Jumat, Oktober 01, 2010

Bersama Kesulitan Ada Kemudahan

Judul: Tafsir Kebahagiaan; Pesan Alquran Menyikapi Kesulitan Hidup
Penulis: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, April 2010
Tebal: 201 hlm.
=============
Fa inna ma’al ‘usri yusro. Inna ma’al ‘usri yusro. Fa idza faraghta fanshab. Wa ila rabbika farghab.(Sungguh, bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan. Jika telah selesai dengan satu pekerjaan, bersiaplah pada pekerjaan selanjutnya. Dan, kepada Tuhanmu semata hendaknya kau berharap) (Q.S. Al-Insyirah: 5 - 8).

Dalam ayat di atas, kenapa Allah mendahulukan kesulitan atau penderitaan (al-‘Usr) ketimbang kemudahan atau kebahagiaan (al-Yusr)? Apa yang bisa kita pelajari dari penempatan seperti itu?

Lewat buku ini, Jalaluddin Rakhmat—biasa dipanggil Kang Jalal, menjelaskan secara panjang lebar dan komprehensif rahasia redaksi ayat di atas. Ia mengatakan bahwa sudah menjadi karakter kebanyakan manusia, kita cenderung lebih memerhatikan penderitaan ketimbang kebahagiaan. Sebuah gigi yang sakit akan lebih diperhatikan daripada sekian gigi yang sehat. Satu anggota badan yang sakit akan lebih menyita perhatian daripada anggota-anggota badan lain yang tak sakit. Begitu pula dengan penderitaan dan kesulitan yang kita alami. Terkadang penderitaan dan kesulitan membuat orang berputus asa, merasa hidupnya sempit dan buntu.

Oleh karena itu Tuhan mendahulukan kata ‘kesulitan’ ketimbang ‘kemudahan’ dengan angapan bahwa kesulitan tak berdiri sendiri. Ia selalu berdampingan dengan kemudahan. Bahkan, Tuhan perlu mengatakan itu dengan kalimat-kalimat penegasan.

Dalam redaksi ayatnya, kita lihat ada dua tanda penegasan: pertama kata ‘inna’ yang diartikan dengan ‘sungguh’ atau ‘benar-benar’. Yang kedua adalah pengulangan kalimat ‘kesulitan akan ada kemudahan’. Penegasan itu meyakinkan agar seseorang selalu optimis dan tak sepatutnya larut dalam duka musibah dan bencana.

Ayat ini bersinambung dengan surat selanjutnya, Al-Dhuha. Di dalam surat ini ada simbol yang melambangkan perjalanan hidup manusia sejak mulai dari ayat pertama, ‘Wa al-Dhuha’—Demi waktu dhuha. Waktu ‘dhuha’ yaitu pada saat matahari naik seukuran galah dengan sinarnya yang benderang, memancarkan kesegaran. Ketika Tuhan bersumpah demi matahari yang baru tampak sepenggalah, ada makna tersirat bahwa agar kita menengok saat sebelumnya, yaitu malam yang kelam. Dengan demikian, kita akan lebih dalam memaknai arti matahari-pagi itu.

Tafsir Kang Jalal atas ayat di atas adalah itu semua menggambarkan bahwa kesulitan dan penderitaan akan berakhir dengan kemudahan dan kebahagiaan. Kesulitan dan penderitaan hanyalah pengantar menuju kemudahan dan kebahagiaan. Dan kemudahan dan kebahagiaan akan betul-betul terasa nikmatnya jika diawali dengan kesulitan dan penderitaan.

Bersabar terhadap musibah, meski pun berat, itu hal biasa dan tak istimewa, sebagaimana bersyukur terhadap karunia. Yang istimewa adalah jika bersyukur terhadap musibah. Bagaimana caranya bersyukur saat ditimpa musibah? Kata Kang Jalal, yaitu dengan melihat sisi-sisi positif dan kebaikan dalam musibah itu, seperti dalam doa Imam Ali Zainal Abidin saat ia sakit, “Ya Allah, aku tidak tahu, apakah aku harus bersyukur atau bersabar dalam kondisi sakitku ini. Sebab, berkat sakit ini, aku terhindar dari berbagai kenistaan, aku lebih punya banyak waktu untuk berzikir dan berkumpul bersama keluarga.”

Maka, benarlah jika dikatakan, musibah itu keniscayaan, sedangkan penderitaan adalah sikap dan pilihan. Tak semua orang akan terpuruk dan menderita oleh musibah yang mendera, dan mungkin kehidupan selanjutnya justru lebih baik, karena kejiwaan dan pola pikirnya mengarahkan pada pilihan itu. Dan, tentu saja tak sedikit barangkali yang terpuruk dan menderita oleh musibah. Sebabnya sama: kejiwaan dan pola pikirnya memilih demikian.

Pada akhirnya, lanjut Kang Jalal, musibah mengubah cara pandang seseorang dalam memahami kehidupan atau bahkan lebih mencerahkannya dalam menilai kehidupan. Semua itu bermula dari pola pikir. Maka, berpikirlah positif, yaitu dengan bersyukur dan bertawakal.

Sungguh, buku ini memberikan perspektif baru soal penderitaan dan kesedihan. Di zaman yang bergelimang material tapi kering spiritual ini, buku ini patut anda baca, agar tahu hakikat penderitaan dan kesedihan yang sering kita alami dari dulu hingga kini. Saya jamin anda akan tercerahkan, sebagaimana halnya saya.[]

M. Iqbal Dawami, penulis buku Sang Pengubah Mitos (2010)