Selasa, Desember 22, 2009

Wali Songo Ternyata Para Sufi


Judul: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi; Akar Tasawuf di Indonesia
Penulis: Alwi Shihab
Penerbit: Pustaka IIMaN
Cetakan: I, Juni 2009
Tebal: xxvi+343 hlm. (termasuk indeks)
------------------------------------

Para sejarawan dan peneliti bermufakat bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Bahkan di Indonesia lebih dari itu. Islam yang pertama diperkenalkan di Jawa adalah Islam yang bercorak sufi. Alwi Shihab, dalam buku ini, hendak membuktikannya. Alwi memaparkan bahwa para pelopor dakwah Islam pertama di Indonesia berasal dari Arab, dari keturunan Imam Ahmad ibn ‘Isa al-Muhajir al-Alawi (cucu Imam Ja’far ash-Shadiq), seorang pendiri tarekat ‘alawiyah.

Menurut Alwi, Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat. Hal itu berdasarkan manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina. Cina yang dimaksudkan dalam manuskrip pada abad pertama Hijriyah itu tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia.

Pada abad ke-14 M ditandai dengan kedatangan tokoh-tokoh asyraf, keturunan Ali dan Fathimah binti Rasulullah Muhammad Saw. yang lazim dikenal dengan sebutan ‘alawiyyin. Pada periode ini, dakwah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga dapat tersebar di seluruh penjuru Nusantara, bahkan di Asia Tenggara.

Para Wali Songo pun ternyata masih keturunan Imam Al-Muhajir. Kita tahu Wali Songo telah memberikan kontribusi terbesar bagi proses Islamisasi di wilayah Nusantara. Demi proses asimilasi dengan masyarakat Indonesia yang dialami keturunannya, mereka bersedia menghapus identitas kearabannya sehingga larut dalam struktur masyarat setempat. Hal ini terutama bermotif untuk mengamankan diri dari ancaman pengejaran penjajah Belanda atas tuduhan subversif sebagai pemicu gerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak memakai nama arab lagi, tetapi memakai nama Jawa atau Indonesia.

Wali Songo tidak dikenal sebagai sufi karena istilah itu belum populer di kalangan orang-orang Indonesia kecuali pada tahun-tahun belakangan. Di kalangan masyarakat umum istilah yang lebih dikenal adalah istilah “wali” yang dalam pengertian Indonesia tidak berbeda dengan konotasinya dalam bahasa arab. Ini membuktikan bahwa mereka sebenarnya adalah sufi.

Satu hal yang menjadi pertanyaan, mengapa mereka dapat dengan mudah diterima di tengah-tengah masyarakat Jawa? Alwi mengatakan bahwa Islam dalam corak sufi paling mampu memikat lapisan bawah, menengah dan bahkan bangsawan sekalipun. Sifat-sifat dan sikap kaum sufi lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis.

Oleh mereka, idiom-idiom budaya lama (animis, Hindu, dan Budha) yang berkaitan dengan pandangan dunia (world view) berikut kosmologi, mitologi dan keyakinan takhayul diubah secara hati-hati. Wadah-wadah lama yang dipakai isinya diganti. Peninggalan kejeniusan masa silam masih bisa terlihat dalam upacara daur hidup, upacara desa dan semacamnya. Dalam upacara tersebut masih disediakan sesaji, tetapi doanya bukan untuk para "dewa-dewa" namun ditujukan sebagai permohonan kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta, dan sesajinya "biasanya berupa makanan" dimakan bersama-sama setelah memanjat doa.

Hal-hal di atas menunjukkan kearifan dan kemampuan mereka dalam memahami spirit Islam sehingga dapat berbicara sesuai dengan kapasitas para audiens-nya. Mereka melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.

Ada hal yang menarik dari buku ini saat membahas tasawuf. Tasawuf di Indonesia terbagi dalam dua golongan, yaitu “tasawuf sunni” dan “tasawuf falsafi”. Dikatakan sebagai tasawuf sunni, karena mereka mengaku sebagai pengikut ahlussunnah wal jama’ah, di mana mereka banyak sekali mengambil ajaran-ajaran Al-Ghazali yang memang menjadi rujukan yang baku dalam pengajian-pengajian di pesantren. Ajaran Al-Gazhali ini tertuang dalam karya monumentalnya, Ihya ‘Ulumuddin. Kemudian, dilengkapi dengan dua karya lainnya, Minhajul ‘Abidin dan Bidayatul Hidayah.

Sedang tasawuf falsafi merujuk pada konsep tasawuf yang dihubungkan dengan mistisisme panteistik Ibnu Arabi. Ibnu Arabi dikenal ahli mistik Islam yang mengajarkan "kesatuan hamba dan Tuhan". Tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis.
Dalam perkembangannya penganut tasawuf sunni dan falsafi sempat mengalami konflik. Pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at. Ar-Raniri, yang berada di sudut sunni menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri, yang berada di sudut falsafi.

Tasawuf Sunni lebih banyak memberikan kontribusi dalam proses Islamisasi di Indonesia. Para pelopor dakwah itu menjabarkan ajaran-ajaran Islam dengan cara praktik dan keteladanan serta pengajaran yang lebih baik. Orientasi seperti ini jelas terikat oleh tradisi dan petunjuk-petunjuk Nabi Saw. Dan yang demikian adalah model pengajaran tasawuf Sunni yang diperkenalkan para da’i ‘Alawiyyin yang memotori proses Islamisasi di Nusantara sejak abad ke-13 M di Sumatra dan mengalami kemajuan pesat di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 dengan tokoh-tokoh sentralnya Wali Songo.

Buku ini boleh dikata sangat mumpuni dalam menelusuri dan memetakan sejarah tasawuf di Indonesia. Oleh karena itu, sangat layak dijadikan sumber “referensi utama” prihal seluk beluk tasawuf di Indonesia, khususnya, dan sejarah Islam di Indonesia, umumnya.[]

M. Iqbal Dawami, staf pengajar STIS Magelang

Senin, Desember 14, 2009

Kearifan di Balik Musibah


Judul: Catatan Cinta Istri
Penulis: Sari Meutia
Penerbit: Lingkar Pena Kreativa
Cetakan: I, November 2009
Tebal: xxvii+166 hlm.

"Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh yang meneladaninya"(Muhammad SAW)

Terkadang apa yang kita yakini sebagai fase aman dalam hidup kita, mendadak kacau akibat musibah yang menimpa kita. Kehidupan yang sekian lama berjalan sesuai dengan harapan dan cita-cita, tiba-tiba menjadi sangat rentan. Harta, cinta, keluarga dan karier yang tertata sedemikian rapinya, semuanya bisa luput dari genggaman kita. Yang menjadi pertanyaan adalah apa gerangan sebab musabab di balik bencana yang datangnya sangat tak terduga? Sebuah teka-teki yang sangat menuntut kesadaran kita untuk menilik dan merenungkan kembali sepak terjang kehidupan kita.

Sari Meutia sangat tidak percaya kalau suaminya divonis Gagal Ginjal Terminal (GGT) nyaris tanpa aba-aba sebelumnya. Bagaimana mungkin orang yang sangat concern terhadap kesehatan dan terhadap apa yang diasupnya, baik makanan maupun minuman, bahkan menyukai olah raga renang, tiba-tiba mengidap sakit yang sangat kronis.

Fungsi ginjalnya diperkirakan tinggal 15-30 % sehingga diharuskan menjalani cuci darah seumur hidupnya. Meski begitu, Sari tidak serta merta menerima hasil lab yang ditunjukkan dokter padanya. Dia bahkan tidak ingin membenarkan vonis itu dan berharap ada kesalahan.

Berbagai referensi ia lacak. Teman, kerabat dan para dokter yang menyandang gelar professor spesialis ginjal dan hipertensi didatanginya demi mendapatkan sebuah titik terang. Namun pupus sudah harapan, karena hasil tes GFR (Gromerular Filtration Rate)—tes yang menggambarkan kecepatan ginjal membersihkan darah—menunjukkan angka 14,98 %, di mana ginjal kiri berfungsi 6 % dan ginjal kanan 8,98 %. Artinya, sangat tegas ada indikasi cuci darah atau cara lainnya yaitu melakukan operasi transplantasi (cangkok ginjal).

Ibarat bom atom jatuh dari langit. Nyaris semua rencana, harapan dan cita-cita, seperti runtuh seketika. Sari harus menerima vonis itu, meski menurutnya mustahil. Karena kejadian ini hanya berselang empat puluh hari sepulang mereka dari menjalankan ibadah haji. Ironisnya lagi suaminya tidak pernah sakit kurang lebih selama sepuluh tahun terakhir.

Bagaimana pun harus ada jalan keluar dari semua masalah ini. Sari tidak ingin suaminya harus menderita seumur hidup. Akhirnya, cangkok ginjal pun menjadi satu-satunya jalan yang harus ditempuhnya.

Setelah sempat sekali melakukan cuci darah, Sari membawa terbang suaminya ke negeri Cina. Sungguh perjuangan seorang istri yang tak tanggung-tanggung. Di samping harus tetap tegar, dan berusaha menjaga emosi positifnya, lalu menularkannya kepada suami, anak-anak dan keluarganya, bahwa seakan-akan tidak ada yang sakit dari keluarganya, Sari pun menanggung beban harus mengumpulkan dana yang sangat besar jumlahnya untuk biaya cangkok. Mengingat, operasi akan dilakukan di Cina dan waktu yang ada pun sangat mendesak.

Operasi pun dapat dibilang lancar. Ternyata, operasi cangkok ginjal di Cina sesederhana operasi usus buntu yang sering ditemui Sari dan suaminya. Akan tetapi puncak operasi justru pada pasca operasinya, yaitu masa-masa pemuliah. Dengan menguras tenaga dan emosinya, Sari terus bersabar menghadapi sang suami yang sering mengerang kesakitan, berhalusinasi, bahkan tak jarang, sering marah-marah padanya.dan, pada akhirnya, semuanya berhasil dilewati.

Buku ini merupakan sebuah catatan harian seorang istri di tengah kegalauan mendampingi suaminya yang mengalami gagal ginjal. Banyak alasan Sari menulis buku ini. Selain sangat bermanfaat bagi orang yang mengalami permasalahan ginjal—karena di dalamnya dipaparkan pula tentang panduan dan hal-hal penting seputar gejala dan cara-cara menyikapinya—Sari merasa harus mengungkapkan rasa syukurnya atas nikmat dan anugrah yang diberikan Tuhan selama ini. Tulisan dalam buku ini pun menjadi terapi yang mengingatkannya untuk terus bersyukur atas apa pun yang dialaminya dan ikhlas menjalani kehendak-Nya.

Pada akhirnya kehidupan memang tidak selamanya too good to be true, seperti halnya pengalaman penulis buku ini. Wanita yang menjadi salah satu pimpinan PT Mizan Media Utama (MMU) ini, dikenal sangat organized (teratur) dalam mengatur berbagai rencana hidupnya yang kehidupannya nyaris berjalan sesuai yang diharapkannya, pun tidak luput dari deraan yang datangnya sangat tiba-tiba. Semua pengalamannya seakan menggugah keterlenaan yang dirasakannya selama ini.

Kisah nyata yang dituturkan lewat buku ini pun mengandung hikmah yang sangat dalam dan dapat menjadi pelajaran berharga bagi siapa saja. Karena di balik setiap cobaan dan kejadian tentu ada peringatan dan pelajaran yang harus kita petik.

Setiap manusia pasti akanmengalami musibah. Tidak ada manusia yang bebas dari musibah. Oleh karena itu, hanya dengan kearifan kita akan sadar bahwa Tuhan sedang mengingatkan hamba-hamba-Nya. Setiap musibah yang terjadi adalah kehendakNya, tidak ada yang kebetulan. Karena boleh jadi, hal itu sebagai ujian untuk kenaikan derajat di mata Tuhan.[]

M. Iqbal Dawami
Pencinta buku, tinggal di Yogyakarta

Kamis, Desember 10, 2009

Cinta Sepanjang Hayat

Judul: Live Through This; Kekuatan Cinta Seorang Ibu
Penulis: Debra Gwartney
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Mahda Books
Cetakan: I, Agustus 2009
Tebal: 351 hlm.

-----------------------
Kemarahan para nabi itu seperti kemarahan para ibu,
Kemarahan yang dipenuhi kasih sayang bagi anaknya tercinta
Sebab tidak ada ibu yang memarahi anaknya hanya untuk mendapatkan kesenangan,
Melainkan untuk membantunya mengerti.
Akankah dia membiarkan anaknya berlumuran darah jika dia tidak tahu
Bahwa sedikit rasa sakit dapat mendatangkan kebaikan pada anak itu?
(Jalaluddin Rumi)

Siapakah yang selalu mengingat kita dalam doa panjangnya dan mengkhawatirkan kita pula di sepanjang waktu. Belaian kasih sayangnya begitu tulus mengiringi setiap jengkal langkah kita. Siapakah yang dalam malam - malam panjangnya setia menjaga dan terjaga untuk kita di kala kecil dulu. Dialah sang ibu yang segenap jiwa dan raganya ia baktikan demi kebahagiaan anak-anaknya. Inilah sebuah buku memoar yang berisikan lika-liku hidup dan perjuangan seorang ibu yang ingin menyelamatkan anak-anaknya dari kehidupan brutal di jalanan.

Seorang ibu dari empat putrid—Amanda, Stephanie, Mary, dan Mollie—menjadi single parent karena gagal mempertahankan keharmonisan pernikahannya. Ia bercerai dengan suaminya yang telah lama dikenal sebagai teman mahasiswa di masa-masa kuliah. Sejak itu sang ibu yang tak lain adalah penulis buku ini, harus mengambil alih semua tugas sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah untuk putri-putrinya.
Namun perceraiannya itu justru menyulut kemarahan dan pemberontakan dua putri sulungnya, Amanda dan Stephanie, gadis berumur 14 dan 12 tahun, yang nekad kabur dari rumah dan berkeliaran di jalanan. Mereka bergabung dengan para gelandangan yang memberi mereka kemudahan untuk mendapatkan bir, narkoba, tinta untuk tato, cat rambut dengan segala macam warna, dan sudut-sudut paling tepat untuk memperoleh uang dari orang tak dikenal.

Pada mulanya sang ibu mengira bahwa pemberontakan putrinya hanyalah bagian dari fase yang secepatnya akan berlalu dengan beberapa koreksi. Namun semakin lama mereka semakin dalam terlibat dengan kelompok-kelompok punk di kota-kota.
Malam demi malam Amanda dan Stephanie sudah tidak lagi pulang ke rumah. Mereka tidur dan tinggal di sudut-sudut kota yang disinggahinya. Melompat dari satu kereta ke kereta dan keluar-masuk distrik sampai ke kota Tenderloin di San Francisco, di mana narkoba lebih dekat dan amat mudah mereka dapatkan.

Bagaimana sang ibu harus berjuang menyelamatkan putri-putrinya dan membawa mereka kembali pulang ke rumah? Live Through This merupakan lukisan tentang usaha habis-habisan Gwartney untuk menemukan kembali putri-putrinya yang begitu dicintainya. Gwartney begitu lihai mengemas detail cerita di dalam buku ini menjadi episode-episode sejarah masa lalunya yang sarat dengan tantangan dan pengorbanan.

Sepanjang tahun-tahun kehilangan putrinya itu, ia tak henti-hentinya melakukan pencarian, menyisir jalan sampai menjelajahi tempat-tempat penampungan remaja dan kantor-kantor polisi dengan membawa foto mereka.

Di tengah kesibukannya karena tuntutan kerja, sang ibu tetap bertekad mencari Amanda dan Stephanie sampai ke pelosok-pelosok negeri mana pun. Berbagai terapi dan metode ia jalankan. Karena kekhawatiran terus menyergapnya. Bagaimana pun ia tak akan pernah bisa membiarkan putri-putrinya menderita di luar sana. Dan bagaimana pun juga ia tak akan pernah membiarkan putrinya kena pukul, ditusuk, disayat, diperkosa, atau pun dibunuh di luar sana.

Buku ini menjadi gambaran nyata cinta kasih seorang ibu kepada anak-anaknya. Ibulah yang setiap saat selalu memastikan rasa aman bagi anak-anaknya, menanyakan keberadaan anak-anaknya setiap kali jauh darinya. Akan tetapi di balik semua itu seorang anak kerap kali menyakiti hatinya, dan membiarkannya terlunta.

Oleh karenanya, buku ini ditulis sebagai persembahan untuk putri-putrinya yang pada akhirnya kembali menjalani hidup secara normal. Buku ini pun dapat menjadi pelecut bagi setiap anak yang begitu mudah mengabaikan cinta dan pengorbanannya. Dari sini pula, kita dapat belajar darinya tentang kegigihan, ketabahan, dan kesabaran seorang ibu. []

M. Iqbal Dawami, penikmat buku, tinggal di Yogyakarta

Jumat, Desember 04, 2009

Pelarian yang Membawa Manfaat

Judul: How the World Makes Love; Petualangan Keliling Dunia Sang Pecundang Cinta
Penulis: Franz Wisner
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, 2009
Tebal: 496 hlm.
------------------

Kira-kira, apa yang anda lakukan ketika calon pasangan anda membatalkan untuk menikah dengan anda? Frustrasi? Stress? Bunuh diri? Atau Balas dendam? Tentu itu semua bukan cara yang positif. Alangkah hebatnya jika kekecewaan anda dijawantahkan kepada hal-hal positif nan manfaat. Seperti yang dilakukan Franz Wisner. Lantaran dicampakkan oleh calon istrinya yang telah dipacari selama 13 tahun, ia bertualang keliling dunia. Hebat bukan?

Buku ini adalah “oleh-oleh” yang kedua dari hasil petualangannya yang kedua pula. Petualangan periode pertama, diniatkan untuk mengobati luka hati akibat dicampakkan oleh calon istrinya itu, sedang petualangannya yang kedua ini hendak mempelajari lebih dalam kisah cinta dan perilaku-perilaku percintaan di negara-negara lain.

Ditemani adiknya, Franz bertualang ke Negara Brazil, India, Nikaragua, Republik Cheska, Mesir, Selandia Baru, dan Botswana. Tanpa alasan yang jelas mengapa dia memilih negara-negara itu.

Dalam meneliti Negara-negara di benua Eropa dan Amerika, seperti Brazil, Republik Cheska, dan Selandia Baru, Franz tidak begitu “sumringah” untuk melakukan identifikasi. Karena, prihal “percintaan” di sana hampir sama, di mana cinta selalu diidentikan dengan seks. Simpel dan praktis. Franz “hanya” menemukan kisah-kisah baru nan unik yang belum pernah didengar maupun dialami sebelumnya di negara-negara di luar benua eropa dan amerika.

Di India, misalnya, dia mendapatkan informasi bahwa segala urusan cinta dan pernikahan masih dimulai dan diakhiri oleh orangtua. Kebanyakan pernikahan di India merupakan hasil perjodohan, meskipun pasangan yang bersangkutan mendapatkan semakin banyak hak untuk berpendapat dalam hal ini, memperluas kesempatan untuk memveto atau menyarankan, dan waktu tambahan untuk berpacaran atau menjajaki hubungan sebelum mereka menikah.

Sedang di Botswana, sebuah negara di Afrika, Franz mengetahui kalau kita mengatakan kepada wanita bahwa dia gendut, berarti kita memberinya pujian besar. Kebanyakan pria justru menyukai wanita yang gendut untuk dijadikan istri, karena dianggap akan rajin mengurus rumah tangga. Dalam pikiran mereka, wanita yang kurus akan lebih mencintai tubuhnya daripada pasangannya.

Kalau anda ingin menikah dengan orang Botswana, anda akan memerlukan keluarga yang sangat dekat. Seorang abang atau sepupu yang bisa bernegosiasi akan dapat membantu. Yang lebih penting lagi adalah anda harus memerlukan hewan ternak berupa sapi. Di Botswana dan sebagian besar Afrika, sapi penting untuk pernikahan.

Selama berabad-abad, adat istiadat di sana mengharuskan mempelai pria menghadiahkan sekawanan kecil sapi kepada keluarga mempelai wanita sebagai simbol penghormatan karena mereka telah mengizinkan putri mereka dinikahi. Tradisi itu disebut bogadi atau lobala, sebagai cara untuk memperkuat ikatan antara kedua keluarga dan sebuah keharusan untuk berbagi kekayaan.

Lain halnya di Mesir, sebuah Negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Franz mendapatkan budaya di sana jika ada seorang wanita yang tertangkap basah sedang memandangi pria akan dianggap sebagai wanita jalang dan dikecam oleh masyarakat di sekitarnya. Mayoritas wanita kelas menengah ke bawah di sana memakai cadar dan jubah. Franz bertanya-tanya dan begitu penasaran, bagaimana para pria memastikan wanita impiannya jika seluruh tubuh wanita itu tertutup cadar dan jubah?

Saat menanyakan hal itu, para pria Mesir mengatakan bahwa mereka bisa melihat kecantikan seorang wanita meski mengenakan jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Pergelangan tangan dan kaki, kata mereka, menyembunyikan lekuk-lekuk yang tersembunyi. Dan mata mengungkapkan segalanya.

Sebagian pria Mesir memperhatikan bagian belakang pergelangan kaki wanita. Jika bentuknya bulat, berarti tubuhnya indah. Jika bentuknya lurus, berarti tubuhnya terlalu kurus. Pria dan wanita Mesir memandang kerampingan sebagai indikasi kemisikinan dan ketidakmampuan menghasilkan keturunan. Oleh karena itu, para wanita saling menyemangati untuk mengenakan pakaian berlapis-lapis dan makan lebih banyak agar badan mereka semakin gemuk.

Di perkampungan Mesir, masyarakatnya tidak mengenal istilah kencan. Mereka langsung menikah. Ajaran Islam benar-benar mereka pegang. Mereka sering mengutip Hadis Nabi, “Jika seorang pria yang beriman dan berkelakuan terpuji mendatangimu, nikahkanlah dia dengan putrimu.”

Bagaimana bisa? Franz benar-benar terperangah. Apakah tidak ada penyesalan yang akan datang di kemudian hari? Apakah yang terjadi jika mereka mendapati bahwa mereka tidak memiliki kesamaan?

Tidak masalah, kata orang Mesir. Itulah gunanya pertunangan. Bagi banyak orang Mesir, ini adalah Rencana B. Pertunangan hanyalah tahap pacaran resmi dengan selubung rencana pernikahan untuk mengurangi peluang kehilangan kehormatan bagi seorang wanita atau keluarganya.

Uniknya lagi, di Negara muslim ini, Franz menemukan bahwa prihal seks begitu terbuka.

Bagi siapa pun yang memikirkan tentang seks di dunia Muslim adalah bahwa banyak instruksi eksplisit dan dorongan. Tidak ada pesan tersembunyi di sini. Faktanya, sejarah telah membuktikan bahwa umat Muslim jauh lebih terbuka daripada orang-orang beragama lain tentang seks dan peranan yang selayaknya dipegangnya dalam masyarakat.

Buku hasil observasi ini begitu nikmat dibaca, karena dipaparkan dengan bahasa yang ringan, naratif, dan bertaburan humor. Selain itu, ia menyajikan kesimpulan hasil perjalanannya itu yang dapat kita ambil, di antaranya bahwa di seluruh dunia, nasihat pasangan yang awet ternyata sama: Komitmen, dan pengertian. Dan untuk mencapai hal itu butuh kerja keras. Kita cenderung menyembunyikan emosi di balik harta benda dan menampilkan kesan yang tidak akan dikecam oleh dunia kita. Sering kali, kita lebih mementingkan gaya hidup dari pada kehidupan di belakangnya.

Bagaimanakah akhir petualangan Franz Wisner? Pelajaran cinta apakah yang di dapatnya dari berbagai penjuru dunia? Lantas, berhasilkah dia menemukan cinta sejatinya? Temukan jawabannya dalam buku ini.[]

Senin, November 23, 2009

Mentalitas Bangsa Pintar

Judul: Menjadi Bangsa Pintar
Penulis: Heppy Trenggono
Penerbit: Republika
Cetakan: I, Juli 2009
Tebal: 164 hlm.
--------------------

KETIKA Heppy Trenggono, penulis buku ini, pertama kali mengunjungi negara-negara Eropa—tepatnya di Belanda—sempat kaget dan kecewa luar biasa begitu tahu bahwa sebuah bangsa yang telah menjajah Indonesia selama beratus-ratus tahun ternyata hanyalah bangsa dari negara kecil yang memiliki wilayah sekitar 1/48 dari wilayah Indonesia, jumlah penduduknya hanya 9 juta jiwa dan luasnya hanya 41.526 km persegi.

“Mengapa bangsa Indonesia bisa dijajah oleh bangsa yang lebih kecil?” begitulah ia berujar dalam hati saat melihat negeri Belanda. Parahnya lagi, kesengsaraan bangsa Indonesia yang sejak sebelum kemerdekaan seolah-olah menjadi warisan turun temurun hingga saat ini. Dengan kata lain, meski Negara kita sudah merdeka, tapi kenyataannya kita masih saja terjajah tanpa disadari. Tidak hanya itu, warisan negatif dari penjajah juga terwariskan pada pribumi, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Sudah mafhum kalau bangsa Indonesia kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Kekayaan alam Indoneia melimpah ruah. Luas wilayahnya yang mencapai hampir 2 juta km dari Sabang sampai Merauke itu sebagian besar tanahnya subur dan cocok untuk semua tanaman pangan.

Lautnya yang kaya dengan ikan terbentang seluas 2/3 luas wilayah Negara ini. Cadangan minyaknya diperkirakan mencapai lebih dari 45 miliar barel. Kekayaan batubaranya terbesar keempat di dunia. Timah nomor dua dunia. Dan masih banyak lainnya lagi.

Tapi, mengapa Indonesia masih saja terpuruk dan berjalan di tempat? Bahkan nyaris tertinggal jauh dari negara-negara yang berada di sekitarnya. Menurut Heppy Trenggono, ini adalah persoalan mentalitas. ‘Mentalitas’, lanjut Heppy, menjadi kata kunci yang membedakan antara bangsa-bangsa yang mampu meraih kejayaannya dan bangsa-bangsa yang tetap bertahan dalam keterpurukan, dalam hal ini adalah Indonesia.

Mentalitas bangsa Indonesia harus dibangun, di antaranya mentalitas pejuang, mentalitas pemenang, bangsa yang berbudi luhur, bangsa yang mampu bersaing, bangsa yang produktif. Dalam buku ini, mentalitas dari semua sisi itu mengkristal pada satu hal, yaitu menjadi bangsa pintar. Menjadi bangsa pintar inilah satu-satunya pilihan yang harus ditempuh untuk keluar dari keterpurukan dan meraih kejayaan Indonesia.

Heppy mengatakan bahwa kejayaan sebuah negara tidak ditentukan oleh seberapa berlimpah sumber daya alam yang dimiliki. Tidak juga ditentukan oleh seberapa luas wilayah yang dimiliki, tapi ditentukan oleh mentalitas bangsanya; apakah bangsa itu memiliki mentalitas pemenang atau pecundang, apakah memiliki mentalitas kaya ataukah mentalitas miskin, apakah memiliki mentalitas membangun atau mentalitas merusak, apakah memiliki mentalitas sebagai pekerja keras atau pemalas.

Coba kita lihat negara-negara lain. Jepang, misalnya. Pada Agustus 1945 Jepang mengalami kehancuran total setelah dua kota besarnya, Hiroshima dan Nagasaki, dibom oleh tentara sekutu.

Banyak pihak meyakini bahwa peristiwa itu sebagai akhir kejayaan Jepang. Namun kenyataan yang terjadi justru di luar perkiraan. Beberapa tahun kemudian, ternyata Jepang bangkit dari keterpurukan dan berubah menjadi Negara kuat dengan kemajuan industri melebihi kekuatan militernya pada perang dunia kedua. Sejak saat itu Jepang bangkit sampai sekarang.

Begitu juga dengan Swiss. Negeri ini dikenal sebagai Negara penghasil coklat terbaik di dunia. Padahal hanya 11 persen daratannya yang bisa ditanami. Uniknya lagi mereka tidak memiliki lahan yang tidak dapat ditanami coklat. Selain itu, Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik.

Malaysia adalah Negara paling dekat dengan Indonesia. Mentalitasnya sungguh luar biasa. Negara yang merdeka belakangan dari Indonesia ini sudah melesat sebagai Negara jaya. Nilai ekspor Malaysia saat ini mencapai 1,5 kali lebih besar dari Indonesia. Di sektor perkebunan, Malaysia telah mengubah sebagian besar lahan tidur yang tidak produktif menjadi area perkebunan kelapa sawit. Kawasan di sekitar bandara internasional Kuala Lumpur saja dikelilingi oleh perkebunan sawit.

Malaysia juga mengembangkan sektor pariwisata. Keyakinan dan spirit “Malaysia Trully Asia” mengidentifikasikan dirinya seolah-olah merupakan negeri yang mewakili Asia dalam sektor pelancongan tersebut. Malaysia kini mampu meraup tidak kurang dari 150 juta ringgit per tahun.

Menurut Heppy, selain belajar dari negara lain, Negara Indonesia juga harus membasmi mentalitas buruknya, yaitu korupsi dan hutang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi di Indonesia tumbuh subur hampir di semua tempat. Secara horizontal, bila dahulu korupsi hanya terjadi di satu ranah kekuasaan (eksekutif) saja, kini korupsi juga ditemukan di lembaga legislatif dan yudikatif. Sedangkan secara vertikal, era otonomi daerah telah menggeser praktek korupsi dari korupsi terpusat (centralized corruption) menjadi korupsi terdesentralisasi (decentralized corruption).

Membangun mentalitas anti korupsi merupakan strategi preventif sekaligus kuratif terhadap kemungkinan lahir dan berkembangnya mentalitas korupsi yang menjadi cikal bakal korupsi. Perubahan mental perlu terus dilakukan dari waktu ke waktu.

Hutang ternyata menghambat tumbuhnya ekonomi dan mengakibatkan kontraksi belanja sosial dan merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan sosial. Hutang juga mengakibatkan ketergantungan negara-negara dunia ke-3 pada modal asing.

Indonesia harus belajar pada Jepang. Jepang menjadi penghutang, karena membutuhkan pinjaman luar negeri untuk merekonstruksi pembangunan yang hancur akibat bom di Hiroshima dan Nagasaki. Namun Negara itu berkomitmen untuk berhenti berhutang. Pada 1961 mulai menyicil, periode 1975 melunasi hutang luar negeri, dan sejak 1977 jadi Negara donor terbesar di dunia.

Presiden Indonesia perlu belajar pada Presiden Venezuela, Hugo Chavez. Delapan tahun silam, segera setelah berkuasa pada 1999, Chavez telah membayar seluruh hutang Venezuela kepada IMF. Belum lama ini Venezuela juga telah melunasi hutangnya kepada Bank Dunia lima tahun lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan. Venezuela kapok untuk berhutang lagi ke IMF dan Bank Dunia. Kini, Venezuela terus berkembang dengan melesat, tanpa ada beban hutang.

Walhasil, buku ini hendak mengatakan bahwa Indonesia memiliki semua modal yang diperlukan untuk menjadi bangsa jaya sebagaimana sekarang dicapai oleh bangsa-bangsa lain seperti Amerika, Inggris, China, Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Kunci untuk mewujudkan kejayaan Indonesia adalah komitmen untuk menjadi bangsa pintar, baik dari aspek kepemimpinan maupun mentalitas bangsanya.[]

M. Iqbal Dawami
Pemilik blog http://resensor.blogspot.com

Selasa, November 17, 2009

Memburu Makna di Ruang Privat

Judul: Mengikat Makna Update
Penulis: Hernowo
Penerbit: Kaifa, Bandung
Cetakan: I, Oktober 2009
Tebal: xxxii+213 hal. (termasuk indeks)
--------------------------------------

AKTIVITAS membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang. Kita dapat menulis suatu subjek akibat dari aktivitas membaca. Apa yang kita tulis adalah apa yang kita baca. Nah, dalam bahasa Hernowo, aktivitas baca-tulis ini disebut sebagai aktivitas “mengikat makna”. Akar dari hal ini diambil dari perkataan Ali bin Abi Thalib:"Ilmu itu seperti hewan buruan, maka ikatlah ia (dengan menuliskannya)."

Dalam jagad kepenulisan, nama Hernowo sudah tidak asing lagi. Buku hasil racikannya sudah melimpah ruah. Dan dapat dipastikan, konsep "mengikat makna" bisa ditemukan di semua karyanya. Dan karya-karyanya pun adalah hasil dari pengamalan konsep “mengikat makna.” Bahkan beberapa judul bukunya menggunakan kata-kata ini. Buku-buku Hernowo disukai pembaca karena mempunyai bahasa yang sederhana, ringan, dan mudah ditangkap maksudnya.

Hampir di semua bukunya ketika berbicara tentang membaca dan menulis, Hernowo selalu menekankan, bahwa menulis dan membaca bukanlah sebuah beban, apalagi hal membosankan, tapi aktivitas yang menyenangkan nan manfaat.

Konsep “mengikat makna” ditemukan atas dasar pengalaman pribadi Hernowo saat bergumul dengan kegiatan membaca. Ketika selesai membaca, tiba-tiba saja banyak materi yang diperolehnya. Agar materi tersebut tidak lupa, maka ia harus dituliskan. Itulah yang dimaksud mengikat makna. Maka, secara tidak langsung kegiatan “mengikat makna” kemudian memberikan sebuah kesadaran akan pentingnya melanjutkan kegiatan menulis usai menjalankan kegiatan membaca.

“Mengikat makna” menjadi sebuah proses penemuan diri bagi Hernowo, di mana dirinya tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan unik. Dari seorang yang sering gagap dalam berbicara atau mengutarakan pendapat, menjadi seorang yang bisa menampilkan diri perlahan-lahan dan menemukan gaya-menulisnya.

Apa yang kita baca bisa jadi tidak menghasilkan apa-apa jika kemudian tidak ditulis (atau “diikat”). Sebaliknya, menulis memerlukan membaca karena membaca akan memudahkan kita mengeluarkan pikiran dan perasaan dengan bantuan kata-kata yang telah tersimpan di dalam diri kita. Lebih dari itu, proses membaca dan menulis adalah upaya menghimpun hikmah yang berserak menjadi referensi dalam memperkaya hidup dan kehidupan. Secara gamblang jabaran konsep mengikat makna dapat dibaca dalam bukunya Mengikat Makna (2001).

Lantas, apa perbedaan buku terdahulunya (Mengikat Makna,2001) dengan buku terbarunya Mengikat Makna Update (2009) ini yang sama-sama membahas konsep “mengikat makna”. Tak lain, buku ini merupakan pengembangan konsep “mengikat makna” dalam buku pertamanya. Dari pengertian “makna” tidak ada perbedaan dengan terdahulu. Hanya, pada yang pertama rujukan pengertiannya filosofis, sedang dalam buku ini tampak lebih praktis. Poin-poin mengikat makna sendiri ada empat pilar: Pertama, “mengikat makna” adalah kegiatan yang memadukan membaca dan menulis. Pilar pertama ini dianggap sebagai pilar yang paling pokok dan merupakan “nyawa” konsep “mengikat makna”.

Kedua, “mengikat makna” adalah kegiatan yang sangat personal atau benar-benar diupayakan agar melibatkan diri pribadi yang paling dalam (inner-self). Ketika seseorang ingin menjalankan kegiatan “mengikat makna”, dia harus menganggap bahwa dirinya sedang berada sendirian di muka bumi.

Ketiga, “mengikat makna” memerlukan kontinuitas dan konsistensi karena konsep ini adalah sebuah keterampilan sebagaimana memasak, menari, atau pun mengendarai mobil. Dengan melakukannya secara kontinu dan konsistenlah, seseorang akan merasakan manfaat luar biasa. Keempat, “mengikat makna” akan efektif jika menggunakan teknik membaca dan menulis yang berbasiskan cara kerja otak, yang oleh Hernowo sebut sebagai “brain based writing”. Teknik “brain based writing” sendiri sudah mencakup “reading”.

Namun di antara pengembangan dari keempat pilar di atas, yang paling penting dan bahkan inti dari buku ini adalah ada pada pengembangan pilar kedua, yaitu bahwa kegiatan “mengikat makna” perlu dilakukan di “ruang privat”.

Ruang privat yang dimaksud adalah sebuah tempat yang di dalam tempat itu hanya ada diri kita: sendirian. Secara hampir mutlak, yang mengendalikan ruang atau tempat ini adalah diri kita sendiri. Tidak ada yang dapat mencampuri ruang privat milik kita. Sesosok diri dapat melakukan apa saja di dalam ruang tersebut. Tidak ada orang lain, meskipun orang itu sangat kompeten dalam suatu bidang, yang boleh masuk ke ruang tersebut.

Dengan menulis di ruang “privat” itulah kita dapat mengeluarkan segenap “diri kita” yang sesungguhnya, karena tak ada yang menilai tulisan kita seperti apa dan apa pula yang kita tulis. Dengan cara itu, pembelajaran menulis akan efektif dan kita akan merasakan plong yang luar biasa.

“Ruang privat” inilah yang kerap digunakan Hernowo untuk “mengikat makna”. Efeknya luar biasa, dia menjadi keranjingan membaca dan kemudian menuliskan apa saja—untuk mendapatkan makna—karena “mengikat makna” benar-benar menyelamatkan dirinya dari
kebosanan membaca dan menulis.

Kita tahu bahwa membaca dan menulis adalah sebuah ketrampilan. Lewat “ruang privat” ini pula, Hernowo dapat menulis secara mencicil dan kontinu, sehingga dia dapat trampil dalam “mengikat makna”. Bagi kebanyakan orang, hal ini yang paling sulit. Harus diakui, untuk dapat menghasilkan tulisan yang baik perlu waktu. Bahkan, perlu memperkaya tulisannya dengan banyak membaca. Oleh sebab itu, menulis di “ruang privat” ini dapat membantu menampung “bahan-bahan” yang belum selesai.

Buku ini cocok sekali bagi siapa saja yang ingin belajar menulis bahkan yang sudah lama sekalipun berkecimpung dalam dunia baca-tulis. Buku Hernowo yang berbasis “privat” ini nampaknya selaras dengan apa yang dikatakan Virginia Woolf, penulis Inggris, bahwa cara terbaik untuk membaca adalah dengan menulis. Membaca bukan bagian terpisah dari menulis. Keduanya pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan individual, pemikiran kritis yang independen, dan pembangkit kepekaan terhadap kemanusiaan. []

Sabtu, November 07, 2009

Bukan Cinta Biasa

Judul: The Gargoyle
Penulis: Andrew Davidson
Penerjemah: Ary Nilandari
Penerbit: Kantera
Cetakan: I, Juni 2009
Tebal: 605 hlm.
-----------------

“L’amour n’est pas parce que mais melgre”, cinta itu bukan ‘karena’ tapi ‘walaupun’. Begitulah bunyi pepatah orang Perancis. Pepatah itu dapat dimaknai bahwa cinta (sejati) itu mau menerima pasangan kita dengan apa adanya dan tak lekang oleh ruang dan waktu. Itulah yang dilakukan Marianne Angel, seorang wanita yang mencintai laki-laki yang sekujur badannya telah gosong karena terbakar dalam novel The Gargoyle. Gargoyle adalah makhluk mitologi eropa yang biasanya dibuat patungnya di atap bangunan-bangunan kuno.

Novel The Gargoyle adalah karya perdana Andrew Davidson yang sungguh memukau. Tak heran dia berhasil meraih penghargaan First Fiction Award pada 2008. Novel ini juga masuk dalam beberapa daftar best seller seperti di New York Time Best Seller, Publisher Weekly Best Seller, dan Canadian Best Seller dalam beberapa minggu. Sebagai debut pertama yang langsung menyabet penghargaan bergengsi patut diacungi jempol.

Boleh jadi raihan penghargaan di atas, akibat sang penulis yang hendak ingin menjelaskan seperti apa cinta sejati itu. Dan kesimpulannya adalah bahwa cinta sejati itu bukan disebabkan karena keindahan; kecantikan, ketampanan, kecerdasan, dan sebagainya, apalagi kesempurnaan, melainkan sebaliknya: penuh kekurangan. Paradigma cinta yang diusung Andrew lewat The Gargoyle ini sungguh melawan arus dari kehidupan orang barat.

Novel ini diawali dengan dentuman dahsyat. Seorang bintang porno nekat menerjunkan mobilnya ke dalam jurang karena menghindari serbuan anak panah imajiner yang ada dalam halusinasinya. Tubuhnya terbakar. Sebotol barbon yang diapit di antara kedua pahanya serentak menghanguskan alat vitalnya seperti daging panggang. Namun sebelum sakaratul maut menjemputnya ia tersadar diri oleh dinginnya air sungai yang menyelamatkan hidupnya.

Penderitaan pun tak terelakkan, seorang aktor porno—35 tahun—itu kehilangan semuanya. Karir dan keberuntungannya tamat. Kulit dan alat vitalnya (sebagai modal bintang film porno) yang menawan semuanya hangus terbakar. Tujuh minggu lamanya ia koma di rumah sakit. Sepanjang waktu di rumah sakit dihabiskannya untuk memikirkan metode bunuh diri.

Di tengah keputusasaannya, muncul seorang pengunjung misterius yang bakal menghabiskan cerita dalam novel ini lebih dari 400 halaman. Pengunjung tersebut ternyata seorang pasien juga yang menderita skizofrenia dan manic-depressive bernama Marianne Angel. Ia muncul dengan rambut yang nyaris awut-awutan dan pandangan matanya yang sulit ditebak. Ia tiba-tiba membisikkan pada lelaki itu bahwa di antara mereka adalah sepasang kekasih di abad 14, di Jerman. “Aku telah menunggu begitu lamanya,” gadis itu berkata.

Tentu lelaki itu tak percaya meskipun gadis itu tengah mengenakan jubah yang menampakkan potongan abad pertengahan. Sang mantan aktor itu tetap berasumsi bahwa Marianne adalah penderita Skizrofenia. Pada awalnya, lelaki itu terus mengabaikan “si gila” Marianne Engel. Namun, lambat laun lelaki itu mulai percaya. Dan dengan kepercayaannya, menjadikannya dirinya menjadi manusia yang lebih baik.

Novel ini menjadi semakin menarik dan menggetarkan. Di sepanjang cerita yang terus berlanjut, Marianne tetap sebagai figur yang misterius. Kesehatan jiwanya terus dipertanyakan. Dunia kesehariannya adalah sebagai pemahat patung Gargoyle yang sangat ternama. Dia kerap tidur bertelanjang di atas lempengan batu yang akan dipahatnya di ruang bawah tanah kastil miliknya. “Aku menyerap mimpi-mimpi dari dalam batu itu…, dan gargoyle-gargoyle di dalamnya memberitahu hal-hal yang kuperlukan untuk membebaskan mereka.”

Tanpa syarat apa pun Marianne mencurahkan segenap perhatiannya untuk pria berbadan gosong yang diyakini sebagai kekasihnya. Ia kisahkan cerita-cerita fantastis tentang dongeng kesatriaan seorang pecinta sejati yang berakhir di tiang gantungan. Serta kisah-kisah romantis yang mengesankan cukup membuat mantan sang aktor porno itu mampu melupakan niatnya untuk melakukan bunuh diri. Marianne juga bercerita tentang bangsa Viking dan kekuasaan feodal Jepang yang sangat menarik.

Begitu juga petualangan memesona mengenai kisah romantik di antara mereka sendiri yang terjadi jauh di abad pertengahan, Jerman, Tepatnya ketika Marianne menjadi seorang penerjemah brilian di Biara Engelthal. Sedang lelaki itu adalah seorang prajurit bayaran yang tengah sekarat di terjang panah berapi, namun sebuah salinan buku Dante yang disematkan di sakunya telah menyelamatkannya. Di situlah getaran-getaran hati membawa mereka mengarungi hidup bersama meski banyak aral yang melintang.

Marianne dan epik cintanya mampu menyeberangi jurang waktu dan tempat. Cinta sejati yang menyatu di abad silam dan secara mengejutkan dipertemukan kembali di masa sekarang. Inilah novel yang sangat inspiratif untuk orang yang percaya adanya konsep cinta sejati; untuk orang yang percaya adanya sesuatu yang lebih kuat dan lebih bermakna dari sekadar seksualitas.
Semua kisah yang ada di dalam novel ini menegaskan bahwa jangan ada lagi niat untuk melepaskan harapan. Pelajaran-pelajaran yang didengungkan, cinta yang dipertemukan, dan kepercayaan yang diungkap, semuanya menjadi sesi inti yang berasal dari kawah imajinasi sang penulis.[]

M Iqbal Dawami
Penikmat sastra, tinggal di Yogyakarta

Senin, Oktober 26, 2009

Pudarnya Sejarah Islam di Indonesia

Judul : Api Sejarah
Penulis : Ahmad Mansur Suryanegara
Penerbit : Salamadani
Cetakan: I, Juli 2009
Tebal : xxii + 584 hlm.
----------------------

SEJARAH memang hanya urusan masa lalu, karena sifatnya yang tak bisa diubah. Tapi, dampaknya boleh jadi akan terus dirasakan sampai kapan pun. Di sinilah perlunya untuk dipikirkan kembali prihal suatu sejarah yang telah mapan. Lebih-lebih jika sejarah itu menyangkut dan menempati posisi strategis dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Misal, penulisan sejarah Islam Indonesia dan kiprah muslim dalam perjuangan melawan penjajah. Sejarah itu merupakan rekam jejak penting bagi kaum muslim Indonesia. Sejarah tumbuh, kembang, dan jatuh bangunnya peradaban Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran kaum muslim terdahulu. Bahkan sejarah berdirinya Indonesia—diakui atau tidak—tidak dapat dilepaskan dari peranan kaum muslim.

Diakui atau tidak, peradaban bangsa Indonesia yang kini ada merupakan proses panjang yang sarat nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan yang tak ternilai harganya oleh kaum muslim terdahulu. Namun, fakta-fakta penting bisa jadi masih belum terungkap dan terakses oleh masyarakat dari generasi ke generasi. Kita hanya tahu bahwa kaum muslim ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ya, hanya sampai di situ. Dan kita pun manut dengan penulisan sejarah Islam tanpa menelaah lebih jauh. Padahal, hal itu menyisakan sejumlah pertanyaan dan masalah. Misalnya, dapatkah kita membedakan antara kemunculan Islam dan perkembangannya di Indonesia; mengapa situs-situs Islam terutama di Jawa Barat dan Banten tidak terawat, lainnya halnya dengan situs-situs Hindu dan Budha, semisal candi Borobudur dan Prambanan. Masih banyak lagi.

Dalam konteks itulah buku Api Sejarah ditulis. Ahmad Mansur Surya Negara, Sang penulisnya, memaparkan bahwa penulisan sejarah telah dijadikan alat oleh penjajah untuk mengubah wawasan generasi muda Islam Indonesia tentang masa lalu perjuangan bangsa dan negaranya. Maksud dari upaya penjajah tersebut adalah untuk menghilangkan kesadaran umat Islam dalam perjuangannya.

Salah satunya adalah merancukan antara Islam masuk dan saat perkembangannya. Padahal, menurut Ahmad, kedua hal tersebut jauh berbeda pengertiannya. Beberapa fakta dia paparkan. Selama ini yang populer Islam masuk ke Indonesia adalah abad ke-13 melalui Aceh. Buktinya adalah terdapat kerajaan Samudra Pasai yang menganut ajaran Islam. Fakta tersebut ada yang patut dipertanyakan, mungkinkah Islam begitu masuk ke Samudra Pasai langsung mendirikan kekuasaan politik?

Kata Ahmad ada fakta lain yang lebih shahih. Pada abad ke-11, di pulau Jawa telah berdiri pula kekuasaan politik Islam di Leran, Gresik, Jawa Timur yang didirikan oleh Fatimah binti Maimun. Pendirian kekuasaan politik Islam tersebut hampir bersamaan waktunya dengan tahta kekuasaan politik Hindu di Kediri, Jawa Timur, di bawah Raja Airlangga.

Berdirinya kekuasaan politik Islam di Gresik jauh sebelum kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, pada 1294. Keberadaan nisan Fatimah binti Maimun (di Gresik) karena bersifat nisan tunggal, oleh sejarawan tidak diakui keberadaannya.

Dari fakta sejarah ini, tergambarkan bahwa kekuasaan politik Hindu, Budha, dan Islam dapat dikatakan hampir mempunyai kesamaan waktu keberadaannya di Indonesia. Hanya dalam perjalanan sejarah berikutnya, agama Islam berhasil memenangkan massa mayoritas. Jadi, kemunculan Islam di Indonesia jauh melebihi yang kita perkirakan.

Demi memperkuat argumen di atas, Ahmad mencoba memetakan Indonesia dalam konteks global. Dia membahas terlebih dahulu perkembangan Islam di timur tengah, asia afrika, dan eropa sebelum dan sesudah meninggalnya Nabi Muhammad (632 H), setelah itu barulah masuk pembahasannya ke Indonesia. Ahmad menganggap bahwa pembahasan seperti itu perlu dilakukan karena segenap perubahan yang terjadi di timur tengah, asia afrika, dan eropa pada masa Nabi Muhammad sebelum dan sudah wafatnya sangat berpengaruh terhadap masuk dan perkembangan Islam di Indonesia.

Saat membahas eropa, ada hal yang menarik dari analisa Ahmad prihal imperialisme Barat. Jadi, pada saat pudarnya kekuasaan Hindu dan Budha serta berkembangnya kekuasaan Islam, datanglah prahara imperialisme Barat mulai menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Diawali dengan masuknya Portugis menduduki Malaka, pada 1511. dan diikuti Belanda menduduki Jayakarta, pada 1619. Timbulnya imperialisme barat sendiri adalah sebentuk usaha untuk menaklukkan Islam. Ide ini dibangun oleh Vatikan, Portugis dan Spanyol pada abad ke-15 M.

Pihak Vatikan memberikan kewenangan kepada kerajaan Portugis untuk menguasai dunia belahan timur, sedang kerajaan Spanyol diberikan kewenangan untuk menguasai dunia belahan barat. Dalam perkembangannya, gerakan komunis menentang imperialisme barat tersebut. Tidak heran jika Karl Marx, penganut komunisme, menolak ajaran agama. Dia menilai agama sebagai candu, dan agama identik dengan alat penjajahan, buat menidurkan rakyat yang ditindas oleh pemerintah penjajah yang didukung oleh Vatikan untuk merealisasikan tujuannya, yaitu tiga G: God, Glory, and Gospel.

Oleh karena itu, tidak heran ketika imperialisme barat (baca: Portugis dan Belanda) bercokol di Indonesia mencoba “menaklukkan” masyarakat muslim, di samping karena sering mendapat perlawanan yang sengit namun juga menjadi embiro istilah ‘nasionalisme’. Salah satu upayanya adalah “menghancurkan” situs-situs Islam dan menonjolkan situs-situs Hindu dan Budha. Di antara usaha itu adalah pemerintah Belanda memugar candi Borobudur dan candi Prambanan.

Dari upaya rekonstruksi sejarah, pemugaran candi dan patung, serta pembacaan ulang prasasti Hindu dan Budha, ditargetkan akan memudahkan upaya menghidupkan kembali ajaran Hindu dan Budha. Dengan demikian akan tergeserlah pengaruh Islam. Sebaliknya, peninggalan Islam dibiarkan begitu saja. Salah satunya peninggalan sejarah Banten, yaitu kerajaan Banten. Bekas kesultanan Banten itu pun dibiarkan rata dengan tanah. Jadi, kebangkitan semangat keislaman masyatakat Banten yang pernah berjaya diperhitungkan akan sangat membahayakan eksistensi Batavia pada waktu itu. Oleh karena itu harus dihancurkan.

Dengan begitu, keberadaan Belanda akan aman dan tidak lagi menemui perlawanan karena kalangan penganut Hindu dan Budha ditargetkan akan berpihak kepada pemerintah Belanda. Sungguh, pemerintah Belanda sangat khawatir akan bangkitnya kesadaran sejarah masyarakat muslim.

Buku yang ketebalannya mencapai 584 halaman ini boleh dibilang sangat antusias untuk memaparkan sejarah Islam Indonesia dari kemunculannya hingga tahun 1950. Fakta-fakta lainnya dalam buku ini jarang ditemukan dalam buku-buku sejarah Islam Indonesia sehingga cukup menggelitik untuk ditelaah lebih jauh. Namun, referensi yang dipakai sang penulis dalam menggunakan argumentasinya memaksa kita untuk berpikir dua kali untuk membantahnya.

Hanya saja, patut disayangkan, buku ilmiah ini sedikit “ternoda” oleh ambisi sang penulis sendiri yang kentara sekali ingin memunculkan istilah ulama dan santri. Kesan yang saya tangkap bahwa yang dimaksud kaum muslim dalam perjuangan pada zaman pra dan pasca kemerdekaan hanyalah ulama dan santri. Tentu, hal itu mengecilkan kaum muslim sendiri yang notabene-nya banyak kaum muslim yang berada di luar dua kelompok itu. Mestinya, dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud ‘ulama’ dan ‘santri’ itu?

Selain itu, beberapa hal juga sedikit mengganggu dalam membaca buku ini, seperti di halaman 100 paragraf kedua, mestinya di situ ditulis ‘sunni’ bukan ‘ahlush shunnah wal jama’aah’, karena dikontraskan dengan ‘syi’ah’. Dalam hal penulisan juga masih banyak ditemukan kesalahan, seperti ‘wirauswasta’ yang mungkin dimaksud adalah ‘wiraswasta’. Hal ini termasuk dalam judul. Jika di cover depannya tertulis judul kecilnya Buku yang akan Mengubah Drastis Pandangan Anda Tentang Sejarah Indonesia sedang di halaman Pembuka-nya (hlm. 23), sang penulis menulis judul kecilnya Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri, Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, mana yang benar? []

Minggu, Oktober 18, 2009

Membongkar Organisasi Perusak Dunia

Judul: Secret Societies: 21 Organisasi Perusak Dunia
Penulis: Michael Bradley
Penerjemah: Ety Triana
Penerbit: Rajut Publishing House, Jakarta
Cetakan: IV, 2009
Tebal: 209 hlm. (termasuk indeks)
---------------------

Sejak awal terbit, buku ini ternyata mampu menyita perhatian banyak orang. Terbukti, pada 2009, buku ini sudah mengalami cetak ulang yang keempat (dari tahun 2008). Rasa penasaran adalah hal yang menjadi daya magnet buku ini. Betapa tidak, buku berjudul Secret Societies:Organisasi Perusak Dunia ini hendak membuat penasaran kita, bahwa ada 21 organisasi rahasia yang terbukti telah merusak dunia baik secara lokal maupun inter-lokal dari pelbagai sisi: politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain.


Yang dimaksud Secret Societies oleh Michael Bradley—sang penulis buku ini—adalah sekumpulan organisasi sosial maupun (atas nama) keagamaan di seluruh dunia dari masa ke masa yang mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyembunyikan aktifitas-aktifitas tertentu dari orang luar seperti ritual inisiasi atau upacara perkumpulan. Anggota-anggotanya mungkin diwajibkan untuk menyembunyikan atau menyangkal keanggotaan mereka dan sering disumpah untuk menjaga rahasia perkumpulannya. Biasanya, mereka identik dengan rencana-rencana politis;pembentukan pemerintahan global atau apa yang disebut dengan Tata Dunia Baru (The New World Order – NOW). Ciri khas mereka adalah mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dengan pelbagai cara, meski dengan cara kotor sekalipun.

Bradley menulis buku ini dengan maksud agar masyarakat dunia mengenal komplotan – komplotan rahasia paling berbahaya di dunia. Merekalah para pengendali ekonomi, politik dan seluruh isu – isu global internasional. Secara kasat mata, komplotan itu menampilkan diri moderen dan terhormat di mata publik, namun berbeda dengan pekerjaan mereka sebenarnya.

Organisasi-organisasi yang mereka susun sangat rapi. Mereka memulai menjajah dan meneror, melalui politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya. Keduapuluh satu organisasi yang dimaksud adalah The Assasin, The Bilderbergers, The Bohemian Club, The Club of Rome, Council on Foreign Relations (CFR), Essex Junto, Freemasonry, The Golden Dawn, The Illuminati, Knight Templar, Ku Klux Klan, Mafia, Majestik-12 The Aviary and The Aquarium, Mensur, Opus Dei, The Order of Skull and Bones, Sionus Prioratus, The Rosicrucians, The Round Table, Triad, dan Trilateral Commision.

The Assasin (abad 12-13), misalnya, sebuah organisasi yang berasal dari Syiria namun kekuasaannya meliputi negara-negara Islam di timur tengah. Organisasi ini disebut Nizariyah, karena mereka berusaha mengembalikan pangeran Nizar Al-Toyyib (dianggap sebagai reinkarnasi Nabi Ismail) ke tahta kekuasaan Mesir. Komplotan ini mulai disebut The Assasin karena mulai mencuci otak para pemuda untuk diperbudak dengan menempatkan mereka di istana layaknya surga dunia. Untuk mendapatkan kenikmatan surga tersebut mereka halalkan segala cara dan rela meski nyawa sebagai taruhannya. Pengaruh Assasin menyebar ke seantero jagad hingga pertengahan abad 13.

Jika The Assasin dan beberapa organisasi lainnya seperti The Bohemian Club, The Club of Rome, Essex Junto, The Golden Dawn, Ku Klux Klan eksis pada abad yang lampau, sedang—sekadar menyebut—The Bilderbergers, CFR (Council on Foreign Relationship), Freemasonry dan Trilateral Commission adalah beberapa organisasi yang eksis pada masa kini. Keempat organisasi ini memiliki hubungan erat dan saling berelasi. Mereka menguasai minyak & mineral dunia, bank sentral dunia, media massa, teknologi persenjataan, dan penguasaan pangan.

Menurut Bradley, anggota organisasi The Bilderbergers adalah orang-orang penting dalam pemerintahan di Eropa dan Amerika, seperti Bill Clinton mantan presiden AS, Pangeran Charles, Ratu Sophia dari Spanyol, Ratu Beatrix dari Belanda, keluarga Rockefeller Amerika dan Rothschild Eropa.

Organisasi ini didirikan pada tahun 1968 dan merupakan salah satu organisasi terbesar di dunia. Ada yang menyebutnya komplotan elit rahasia yang berambisi menguasai dunia. Untuk menjalankan misi, mereka berkedok "kerja sama" yang didukung oleh kalangan elit dunia, Bank Dunia hingga Dana Moneter Internasional (IMF).
Banyak hal yang terjadi di dunia, termasuk di Indonesia—krisis ekonomi, pergantian rezim, perang, dan lain sebagainya—tak lepas dari peran kelompok rahasia ini. Semua ini demi memantapkan hegemoni mereka.

Menurut hasil penelusurannya, komplotan Bilderberg ini tidak punya nama dan eksistensi resmi. Mereka beranggotakan politisi elite dunia yang berjumlah 100 orang lebih; terdiri dari para pakar keuangan internasional, bos-bos internasional, para pemimpin politik dan keluarga-keluarga kerajaan Eropa.

Contohnya Bill Clinton. Saat masih menjadi gubernur, dia dijadikan alat organisasi ini guna menaklukkan North America Free Trade Agreement (NAFTA). Untuk itu, Clinton terpilih sebagai presiden AS. Mereka juga pernah menjebak Uni Soviet dengan bantuan finansial. Kompensasi yang harus dibayar adalah Uni Soviet menyerahkan sumber daya alam. Hal ini juga diterapkan pada negara-negara berkembang. Tujuan mereka agar negara-negara dunia ketiga lumpuh dan bergantung total kepada mereka. Setelah mendapat pinjaman dana dari IMF, penduduk negara-negara berkembang menjadi hamba sahaya abadi untuk melayani kepentingan mereka. Bukankah hal ini menjadi kenyataan pada masa kini, termasuk Indonesia?

Harus diakui informasi keduapuluh satu organisasi yang didapat dari buku ini memang tidak terlalu banyak. Ulasannya kurang mendalam. Oleh karena itu, buku ini hanya menjadi semacam pengantar saja, tak lebih. Secara tematis, buku ini pun kurang lengkap, karena tidak mencantumkan beberapa secret societies yang juga berpengaruh seperti: Jesuit, Zionist, CIA, MI-5, MI-6, MOSSAD, dan KGB.

Meski begitu, buku ini dapat dipercaya informasinya. Bahkan, di akhir halaman buku ini, penulis menantang pembaca untuk mengumpulkan semua alasan, jika tak satupun fakta isi buku ini benar. Sebab, buku ini ditulis dengan menggunakan riset dan penelitian yang matang. Ditambah dengan ilustrasi-ilustrasi yang relevan dengan masing-masing organisasi yang disebutkan tersebut.[]

M Iqbal Dawami,
Staf pengajar STIS Magelang

Minggu, Oktober 11, 2009

Kiamat 2012

Judul: The Mystery of 2012
Penulis : Gregg Braden, dkk
Penerbit : Ufuk Publishing House
Cetakan: I, Juni 2009
Tebal : 579 Halaman
--------------------

DEMAM tahun 2012 telah melanda dunia. Tak terkecuali Indonesia. Tak ketinggalan pula para penulis mengulas fenomena 2012 tersebut. Walhasil, pelbagai buku menjelaskan 2012 ini dari pelbagai sudutnya.
Angka 2012 mendadak menggetarkan banyak orang. Hal ini bermula dari ramalan bangsa Maya yang meramalkan bahwa pada 21 Desember 2012 akan terjadi gangguan pada rotasi bumi. Pada waktu itu, tata surya, dengan matahari sebagai pusatnya, akan menutupi pemandangan pusat galaksi Bimasakti dari bumi. Ini terjadi setiap 26.000 tahun sekali.

Bangsa Maya adalah bangsa yang pernah ada di Amerika Tengah dan Meksiko. Dalam sejarahnya, bangsa ini pernah mengalami peradabannya. Salah satu buktinya adalah, tanpa teleskop dan mesin hitung, mereka bisa menyusun kalender melalui pengamatan benda langit dengan mata telanjang yang disusun secara sistematis. Suku Maya yang diketahui primitif, namun memiliki pengetahuan astronomi yang maju. Mereka memiliki sistem kalender sendiri dengan siklus 260 hari setahun yang dikenal tzolkin (baca = zolkeen) yang terdiri atas 13 angka dan 20 tanda hari.

Nah, Kalender bangsa Maya tersebut hitungannya berakhir pada 2012. Hitungan tersebut bukan hanya ramalan Suku Maya Kuno belaka, tapi berdasarkan fakta yang logis secara hitungan kosmis dan siklus penanggalan mereka. Para ilmuwan pun berhasil membuktikannya. Tidak berhenti di situ saja, sistem penanggalan peradaban kuno Cina, India, dan Persia juga menunjukkan sesuatu yang besar akan terjadi di seputar tahun dan tanggal tersebut.

Salah satu buku yang menjelaskan ihwal “kiamat” 2012 adalah The Mystery of 2012. Melalui buku ini, pembaca akan diberikan pemahaman yang lengkap bagaimana Suku Maya menetapkan kalender waktu dan prediksi apa yang akan terjadi sebelum dan setelah 2012. Tidak hanya itu, buku setebal 579 halaman ini menyajikan analisis dari prediksi 23 ahli tentang fenomena Kalender Maya tersebut. Para ahli dalam buku ini memberikan penjelasan logis yang mendasarkan tulisannya dari penelitian situs langsung, wawancara dan wacana keilmuan yang bersifat empiris.

Ervin Laszlo, Peneliti dan Kepala Evolution Research Group, misalnya, mengakui kebenaran siklus akhir kalender Maya. Bahwa pada saat itu terjadi "titik kekacauan" dalam kehidupan manusia. Bisa jadi "titik kekecauan" ini sebagai gejala akhir dunia. Hanya saja, dia menganalisis “titik kekacauan” itu bukan berarti sebagai waktu terjadinya hari akhir. Siklus itu hanya menandai terjadinya akhir hari dan masih ada hari berikutnya yang baru. Setelah 2012 akan ada masa yang lebih baik lagi bagi manusia.

Sedang menurut Greg Braden, ahli sistem komputer untuk ruang angkasa yang menjembatani ilmu pengetahuan dan spiritualitas, sekaligus ketua tim investigasi untuk buku ini, bahwa 2012 akan membawa pembalikan kutub magnetik bumi. Kemagnetan planet akan membalik dan titik atau badai matahari akan jadi tanda bagi perubahan mendatang. Dia menarik dari bukti fisik, teori kuantum, dan kecenderungan sejarah untuk mengukur kemungkinan destruksi masif atau kemunculan realitas baru yang memberdayakan pada 2012. Dia juga menyatakan bahwa yang terpenting bukan apa yang akan terjadi, tetapi bagaimana potensi kolektif muncul dari pemahaman holistik dan kesadaran tentang siapa diri kita di tengah Semesta Raya.

Peter Russel mempunyai sudut pandang lain lagi. Dia lebih banyak bercerita tentang perubahan di tahun 2012 sebagai dampak evolusi yang berakselerasi. Hal yang lebih penting dari fenomena 2012 ini, menurut Russel, adalah sebagai permulaan zaman kearifan ketimbang menamai fenomena 2012 sebagai kiamat. Tiap fase baru dalam inteligensi yang berkembang berlangsung dalam pecahan waktu dari fase sebelumnya sehingga kita dapat mengharapkan permulaan Zaman Kearifan yang berlangsung selama berpuluh-puluh tahun yang akan berpijak di Zaman Informasi. Hal itu memungkinkan akan ada transformasi menuju spesies baru.

Dengan adanya multi tafsir mengenai fenomena 2012, kita sebenarnya diajak berpikir untuk memaknai pula fenomena tersebut, dengan pelbagai macam pemaknaan. Boleh jadi kita memahami hal itu sebagai ramalan yang terlalu dilebih-lebihkan karena memang kejadian pada tahun itu adalah sesuatu yang sunnatullah (hukum alam), namun boleh pula kita melihat dari sisi spiritualitas bahwa sudah saatnya manusia sungguh-sungguh introspeksi diri sembari melakukan perbaikan diri, untuk sesama maupun untuk alam sekitar.

Pada akhirnya, buku ini paling tidak memberi wawasan akan fenomena alam dan (lebih penting lagi) membuka kesadaran kita untuk hidup lebih sungguh-sungguh dalam menjaga alam sekitar kita.***

Selasa, Oktober 06, 2009

Rahasia Sukses Jack Welch

Judul: The Jack Welch Secrets: 10 Rahasia Sukses CEO Paling Fenomenal di Zaman Kita
Penulis: Stuart Crainer
Penerjemah: Arfan Achyar
Penerbit: Daras Books, Jakarta
Cetakan: I, September 2009
Tebal: 208 hlm.
---------------

Jack Welch adalah salah satu tokoh yang dikenal dalam dunia bisnis karena kepemimpinannya saat ia menjabat sebagai Pemimpin dan Ketua Eksekutif dari General Electric (GE), Amerika, pada periode 1981-2001. Reputasinya diraih berkat kecerdasan bisnis yang tinggi dan strategi kepemimpinannya di GE. Ia tetap menjadi tokoh yang disegani di kalangan bisnis mengingat strategi manajemennya yang inovatif dan gaya kepemimpinannya.

GE adalah perusahaan teknologi dan jasa dengan bidang usaha yang sangat luas, dari peralatan rumah tangga, lampu listrik, finansial, mesin jet pesawat, sampai pembangunan pembangkit nuklir. Nilai total perusahaan ini sekarang mencapai 500 miliar dolar. Jack sudah bekerja jadi teknisi di General Electric sejak 1960. Ia mulai benar-benar dari bawah. Dengan usahanya yang luar biasa, Jack berhasil naik terus ke puncak. Umur 37 tahun, ia sudah menjadi Vice President di GE. Dan pada 1981, Jack menjadi penguasa di GE, sebagai CEO termuda dalam sejarah perusahaan ini.

Jack Welch sering dipanggil "Neutron Jack" karena gaya kepemimpinannya yang penuh ledakan, persis seperti bom neutron. Banyak tindakan besar yang drastis yang ia lakukan selama kepemimpinannya. Misalnya, ia memotong gaji 10 % eksekutif yang kerjanya terburuk tiap tahun. “Habisi semua yang tidak memberikan sumbangan pada perusahaan”. Ujar Jack.

Dan Jack juga menjadikan perusahaan yang awalnya sangat tidak efisien, menjadi salah satu perusahaan paling menguntungkan di dunia. Jack adalah legenda dalam manajemen perusahaan. Jack sendiri berhenti dari GE tahun 2001. Sekarang, GE adalah salah satu perusahaan terbesar Amerika, bernilai hampir setengah triliun dolar.

Melalui buku ini kita akan mengetahui prinsip-prinsip yang dijalankan Jack Welch dalam mencapai semua hal di atas. Melalui buku ini pula, kita akan mengetahui gaya manajemen dan kepemimpinannya yang telah terbukti itu. Penulis buku ini, Stuart Crainer, adalah seorang pendiri Suntop Media, sebuah firma konsultasi, konsep, dan konten media di Amerika, yang telah menghasilkan beberapa buku juga mengenai bisnis dan manajemen.

Sedikit menukik ke belakang, GE didirikan oleh Thomas Alva Edison, sang penemu bola lampu, dan sudah berusia lebih dari satu abad. Sejak didirikan, perusahaan ini berkembang pesat dan menjadi perusahaan raksasa. Tapi, akhir tahun 70-an, GE telah menjadi perusahaan raksasa yang gemuk dan sama sekali tidak efisien. Bisnisnya tidak fokus, birokrasinya besar dan bertingkat-tingkat, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah juga lambat. GE adalah perusahaan besar yang akan segera ketinggalan zaman dan dilindas pesaingnya.

Namun, pada 1981, ada seorang pemimpin baru di GE. Namanya Jack Welch, dan ia akan segera menciptakan sejarah. Nah, dalam kepemimpinannya, nilai GE telah naik berkali-kali lipat. Saat Jack masuk, GE bernilai 14 miliar dolar dan saat Jack keluar GE bernilai 130 miliar. Tidak ada satu pun pemimpin bisnis di dunia, bahkan Bill Gates sekalipun, yang mampu menciptakan perkembangan nilai perusahaan yang sedahsyat ini.

Jack Welch diangkat menjadi vice president GE pada 1972, lalu senior vice president pada 1977, dan vice chairman pada 1979. Welch akhirnya menjadi chairman dan CEO termuda GE pada 1981. Saat pensiun pada 2004, gaji tahunannya US$ 4 juta. Kekayaan bersihnya kini ditaksir US$ 270 juta.

Nah, berdasar capaian di atas, penulis buku ini mengidentifikasi ada sepuluh bumbu utama dari gaya manajerial Jack: berinvestasi pada manusia, dominasi pasar anda… atau enyah, tak pernah tinggal diam, pikirkan layanan, lupakan masa lalu, ciptakan masa depan, belajar dan memimpin, tanpa basa-basi, hilangkan birokrasi, tidak kemana-mana, dan mengurus toko kelontong.

Dari kesepuluh gaya manajemen Jack, ada dua hal yang menjadi perhatian saya ketimbang yang lainnya yaitu, hilangkan birokrasi dan mengurus toko kelontong. Dua hal ini boleh dikata jarang saya temukan di dalam manajemen bisnis mana pun. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ‘hilangkan birokrasi’ dan ‘mengurus toko kelontong’?

Direpotkan dengan birokrasi dan hierarki yang membuang waktu, Jack Welch hampir meninggalkan GE setelah setahun bekerja di sana. Ia berhasil dibujuk, tetapi kejengkelannya tetap bersemayam. Setelah mencapai puncak, Welch membuang aturan-aturan birokratis.

“Bayangkan satu gedung. Perusahaan menambah jumlah lantai ketika bertambah besar. Ukuran menambah jumlah lantai. Kompleksitas menambah jumlah dinding. Kita semua membangun departemen—departemen transportasi, departemen riset. Itulah kompleksitas. Itulah tembok. Pekerjaan kita dalam bisnis adalah meratakan bangunan dan menghancurkan tembok. Jika melakukan itu, kita akan mendapatkan lebih banyak orang yang datang dengan lebih banyak ide untuk berbagai tindakan yang dibutuhkan oleh fungsi bisnis” (hlm. 168-169). Itulah salah satu terobosan Jack dalam upaya menghilangkan birokrasi. Dan terbukti menguntungkan.

Jack Welch mengelola GE layaknya sebuah toko kelontong. Hal yang harus diperhatikan sama. Kualitas dan pelayanan. Arus uang. Tahu betul tentang apa yang akan laku dijual, bisnis apa yang berhasil saat ini. Fakta bahwa kita menjual reaktor nuklir, bukan menjual permen, tidaklah penting.

Jack dikenal sangat keras, tetapi adil. Keuntungan akan dikejar, tapi karyawan yang baik selalu diperhatikan. Untuk mereka, berbagai sistem promosi, bonus, dan saham di perusahaan diberikan secara kompetitif. Jack juga hafal nama dan pekerjaan dari hampir 1.000 orang yang bekerja di GE. Gabungan dari sistem reward dan punishment yang ekstrem ini membuat GE menjadi salah satu perusahaan terbesar Amerika.

Bagi Jack, semua pihak harus belajar jadi yang terbaik atau, jika tidak, akan dieliminasi. Eksekutif akan dipecat, anak perusahaan yang tidak mampu memberi keuntungan atau bukan dua besar dalam industrinya akan ditutup atau dijual. Semua harus belajar dengan cepat karena perusahaan seperti itulah yang akan unggul. Jadi, semua pihak di GE akan belajar mati-matian, atau ditendang keluar. Kalau bukan oleh pesaingnya, oleh Jack sendiri. Perusahaan pun bergerak semakin cepat, begitu pula keuntungannya.

Belajar dari Jack, bahwa manajemen adalah sebuah seni. Dan hal itu (terkadang) tidak bisa dipelajari di buku, melainkan dari sebuah pengalaman.[]

M. Iqbal Dawami,
Staf pengajar STIS Magelang

Minggu, September 27, 2009

Pewaris Mimpi Sang Ayah

Judul: Dreams From My Father: Pergulatan Hidup Obama
Penulis: Barack Obama
Penerjemah: Miftahul Jannah Saleh, dkk.
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, Juni 2009
Tebal: 493 hlm.
------------------

Inilah buku perjalanan hidup sang presiden Amerika Serikat (AS) saat ini, Barack Obama, yang ditulis oleh Obama sendiri. Selama ini banyak sekali buku mengenai Obama dari pelbagai sisi semenjak dia menjadi orang nomor satu di AS. Kisah hidup dan spekulasi kiprah politiknya menjadi daya tarik para penulis dari pelbagai dunia. Untuk itu, buku ini sebenarnya referensi utama buku tentang Obama dari sudut pandang dirinya sendiri.

Buku pergulatan Obama ini menjadi inspirasi bagi pembaca, karena memiliki kekuatan impian, harapan, cita-cita, persaudaraan, serta toleransi yang nyata. Hal ini pula yang menjadikan buku ini bestseller versi New York Times sebagai peraih British Book Award 2009 kategori Biografi terbaik. Sungguh, sebuah prestasi yang prestisius.

Dalam buku ini, secara detail Obama menuturkan asal-usulnya, masa kecilnya di Hawaii, lalu kepindahannya ke Jakarta, serta kuliahnya di Chicago. Pria berayahkan pria kulit hitam asal Kenya dan ibu asli Amerika ini juga menelusuri perjalanan mencari akar budayanya di Afrika, di tengah-tengah kerabatnya yang muslim. Di buku ini, Obama yang akrab disapa Barry mengaku sempat kehilangan jati diri. Dia marah dan frustrasi akibat diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam.

Namun, Obama tak mampu menuangkan amarahnya, karena selalu teringat ibunya yang berkulit putih. Logikanya, jika dia melampiaskan kebenciannya kepada orang-orang kulit putih, berarti sama saja benci terhadap ibunya. Padahal, ibunya adalah orang yang begitu dia cintai. Akibat dilema itu, dia kesal atas dirinya sendiri. Kekesalan itu membuat dirinya putus asa, hidup tak bersemangat, dan akrab dengan madat, serta minuman beralkohol.

Namun, keadaan itu tidak menyembuhkan dirinya. Setelah jenuh dengan keadaan itu, dia sadar. Titik nadirnya itu menyadarkannya bahwa banyak hal positif bisa dilakukan ketimbang melakukan hal negatif yang sebenarnya merusak dirinya sendiri. Kemudian, dia bangkit. Pertama yang dilakukannya adalah merengkuh semangat persaudaraan yang melintasi warna kulit yang menyatukan ayah dan ibunya (kulit hitam dan kulit putih).

Obama menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu merupakan impian sang ayah yang belum tercapai. Ayahnya bercita-cita membuat persaudaraan antar-warna kulit, di mana masa itu rasisme begitu kental dan sering terjadi kekerasan dan diskriminasi yang menjadi konsumsi sehari-hari. Keinginan tersebut, ayah Obama merintisnya melalui jalur pendidikan dan politik.

Obama merasa menemukan kembali impian yang diwariskan ayahnya itu. Dulu, ayahnya seorang anak miskin kulit hitam dari desa terpencil di Kenya mengejar ilmu sampai ke Amerika. Obama pun mengikuti jejak sang ayah. Dia menjadi aktifis, satu-satunya senator dari kulit hitam, yang hingga kini kemudian menjadi presiden Amerika Serikat.

Dalam buku ini pun, Obama menulis bagian khusus mengenai Indonesia. Dia menceritakan bahwa Ibunya menikah dengan Lolo Soetoro, asal Indonesia, yang bertemu saat di Hawaii. Awalnya, Obama menganggap Indonesia sebagai Negara miskin, belum berkembang yang sama sekali asing dibandingkan Negara lain. Namun, setelah menikmati hidup di Jakarta pandangannya pun berubah mengenai Indonesia. Bahkan, dia mengaku banyak pelajaran berharga yang dia dapatkan selama di Indonesia.

Obama begitu sayang dan bangga kepada kedua orangtuanya—Barrack Hussein Obama Sr - Shirley Ann Dunham—meski keduanya telah berpisah saat Obama berusia dua tahun. Walaupun Obama tinggal dan dibesarkan oleh ibunya, namun hubungan dengan ayah dan keluarga besarnya yang masih tinggal di Kenya, Afrika, tak pernah putus. Dari sini pula Obama mengetahui ayahnya lebih mendalam dan impian yang belum tercapai. Impian-impian yang sejatinya menyangkut pada kemanusiaan.

Memoar Rasa Sastra
Memoar ialah tulisan tentang peristiwa masa lalu yang menyerupai autobiografi, bahkan bisa dikatakan semi-autobiografi. Isinya bisa macam-macam. Bisa pendapat, kesan, atau kritikan terhadap peristiwa pada waktu yang diihat dan dialami si penulisnya. Yang membedakan di antara keduanya ialah pesannya. Autobiografi biasanya yang ingin perlihatkan adalah perjalanan sang tokoh tersebut, terutama perjalanan kesuksesannya. Sedangkan memoar menitikberatkan pada kesan sang tokoh tersebut terhadap sebuah peristiwa yang dia temui. Kesannya bisa berupa kritikan, gagasan, ataupun yang lainnya.

Buku Obama ini dapat dikategorikan memoar. Dia mengisahkan perjalanan hidupnya dari masa kecil hingga masa mudanya. Tepatnya sampai pada awal-awal karier politik dan tunangannya dengan Michelle Robinson. Dia mengawali kisahnya dengan berita bahwa ayah kandungnya meninggal dunia dalam kecelakaan mobil, padahal selama itu sosok ayahnya lebih merupakan mitos yang diceritakan ibunya daripada kenyataan. Kematian mendadak itu memberi dia inspirasi pengembaraan emosional, pertama-tama ke sebuah daerah kecil di Kansas, menapaki lagi perpindahan keluarga ibu ke Hawaii, kemudian ke Kenya, negeri tempat sisi Afrika dirinya berasal, berhadap-hadapan dengan kenyataan pahit kehidupan sang ayah, dan akhirnya menerima warisan terbelah dalam dirinya. Di sinilah dia bercerita tentang pertama kali merasakan arti rasisme dan artinya bagi seorang African American. Refleksi tentang ras dan hubungan antar-ras di AS banyak disinggung di sini.

Bagi penikmat sastra akan mengetahui bahwa Obama menggunakan teknik penulisan sastra dalam penulisan buku ini. Narasinya begitu kuat dan memukau hingga pembaca bisa terbawa pada kegetiran, kekecewaan, dan kecemasan yang ditimbulkan oleh politik rasial dan kemiskinan di AS. Klimaks dalam memoar ini adalah terjadi di pedesaan Kenya, yang dia kunjungi sebelum masuk Harvard Law School. Perasaannya berkecamuk tatkala dia duduk di antara kuburan ayah dan kakeknya. Dia menitikkan air mata.

Mengenang Indonesia
Dalam buku ini menyisihkan sub-bab yang berjudul Indonesia. Ketika Ibu Obama bercerai dengan ayah Obama, Ibunya kemudian menikah lagi dengan lelaki asal Indonesia, bernama Lolo Soetoro. Pernikahan tersebut menjadikan Obama mencicipi tanah Indonesia. Obama tinggal di Indonesia, tepatnya di Jakarta, kira-kira empat tahun, yaitu pada 1967 hingga 1971, ketika berumur 6-10 tahun. Di Indonesia, dia sempat sekolah di dua SD, pertama SD Katolik Franciskus Assisi, dari kelas 1 hingga kelas 3, kemudian meneruskan sekolah di SDN 1 Menteng sampai pertengahan kelas 5.

Di Jakarta, keluarga Obama awalnya tinggal di sekitar wilayah Warung Buncit, namun kemudian pindah ke kawasan Menteng. Di sini pengalaman masa kecilnya cukup banyak dikenang oleh Obama.

Membaca tuturan pengalamannya di Indonesia, Obama nampaknya terkenal ramah, mudah bergaul, berjiwa pemimpin, dan suka membawa teman-teman main ke rumahnya; kalau tidak dia main-main dengan teman di lingkungan sekitar. Di sini dia terkenang suka main bola ketika hujan, becek-becekan, main lumpur di sawah, mengejar-ngejar ayam, dan permainan yang biasa dilakukan anak-anak Indonesia, misalnya, kelereng. Di sekolahnya, dia sering jadi pengatur barisan sebelum anak-anak masuk ke kelas dan suka melindungi anak lemah dari tekanan anak nakal. Kisah-kisah seperti itu memenuhi halaman 56 hingga 75.

Selain itu Obama juga memotret realita yang ada di Indonesia pada masa itu dan mencoba merefleksikannya. Dia melihat pandangan kosong wajah-wajah petani pada tahun ketika hujan tak jua datang dan putus asa ketika tahun berikutnya hujan turun selama satu bulan, dan memenuhi sungai dan sawah. Korupsi, perubahan radikal polisi dan militer, seluruh industri dikelola oleh keluarga presiden dan pengikutnya, para pengemis, dan kualitas pelayanan Rumah Sakit, adalah sisi lain yang diingat Obama dalam memoarnya. Begitukah gambaran Indonesia di mata Obama?

Namun, di sisi lain, Indonesia juga mengajari dan memberikan wawasan dirinya untuk toleransi, kerja sama di masyarakat, dan rukun antar umat beragama.

Peran Orangtua
Peran orangtua begitu memengaruhi karakter Obama. Membaca memoarnya, tidak heran jika Obama saat ini menjadi orang nomor satu di AS. Obama bukan berasal dari keluarga berada, tapi orangtuanya adalah orang-orang yang terpelajar. Ibunya menempuh pendidikan sampai doktor. Ayahnya setelah lulus dari Universitas Hawaii juga sempat melanjutkan ke Universitas Harvard. Ayah tirinya, Lolo Soetoro, juga lulusan Universitas Hawaii.

Dalam buku ini, terlihat bahwa Obama berusaha mengenali sosok ayah kandungnya. Setelah mendapat kabar ayahnya telah meninggal karena kecelakaan, tak ada yang bisa diperbuatnya lagi. Dia hanya mengenalinya dari cerita-cerita ibu dan kakek-neneknya. Pesona ayahnya rupanya mengalir pula pada Obama yang di semasa kuliah pernah terlibat dalam kampanye mendukung gerakan pembebasan Afrika Selatan. Bahkan, dipercaya membuka sebuah rapat dengan sebuah orasi—pidato pertamanya—yang masih terekam dalam benaknya hingga saat ini.

Mencuri perhatian teman-teman kulit putih Obama di kelas adalah sebuah bukti kehebatan dari sang ayah. Dan mencuri perhatian dunia, kini adalah sebuah bukti kehebatan Obama—presiden pertama AS dari kalangan kulit berwana. Ibunya, kerap bercerita kepada Obama tentang sosok ayah kandungnya.Tak ayal, bagi Obama, ayah kandungnya lebih menyerupai mitos daripada manusia. Ayah kandung Obama mewariskan semangat integrasi, cinta-kasih, dan perdamaian.

Kondisi perceraian baik dengan ayah kandungnya maupun dengan ayah tirinya membuat Obama lebih dekat kepada ibunya dan mengagumi sebagai perempuan yang luar biasa. Obama dilatih berempati kepada orang lain yang tertindas. Dia juga dilatih berdisiplin. Saat di Indonesia, misalnya, ibunya membangunkan dan mengajari Obama kecil dini hari jam 4 pagi belajar bahasa Inggris. Ibunya mengajarkan nilai-nilai kehidupan, kemandirian, tidak banyak menuntut, dan kesopanan. Ibunya juga mengajarkan untuk mengabaikan gabungan antara kebodohan dan kesombongan yang acap kali mencirikan orang Amerika.

Terlepas dari ukuran font yang terlalu padat dan rapat sehingga membuat mata lelah, buku ini mampu menyihir saya dengan decak kagum akan kelihaian Obama menuturkan perjalanan hidupnya. Saya salut dengan kemampuan Obama dalam merekam balada hidupnya. Gaya bahasanya pun begitu hidup dan nyastra.

Kini, Obama menjadi presiden AS. Obama memiliki kesempatan besar untuk mewujudkan mimpi-mimpi ayahnya yang belum terwujud sebagaimana dipaparkan dalam buku ini. Dunia sedang menunggunya.***

Rabu, September 23, 2009

Fenomena Wikipedia

Judul: Kisah Sukses Wikipedia :Ensiklopedia Gratis Terbesar Dan Terpopuler di Dunia
Penulis: Andrew Lih
Penerjemah: Alex Tri Kantjono W.
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: I, 2009
Tebal: xxi + 287 hlm.
-----------------------

“Bayangkan sebuah dunia ketika setiap orang bisa mendapatkan semua pengetahuan yang telah dicapai oleh manusia secara cuma-cuma. Itulah yang sedang kami usahakan.”(Jimmy Wales, pendiri Wikipedia)

Buku ini adalah kisah proyek ensiklopedia bebas dan multibahasa yang didukung oleh Yayasan Wikimedia. Nama situs Web ini menggabungkan makna dua kata, yakni Wiki (teknologi untuk menciptakan situs Web kolaboratif) dan Ensiklopedi. Sepuluh juta artikel Wikipedia telah ditulis secara kolaboratif oleh relawan-relawan dari seluruh dunia, dan hampir semua artikelnya dapat disunting oleh siapa pun yang dapat mengakses situs Web Wikipedia.

Diluncurkan pada tahun 2001 oleh Jimmy Wales dan Larry Sanger, kini Wikipedia menjadi karya rujukan umum paling besar dan paling populer di Internet. Buku ini menapak tilas sukses fenomenal Wikipedia ke akar-akarnya, dan menampilkan orang-orang yang telah memberikan sumbangan mereka dalam meraih tujuan memberi setiap orang akses bebas ke kumpulan pengetahuan manusia.

Andrew Lih, penulis buku ini, telah menjadi administrator (pengguna yang memperoleh kepercayaan untuk memiliki akses ke fasilitas-fasilitas teknis) di Wikipedia selama lebih dari empat tahun, selain menjadi pembawa acara tetap dalam mingguan Podcast Wikipedia. Dalam buku ini, ia merinci proses kelahiran situs Wikipedia pada tahun 2001, evolusinya, serta pertumbuhannya yang luar biasa, sambil menerangkan reaksi-reaksi budayanya yang lebih besar. Wikipedia tidak hanya sebuah situs web; Wikipedia juga komunitas global yang terdiri atas kontributor-kontributor yang sengaja bergabung berkat hasrat bersama untuk menjadikan pengetahuan sesuatu yang bebas.

Dengan lebih dari 2.000.000 artikel tentang segala sesuatu dari Aa! (Sebuah kelompok penyanyi pop Jepang) hingga Zzyzx, California, yang ditulis oleh banyak sekali kontributor relawan, Wikipedia menjadi situs kedelapan paling populer di World Wide Web. Dibuat (dan dikoreksi) oleh siapa pun yang memiliki akses ke komputer, kumpulan pengetahuan dalam jumlah sangat mengesankan ini tumbuh dengan laju perkembangan yang memesona, lebih dari 30.000.000 kata dalam satu bulan.

Wikipedia adalah ensiklopedia bebas lisensi yang ditulis oleh sejumlah relawan dalam banyak bahasa. Sekarang Wikipedia besar sekali. Ensiklopedia ini berisi lebih dari satu miliar kata, yang menjadikannya beberapa kali lebih besar daripada gabungan Britannica dan Encarta.

Dalam waktu kurang dari satu dasawarsa Wikipedia telah melengkapi sekaligus mengubah dunia ensiklopedia, dengan melibas hampir setiap ensiklopedia yang sudah mapan dalam berbagai bahasa di dunia.

Wikipedia menjadi begitu populer sehingga tanpa disengaja orang mengambil informasi dari dalamnya setiap hari di internet, dan juga semakin sering dirujuk dalam buku-buku, dokumen-dokumen legal, bahkan budaya pop. Namun, hanya sebagian kecil masyarakat pengguna Wikipedia sadar bahwa Wikipedia sepenuhnya dibuat oleh sejumlah besar relawan yang tidak menerima bayaran, dan sering tidak ingin dikenal. Setiap artikel dalam Wikipedia mempunyai sebuah tombol bertuliskan “edit this page”, yang memungkinkan siapa pun, termasuk anonim yang semula hanya “numpang lewat”, menyunting isi setiap entri yang ada.

Karena telah menemukan cara untuk bekerja sama (co-labor), komunitas Wikipedia telah mampu menghasilkan kerja sama sehari-semalam yang lebih cepat daripada kantor pemberitaan mana pun yang bekerja dua puluh empat jam. Wikipedia tidak akan menjadi sepopuler hari ini tanpa laporan-laporan yang tepat waktu dan tersusun rapi secepat kejadian-kejadian yang sedang diberitakan. Dengan cara ini, Wikipedia melanggar peran tradisional sebuah ensiklopedia sebagai rangkuman sejarah yang sudah berlalu. Kebalikannya, Wikipedia bekerja secepat media pemberitaan. Secepat kejadian yang sedang berlangsung, seperti lebah pekerja yang sedang sibuk di sebuah sarang, Wikipedia mencatatkan, menyunting, dan mengorganisasikan berita-berita sampai detik terakhir ke dalam artikel-artikel di situs web ini. Fungsinya sebagai mesin pencatat sejarah yang terus berjalan betul-betul belum pernah memiliki tandingan dan secara unik mengisi “kesenjangan informasi” tradisional yang tercipta oleh selang waktu antara penerbitan surat kabar dan buku sejarah.

Dalam Wikipedia berbahasa Inggris, dengan kegiatan yang tak kenal henti, artikel-artikelnya telah menjadi potret sesaat situasi dunia, yang bertindak sebagai catatan sejarah yang terus dilengkapi.

Awalnya, Wikipedia didominasi oleh sekelompok pengguna yang ahli dalam teknologi komputer. Akan tetapi, setelah menjadi besar dan makin dipandang penting, kelompok pengguna serius dan setia yang tumbuh belakangaan mencakup orang-orang non-teknik—mahasiswa, akademisi, pakar hukum, dan seniman. Mereka yang menemukan kebahagiaan setelah menyumbangkan karya mereka ke dalam proyek ini secara online menemukan bahwa mereka juga ingin bertemu di dunia nyata. Wikipedia adalah sebuah produk maya di sebuah ruang maya, tetapi ia tetap mempunyai implikasi di “ruang pertemuan” fisik.***

Rabu, September 16, 2009

Filsafat Ketuhanan Whitehead

Resensi ini dimuat di Seputar Indonesia, Minggu, 04 Oktober 2009

Judul: Mencari Tuhan Sepanjang Zaman: Dari Agama-Kesukuan Hingga Agama Universal
Penulis: Alferd North Whitehead
Penerjemah: Alois Agus Nugroho
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, Juli 2009
Tebal: xxxiii+204 hlm. (termasuk indeks)
-----------------------

Buku Mencari Tuhan Sepanjang Zaman ialah renungan tentang perkembangan agama dan penghayatan ketuhanan berdasarkan Kosmologi Proses. Berbeda dengan konsep evolusi Darwin, kosmologi proses menganggap alam semesta berevolusi menurut “hukum” kebaikan menuju suatu finalitas (tujuan). Pola atau hukum itu menjadi “format” dalam evolusi semesta, namun manusia yang merdeka harus jatuh bangun menafsirkannya. Sedangkan, tujuan itu ialah Tuhan sebagai “muara” dari kehidupan setiap makhluk, sehingga kehidupan duniawi ini tak sekadar gelembung sabun dari kesia-siaan yang tandas.

Whitehead melihat perkembangan “agama-agama dunia” dari kacamata pengalaman manusia dalam kebudayaan. Meskipun bertolak dari penghayatannya sebagai seorang Kristianis, yang dibicarakannya sebagai filosof sebenarnya adalah semua agama dunia. Dalam penafsiran Whitehead, agama-agama dunia berkembang dari “masa kanak-kanak” berupa “agama suku”, ke arah kesadaran bahwa agama bersangkutan adalah “rahmat bagi seluruh alam”. Dalam perkembangannya itu, agama semakin melengkapi diri selain dengan unsur-unsur ritual yang menggugah emosi, juga dengan pernyataan-pernyataan iman, dan akhirnya dengan penalaran-penalaran teologi atau ilmu kalam.

Filsafat Agama dari Whitehead ini mengantar pembaca pada Filsafat Ketuhanan yang oleh Charles Hartshorne diberi nama “Pan-en-theisme”. Filsafat Ketuhanan itu mereguk inspirasi spiritual dari agama-agama dunia yang lahir di Timur Tengah dan yang lahir di India. Tak berlebihan, kalau dalam zaman yang dieja oleh Habermas sebagai “the Post-secular Age” ini, membaca perenungan Whitehead akan menyegarkan iman kita masing-masing, betapa pun berbeda kosakata yang kita pakai.

Whitehead pada awalnya tidaklah dikenal sebagai filosof, apalagi metafisikawan. Pemikiran tentang metafisika, termasuk di dalamnya tentang agama dan Tuhan, barulah mengkristal pada periode ketiga dalam perkembangan hidup dan perkembangan pemikiran Whitehead. Dalam periode pertama, yang berlangsung sampai dengan 1910, Whitehead lebih dikenal sebagai seorang ahli matematik.

Whitehead tidak hanya penulis produktif, melainkan juga pemikir orisinal dan sistematikawan ulung. Buku ini memperhalus dan mengembangkan tulisan sebelumnya, Science and the Modern World, yakni tentang “Abstraksi” dan “Tuhan”. Whitehead menata pemikirannya ke dalam suatu keseluruhan yang sistematis yang di dalamnya sains dan agama menduduki tempat yang penting.

Konsep “Tuhan” dalam sistem pemikiran Whitehead mula-mula berkait dengan sebab-sebab formal (formal cause) yang selama ini dikesampingkan oleh sains modern. Sains modern pada umumnya hanya memerhatikan sebab musabab material dan sebab musabab efisien, sambil menyisihkan sebab musabab formal, dan sebab musabab final.

Sebab-sebab formal itu berkait dengan keberadaan “eternal objects” atau “realm of forms”, yaitu bentuk-bentuk atau pola-pola yang tertuang dalam proses perwujudan suatu hal konkret. Sebagian kecil dari dunia kemungkinan yang tak terbatas itu “di-format-kan”, “di-informasi-kan”, dalam setiap proses perwujudan diri. Dunia kemungkinan ini sudah diisyaratkan sebagai dunia “idea-idea” dari Plato atau “universalia” Abad Pertengahan, meskipun bagi Whitehead, yang ada hanyalah yang aktual dan dunia bentuk hanyalah salah satu unsur formatif dari yang sungguh-sungguh ada.

Konsep “Tuhan” dalam pemikiran Whitehead merupakan hasil dari intuisi dan sistematis. Sistematisasi boleh dikatakan mencapai bentuknya yang lebih ketat. Tuhan dalam sistem metafisika Whitehead pertama-tama dikaitkan dengan “permanensi”. Aspek pertama berkait dengan permanensi dari forma-forma yang tertata yang diformatkan, diinduksikan, diinformasikan, atau dipersuasikan kepada dunia semesta. Aspek kedua berhubungan dengan permanensi dari apa saja yang “menjadi”, semua yang pernah datang dan semua yang menghilang.

Konsep Whitehead tentang Tuhan tersebut diramu dari pelbagai intuisi tentang Tuhan di dalam sejarah metafisika dan sejarah agama-agama yang dewasa, yang dalam istilah Whitehead disebut sebagai “agama rasional”. Agama yang berkembang ke arah kedewasaaan, menurutnya, tetaplah peduli pada segi perasaan dan peribadatan dari hidup beragama, tetapi juga tidak menelantarkan segi doktrin atau ajaran. Peribadatan dan Perasaan malah dapat dikatakan perlu diintegrasikan dengan ajaran. Agama-agama dewasa menyadari pentingnya kesaksian iman dan dogma, namun lebih lebih dari itu, agama-agama mencapai kedewasaan dalam perkembangannya apabila tidak bersifat dogmatis. Artinya, agama dewasa terus-menerus menyusun dogma-dogma menjadi suatu sistem yang koheren, logis, adekuat, dan aplikatif. Jadi, agama sendiri adalah sesuatu yang berada dalam proses, sesuatu yang “menjadi”.

Konsep ketuhanan Whitehead dan filsafat proses pada umumnya muncul dari pendekatan antara agama dan metafisika ini. Memang, dalam pemikiran Whitehead terjadi pendekatan antara dogma agama dan metafisika. Pendekatan agama dan metafisika itu pun dilakukan dalam rangka proyek yang lebih besar lagi, yakni pendekatan antar-semua cabang kebudayaan (agama, seni, ilmu pengetahuan, dan filsafat) yang masing-masing memberi kontribusi—dengan keterbatasan masing-masing pula—kepada hidup dan peradaban manusia.

Agama yang dewasa pada intinya adalah agama yang mampu mengharmoniskan, mampu menyeimbangkan segi rasionalitas dengan perasaan, segi batin dengan ekspresi lahiriah, keheningan soliter dengan kolektivitas komunal. Yang batiniah, yang rasional, dan yang soliter dalam pengalaman beragama ini menurut Whitehead tidak akan menjadikan orang beriman individualistis atau egoistis. Justru sebaliknya. Pengalaman batiniah, rasionalitas, dan keheningan soliter itu akan menumbuhkan apa yang oleh Whitehead disebut sebagai “world loyalty”, yakni loyalitas yang tidak hanya tertuju kepada keluarga, puak, suku, ras, atau “umat” sendiri, melainkan merengkuh seluruh manusia, bahkan seluruh alam semesta. Para penyair berbicara tentang “peak experience” dan “epiphany”. Yang pertama muncul ketika kita merasa tubuh kita menyatu dengan alam yang mahaluas. Yang kedua muncul ketika kita menyadari pikiran kita menyatu dengan alam yang mahaluas.

Jadi, konsep Whitehead tentang “agama” dalam perkembangannya yang dewasa, boleh dikatakan merupakan jalan tengah di antara pandangan yang menekankan individu di satu pihak dan pandangan yang menekankan komunitas di pihak lain. Para pemikir semisal William James, Friedrich Schleimacher, dan Rudolf Otto memberi penekanan kuat pada segi perasaan dari pengalaman religius. Bagi mereka, agama lebih merupakan penghayatan pribadi. Sebaliknya, Max Weber dan Emile Durkheim memberi garis bawah tebal pada ritus, institusi, dan kesaksian iman. Bagi mereka ini, agama lebih merupakan gejala sosial. Whitehead menyadari bahwa kedua hal tersebut sama-sama berperanan. Satu sama lain saling memengaruhi.

M Iqbal Dawami,
Staf pengajar STIS Magelang