Senin, Januari 30, 2012

Menjadi Pribadi Visioner


Judul: Start from the Finish Line; Saatnya Menciptakan Hidup Hidup Sesuai Pilihan Anda
Penulis: Mohamad Ramdan
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan: I, Desember 2011
Tebal: 206 hlm

Saat usia 17, Sidney Sheldon, novelis ternama, pernah melakukan percobaan bunuh diri. Hal yang mendorong untuk melakukan itu adalah karena ia merasa hidupnya tidak bahagia. Cita-citanya saat itu adalah ingin kuliah dan menjadi penulis. Tapi keinginannya itu seperti membentur tembok, lantaran ekonomi keluarga tidak mendukung.
Saat pulang kerja, ia mempersiapkan percobaan bunuh dirinya. Saat itu orangtuanya hendak silaturrahmi ke rumah saudaranya. Ketika mereka semua sudah pergi, maka ia mengeluarkan minuman yang bisa langsung mematikannya. Dan ketika hendak meminumnya, tiba-tiba ayahnya muncul. Keduanya sama-sama terkejut. Sheldon tak menyangka ayahnya akan balik lagi. Ayahnya pun tak menduga kalau Sheldon hendak mengakhiri hidupnya. Ayahnya bertanya mengapa ia ingin bunuh diri?

Ia lalu mengajak Sheldon jalan-jalan sembari menasihatinya. “Hidup ini seperti novel,” ujar ayahnya, “Penuh ketegangan. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi hingga kau buka halamannya. Setiap hari adalah halaman yang berbeda, Sidney, dan setiap hari bisa penuh kejutan, kau tak pernah tahu apa yang akan ada selanjutnya sebelum kau buka halaman itu, ” ujar ayahnya. Mulai saat itu hidup Sheldon bersemangat lagi. Kata-kata itu terus dikenangnya hingga Sheldon beranjak senja.


Kisah di atas mengisyaratkan tentang pentingnya membangun visi dalam hidup ini. Jika tidak mempunyai visi, maka hidup mudah goyah, tanpa arah, dan cenderung pasrah (saat keadaan buruk datang). Salah satu cara agar bisa melaksanakan visi adalah dengan memulai sesuatu dengan tujuan akhir. Mohamad Ramdan, dalam buku ini, memberikan ilustrasi soal itu. Dia mengibaratkannya dengan gawang dalam pertandingan sepak bola. Pertandingan akan berlangsung ngawur dan membosankan jika tidak ada gawangnya; tidak ada target yang hendak dituju.

Hal yang sama juga dalam hidup. Jalan cerita hidup dari sekarang hingga akhir nanti tidak akan ngawur dan membosankan apabila kita memiliki tujuan yang jelas dalam hidup. Semua tujuan hidup kita tersebut hanya akan dapat dinikmati hasilnya apabila kita membingkainya dalam batas-batas waktu dan kriteria target yang jelas. Betapa sebenarnya hidup kita berpusat kepada tujuan akhir yang kita tetapkan sekarang. Dari tujuan akhir itulah kita akan menentukan rute terbaik yang harus kita tempuh untuk selanjutnya menyiapkan strategi dan amunisi yang tepat untuk menjalaninya (hlm. 33).

Dengan becermin pada peristiwa yang dialami Sheldon di atas, penjelasan Ramdan menemukan signifikansinya. Ramdan mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki rancangan peta jalan hidup yang jelas, sering kali mendapatkan diri mereka dalam keadaan kebingungan karena tidak memiliki arah hidup yang jelas, perasaan hampa karena tidak mengerjakan sesuatu sesuai dengan minatnya, putus asa karena minimnya persiapan menjalani pola hidup yang ekstrem, sampai kepada menyalahkan Tuhan atau nasib karena merasa diperlakukan tidak adil.

Proaktif
Dia mengingatkan bahwa di saat mengalami peristiwa buruk kita harus menjaga diri agar tidak reaktif. Orang yang reaktif cenderung membiarkan pengaruh-pengaruh dari luar untuk mengendalikan respons mereka. Orang reaktif akan selalu menempatkan dirinya sebagai korban dari stimulus negatif maupun positif saat mereka menemukan fakta bahwa ternyata hasil dari respons mereka tidak menguntungkan dirinya. Sebaliknya, kita harus bersikap proaktif. Karena, orang proaktif paham bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengendalikan respons terhadap stimulus yang dihadapinya. Bagi mereka, baik stimulus negatif maupun positif tetap menyisakan ruang yang dapat digunakan untuk menentukan pilihan dalam memberi respons.

Ramdan mempraktikkan hal itu. Saat baru satu bulan mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja, dia merasakan betapa beratnya menjalani hidup. Apabila sebelumnya hanya tinggal mendelegasikan pekerjaan kepada anak buah, maka saat baru merintis usaha sebagai konsultan, dia harus terlibat 100% di semua detail pekerjaan. Pada waktu dia merasa kelelahan dan putus asa karena begitu sulitnya mendapatkan klien, tiba-tiba salah seorang sahabatnya menelepon dan menawarkan sebuah pekerjaan dengan posisi dan gaji yang cukup menggoda bagi seorang yang sedang dilanda kesulitan seperti dia saat itu.

Saat dalam posisi dilematis itu, tiba-tiba dia diingatkan kembali akan tujuan akhirnya tentang keinginan untuk menjadi konsultan dan trainer di bidang ilmu kepemimpinan (leadership). Apabila dia kembali menjadi karyawan, mungkin masalah yang dia hadapi saat itu seketika akan hilang, namun mungkin dia tidak akan pernah sampai kepada tujuan akhir yang dia cita-citakan. Ibarat kapal, dia hanya tertambat di dermaga. Berlindung dari ombak besar yang sebenarnya berpotensi membawanya ke sebuah pulau harapan. Dia pun memutuskan menolak tawaran menggiurkan itu dan memilih untuk tetap teguh menjalankan pilihan kariernya yang baru, demi mengejar tujuan akhir hidupnya sebagai pemilik perusahaan konsultan dan training di bidang leadership.

Buku yang berjudul Start from the Finish Line; Saatnya Menciptakan Hidup Hidup Sesuai Pilihan Anda ini diambil dari pengalaman hidup si penulisnya sendiri. Ramdan merumuskan perjalanan hidup suksesnya, terutama dalam kariernya. Oleh karena itu, buku ini penuh dengan kisah nyata yang diambil dari pengalamannya sendiri maupun orang-orang yang ada di lingkungannya. Buku ini mengajak kita untuk bermain-main dengan “remote control kehidupan” yang dapat kita gunakan untuk membawa diri kita “melompat” ke masa depan dan melihat bagaimana akhir dari kisah hidup kita di dunia ini. Begitu kita mendapatkan gambaran yang jelas akan akhir kisah hidup kita di masa depan, maka kita pun dapat kembali ke masa sekarang dan merancang peta jalan hidup yang akan membawa kita kepada kebahagiaan yang hakiki.

Saat bermain-main dengan “remote control kehidupan”, kita akan benar-benar menyadari bahwa pada hakikatnya semua nasib yang akan kita alami di akhir kehidupan kita di dunia, sebagian besar adalah konsekuensi alamiah dari serentetan pilihan yang kita ambil sepanjang hidup. Melalui buku ini kita akan akan menemukan rahasia-rahasia bijak bagaimana cara menjadi manusia yang memiliki kendali penuh terhadap sebagian besar akhir kisah hidup kita. Selain itu, kita juga diberikan cara-cara agar mempunyai pribadi yang visioner, yakni sebuah pribadi yang mampu merancang dan mewujudkan kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsip hidup yang kita yakini membawa kebahagiaan.

Buku ini layak Anda baca sebagai bekal agar bisa menjalani hidup lebih baik lagi. Dengan tuturan bahasannya yang enak, buku ini cocok sekali dibaca sembari menyesap teh hangat dan sepiring pisang goreng di pagi hari. Selamat membaca.[]

M. Iqbal Dawami, pencinta buku, aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Jogjakarta

Perjalanan Mencari Kebahagiaan


Judul: The Geography of Bliss
Penulis: Eric Weiner
Penerjemah: M. Rudi Atmoko
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, November 2011
Tebal: 512 hlm.

Eric Weiner, seorang jurnalis Amerika, ingin melihat dunia dengan niat untuk mencari tahu apa yang membuat orang-orang di sana bahagia atau murung. Buku ini campuran antara catatan perjalanan, psikologi, sains, dan humor. Ia membawa pembaca melanglangbuana ke berbagai negara, dari Belanda, Swiss, Bhutan, hingga Qatar, Islandia, India, dan Amerika.



Setiap negara yang hendak dituju, ia menyelipkan pertanyaan-pertanyaan menggelitik, seperti apakah orang-orang Swiss lebih bahagia karena negara mereka paling demokratis di dunia? Apakah penduduk Qatar menemukan kebahagiaan di tengah gelimang dolar dari minyak mereka? Apakah Raja Bhutan seorang pengkhayal karena berinisiatif memakai indikator kebahagiaan rakyat yang disebut Gross National Happiness sebagai prioritas nasional? Kenapa penduduk di Islandia, yang suhunya sangat dingin dan jauh dari mana-mana, termasuk negara yang warganya paling bahagia di dunia? Kenapa di India kebahagiaan dan kesengsaraan bisa hidup berdampingan? 


Menurutnya di Belanda kebahagiaan adalah angka, di Swiss kebahagiaan adalah kebosanan, di Bhutan kebahagiaan adalah kebijakan, di Qatar kebahagiaan adalah menang lotre, di Moldova kebahagiaan adalah berada di suatu tempat lain, di Thailand kebahagiaan adalah tidak berpikir, di Britania Raya kebahagiaan adalah karya yang sedang berlangsung, di India kebahagiaan adalah kontradiksi, dan di Amerika kebahagiaan adalah rumah. 


Kesimpulan itu berdasar pengamatannya di masyarakat masing-masing negara dalam lingkungan tertentu. Jadi, penelitiannya ini tidak bisa dijadikan patokan kekhasan soal kebahagiaan menurut pandangan Weiner. Pandangan setiap orang pasti berbeda dalam melihat dan menilai sesuatu. Tapi, paling tidak lewat buku ini kita bisa mengetahui barometer masing-masing negara apa makna kebahagiaan yang dirasakan dan dipikirkannya.
Pada saat di Belanda dia menemui Ruut Veenhoven, seorang profesor “kebahagiaan” yang mempunyai “World Database of Happiness”. Sejumlah waktunya dihabiskan untuk meneliti soal kebahagiaan di seluruh dunia.

Menemuinya bermanfaat sekali untuk bekal perjalanan Weiner ke pelbagai negara. Bagi Weiner Belanda adalah negara yang terlalu bebas. Dia sudah merasakan ketidaknyamanannya, dan tidak bisa membayangkan andai dia tinggal di sana. Dia membayangkan setiap harinya akan mengisap mariyuana, dengan pelacur di samping kiri dan kanannya. 


Di Swiss, negara yang demokratis, dan tertata segala sesuatunya. Masyarakat di sana betah dengan kondisi demikian. Namun, Weiner tidak. Baginya, keadaan itu sungguh membosankan. Tidak ada tantangan yang membuat dirinya terpacu untuk menjadi lebih baik. Di sana segala sesuatu terlalu datar. Setelah Bhutan, Weiner kemudian mengunjungi Qatar. Qatar adalah negara kaya karena sumber daya minyak yang melimpah. Para penduduknya banyak yang kaya mendadak. Ada pergeseran budaya dan gaya di sana. Mereka hidup mewah. Segala sesuatu bisa dibeli. Itulah kebahagiaan bagi mereka, dalam penilaian Weiner.  


Setelah melakukan perjalanan mencari kebahagiaan ke pelbagai negara, apakah Weiner menemukan kebahagiaan? Yang manakah yang cocok baginya dari macam-macam kebahagiaan yang ditemuinya? Jawabannya Anda dapat temukan di buku ini. Pada akhirnya, budaya yang berbeda memang mengikuti jalan yang berbeda untuk meraih kebahagiaan.

M. Iqbal Dawami, pecinta buku, aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Jogjakarta.