan jaminan. Biasanya, dana tersebut digunakan untuk membiayai semua keperluan peperangan. Hal ini sangat merugikan kabilah-kabilah Arab yang sedang berperang, mereka harus mengembalikan dana yang dipinjamkan oleh kaum Yahudi tersebut. Dengan demikian, tidak heran jika kondisi sosial dan ekonomi bangsa Arab ketika itu sangat memprihatinkan sebagai akibat praktik riba yang dijalankan oleh orang Yahudi. Keadaan ini sangat menguntungkan kaum Yahudi, karena dengannya mereka dapat mengendalikan bisnis dan perpolitikan di Madinah ketika itu.

Nampaknya kedigdayaan Yahudi semakin menjadi-jadi pada abad 19 hingga saat ini. Motivasi mereka tidak saja meraup materi, tetapi juga non-materi. Di satu sisi mereka berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan uang, dan di sisi lain mereka juga berjuang untuk menguatkan fanatisme ras. Kedua motivasi tersebut saling melengkapi dan saling mendukung. Motivasi seperti inilah yang mampu membentuk kekuatan mereka sehingga mereka mampu mendirikan sebuah imperium bisnis di mana-mana.

Kelompok mayoritas dari orang-orang Yahudi yang bermotivasi ganda ini kemudian dikenal dengan nama zionis. Kelompok zionis ini memiliki banyak SDM berkelas internasional. Tidak hanya pebisnis, tetapi juga para politikus, dokter, ekonom, penulis, jurnalis, teknokrat, dan beragam profesi lainnya. Para tokoh berpaham zionisme inilah yang berusaha dengan segala cara untuk menggenggam dunia dan memainkannya sesuka hati mereka.

Etnis Yahudi hidup menyebar di berbagai penjuru dunia. Mereka hidup dan tinggal di berbagai negara di semua benua: Amerika, Eropa, Australia, Afrika, dan Asia. Penyebaran orang-orang Yahudi di berbagai wilayah dunia turut membawa penyebaran bisnis mereka ke berbagai negara yang mereka tempati.

Dengan jaringan bisnis waralaba (franchise) dan Multi Level Marketing (MLM), Yahudi telah melebarkan sayap bisnisnya ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di antara perusahaan-perusahaan milik Yahudi yaitu: General Electric, Carrefour, Nestle, Caltex, Exxon, Coca-Cola Company, dan McDonalds. Tidak lupa pula dengan perusahaan telepon genggam terlaris, Nokia, yang didirikan oleh keturunan yahudi, Fredrik Idestam.

Hampir di semua aspek Yahudi menguasainya. Dalam media massa, Yahudi telah menguasai American Broadcasting Companies (ABC), Columbia Broadcasting System (CBS), National Broadcasting Company (NBC), The New York Times, The Wall Street Journal, dan The Washington Pos. Dunia hiburan nomor satu sejagat bernama Hollywood juga dikuasai oleh mereka. Sebut saja produser dan sutradara film seperti Steven Spielberg, William Selig, Jesse Lasky, Samuel Goldwyn, dan Adolph Zukor. Di dalam bisnis penerbitan, Yahudi juga menunjukkan dominasinya, seperti Random House, Simon&Schuster, dan Time Book, inc. Ketiga penerbit ini mempunyai jaringan yang luas dan kuat. Dengan penguasaan media, Yahudi dapat mengendalikan opini publik di media cetak maupun elektronik.

Penulis buku ini mengingatkan bahwa ada satu hal yang mesti dipahami oleh pembaca bahwa Zionisme mempunyai tim yang ditugaskan untuk melakukan lobi ke lingkaran elite negara. Tim ini bertujuan agar semua rencana bisnis zionis dapat berjalan lancar. Di Amerika Serikat, kaum zionis memiliki tim lobi khusus yang dikenal dengan sebutan AIPAC (American Israel Public Affairs Committee). AIPAC sangat berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan di kongres Amerika.

Tidak hanya itu mereka juga mengendalikan PBB, IMF, dan World Bank. Mereka memainkan pasar modal dan uang, misalnya, apa yang dilakukan oleh George Soros, seorang Yahudi, dalam meluluhlantahkan perekonomian Asia dengan berspekulasi di pasar mata uang. Anton juga mengingatkan bahwa kaum Yahudi juga menjerat negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Negara-negara ini terus menderita karena terjerat utang yang disodorkan oleh IMF dan World Bank yang dikendalikan zionis tersebut.

Buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi mengenai peta jaringan bisnis Yahudi. Misi penulis buku ini barangkali hendak mengajak masyarakat Indonesia untuk bangun dari tidur panjangnya, dan memperlihatkan peristiwa di balik yang terjadi di dunia saat ini, baik secara politik maupun ekonomi, yang tak lain adalah adanya campur tangan Yahudi.***

M. IQBAL DAWAMI
Staf Pengajar STIS Magelang, tinggal di Yogyakarta

Minggu, April 19, 2009

Nasihat Arvan Bagi (Calon) Politisi

Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, 16 April 2009
Judul: Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Maret 2009
Tebal: 130 hlm.
----------------

Setelah selesai pemilu calon legislator (caleg) pada 9 April 2009, tiba-tiba marak sekali pemberitaan di media massa mengenai para mantan caleg yang menderita gangguan jiwa, bahkan ada yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.

Hal itu disebabkan pendapatan suara mereka di bawah rata-rata, alias minus, sehingga mereka tidak bisa lolos menjadi anggota dewan. Kenyataan itu mengindikasikan adanya ketidaksiapan para caleg untuk kalah dalam bertarung.

Mestinya, mereka yang gagal menjadi anggota dewan bersyukur, karena menjadi politisi tidaklah mudah, penuh dengan godaan dan tantangan. Dengan kata lain, kebahagiaan akan teramat sulit untuk diraih jika sudah berada dalam tampuk kekuasaan. Sebaliknya, bagi mereka yang akan terpilih menjadi anggota dewan tidak perlu besar kepala. Justru mereka harus segera mempersiapkan diri untuk menghadapi hidup “sengsara”, alih-alih mendapatkan kebahagiaan.

Buku Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi karya Arvan Pradiansyah akan membuktikannya. Ia mengatakan bahwa seorang politisi tidak akan mendapatkan kebahagiaan jika praktik untuk mendapatkan status sebagai politisi dilakukan dengan prinsip ‘demi kepentingan dan kekuasaan’ semata. Logikanya, bahwa pada saat nyaleg dan masa kampanye para caleg mengeluarkan dana yang sangat besar. Harga yang harus dibayar seorang caleg untuk mendapatkan kursi di DPR saja sedikitnya Rp 1 miliar, sedangkan untuk menduduki kursi di DPRD, paling sedikit Rp 500 juta. Belum lagi untuk biaya kampanyenya yang kurang lebih jumlahnya sama dengan ongkos daftar jadi caleg tersebut.

Materi yang sangat tidak sedikit itu sangat berdampak pada saat si caleg itu memenangkan pemilunya (jika sekiranya memang menang). Pada saat si caleg sudah menjadi resmi menjadi anggota legislatif, kira-kira apa yang ada dalam benaknya itu? Arvan menduga kuat bahwa para anggota legislatif yang baru memenangkan pemilu itu mengawali agenda pribadinya dulu, yaitu membalikkan modal yang pernah ia keluarkan dahulu saat daftar jadi caleg dan kampanye. “… Kalau Anda mengatakan bahwa Anda akan langsung berjuang untuk rakyat, saya yakin semua orang tahu bahwa Anda sedang berbohong. Bukannya saya tidak percaya bahwa ada orang yang mau berjuang untuk rakyat. Sama sekali tidak. Tapi, saya yakin bahwa sebelum Anda memulai perjuangan yang suci itu, ada sebuah ‘perjuangan’ lain yang sedang berkecamuk di dalam diri Anda. Perjuangan yang saya maksud adalah berjuang untuk mendapatkan uang Anda kembali!” (hlm. 17).

Nampaknya sangat logis pernyataan Arvan di atas. Pasalnya, sebagaimana hukum bisnis, bahwa tidak mungkin ada orang di dunia ini yang mau mengorbankan uang dalam jumlah yang sangat besar bila ia tidak yakin akan mendapatkan keuntungan yang besar pula, minimal sepadan.

Selain itu, Arvan pun menerapkan tujuh konsep kebahagiaan yang ia ciptakan—yaitu dalam buku The 7 Laws of Happines (2008)—untuk memperkuat argumentasinya, dalam rangka menjawab mengapa para politisi tidak akan bahagia meskipun mereka telah duduk di lembaga legislatif ?

Tujuh konsep kebahagiaan yang Arvan maksud, pertama adalah sabar. Bagi Arvan, bersabar adalah menyatukan badan dan pikiran di satu tempat. Apakah para politisi dapat melakukannya? Ternyata tidak. Mereka sangat sulit untuk menyatukan badan dan pikirannya. Saat badannya sedang berhadapan dengan rakyat tapi pikirannya sibuk dengan hal lain. Saat penghitungan suara pemilu caleg masih berlangsung, namun para sudah meributkan koalisi, berbagi jabatan (presiden dan wapres), serta berbagi kekuasaan.

Kedua, adalah syukur. Kata Arvan, salah satu hal yang dapat menimbulkan rasa syukur adalah selalu melihat ke bawah, karena dengan begitu kita akan mampu berdamai dengan segala kekurangan kita dan merasa puas dengan apa adanya kita. Tapi, bagi politisi kata-kata puas sangat jauh dari hidup mereka, “Kalau mereka selalu puas, bagaimana mereka bisa berpolitik” ujar Arvan.

Ketiga, adalah sederhana, baik dalam cara berpikir maupun gaya hidup. Sudah dapat dipastikan konsep kebahagiaan ini sangat sulit diterapkan oleh politisi. Kondisinya amat sangat tidak memungkinkan untuk hidup berpola sederhana.

Keempat, adalah cinta. Kita semua sudah mafhum bahwa dasar dari hubungan antarmanusia adalah cinta. Dan dengan memberikan cintalah kita akan merasakan kebahagiaan. Tapi, bagi politisi menerapkan cinta adalah yang kesekian, bahkan boleh jadi tidak ada. Dalam berpolitik yang menjadi dasar dari hubungan antarmanusia adalah kepentingan. ‘Tidak ada persahabatan abadi yang ada adalah kepentingan abadi’, barangkali adagium itu pas dalam menggambarkan dunia politik.

Kelima adalah memberi. Dalam artian memberi tanpa mengharap balasan. Inilah tindakan memberi yang tertinggi. Nampaknya, konsep ini pun teramat sulit untuk dilakukan politisi, karena rumus utama dalam politik bukanlah memberi (giving), tapi mendapatkan (getting).

Keenam adalah memaafkan. Untuk meraih kebahagiaan sifat pemaaf sudah menjadi hal yang mutlak dilakukan. Karena, sejatinya memaafkan bukanlah untuk kepentingan orang yang menyakiti kita, tapi untuk kita sendiri. Dalam dunia politik, seringkali amat sulit menjadi pribadi yang pemaaf. Justru yang ada adalah menyerang balik atas apa yang dilakukan lawan politiknya, seperti mengungkit masa lalunya yang negatif.

Ketujuh adalah berserah atau pasrah kepada Tuhan. Menurut Arvan, berserah yang paling membahagiakan bukanlah meminta sesuatu kepada Tuhan, melainkan benar-benar berserah. Sedang bagi politisi jauh dari berserah semacam itu. Doa mereka hanya satu: Meminta kemenangan kepada Tuhan, tak peduli kemenangan tersebut baik atau buruk bagi mereka. Hal ini akan sangat tidak membahagiakan saat mereka tidak dikabulkan doanya.

Namun, Arvan menggarisbawahi bahwa tujuh konsep kebahagiaan itu bukan harga mati yang tidak bisa diupayakan oleh politisi. Mereka bisa mengupayakannya, dengan catatan mereka mampu meningkatkan derajat statusnya bukan sebagai politisi, tapi negarawan yang semangat hidupnya mempraktikan ketujuh konsep tersebut, di mana salah satunya adalah senang memberi tanpa pamrih.

Buku Arvan ini sangat layak direkomendasikan pada para politisi baik yang baru memenangkan pemilu kemarin maupun yang sudah berpengalaman.***

M.IQBAL DAWAMI
Staf Pengajar STIS Magelang


Minggu, April 12, 2009

Rekonstruksi Sejarah Indonesia

Resensi ini dimuat di Koran Seputar Indonesia pada Minggu 10 Mei 2009
Judul: The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan
Penulis: R.E. Elson
Penerjemah: Zia Anshor
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Januari 2009
Tebal: xxxiii + 543 hlm. (termasuk indeks)
-----------------------------------------

Tak dapat dipungkiri bahwa yang paling banyak mengetahui sejarah terbentuknya Indonesia adalah justru kaum sejarawan yang bukan berasal dari Indonesia. Ironisnya, kenyataan itu sama sekali tidak membangkitkan emosi para sejarawan Indonesia.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah para cendekiawan Indonesia sudah puas dengan kehidupannya sekarang ini, atau kah sibuk dengan urusan pragmatis semisal proyek-proyek yang menggiurkan demi memenuhi hasrat para penguasa? Padahal perihal merekonstruksi asal-usul Indonesia sangatlah penting ditulis oleh orang Indonesia, agar tidak bias dengan hasil-hasil penelitian dari pihak asing.

Dampak dari ketiadaan para sejarawan Indonesia adalah banyaknya generasi muda tercerabut dari pemahaman akar sejarah Indonesia sendiri.


Salah satu teranyar dari sejarawan asing mengenai asal-usul terbentuknya Indonesia adalah The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan karya R.E. Elson. Buku ini hendak berusaha mengenalkan kembali serta mencari asal-usul dari gagasan terbentuknya Indonesia yang dimulai sejak pertengahan abad ke-19. Tidak hanya itu, ia juga menelusuri lebih jauh tentang berbagai jalan berliku yang telah dilalui Indonesia hingga mampu eksis sampai sekarang.

Menurut Elson esksistensi Indonesia menjadi suatu negara-bangsa merupakan sebuah keajaiban dan kemukjizatan. Hal yang menjadi pertimbangannya adalah banyaknya tantangan serta bentuk-bentuk pemerintahan yang dilaluinya teramat rumit dan musykil untuk dilalui. Kemunculan nama ‘Indonesia’ sendiri menjadi bahan silang pendapat antar sejarawan.

Sebut saja, JR Logan, misalnya, sejawaran Belanda dan editor majalah The Journal of the Indian Archipelago and eastern Asia, disebut sebagai orang pertama yang menggunakan istilah “Indonesia” bagi nama penghuni dan wilayah gugusan nusantara secara geografis. Logan mengatakan, “I prefer the purely geographical term, Indonesia, which merely shirter synonym for the Indians or the Indian archipelago… , we thus get Indonesian for Indian Archipelagians or Indian Islanders.”

Logan menyebut Nusantara sebagai kepulauan Hindia-Timur, karena sebagian besar dari penghuninya adalah dari ras Melayu yang kemudian berbaur dengan ras Polinesia. Ia pun membagi Indonesia dalam empat wilayah geografis: Indonesia Barat (Sumatera, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa dan pulau-pulau antara), Indonesia Timur-Laut (Formosa hingga gugusan kepulauan Sulu dan Mindanao, termasuk Filipina hingga kepulauan Visaya); Indonesia Barat-Daya (dari pantai Timur Kalimantan hingga Papua Nugini, termasuk gugusan kepulauan di Papua Barat, Kai dan Aru); Indonesia Selatan (gugusan kepulauan selatan Tans Jawa, antara Jawa dengan Papua Nugini atau dari Bali hingga gugusan kepulauan Timor).

Hal senada juga dikatakan Windsor Earl bahwa ”Indu-nesians” menerangkan penduduk kepulauan nusantara termasuk ciri etnografis yang merupakan bagian dari rumpun Polinesia yang berkulit sawo matang. Earl mempermasalahkan bahwa penduduk di kepulauan nusantara ini tidak dapat disamakan dengan penghuni kepulauan Ceylon (kini Sri Lanka), Maldives atau Laccadives di Samudera Hindia dari ras India. Sedang antropolog Prancis, E.T. Hamy pada 1877 mendefinisikan kata ”Indonesia” sebagai rumpun pre-Melayu yang menghuni nusantara. Pendapat ini juga diikuti antropolog Inggris, A.H. Keane pada 1880.

Multatuli (nama lain dari Eduard Douwes Dekker), melalui karya monumentalnya, Max Havelaar (1859) memperkuat teori Logan tersebut. Multatuli menyimpulkan bahwa semua yang digagaskan JR Logan merupakan sebuah potret otentik yang bisa kembali menggugah kesadaran yang semakin menguatkan seluruh masyarakat dunia bahwa pada dasarnya gagasan Indonesia terbentuk jauh pada abad-abad lampau.

Istilah Indonesia lambat laun mulai berkembang dan sejak 1910-an digunakan oleh antropolog Belanda seperti Wilken, Kern, Snouck Hurgronje, Kruyt, dan yang lainnya, semuanya dengan makna yang sama. Dari situ pula, telah didirikan Fakultas Indologi di Universitas Leiden untuk mempelajari Indonesia.

Terminologi Indonesia kemudian baru diberi makna politis (dalam bentuk 'Hindia' yang harus merdeka) oleh Abdul Rivai, Kartini, Abdul Moeis, Soewardi Soeryaningrat, Douwes Dekker, Cipto Mangoenkoesoemo, Ratulangie dan lain-lain antara 1903-1913. Nama 'Indonesia' mulai santer, namun dengan bobot politis yang sama dengan 'Hindia', di kalangan mahasiswa asal Indonesia di Leiden semasa Perang Dunia I sekitar 1917. Sam Ratulangie yang juga termasuk dalam kelompok peduli Indonesia di Belanda giat pula mempopulerkan nama Indonesia di tanah air. Misalnya ketika mendirikan perusahaan asuransi di Bandung dengan nama, Indonesia pada 1925.

Nama Indonesia mulai berkembang sebagai perangkat perjuangan identitas bangsa yang terdiri dari masyarakat berbudaya majemuk dilandasi semangat solidaritas kebersamaan. Sebagai hasilnya, Indische Vereeniging, berubah menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia pada 1918. Namun dalam perkembangannya hingga kini, terminologi Indonesia lebih dilekatkan pada negara Indonesia. Indonesia dalam terminologi Logan berubah menjadi beberapa negara, termasuk Indonesia, Singapura dan Malaysia. Penang masuk Malaysia. Semenanjung Malaka dan Pulau Sumatra, yang kebudayaannya kental Melayu, terpisah menjadi dua negara. Papua Barat, yang sama sekali tak masuk dalam khayalan Logan, malah masuk wilayah Indonesia. Malaysia dan Indonesia menjadi dua negara berbeda karena mulanya mereka disatukan secara administrasi oleh dua kerajaan Eropa yang berbeda: Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda.

Setelah puas memaparkan asal-usul istilah Indonesia dan cakupannya dari pelbagai pendapat, pada bab-bab selanjutnya Elson melangkah pada bahasan mengenai sejarah intelektual Indonesia awal dari gagasan dan ide terbentuknya Negara Indonesia dengan begitu detail dan komprehensif. Sungguh, usaha ini patut diacungi jempol, karena dilakukan olehnya yang notabene-nya sebagai sejarawan non-Indonesia dan pembahasan mengenai ini telah luput dari pandangan sejarawan Indonesia sendiri.

Hal yang patut diapresiasi juga adalah cara penyajian Elson dalam membedah politik Indonesia yang sangat memukau. Ia piawai pula cara menggambarkan para tokoh politik Indonesia saat berkomunikasi dengan rakyatnya. Buku ini merupakan sejarah Indonesia penting untuk ditelaah, agar masyarakat Indonesia tidak melupakan sejarah nenek moyang terlebih para sejarawan Indonesia.

M.IQBAL DAWAMI
Staf Pengajar STIS Magelang, keturunan jawa-sunda, Tinggal di Yogyakarta

Selasa, April 07, 2009

Taubatnya Mantan Bandit Ekonomi Dunia

Judul : John Perkins; Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional
Penulis : John Perkins
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta
Tahun : I, Maret 2009
Tebal : xxviii + 465 halaman
----------------------------

John Perkins adalah penulis asal Amerika Serikat (AS) yang mengungkapkan korporatokrasi yaitu jaringan yang bertujuan memetik laba melalui cara-cara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.

Buku ini adalah buku keduanya, setelah Confessions of an Economic Hit Man (2004). Dan boleh dikata buku ini sebagai lanjutan dari buku pertamanya tersebut. Perkins menyebut dirinya sebagai bandit ekonomi (Economic Hit Man; EHM) yang bekerja di perusahaan konsultan MAIN yang bermarkas di Boston, AS.

Sebagaimana halnya buku pertamanya, buku keduanya juga merupakan sebentuk pengakuan dosa dan kesaksian seorang ekonom bayaran Amerika Serikat yang ditugasi untuk menciptakan ketergantungan ekonomi negara Dunia Ketiga dan terbelakang melalui politik utang kepada negara adikuasa.

Perkins menceritakan bagaimana profil seorang agen terselubung hasil rekrutmen National Security Agency (NSA), organisasi spionase Amerika yang paling sedikit diketahui tapi terbesar. Perkins dan teman-temannya berperan sebagai agen spionase terselubung. Mereka membuat economics forecast untuk suatu negara klien korporatokrasi. Dan tugas utama mereka adalah menerapkan kebijakan yang mempromosikan kepentingan korporatokrasi (koalisi bisnis dan politik antara pemerintah, perbankan, dan korporasi) Amerika sambil menyatakan minat mereka untuk mengurangi derajat kemiskinan di negara Dunia Ketiga yang kaya akan sumber daya alamnya, baik yang ada di Asia, Afrika, Timur Tengah, maupun Amerika Latin.

Bantuan utang luar negeri yang selama ini ditawarkan lembaga-lembaga donor seperti IMF dan World Bank telah dikondisikan agar negara penerima donor menjadi sangat bergantung pada negara penyokong donor. Negara pendonor akan berada di atas angin. Ia bebas mendiktekan kebijakan ekonomi dan menuntut ketaatan negara penerima bantuan. Salah satu diktenya adalah negara yang diberi donor tersebut diharuskan mengizinkan perusahaan-perusahaan global untuk membangun proyek-proyek yang menciptakan laba sangat besar untuk para kontraktornya dan memperkaya sekelompok kecil elite dari bangsa penerima utang luar negeri.

Dari situ dapat dipastikan bahwa yang menjadi tujuan pendonor dana adalah agar negara penerima utang memiliki kesetiaan politik untuk jangka panjang sampai kekayaan alamnya habis. Indonesia adalah korban pertama Perkins. Ia menyebutkan, Indonesia merupakan negeri kepulauan terbesar yang kaya sumber daya alam, khususnya minyak. Hal ini membuat pendulum—Amerika Serikat (AS)—berdenyut. Perkins kali pertama menginjakkan kakinya di Indonesia pada 1971 mengaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi seperangkat alat ampuh untuk membangkrutkan Indonesia.

Perkins membuat laporan fiktif untuk IMF atau Bank Dunia agar mengucurkan utang yang tak mampu dibayar oleh negara Indonesia. Setelah tersandera, Indonesia ditekan mendukung AS di DK PBB atau menjual ladang minyak ke MNC Barat. Aksi ini dilakukan Perkins dalam tiga bulan pertama sejak 1971 berada di Indonesia.

Ketergantungan pada pendonor dana semenjak masa Soeharto ternyata masih berlanjut hingga pemerintahan SBY. Di antaranya adalah kasus Paiton, blog Cepu, dan lain-lain. Pemerintah dibuat tidak berkutik menghadapi gempuran para korporator, lantaran sudah dijebak dengan utang. Dalam kasus lain bisa kita lihat pada saat terjadi tsunami di Aceh. Menurut Perkins, pemerintah Indonesia cepat-cepat mengambil keuntungan dari peristiwa ini. Pasukan baru diterbangkan dari kawasan Indonesia lainnya. Dalam hitungan bulan, mereka akan mendapat bantuan personel militer dan prajurit upahan dari AS, seperti Neil. Meskipun angkatan bersenjata memegang komando dengan dalih meringankan korban bencana, agenda terselubung mereka tak lain menumpas GAM.
November 2005, Washington mencabut embargo senjata dan melanjutkan hubungan penuh dengan militer Indonesia. Perkins melihat GAM lahir dari hasrat untuk merdeka dari pemerintah yang dianggap berlaku eksploitatif dalam urusan ekonomi dan menindas dengan brutal. Meski lingkungan dan budaya mereka rusak akibat tangan-tangan korporasi asing, keuntungan yang diterima rakyat Aceh hanya sedikit. Salah satu proyek sumber daya terbesar di Indonesia, fasilitas gas alam cair (LNG), berlokasi di Aceh. Namun hanya sedikit keuntungan LNG itu yang disalurkan ke sekolah, rumah sakit, dan investasi lokal lainnya untuk membantu rakyat Aceh sebagai pihak yang terkena dampak paling besar dari perusahaan itu.

Mirip dengan Indonesia, Perkins dan kawan-kawannya juga mengendalikan sejumlah peristiwa dramatis dalam sejarah, seperti kejatuhan Shah Iran, kematian Presiden Panama, Omar Torrijos, dan invasi militer Amerika ke Panama dan Irak. Namun, aksi kejahatannya seperti itu yang telah berlangsung bertahun-tahun membuat nuraninya terusik. Ia merasa dirinya kontradiktif. Pemanasan global benar-benar menyadarkan dirinya lebih dalam lagi untuk menyerang balik para pelaku korporasi, lantaran bumi secara perlahan telah habis dieksploitasi oleh mereka. Dalam bukunya ini, sekaligus yang membedakan dengan buku pertamanya, Perkins mengajak warga dunia memerangi korporatokrasi yang terbukti menjadi senjata penjajahan paling mutakhir untuk membangkrutkan sebuah negeri.

Pada bab terakhir, Perkins menawarkan berbagai solusi menghadapi kejahatan korporatokrasi, mulai dari hal terkecil hingga yang paling besar (lihat hlm. 443-445). Sungguh, membaca buku ini membuka kesadaran kita akan mafia bisnis perusahaan multinasional dalam merusak ekonomi suatu negara. Untuk itu, buku ini sangat layak dibaca bagi siapa pun yang menginginkan kesadaran akan keselamatan dunia. Di samping itu, pengemasan buku dan penyajian bahasanya yang naratif membuat pembaca terbantu untuk menuntaskan rasa ingin tahunya dan enggan berhenti di tengah jalan.***

M IQBAL DAWAMI
Staf pengajar STIS Magelang, tinggal di Yogyakarta