Minggu, Februari 21, 2010

Memahami Bahasa Tubuh untuk Kesuksesan

Dimuat di SINDO, Minggu 14 Februari 2010


Judul: The Magic of Talking
Penulis: Leil Lowndes
Penerjemah: Ratih Ramelan, dkk.
Penerbit: Ufuk, Jakarta
Cetakan: I, Desember 2009
Tebal: 574 halaman
---------------------

Bertahun-tahun silam, guru drama Leil Lowndes begitu kecewa atas akting buruknya. Ia pun berteriak,“Tidak! Tidak! Tubuhmu bertentangan dengan kata-katamu. Setiap gerakan kecil dan setiap posisi tubuh mencerminkan pikiranmu. Wajahmu dapat membentuk tujuh ribu ekspresi yang berbeda, dan setiap darinya menampilkan secaratepatsiapadirimudanapa yang sedang kau pikirkan.” Lalu ia mengatakan sesuatu yang tidak akan pernah Lowndes lupakan, “Dan tubuhmu! Caramu bergerak merupakan otobiografimu dalam bentuk gerakan.”

Lowndes diam-diam mengamini perkataan gurunya itu. Dan dari situ ia menyadari betapa pentingnya bahasa tubuh menyokong kesuksesan hidup seseorang. Dalam panggung kehidupan setiap gerakan yang dilakukan,tanpa disadari menceritakan kisah hidup. Anjing dapat mendengar suara yang tidak bisa kita dengar. Kelelawar mampu melihat bendabenda dalam kegelapan yang tak mampu kita lihat.

Sementara itu, manusia melakukan gerakan di bawah sadar, tetapi mampu memberikan daya luar biasa dalam menarik atau menolak. Setiap senyum, cemberut, dan setiap kata yang diucapkan, dapat mengarahkan orang lain kepada anda atau menjauhkan mereka dari anda. Lowndes bercerita jika ada dua orang yang berada dalam kotak, yang dihubungkan dengan rangkaian untuk merekam aliran sinyal di antara keduanya, maka sebanyak 10.000 unit informasi akan mengalir per detiknya.

Ia pun mengutip salah seorang pakar komunikasi dari University of Pennsylvania, “Kemungkinan besar, upaya-upaya seumur hidup dari separuh populasi orang dewasa di Amerika akan diperlukan untuk menyortir unit-unit interaksi antara dua subjek dalam satu jam.” Dengan sejuta aksi cerdik dan reaksi di antara manusia,dapatkah kita memunculkan kiat-kiat konkret demi membuat komunikasi kita jelas, mantap, kredibel, dan karismatik?

Demi menemukan jawaban atas pertanyaan di atas,Lowndes membaca setiap buku tentang kecakapan komunikasi,karisma,dan keselarasan di antara manusia.Ia juga melakukan ratusan studi di seluruh dunia terhadap kualitas yang terkait dengan kepemimpinan dan kredibilitas. Para pakar sosial pun tidak kenal lelah dalam mencari formulanya.

Lowndes menyadari bahwa dunia saat ini sudah berbeda dengan abad ke-19 sehingga kita memerlukan formula baru dalam meraih kesuksesan.Demi menemukannya, ia mengamati para superstar saat ini. Ia amati cara-cara yang digunakan oleh para sales ternama, pembicara ulung, agamawan terkemuka, pemikat andal, dan para atlet berprestasi. Selain itu, saat bersama para pemimpin sukses,Lowndes menganalisis bahasa tubuh dan ekspresi wajah mereka. ia mendengarkan dengan saksama percakapan,waktu, dan pilihan kata mereka.

Ia melihat saat mereka berurusan dengan keluarga, teman, rekan, dan lawan mereka. Setiap kali ia meliha tkeajaiban dalam komunikasi mereka, “Saya meminta mereka untuk menjelaskannya”. Kemudian mereka sama-sama menganalisis, dan ia pun lalu mengubahnya menjadi kiat-kiat yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Penemuannya itu ia tuangkan dalam buku ini. Lewat karyanya ini, Lowndes mendapati bangunan kualitas yang mendorong kesuksesan mereka.

Setelah membangun kiat-kiat tersebut, ia mulai memperkenalkannya kepada orang-orang di penjuru negeri. Hasilnya, klien-kliennya pun banyak dari mereka para eksekutif perusahaan dan kalangan lainnya. Secara spesifik, buku ini membimbing kita tentang, misalnya bagaimana menarik seseorang tanpa kata-kata; bagaimana mengetahui apa yang harus dikatakan anda mengatakan “Hai”; bagaimana berbicara layaknya orang penting; bagaimana bisa ikut ambil bagian dalam percakapan apa pun; bagaimana agar terdengar, seperti bagian dari mereka; bagaimana membedakan antara pujian dan kata-kata menjilat; dan bagaimana menjadikan pesta menguntungkan sebagaimana seorang politisi memperluas jaringan.

Membaca buku menyadarkan kita betapa pentingnya menggunakan bahasa tubuh yang baik. Memperbaiki bahasa tubuh dapat membuat perbedaan yang besar ketika seseorang menilai kepribadian anda. Bahasa tubuh yang baik dapat menunjukkan bahwa anda memiliki kecakapan, daya pikat dan suasana hati yang positif. Sebagai contoh: jika anda sering tersenyum, anda akan merasakan lebih bahagia.

Jika anda duduk dengan tegap, anda akan merasakan lebih energik. Jika anda melambatkan gerakan anda (tidak terburu-buru), anda akan merasakan lebih tenang. Contoh yang lebih konkret lagi adalah perihal beberapa bahasa tubuh yang perlu anda perhatikan ketika berbicara dengan seseorang. Ketika ada orang terkoneksi dan melakukan hubungan pembicaraan yang positif,mereka secara tidak sadar akan saling berkaca satu sama lain.

Dalam arti anda akan sedikit meniru bahasa tubuh lawan bicara anda,begitu juga sebaliknya. Dari situ anda dapat juga melakukan teknik berkaca yang proaktif (dengan sadar) untuk lebih meningkatkan kualitas hubungan anda dan lawan bicara anda. Sebagai contoh, jika lawan bicara anda sedikit mencondongkan badannya ke depan, anda dapat juga mencondongkan badan anda ke depan. Jika lawan bicara anda menaruh satu tangannya di atas meja, anda juga dapat melakukan hal yang sama.

Namun,tetap perlu diingat, jangan melakukan gerakan tiruan dengan jeda waktu yang sangat singkat dan hampir semua gerakan ditiru. Apa yang anda rasakan akan tersalur lewat bahasa tubuh dan dapat menjadi perbedaan yang besar terhadap kualitas hubungan anda dan lawan bicara anda.Tetaplah jaga sikap yang positif, terbuka dan santai.(*)

M. Iqbal Dawami, penikmat teh dan gogodoh

Senin, Februari 15, 2010

Mengungkap Misteri Freemasonry

Resensi ini dimuat di KORAN JAKARTA, Sabtu 13 Februari 2010

 Judul: The Lost Symbol
Penulis: Dan Brown
Penerjemah: Inggrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan: I, Januari 2010
Tebal: 705 halaman
-------------------
The Lost Symbol adalah novel kelima karya Dan Brown, dan novel ketiganya yang melibatkan karakter Robert Langdon, ahli simbol dari Universitas Harvard, setelah Angels & Demons dan The Da Vinci Code. Permulaan kisah dalam novel ini dimulai dengan Robert Langdon yang dipanggil ke Washington DC untuk mengisi ceramah, sembari menemui temannya Peter Solomon, tepatnya di gedung Capitol. Namun, ternyata undangan tersebut hanyalah kebohongan belaka.

Di gedung tersebut seseorang meletakkan simbol Tangan Misteri yang dibuat dari penggalan tangan Peter Solomon, sahabat dan mentor Langdon, sekaligus tokoh penting Persaudaraan Mason. Langdon ternyata akan diperalat. Langdon dihubungi oleh seseorang yang mengaku sedang menyandera Peter Solomon. Penyanderaan tersebut tak lain sebagai jaminan agar Langdon memecahkan teka-teki tentang “Ancient Mysteries” yang dimiliki organisasi Freemason. Penyandera Peter Solomon tersebut ternyata juga mengejar adik Peter Solomon, Katherine. Kode-kode kelompok rahasia Mason yang melindungi sebuah lokasi di Washington, DC. Lokasi penyimpanan kebijakan tertinggi umat manusia, yang konon akan membuat pemegangnya mampu mengubah dunia. Secara umum, alur novel ini masih sama seperti novel-novel sebelumnya, Th e Da Vinci Code dan Angels and Demons.

Petualangan semalam diburu waktu untuk menyelamatkan seseorang atau sesuatu dari sosok misterius yang tak diduga dan berhubungan dengan organisasi penuh rahasia dan interpretasi simbol. Dan tokoh perempuan yang menemani petualangan sang tokoh utama pria. Kali ini, organisasi yang hendak dibongkar misterinya adalah Freemasonry. Menurut Encyclopaedia Britannica, Freemason merupakan perhimpunan rahasia terbesar di dunia, berkembang dari loji-loji tukang batu pembangun katedral di Abad Pertengahan. Sebagian kecil loji itu mengembangkan ajaran kebatinan yang memungut ritus-ritus dan pernak-pernik ordo keagamaan kuno dan kelompok persaudaraan.

Loji Agung, persatuan beberapa loji, pertama berdiri di Inggris pada 1717, dan Freemason pun menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Robert Langdon berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan sahabatnya yang telah ditawan. Maka dimulailah petualangan semalam suntuk Robert Langdon di Washington. Selain itu, Direktur CIA menekan dia untuk segera mengungkap siapa penyandera tersebut dan segera memenuhi permintaan sang penculik karena penculikan Solomon adalah masalah keamanan nasional. Nahasnya, sebelum tengah malam, Langdon harus sudah berhasil memecahkan teka-teki kelompok Mason. Jika tidak, nyawa Peter akan melayang, dan rahasia yang konon akan mengguncang Amerika Serikat dan bahkan dunia bakal tersebar.

Pada saat Langdon mencari teka-teki itu, pembaca akan “diajak” melihat terowongan-terowongan bawah tanah Capitol, Perpustakaan Kongres, kuil-kuil Mason, dan Monumen Washington. Pembaca akan merasa berdebar-debar saat mengikuti penelusuran Robert Langdon. Buku The Lost Symbol ini dikisahkan secara menarik dan penuh kejutan-kejutan yang tak terpikirkan sebelumnya.[]

M. Iqbal Dawami, penikmat teh dan gogodoh

Kamis, Februari 11, 2010

Pamuk dan Istanbul

Judul: Istanbul : Kenangan Sebuah Kota
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: I, Februari 2009
Tebal: 563 halaman
------------------------

BUKU ini adalah memoar seorang peraih nobel bidang sastra tahun 2006, Orhan Pamuk, kelahiran Turki. Dalam memoarnya, Pamuk banyak berkisah tentang dirinya—seperti keluarga dan cinta pertamanya—dan tempat kelahirannya yang sekaligus menjadi judul buku ini, Istanbul. Ia mencatat penggalan memori kehidupan masa lalunya di Istanbul antara 1950 hingga 1970-an.

Ferit Orhan Pamuk, demikian nama lengkapnya, dilahirkan di Istanbul pada 7 Juni 1952. Ia terlahir dalam sebuah keluarga kelas menengah yang makmur. Ayahnya adalah direktur utama pertama IBM Turki. Ia kuliah di Universitas Teknik Istanbul jurusan arsitektur. Namun, ia berhenti setelah tiga tahun kuliah dan memutuskan untuk menjadi seorang penulis sepenuh waktu.

“Kenapa kau tidak pergi keluar sebentar, kenapa tidak mencoba melihat pemandangan lain, melakukan perjalanan?” Ujar sang ibu suatu ketika menyarankan Pamuk. Pamuk mengakui bahwa dirinya dan Istanbul sudah tidak bisa dipisahkan. Istanbul adalah takdirnya, karena kota tersebut telah menjadikan dirinya seperti sekarang ini. Pamuk dan kota Istanbul telah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Pamuk berbeda dengan para penulis dunia lainnya semacam Joseph Conrad, Vladimir Nabokov, dan V.S. Naipul. Mereka adalah penulis dunia yang dikenal telah berhasil melakukan migrasi antar-bahasa, budaya, negara, benua, bahkan peradaban. Imajinasi mereka mendapat makanan dari pengasingan, zat gizi yang diperoleh bukan melalui akar melainkan dari ketiadaaan akar. Oleh karena itu, Inspirasi Pamuk hanyalah kota Istanbul, yang sudah dikenal dengan detail. Maka, tak heran dalam memoarnya ini pula ia banyak mengulas Istanbul.

Salah satu yang diulas oleh Pamuk mengenai Istanbul adalah sisi kemuramannya alias huzun. Baginya, orang boleh bangga dengan kemegahan Turki yang dibangun pada masa Kesultanan Usmani (Ottoman), tapi saat ini di mana Kesultanan Usmani sudah ambruk, Istanbul tak lain hanyalah kota miskin, kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi Pamuk, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan.

Karena pandangan sinisnya atas Istanbul (umumnya Turki) baik melalui karya-karya maupun wawancaranya, Pamuk menuai kritikan. Banyak orang menanyakan mengapa ia sering mengkritik Turki dari sisi negatifnya.

Pamuk Sebagai Penulis
Meski tidak banyak membicarakan perjalanan kepenulisannya, dalam memoarnya tersirat embrio Pamuk akan menjadi penulis besar. Berawal dari perpustakaan ayahnya, pada usia 17 tahun ia mulai mencurahkan waktunya untuk membaca dan melahap habis buku-buku yang ada dalam perpustakaan tersebut. Pada 1970, saat berusia 18 tahun, dia mulai menulis puisi.

Menurut pengakuannya, Pamuk sangat menyukai buku-buku puisi yang ramping dan kusam dari para penyair yang dikenal di Turki sebagai bagian dari gelombang pertama tahun 1940 hingga 1950 dan gelombang kedua tahun 1960 sampai 1970. Pamuk kemudian menulis puisi-puisi dengan cara yang sama dengan mereka.

Semenjak tahun 1970, Pamuk menambah koleksi perpustakaan keluarganya. Terutama buku-buku yang berkaitan dengan bangsa Turki. Membaca buku-buku yang terkait Turki membuka pikirannya. Sejumlah pertanyaan selalu menggelayut dalam otaknya, seperti mengapa Turki begitu miskin, kumuh, suram, dan kacau balau. Menurutnya, adalah benar bahwa orang seharusnya memandang rendah dirinya karena tak memikirkan apa pun kecuali memikirkan negerinya sendiri dan gagal melihat hubungan antara negerinya dengan bagian dunia yang lain. Semenjak itu, ia mulai serius menulis novel yang bersettingkan Turki.

Walhasil, buku ini patut dibaca oleh siapa saja (seperti penulis, sosiolog, dan antropolog), terlebih yang mau mengenal lebih jauh siapa Orhan Pamuk dan negeri Turki (baca: Istanbul).[]

M. Iqbal Dawami,
Penikmat teh dan gogodoh

Pemberontakan Istri Kesembilan Belas


Judul: The 19th Wife: Istri Ke-19
Penulis: David Ebershoff
Penerjemah: Ibnu Setiawan
Penerbit: Bentang, Yogyakarta
Cetakan: I, November 2009
Tebal: 590 hlm.
----------------

Suatu ketika David Ebershoff, seorang penulis dan pengajar di Columbia University, berbicara dengan seorang profesor di bidang sejarah perempuan abad ke-19. Mereka berdua melakukan pembicaraan yang sangat panjang, dan profesor itu memberitahu semua cerita yang menakjubkan mengenai kaum perempuan Amerika pada abad ke-19. Kemudian dia menyebutkan Ann Eliza Young, yang saat itu terkenal sebagai istri ke-19.
Istri ke-19? Sungguh sebuah angka yang aneh di depan kata istri. Selanjutnya Ebershoff ingin mendalami lagi siapa yang dimaksud dengan istri ke-19 itu? Kemudian dia mulai berandai-andai, bagaimana rasanya menjadi istri ke-19? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini di otaknya, dia kemudian menulis novel dengan judul The 19th Wife.
Lembut dan puitis, enak dibaca dan tidak terlupakan. Itulah kesan saya ketika selesai membaca novel The 19th Wife karya David Ebershoff. Sang penulis menggabungkan fiksi sejarah epik dengan misteri pembunuhan modern untuk menciptakan sebuah novel yang brilian dari segi ketegangan cerita.
Saat itu tahun 1875, dan Ann Eliza Young baru saja berpisah dari suaminya yang penuh kekuatan, Brigham Young, kepala pendeta dan pemimpin Gereja Mormon. Diusir dan dibuang dari masyarakat, Ann Eliza memulai usaha perjuangan suci untuk mengakhiri poligami di Amerika Serikat. Sebuah cerita penuh makna dari sejarah keluarga pelaku poligami disampaikan, termasuk bagaimana seorang perempuan muda menjadi istri yang kesekian tersebut.
Segera setelah cerita Ann Eliza dimulai, narasi kedua yang indah sekali dibuka – sebuah cerita mengenai pembunuhan yang melibatkan keluarga pelaku poligami yang tinggal di Utah pada masa kini. Jordan Scott, seorang lelaki muda yang dibuang dari sekte fundamentalisnya beberapa tahun yang lalu, harus memasuki kembali dunia yang bisa membawanya ke dalam sekte tersebut untuk menyingkap kebenaran di balik meninggalnya ayahnya.
Dan sebagai narasi Ann Eliza yang terjalin dengan pencarian Jordan, para pembaca ditarik lebih dalam memasuki misteri cinta dan iman.
Novel ini membawa kita melewati hidup Eliza, dimulai sebelum dia lahir saat kedua orang tuanya mulai memeluk kepercayaan Mormon, berjumpa di gereja hingga akhirnya menikah. Ann Eliza adalah seorang perempuan berpikiran kuat yang menekuni kepercayaannya dengan serius. Bagaimanapun juga, dia menentang poligami, sebuah institusi yang didukung oleh Pendeta Joseph Smith, pendiri Gereja Yesus Kristus Latter-Day Saints (LDS), pada tahun-tahun terakhirnya.
Melalui pengalaman kedua orang tuanya dan pengalamannya sendiri, dia mengetahui kerusakan yang bisa disebabkan oleh poligami. Selanjutnya dia akan mengambil sikap menentang praktik perkawinan dengan banyak pasangan, meninggalkan hampir segala sesuatu yang dulunya dia ketahui dan dia pegang teguh, termasuk imannya.
Hubungan antara praktik dan doktrin mengarahkan kepada perpecahan di tubuh gereja. Beberapa kelompok kecil yang mendukung dan percaya bahwa praktik perkawinan dengan banyak pasangan diwahyukan secara mutlak dari Tuhan, memisahkan diri dari Gereja LDS dan membentuk kelompok sendiri. Poligami masih ada saat ini.
Hal inilah yang membawa kepada cerita Jordan Scott. Dia adalah seorang anak hilang, dibuang oleh ibunya di tepi jalan ketika dia masih berusia 14 tahun atas perintah kepala pendeta. Jordan tumbuh dalam kelompok yang terasing di Utah. Ibunya adalah istri kesembilan belas dari seorang laki-laki terhormat dalam kelompok Mesadale. Setelah dewasa dan tinggal di California, Jordan merasa pasti bahwa dia tidak akan pernah melihat ibunya lagi.
Bagaimanapun juga, ketika kabar sampai kepada Jordan bahwa ibunya ditahan karena tuduhan telah membunuh ayahnya, Jordan memutuskan untuk kembali ke tempat yang sangat dia benci. Dia mengepak barang-barangnya, melompat ke dalam mobil, bergabung dengan rekannya yang sangat dipercaya, Elecktra, dan menuju Utah. Dia tidak yakin apa yang akan dia lakukan, namun setelah bertemu dengan ibunya dan berbicara dengan pengacaranya, dia memutuskan untuk menyelidiki kasus pembunuhan itu sendiri. Untuk melakukan ini, Jordan harus menghadapi masa lalunya.
Kedua cerita mengalir bersamaan melalui isi novel, menimbulkan hubungan yang muncul di sana-sini. Pengarang membawakan kedua cerita bersamaan dengan cara yang kreatif dan tidak bisa diterka.
Cerita yang dituturkan Ann Eliza membuat pembaca terpesona, terutama ketika dia menempati posisi yang penting dalam cerita dirinya. Dalam novel, dia tampil sebagai perempuan kuat yang tentu saja tetap mempunyai kelemahan, namun dia juga mengetahui pemikirannya sendiri. Saya mengagumi semangatnya dalam membela apa yang dia yakini. Saya bahkan tidak bisa membayangkan akan seperti apa jadinya dia karena meninggalkan kehidupan dan keimanan yang membentuk dunianya – satu-satunya hal yang pernah dia ketahui.
Ada banyak sekali materi dalam novel ini, melebihi apa yang bisa saya katakan. Saat poligami barangkali menjadi materi yang terlalu banyak dibahas dalam novel, cerita-cerita pribadi di dalamnya lah yang benar-benar menjadikannya sebuah novel. Saya sungguh-sungguh merekomendasikan novel The 19th Wife karya David Ebershoff ini.
Novel The 19th Wife ini tidak memberikan kesimpulan akhir mengenai poligami, sebaliknya justru memunculkan isu dari berbagai sudut pandang dan membiarkan pembaca membentuk idenya sendiri.
Novel ini secara tidak langsung mendedah sejarah poligami di Amerika Serikat, terutama poligami yang dijalankan oleh pengikut Gereja Mormon. Namun sejarah itu tidak berakhir pada tahun 1890, ketika Gereja Mormon mengubah sikapnya terhadap poligami. Sejak saat itu praktik poligami bagi warga Amerika merupakan tindakan sekunder. Para pelaku poligami saat ini tentu saja bukan penganut paham Mormon. Dan perlu diketahui juga, aliran Mormon saat ini tidak melakukan poligami.
Novel ini bergerak maju-mundur di antara sekian abad. Ini mungkin merupakan trik penulis agar bisa bercerita bolak-balik. Begitu sebuah momentum dibangun di atas salah satu sisi cerita, pembaca langsung dihadapkan pada sisi yang lain ketika membalik halaman berikutnya. Waktu demi waktu juga dibangun di atas poin yang sangat kuat sekadar untuk menerima perubahan narasi. Namun, kita mendapatkan kedua sisi cerita tersebut sama-sama menarik.[]

M. Iqbal Dawami,
Penikmat sastra, tinggal di Yogyakarta