Jumat, Juni 28, 2013

Ziarah Ke Makam Para Penyair



Judul: The Road to Persia; Menelusuri Keindahan Iran yang Belum Terungkap
Penulis: Afifah Ahmad
Penerbit: Bunyan
Cetakan: I, Februari 2013
Tebal: xiv+222

Selain ke makam keluarga dan sanak saudara, masyarakat Indonesia mempunyai tradisi ziarah ke makam para ulama, seperti Wali Songo. Kalau kita tengok masyarakat Iran, ternyata tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia. Bahkan lebih dari itu. Di samping para ulama, mereka memiliki tradisi ziarah ke makam para penyair, sebut saja misalnya Saadi, Hafiz, Khayyam, dan Ferdowsi. Penghormatan mereka terhadap penyair dari tanah kelahirannya sungguh luar biasa. Apresiasinya tak tertandingi oleh negara mana pun. Jika sebagian orang Indonesia mencari semangat hidupnya dari buku-buku motivasi, orang Iran justru mencarinya dari puisi-puisi yang saya sebutkan di atas.
Informasi itu bisa kita dapatkan dari buku berjudul The Road to Persia karya Afifah Ahmad. Penulis asal Indonesia ini sudah tinggal di Iran kurang lebih 5 tahun. Beberapa tempat yang memiliki keunikan dan historisitasnya telah ia kunjungi. Buku ini adalah hasil kunjungan tersebut. Di dalamnya terbagi 4 bab: pertama, kunjungannya ke berbagai tempat dan bangunan bersejarah seperti Bundaran Isfahan, Rudkhan Castle, reruntuhan Persepolis. Kedua, ziarah ke makam para penyair dan ilmuwan seperti Hafiz, Khayyam, Fariduddin Attar, Sadra, Ibnu Sina. Ketiga, menikmati Desa dan Alam Persia, seperti Kandovan, Masouleh, Tepian Zayandeh, gugusan Alborz. Keempat, cerita keseharian di Iran, seperti suasana di kereta, suasana Ramadhan, 10 muharam.
Bagi saya yang paling berkesan dari buku ini adalah bab kedua perihal tradisi ziarah ke makam para penyair dan ilmuwan. Mungkin karena tradisi ini dekat dengan kehidupan saya yang sering berziarah. Afifah Ahmad dengan apik menceritakan bagaimana peziarahan dia dan keluarganya ke makam-makam penyair dan ilmuwan Iran. Dia bertutur, “Puisi memang telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari tradisi masyarakat Persia. Bila bangsa Italia besar dengan opera, bangsa Iran tumbuh bersama syair. Hampir setiap rumah di Iran menyimpan Divan Hafiz, salah satu buku puisi. Ibu-ibu rumah tangga sederhana saja sudah terbiasa melafalkan baris-baris syair, apalagi para dai dan presenter. Mereka tidak pernah ketinggalan menyisipkan larik-larik puisi,” (hlm. 75). 
Bisa dibayangkan kalau tradisi berpuisi ini hidup di masyarakat Indonesia alangkah takjubnya kita. Saya membayangkan tradisi berpuisi di Iran seperti halnya tradisi beradu pantun di etnis melayu, khusunya tanah minang. Tidak hanya itu, di sana, para penyair begitu dihargai layaknya pahlawan nasional, ujar Afifah. Bahkan, setelah kematiannya, makam mereka dipayungi kubah serta dipagari taman-taman indah.
                Hafiz, penyair besar di tanah Persia, dimakamkan di sebelah utara Kota Shiraz. Area pemakamannya dinamakan Hafiziyeh. Luasnya mencapai dua hektare. Luar biasa. Ketimbang makam, area ini lebih mirip taman, karena begitu indah penataannya. “Kompleks taman itu dilengkapi dengan perpustakaan, museum, pusat riset, dan kedai teh. Ada juga beberapa ruangan yang biasa digunakan untuk diskusi puisi atau kelas sastra. Setiap hari wafatnya, sekitar pertengahan Oktober, diperingati sebagai hari mengenang Hafiz. Para penyair dari berbagai belahan dunia berkumpul di taman ini. Mereka mengenang dan membacakan kembali syair-syair sang pujangga,” tutur Afifah. 
                Setelah dari Shiraz, Afifah bertolak ke Kota Nishapur. Di sana terdapat makam Umar Khayyám dan Fariduddin Attar. Di pintu gerbang Mousoleum Attar Afifah disambut sang penyair sendiri, Fariduddin Attar. Tentu saja berbentuk patung. Makamnya berada di bawah kubah yang berwarna biru turkois. Di sana terdapat tulisan La Ilaha Illallah. Bagi peziarah harus melepas alas kakinya, karena di sana tergelar karpet merah. Adapun hiasan dindingnya adalah lukisan-lukisan yang berkaitan dengan sang penyair, salah satunya adalah lukisan aneka burung. Lukisan itu sesungguhnya menggambarkan karya sang penyair berjudul Mantiq Attair (Musyawarah Para Burung).
Di depan makam sang penyair Afifah melihat seorang perempuan muda yang wajahnya terlihat sendu.  Entah apa yang ada di benaknya, barangkali ia tengah membagi kesedihan bersama si penyair, pikir Afifah.
Makam Umar Khayyám berjarak 1 km dari makam Fariduddin Attar. Di makam Khayyám bila musim semi tiba area makamnya terlihat kuncup-kuncup bunga berguguran. Makam Khayyám tepat berada di bawah pohon peach. Mousoleum Khayyam modelnya seperti tenda. Konsep pembuatannya barangkali disesuaikan dengan nama Khayyam sendiri yang berarti si pembuat tenda. Khayyam lahir pada 18 mei. Sebagai penghormatan dan menebar spiritnya, setiap tanggal kelahirannya digelar pelbagai festival kesenian. Ratusan orang berkumpul di tugu pemakamannya untuk mengikuti upacara tabur bunga.
                Afifah merasa bahagia dan bersyukur sekali dapat menziarahi makam para penyair masyhur itu. Membaca catatan perjalanan yang terangkum dalam buku ini saya tergoda ingin sekali berziarah ke makam-makam penyair masyhur itu seperti halnya penulis buku ini. Ah, barangkali saya bisa memulainya dengan menziarahi para penyair Indonesia terlebih dahulu.[]

M. Iqbal Dawami, peziarah, pencinta buku, jungle tracker.