Sabtu, Juni 20, 2009

Legenda Manusia Abadi

Judul Buku : The Alchemyst: The Secrets of The Immortal Nicholas Flamel
Penulis : Michael Scott
Penerbit : Matahati, Jakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : 503 hlm.
------------------

Legenda itu masih ada. Konon sang Alkemis, manusia abadi yang usianya lebih dari 600 tahun, dikabarkan meninggal tahun 1418, tetapi ketika dibongkar ternyata makamnya kosong. Sejak itu sang Alkemis yang tak lain adalah Nicholas Flamel menjadi desas desus dan rumor bahwa dirinya masih ada dan memperoleh keabadian sampai sekarang. Buku Michael Scott berjudul The Alchemyst: The Secrets of The Immortal Nicholas Flamel ini menjadi dokumen sejarah yang akan menguak rahasia di balik keabadian sang Alkemis. Namun tentu saja buku ini bukanlah buku sejarah yang berdebu. Buku ini diramu dengan fantasi kontemporer, suatu fantasi yang diseting dengan sangat kuat pada masa sekarang. Tokohnya, sang Alkemis benar-benar nyata dan disejajarkan dengan dua remaja kembar modern sebagai pahlawan penyelamat, tokoh yang ada dalam bayangan sang penulis.

Dahulu, Flamel hanyalah manusia biasa. Namun kemudian ia menemukan sebuah buku Abraham sang Magus, yang disebut Codex. Sejak saat itu berbagai hal berubah. Flamel dan istrinya, Perenelle, menjadi Alkemis—perpaduan ahli ilmu alam dan sihir—yang menemukan rahasia batu bertuah yang tersembunyi di dalam buku sihir kuno itu. Ia menemukan rahasia mengubah logam menjadi emas, mengubah batu kerikil menjadi batu permata yang berharga, bahkan sampah pun jika disentuh oleh sang Alkemis akan menjadi barang berharga. Tetapi yang jauh lebih penting, Flamel dan istrinya menemukan resep ramuan untuk hidup abadi.

Sampai kemudian, terjadi kegemparan di toko buku milik Nicholas Flamel. Buku Codex telah dirampas dari tangan Flamel oleh Dr. John Dee, murid Flamel sendiri yang juga seorang alkemis. Sedangkan Perenelle diculik John Dee dan pembantunya, manusia lumpur (Golem). Peristiwa ini yang akhirnya menjebak Sophie dan Josh—dua saudara kembar—masuk ke dalam dunia mustahil antara dua orang alkemis yang saling berseteru. Dan secara tidak sengaja Josh berhasil merobek dan menyelamatkan lembaran terakhir Codex. Perburuan Dee yang sudah direncanakan sekian lama menjadi berantakan. Codex yang di tangannya tidak lengkap. Dee melewatkan bagian Final Summoning—pemanggilan terakhir—lembaran terpenting dari buku tersebut. Menyadari hal ini Dee semakin geram dan berbalik mengejar Flamel dan si kembar.

Betapa mengejutkan, kehadiran Josh dan Sophie di tengah perseteruan itu bukanlah kebetulan, karena mereka saudara kembar dari ramalan kuno buku Codex yang memiliki aura murni emas dan perak. Dalam sekejab Sophie dan Josh mendadak menjadi jauh lebih penting, bukan hanya bagi Flamel, melainkan juga bagi John Dee dan tetua gelap, sekutu dan majikan Dee. Dalam Codex, si kembar adalah dua yang menjadi satu, namun kemudian yang satu akan menyelamatkan dunia, sementara satunya lagi memiliki kekuatan untuk menghancurkan dunia.

Michael Scott secara khas menjalin fakta sejarah dengan mitos dan legenda untuk menciptakan novel-novel petualangan fantasi yang menusuk. Seluruh isi novel ini berkisah tentang perburuan Dee dan pelarian Flamel dengan si kembar. Petualangan yang lebih menghebohkan lagi, ketika Flamel dan si kembar harus mencari tempat persembunyian dari kejaran Dee. Bersama Scathach—salah satu anggota ras tetua jenis vampir yang dikutuk menjadi gadis selamanya—Flamel dan si kembar menuju Alam Bayangan tempat persemayaman Hekate, sang dewi berwajah tiga. Namun di sisi lain, tanpa Codex kekuatan mantra keabadian Flamel telah memudar. Flamel dan istrinya akan bertambah tua, dan sangat tua satu tahun untuk setiap hari yang dilaluinya.

Flamel membujuk Hekate untuk membangkitkan aura murni Josh dan Sophie. Aura si kembar yang mengandung potensi sihir luar biasa inilah yang dapat mencegah Dee memanggil Tetua Gelap untuk menghancurkan manusia. Dengan Codex, Dee dan tetua gelap majikannya akan membentuk kembali dunia ini menjadi seperti pada masa lalu yang tidak terbayangkan lagi, di mana satu-satunya tempat bagi manusia adalah menjadi budak atau makanan. Dan dunia akan dapat bangkit kembali, saat dua yang menjadi satu dan satu yang mencakup semuanya datang, saat aura emas dan perak milik si kembar bersatu.

Kisah dalam novel ini mengalir cepat, dengan bumbu sihir dan kekuatan gaib. Sejarah bangsa-bangsa besar di dunia lama yang dihadirkan menjadi daya tarik tersendiri. Di dalamnya juga terdapat tokoh-tokoh mitologi seperti Vampir, Torc Alta, Gargoyle, Golem, dan Naga-Nathair. Lalu, ada juga cerita tentang Atlantis dan pedang Excalibur. Selain itu, novel ini juga mengaitkan beberapa peristiwa penting dalam sejarah seperti kebakaran besar kota london (Great Fire) tahun 1666 dan penobatan Ratu Elizabeth I tanggal 15 januari 1559. Bahkan buku ini mengaitkan antara Flamel-Dee-Shakespare serta asal usul kode agen rahasia paling populer, 007.

Sebenarnya formula campuran fakta dan fiksi sudah banyak dilakukan. Contohnya novel-novel Dan Brown. Tapi tak cuma formula fakta-fiksi, novel ini juga mencampurkannya dengan kisah fantasi layaknya saga Harry Potter. Dan tahukah bahwa tokoh Nicholas Flamel pun ada dalam kisah Harry Potter? Michael Scott dengan lincah meramu fiksi dan fakta sejarah menjadi sebuah buku yang menarik.

The Alchemyst merupakan novel pertama dari seri The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel, di mana di dalamnya menceritakan tokoh-tokoh sejarah yang telah mencapai keabadian dan terlibat dalam perjuangan pada masa sekarang untuk menentukan nasib dunia. Hal yang lebih menarik adalah legenda di balik buku ini yaitu mengenai Nicholas Flamel, seorang Alkemis yang memang pernah hidup di Perancis pada abad ke 14.

Michael Scott adalah seorang penulis novel dan cerpen yang produktif untuk dewasa dan anak-anak, dalam berbagai genre. Tiga buku pertamanya merupakan puncak dari perjalanannya selama beberapa tahun melewati seluruh bagian Irlandia, bekerja sebagai dealer buku antik dan langka yang membawanya berkenalan dengan sebagian besar mitos dan legenda orang Irlandia. Hal ini memunculkan pesona abadi Scott dengan banyak mitologi-mitologi dunia.***

M.Iqbal Dawami, Penikmat Sastra dan blogger buku di http://resensor.blogspot.com

Sabtu, Juni 13, 2009

Belajar Kearifan Pada Enzo

Judul : Enzo: The Art of Racing in the Rain
Pengarang: Garth Stein
Penerjemah: Ary Nilandari
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan : I, April 2009
Tebal: 408 hlm.
------------------

Kearifan bisa kita dapatkan dari mana saja. Tak terkecuali dari pelbagai binatang. Kita dapat belajar dari semut yang selalu bergotong royong, lebah yang setia pada ratunya, bunglon yang pandai beradaptasi, dan yang lainnya. Begitu pula dengan anjing.

Buku Enzo: The Art of Racing in the Rain adalah buku yang dapat mengajarkan kearifan hidup dari seekor anjing yang bernama Enzo. Anjing yang dapat berpikir dan mempunyai perasaan layaknya manusia. Dia mampu berpikir filosofis dan terobsesi dengan TV dan balapan mobil (F1). Di sini, Enzo menjadi sang narator yang tidak saja mengungkap kehidupannya sebagai anjing, tapi juga kehidupan dan konflik keluarga yang memeliharanya.

Bab ini dimulai dengan Enzo yang sedang sakit, dan mengetahui dirinya akan segera mati. Pada suatu malam di pembaringannya, dia menengok kembali perjalanan hidupnya mulai dari masa kecil hingga masa tuanya. Ketika Enzo masih kecil, dia diadopsi oleh Denny Swift, seorang pembalap mobil profesional. Saat bertemu, mereka merasa telah ditakdirkan untuk bersama. Dari situlah persahabatan antara keduanya mulai terjalin. Mereka saling menyayangi dan melindungi.

Enzo banyak belajar dari Denny tentang apa saja, termasuk mencintai balap mobil. Apa yang disukai Denny, disukai pula oleh Enzo. Selain Speed Channel yang menayangkan balap, Enzo juga menonton pelbagai saluran TV seperti Discovery Channel, National Geographic, dan saluran yang memutar film-film yang dimainkan aktor-aktor favoritnya, yaitu Steve McQueen, Al Pacino, Paul Newman, George Clooney, Dustin Hoffman, dan Peter Falk.

Seiring waktu berjalan, Enzo sadar bahwa dirinya berbeda dengan anjing-anjing lain: seekor filsuf yang mirip dengan jiwa manusia, mampu mendidik dirinya sendiri dengan banyak menonton televisi, dan dengan mendengarkan kata-kata pemiliknya, Denny Swift.

Melalui Denny, Enzo mendapatkan wawasan yang luas terhadap kondisi manusia, dan dia melihat kehidupan layaknya suatu balapan, yang tidak mudah untuk melaju dengan cepat dan diperlukan teknik-teknik pada lintasan balap agar seseorang dapat sukses melalui semua cobaan hidup. The Art of Racing in the Rain ini segera menarik pembaca ke dalam dunia Enzo.

Saat Eve menikah dengan Denny, Enzo begitu cemburu. Karena perhatian Denny menjadi pecah, tidak seperti dulu. Namun, lambat laun Enzo dapat menerima kehadiran Eve yang ternyata begitu baik. Bahkan lebih dari itu, dia mencintainya juga layaknya kepada Denny. Saat mereka mempunyai anak yang diberi nama Zoe, Enzo turut senang dan begitu melindungi anak mereka.

Insting Enzo hancur ketika dia dapat merasakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan Eve. Enzo dapat mencium kanker otak jauh sebelum ada orang yang tahu dari keluarga tersebut. Akan tetapi dia tidak dapat memberikan peringatan kepada Denny.

Setelah kanker otak Eve muncul, dan perawatan medis dimulai, Eve dibawa pulang ke rumah orangtuanya untuk melewati bulan terakhirnya, dan atas dorongan orangtuanya, Zoe tetap beserta ibunya dan kakek-neneknya, meninggalkan Denny dan Enzo sendiri. Setelah Eve meninggal, mulailah konflik antara Denny dan orangtua Eve perihal hak asuh Zoe. Orangtua Eve bersikeras merawat Zoe secara penuh. Danny dan Enzo tanpa ada hak sedikit pun berkomunikasi atau berkunjung terhadap anak perempuannya. Sisi lain, Denny mengalami kesulitan finansial untuk membayar pengacara, menafkahi putrinya, dan merawat Enzo yang sakit. Pekerjaannya sebagai pembalap, karyawan, dan guru mengemudi tidak cukup untuk membiayai semuanya. Melalui semua cobaannya, Denny selalu membawa Enzo di sisinya, yang memberikan dukungan dan cinta tak bersyarat.

Sebagai pembaca, tentu mudah untuk bersimpati dengan Denny yang dilanda cobaan. Akan tetapi Enzo dengan bijak menegaskan bahwa ketika pada suatu waktu seseorang tengah kehilangan kesempatan, maka semua hal itu terjadi karena satu alasan. Dan apa yang ditakdirkan untuk terjadi maka akan terjadi. Kisah ini menyampaikan dosis spiritual yang tepat, diseimbangkan dengan indah antara banyaknya balapan dengan humor anjing, di antaranya.

Di seluruh buku ini tersebar bab-bab tertentu yang mengungkapkan analisa Enzo tentang taktik atau teknik balapan. Sering kali penjelasan-penjelasan ini sejajar secara emosional dengan perjuangan yang dilalui Denny terhadap kanker yang diderita istrinya, dan perjuangan hak asuh anaknya dengan mertuanya. Denny dan Enzo selalu melihat rekaman balapan Denny, belajar dari kesalahan-kesalahan yang selalu dipaparkan Denny tentang ketahanan mental seorang pembalap. Dan itu dapat dipraktikan pada saat mendapat masalah hidup.

Karena kisah tersebut diceritakan melalui sudut pandang Enzo, kita hanya melihat pendangan sekilas tentang komunikasi manusia. Kita hanya dapat melihat perasaan Enzo yang tajam. Boleh jadi insting alami seekor anjing jauh lebih maju dari manusia. Mereka lebih terbiasa dengan emosi yang tak terucapkan dan lebih peka dengan lingkungan yang tidak seimbang dan tidak sehat.

Buku ini merupakan buku yang tidak bisa kita abaikan lantaran dongeng sang anjing. Justru melalui pandangan Enzo, kita dapat melihat dan belajar lebih banyak tentang sifat manusia, insting dan moralitasnya. Kisah Enzo begitu lembut, karakter-karakternya juga menimbulkan rasa simpati. Enzo adalah narator yang mengagumkan, yang membuat rujukan dan hubungan dengan budaya pop, membuat penilaian-penilaian psikologis dan filosofis yang tajam terhadap manusia di sekitarnya.

Sedang sang penulis buku ini, Garth Stein, patut pula diacungi jempol. Dia mampu menceritakan kisah ini dengan cara yang menyentuh hati. Gaya narasinya sederhana dan elegan, mengalir seindah lap balapan mobil yang dilalui dengan baik.

Pembaca akan terkesan dengan cara dia menggabungkan simbolisme dalam novel ini. Pembaca akan memberikan apresiasinya terhadap bagaimana dia mampu menghubungkan seni mengemudikan mobil balap (F1) dengan menjalani kehidupan dengan segala kesenangan dan kesedihannya. “Kehidupan, seperti balapan, tidaklah mudah untuk melaju cepat. Dengan menggunakan teknik-teknik yang diperlukan pada lintasan balap tersebut barulah seseorang dapat berhasil mengemudikan semua cobaan hidup” ujar Enzo.

Kisah ini memiliki akhir yang indah dan memuaskan. Namun, bukan di situ letak pentingnya. Kisah Enzo lebih tepatnya adalah mengenai proses – balapan – daripada garis finish. Bahwa melakukan apa yang kita sukai dalam kehidupan ini sesungguhnya adalah sebuah kemenangan.

Pada malam kematiannya, Enzo menggunakan sisa hidupnya, mengingat semua yang dia dan Denny telah lalui: pengorbanan yang telah dilakukan Denny hingga mendapatkan keberhasilan secara profesional; kehilangan istri Denny, Eve, yang tidak diharapkan, pertempuran selama tiga tahun terhadap anak perempuan Danny, Zoe, yang kakek dan nenek dari pihak ibu berusaha mendapatkan hak asuh.

Enzo hadir secara heroik untuk memelihara keluarga Denny Swift, mendekap mimpi-mimpinya dalam hati bahwa Denny akan menjadi seorang juara balap mobil dengan Zoe di sisinya. Setelah belajar apa yang harus dilalui untuk menjadi orang yang berbelas kasih dan sukses, anjing yang bijak tersebut hampir tidak dapat menunggu kehidupan berikutnya, ketika dia yakin akan kembali hidup sebagai seorang manusia.

Buku ini sebuah kisah tentang keluarga, cinta, kesetiaan dan harapan yang sangat menggugah, lucu tetapi membuka hati. Art of Racing in the Rain digubah dengan indah dan menawan, melihat keajaiban dan absurditas kehidupan manusia. Kisah Enzo ini menyiratkan suatu pertanyaan reflektif, ‘mengapa saat ini banyak manusia yang menjadi binatang padahal binatang sendiri ingin menjadi manusia?’***

M. Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang

Rabu, Juni 03, 2009

Memoar Wanita Luar Biasa

Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, 17 Juni 2009
Judul: Footnotes
Penulis: Lena Maria
Penerbit: Dastan Books
Cetakan: I, Mei 2009
Tebal: 247 hlm.
----------------

Manusia ibarat teh celup, berfungsi optimal setelah “disiram” dengan ujian. Itulah kesan yang saya dapatkan setelah membaca memoar Lena Maria ini; seorang wanita yang lahir tanpa lengan dan hanya satu kaki saja yang normal. Namun di balik kecacatannya, terselip segudang talenta dan prestasi yang luar biasa. Dia perenang, penyanyi, pelukis, dan penulis. Masing-masing dari talentanya itu pernah menyabet beberapa prestasi dan penghargaan dari beberapa negara. Di buku inilah semua kisahnya dia ceritakan sendiri.

Lena Maria lahir tahun 1968 di Stockholm, Swedia. Saat kelahirannya, sang dokter memberi tahu orangtua Lena atas kondisinya. Dokter sudah bersiap menawarkan obat penenang jika memang orangtuanya merasa membutuhkannya akibat tak sanggup mendengar kenyataan itu. Dokter sendiri tidak bisa menjamin apakah Lena sanggup bertahan, mereka terlebih dulu harus memeriksa apakah organ dalamnya juga mengalami kerusakan. Dokter juga menginformasikan bahwa jika Lena selamat, para orangtua diizinkan untuk menitipkan anaknya dengan kecacatan parah seperti Lena di sebuah institusi khusus.

“Anda harus mempertimbangkan kemungkinan harus mengurusnya selama 20 tahun lebih, jika anda memutuskan untuk merawatnya sendiri,” jelas sang dokter kepada orangtua Lena. Namun, ayahnya menjawab dengan mantap, “Memiliki tangan ataupun tidak, dia pasti membutuhkan tempat tinggal” (hlm. 23).

Kedua orangtua Lena memantapkan keputusannya untuk merawat dan membawanya pulang. Mereka sadar bahwa tindakan itu bukan tanpa risiko. Mereka sudah banyak berbicara dengan petugas dari institusi perawatan khusus, dan keduanya pun tahu dengan pasti bahwa merawat anak dengan tingkat kecacatan yang parah seperti anaknya adalah sebuah perjuangan yang berat dan melelahkan.

Keputusan mereka benar-benar dilakukannya. Walhasil, Lena menikmati masa kecilnya dengan luar biasa menyenangkan. Orangtuanya benar-benar memberi kasih sayang dan perhatian berlimpah.

Bukan hal yang mudah mengasuh seorang anak cacat. Boleh jadi ada juga orangtua yang tidak sanggup melakukannya. Tapi orangtua Lena sejak awal bertekad untuk sebisa mungkin memperlakukannya seperti anak normal lainnya. Mereka menganggapnya sebagai Lena, putri mereka yang kebetulan memiliki kekurangan—bukan sekadar anak cacat. Terlihat sekali bahwa mereka mencintainya apa adanya, bukan berdasarkan apa yang bisa atau tidak bisa dia lakukan. Semua itu membuatnya merasa lebih percaya diri.

Sejak awal, Lena sudah didorong untuk melakukan apa pun yang dia sukai. Hasilnya, dia tidak pernah merasa marah atau menyesali keadaan yang tidak normal. Dia juga tidak menganggap kecacatannya sebagai aib yang memalukan. Dia selalu berpikir bahwa dirinya sama seperti manusia yang lain. Hanya saja dia melakukan segala sesuatu dengan cara yang sedikit berbeda. Lena tidak pernah merasa kecil hati. Dia bahkan merasa Tuhan sangat mengasihinya sehingga dia masih diberikan kesempatan untuk hidup, menikmati hidup, dan berkarya. Sungguh, sebuah cara berpikir yang matang.

Semenjak balita, dia sudah mengikuti kelas renang dan terus berlatih hingga tak terhitung jumlahnya. Hasilnya, dia mampu menjadi perenang profesional dan sering memenangkan berbagai medali dalam berbagai kejuaraan renang. Karier puncaknya dalam renang adalah ketika dia mengikuti Paralympic Games (Olimpiade untuk para penyandang cacat) 1988 di Seoul, Korea Selatan, dengan meraih medali emas.

Selain renang, Lena juga mengembangkan kemampuannya di bidang musik. Dan berkat latihannya yang keras pula, dia mampu menembus perguruan tinggi musik di Stockholm di mana tidak semua orang bisa meraihnya. Keseriusannya itu berhasil membuahkan beberapa album sebagai penyanyi profesional yang cukup laris, baik di Eropa, Amerika, maupun Asia. Kariernya terus memuncak. Dia sering diundang untuk mengadakan konser baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Dalam kesehariannya, Lena selalu berusaha melakukan sesuatu untuk tidak terlalu bergantung pada bantuan orang lain. Dus, hampir semua aktivitas dia pelajari, dan nampaknya cukup berhasil. Lena bisa menjahit, menulis, melukis, mengemudi mobil, bermain piano, dan yang lainnya. Sungguh, kehidupan kesehariannya layaknya manusia normal.

Kisah prestasi hidupnya yang kontra dengan kondisi fisiknya itu menarik beberapa media untuk membuat film dokumenternya. Dan setelah film tersebut disebarluaskan, tiba-tiba saja banyak surat berdatangan kepada Lena dari pelbagai negara. Dia pun sering menerima undangan dari pelbagai negara. Mereka takjub melihat bagaimana Lena bisa memandang hidup dengan cara positif dan bagaimana Lena bisa sukses di pelbagai bidang, padahal ada banyak kekurangan yang dimilikinya yang akan menghambat kegiatannya. Fenomena Lena Maria adalah gambaran, suri teladan dan pelajaran hidup dari manusia penyandang cacat yang memutuskan untuk menjalani kehidupannya secara mandiri. Dia berhasil menyingkirkan kesan rendah diri, rasa kasihan, dan kemalangan.

Dalam bab akhirnya, ada refleksi yang mendalam mengapa dia berhasil mengatasi ketidaksempurnaan fisiknya itu yang sejatinya dapat berpengaruh pada kondisi psikis dan sosialnya, bahkan lebih dari itu Lena dapat terus berpikiran positif dan meraih kesuksesan. Pertama, manusia terlahir berbeda satu sama lain. Lena mengaku dirinya merupakan tipe orang yang jika menghadapi suatu hambatan, lebih memilih untuk mencari jalan keluar daripada hanya terpaku pada hambatan tersebut. Dia tidak suka memperumit keadaan yang sudah rumit.

Kedua, orangtua. Sikap orangtua yang tidak menganggap kekurangan Lena sebagai aib dan selalu memperlakukannya sama seperti anak normal lain, banyak membantu Lena untuk bisa menjadi dirinya. Mereka membuat Lena memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Mereka mendorongnya untuk meraih kesuksesan, tapi tetap mau menerima kegagalannya.

Ketiga, Tuhan. Keyakinan terhadap Tuhan sudah menjadi bagian dalam diri Lena. Lena belajar bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang berharga dan tidak peduli siapa dirinya atau bagaimana rupanya. Sebagian orang mungkin menolak keyakinan mereka jika menghadapi permasalahan seperti itu. Akan tetapi Lena percaya bahwa Tuhan tidak pernah berbuat salah, dan hidupnya merupakan bagian dari rencana khusus Tuhan kepadanya.

Sejak edisi pertama diterbitkan di Swedia, buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa, di antaranya bahasa Norwegia, Denmark, Jerman, Prancis, Thailand, Jepang, Estonia, Inggris, Indonesia, dan lain-lain.***

M Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang