Senin, September 03, 2012

Membangun Spirit Wirausaha

Judul: B.O.M.: Business Owner Mentality
Penulis: Hendrik Lim, MBA
Penerbit: Elex Media
Cetakan: I, Juli 2012
Tebal: xii + 506 halaman

Sebuah survey di London menunjukkan bahwa sekitar 80% pekerja “tidak merasakan apa-apa” saat pergi ke tempat kerja. Ini sama dengan mengatakan bahwa mereka tidak begitu senang harus pergi ke tempat kerja. Pergi bekerja hanya sebuah kewajiban. Bahkan bisa menjadi sebuah beban yang harus dihadapi dan tidak ada pilihan lain.

Sedang dalam sebuah riset lainnya dikatakan bahwa perusahaan yang bisa memiliki perilaku organisasi Business Owner Mentality selalu berkinerja hebat. Mereka punya iklim kerja yang menggairahkan dan profitable. Mereka senang dengan pekerjaannya. Mereka menjalankan perusahaan dengan akuntabilitas dan ownership seperti menjalankan perusahaan milik sendiri.

 Dari dua penelitian di atas sangat jelas jika sebuah perusahaan menginginkan kemajuan, hal yang harus dibenahi dulu adalah sumber daya manusianya, terutama mentalitas dan cara berpikirnya. Hal ini diamini oleh seorang mantan CEO di kelompok anak perusahaan Djarum Group dan GM Asia Pacific, Hendrik Lim. Dia mengatakan bahwa pola pikir, mentalitas dan mindset amat berpengaruh terhadap kelangsungan dan kebesaran sebuah perusahaan. Dia telah bekerja sama dengan banyak perusahaan. Dia mendapat kehormatan membantu mereka mendesain organizational behavior dan corporate culture agar iklim kerja menjadi vibrant. 

Tentu, Hendrik memahami betul mengapa para pekerja “tidak merasakan apa-apa” saat bekerja. Hendrik mengatakan, “Ketika ritme sebuah kerja itu menunjukkan pola yang sama, dan hal-hal yang bersifat risk taking seperti mencoba hal-hal baru yang inovatif tidak dicoba dalam diri kita, maka orang akan kelelahan mental. Ini wajar saja kalau orang mengerjakan sesuatu yang berulang-ulang tanpa tantangan. Ia akan burn out. Salah satu indikasi kelelahan mental: hari Sabtu atau Minggu, ia akan tidur seharian dan tidak merencanakan kegiatan apa pun bersama keluarga. Dan memulai lagi hal yang sama pada hari Senin,” (hlm.81). 

Lantas, bagaimana pemecahannya? Tak lain, yaitu membangun mental entrepreneur di semua lini, termasuk pekerja, ujar Hendrik. Entrepreneur adalaha sikap mental. Ini bisa dimiliki oleh semua orang dan profesi, bukan hanya pengusaha. Seseorang yang memiliki karakter entrepreneur akan selalu sukses dimanapun mereka berada, apa pun profesinya. 

Hal itulah yang hendak dibahas Hendrik dalam buku ini. Dia mengatakan bahwa siapa pun bisa menjadi entrepreneur, dan bisa mengadopsi mentalitas tersebut di mana pun ia bekerja. Oleh karena itu, sebuah perusahaan bisa mengadopsi entrepreneurial spirit ini, dan mengombinasikannya dengan praktik management leadership. 

Engagement
Saat ini sudah bukan zamannya lagi seorang direktur/CEO memimpin dengan rigid dan status quo, serta otoriter. Zaman yang semakin kompetitif ini dibutuhkan inovasi dan kreativitas agar sebuah perusahaan tetap bersaing. Maka, seorang pemimpin harus melibatkan seluruh komponen perusahaan, salah satunya adalah meng-engage pekerja dan executive dalam mencapai target dan cita-cita organisasi. Engagement adalah mengajak seluruh komponen untuk ikut terlibat secara aktif dalam sebuah pencapaian. 

Engagement hadir dalam level pikiran, perasaan, kehendak, dan semangat dalam diri pekerja. Direktur maupun karyawan harus menyadari bahwa mereka tidak bisa mengembangkan konsep diri sebagai "ambtenar" yang menunggu instruksi dari "pusat" atau "atas". Setiap individu, apa pun dan di mana pun posisinya, harus sudah menjadi pemain dalam bisnis yang dijalankan perusahaan. Ini berarti mereka sendiri yang mesti punya visi mengenai seperti mereka nantinya di masa datang. 

Hendrik mengibaratkan proses engagement itu mirip mengarahkan uap air panas secara kolektif dan menyalurkannya pada outlet tertentu, tidak membiarkannya buyar bergerak bebas, melainkan ternavigasi ke sebuah sasaran yang jelas. Sebagai orang yang sudah banyak “makan garam”, Hendrik menyadari betul bahwa tidak banyak hal besar yang bisa dihasilkan kalau sebuah organisasi hanya bisa ‘membeli’ badan dan tangan pekerja, tapi tanpa mendapatkan pikiran dan jiwanya. Oleh karena itu, membekali pekerja/profesi dengan pengetahuan dan keterampilan sudut pandang seperti yang dimiliki pemilik perusahaan akan melengkapi kemampuan executive management menjadi semakin lengkap.  

Intangible  
Mengembangkan mentalitas entrepreneur berarti mengajak setiap individu untuk melihat dirinya sebagai profesional sukses, di mana kesuksesan tersebut sambung-menyambung dan terus hidup untuk menyambut tantangan baru. Eileen Rachman dan Sylvina Savitri dari Experd Consultant, memberi contoh, pengusaha kripik home-industry di Bandung, yang bisa meraup keuntungan puluhan juta rupiah per hari. Mereka mengembangkan pemasaran dari rekan-rekan dan karyawan yang mereka sebut sebagai “jendral”. Para “jendral” dengan mentalitas entrepreneur yang terus berpikir kreatif inilah yang menghidupkan bisnis dan terus memperluas jaringan. 

Melalui buku ini Hendrik sesungguhnya mengajak para pebisnis untuk bertansformasi yang sampai menyentuh pada intangibles (aset nirwujud yang terekam dalam mental dan karakter). Rhenald Kasali (2010) menjelaskan bahwa perusahaan yang progresif adalah perusahaan yang memobilisasi harta-harta nirwujudnya. Sementara perusahaan yang semata memfokuskan perhatian pada tangible assets akan menjadi stagnan. Karakteristik intangibles misalnya: keberanian, kreatif, tidak menunggu, antusias, tidak egois, dan lain-lain. Buku ini sangat layak dijadikan referensi guna mendapatkan insight, menumbuhkan karir dan bisnis.[] 

M. Iqbal Dawami Direktur Iqro’ Corporation