Rabu, Juli 08, 2015

Panduan Meraih Beasiswa ke Jepang

Judul: Seribu Asa dari Negeri Sakura; The Guidance of How to Get Manbukagakusho (Manbusho) Scholarship
Penulis: Junaidi W. Tarmuloe
Penerbit: Quantum
Cetakan: I, April 2015
Tebal: 208 hlm.

Junaidi W. Tarmuloe adalah penerima beasiswa Manbukagakusho (Manbusho) untuk meraih gelar Ph.D. pada bidang virus, kanker, dan infeksi pada rumpun ilmu bedah Pathology di Shinshu University, Jepang. Untuk meraih beasiswa tersebut tidak mudah. Ia mengalami kegagalan beberapa kali pada tahun sebelumnya. Namun, setelah itu, ada tiga kampus di Jepang secara bersamaan menerimanya sebagai mahasiswa, program master di Kanazawa University yang mengkaji tentang luka, dan program Ph.D. rumpun ilmu Molecular yang mengkaji tentang steam cells di Universitas Tokyo.

Tidak hanya itu ia juga ditunggu oleh profesor di John Hopkins University di bidang kajian yang sama (steam cells) serta seorang profesor di Heidelberg University (Jerman) yang juga menunggu kesediaannya untuk menjadi mahasiswa S-3 di sana. Apa rahasia ia memenangkan beasiswa tersebut walau yang dipilih kemudian hanya Manbusho? Lewat buku ini ia berbagi tips dan triknya.

Buku ini disusun berawal dari banyaknya pertanyaan yang masuk ke email dan akun media sosialnya, yang bertanya tentang beasiswa luar negeri, khususnya Jepang. Pertanyaan mereka beragam, seperti bagaimana memulai mencari data beasiswa, proses beasiswa, mencari profesor, ujian beasiswa, aplikasi beasiswa, hingga tips mencapai nilai TOEFL yang tinggi. Junaidi merasa informasi beasiswa di Indonesia memang masih kurang. Jikapun ada, mereka hanya tahu ada beasiswa, tetapi tidak paham cara mendapatkannya. Kebanyakan dari meraka juga hanya menunggu informasi di tempel di papan-papan pengumuman sekolah, kampus atau kantor tempat mereka bekerja.

Beasiswa Manbukagakusho (Manbusho) adalah beasiswa pendidikan Jepang yang cukup bergengsi. Beasiswa ini umumnya menerima pendaftar sebanyak 4000-an dan disaring menjadi 100-170 orang pada tahap ujian. Dari situ kemudian akan diambil maksimal 40 peserta yang lulus saat wawancara terakhir. Junaidi menyarankan agar nilai TOEFL di atas 550 dan IPK di atas 3.00. Hal ini akan menjadi kelebihan pendaftar dalam usaha memenangkan beasiswa yang diinginkan.

Problem TOEFL memang menjadi masalah di Indonesia. Banyak peserta beasiswa sudah berguguran lantaran TOEFL tidak mencukupi, atau pas-pasan. Menyadari kenyataan itu, Junaidi memberikan trik dan tip belajar TOEFL yang efektif dan cepat menguasainya. Hal ini berdasarkan pengalaman dan pada saat dirinya menjadi guru Bahasa Inggris di Pare, Kediri, yang terkenal sebagai “kampung Inggris”. Di antara tip dan triknya adalah Unconsciousness, Listening Process, Story Telling, Shock Therapy, dan Random Question.

G to G dan U to U
Beasiswa Jepang dibagi dalam dua bagian yakni Manbukagakusho (Manbusho) Government to Government (G to G) dan Manbukagakusho (Manbusho) University to University (U to U) untuk empat bagian jenjang pendidikan seperti Japanese studies, undergraduate studies, graduates studies, dan specialized training studies. Beasiswa G to G adalah beasiswa yang berdasarkan pada rekomendasi dari pemerintah Jepang, melalui kedutaan Jepang di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Beasiswa ini berdasarkan kerjasama antar-dua negara yang berkomitmen untuk meningkatkan standar kualitas suatu negara dengan cara men-support bidang pendidikan. Pendaftar beasiswa jalur ini juga tidak harus memiliki pengalaman kerja sebelum melamar. Bahkan, mahasiswa yang baru lulus pendidikan sudah diperbolehkan untuk ikut mendaftar. Persyaratan bahasa juga tidak terlalu sulit (hal. 158).

Sedang beasiswa U to U adalah beasiswa berdasarkan pada rekomendasi yang jadi universitas tujuan pendaftar di Jepang. Untuk mendaftar beasiswa jenis ini tidak diperlukan status seperti persyaratan pada beasiswa G to G. Proses beasiswa U to U ini pendaftar terlebih dahulu harus mengontak salah seorang profesor di Jepang sesuai bidang yang diminati, dan mulailah menjalin silaturahmi baik melalui berkirim email, surat, faksimile, maupun telepon. Pada tahap pertama katakan bahwa Anda sangat tertarik dengan topik riset di laboratorium yang Anda incar tersebut. Sampaikan juga bahwasanya Anda tertarik sekali gabung dengan laboratorium di bawah bimbingannya untuk melanjutkan pendidikan master atau doktoral (hal. 160).

Di dalam buku ini Anda akan dipandu awal mula mendaftar beasiswa, baik G to G maupun U to U. Mulai dari pengisian formulir di website http://www.id.emb-japan.go.jp/, persiapan research plan, LOA, bukti publikasi (jika diminta), surat rekomendasi, dan dokumen lainnya.

Menurut Junaidi, di Jepang semua bagian ilmu sedetail apa pun memiliki profesornya. Mulai profesor ahli antariksa, profesor gunting yang ahli dalam membuat gunting berbagai jenis dan ukuran, hingga profesor perangkai bunga. Setiap laboratorium hanya memiliki satu profesor, tetapi mereka memiliki semua profesor di bidang apa pun. Padahal untuk menjadi profesor di Jepang tidaklah gampang, harus melewati proses panjang.

Belajar di Jepang Anda dapat memilih bidang pendidikan apa saja, semuanya tersedia lengkap dengan profesor dan jajarannya. Tercatat ada sebanyak 616 lembaga yang mengelola program pascasarjana. Program sarjana lebih banyak lagi yakni ada 778 lembaga, dan program junior college tercatat sebanyak 395 lembaga. Sedangkan yang lebih khusus seperti sekolah menengah kejuruan sebanyak 588 lembaga yang tersebar di seluruh penjuru Jepang. Lembaga pendidikan pelatihan spesialisasi atau specialized training collage sebanyak 3.311 lembaga dan tentunya lembaga pendidikan bahasa Jepang ada di setiap kampus. (hal. 48).

Buku ini kuat dengan data dan pengalaman penulisnya. Ia tulis bagaimana memahami sebuah “proses beasiswa” mulai dari 0 sampai pada 100%, mulai dari A sampai Z. Kiranya kita patut berterima kasih kepada Junaidi untuk berkenan membagikan pengalamannya dalam meraih beasiswa ke Jepang. Bagi yang tertarik untuk meraih beasiswa ke Jepang kiranya buku ini sangat direkomendasikan.[]

M. Iqbal Dawami, penulis dan editor. 

Selasa, Juni 30, 2015

14 Tahun Kesunyian Sofyan RH. Zaid


seperti ulat jadi kupu-kupu # aku masih kepompong waktu
bergantung di ranting sunyi # kosong diri dari nyanyi
Jibril senantiasa datang # melempar sekuntum kembang
kau dan aku: kebenaran # terus berjalan menuju keselamatan

Puisi di atas begitu syahdu. Puisi tersebut terdapat dalam judul “Nabi Kangen”. Kesunyian menjadi kepompong waktu yang sedang mempersiapkan diri menuju pencerahan. Begitu saya tafsirkan bait-bait puisi di atas. Kesunyian tampaknya menjadi porsi terbesar dari kumpulan puisi ini. Bahkan menjadi satu bab tersendiri yaitu “Sabda Kesunyian” yang di dalamnya ada 10 puisi.

Seorang penyair dalam proses kreatifnya akan melewati masa-masa kontemplasi, dan di situlah dia akan berteman dengan kesunyian. Walau kesunyian bukan berarti kesepian. Kesunyian memproduksi sesuatu berupa ide atau gagasan, yang berasal dari pikiran dan perasaan. Kesepian sebaliknya, ia justru mengontra produksi sesuatu. Begitu juga dengan penyair. Bagi penyair kesunyian adalah jalan menemukan kata-kata yang berisi gagasan atau buah perenungan.

Buku ini adalah penanda Sofyan RH. Zaid dalam laku kepenyairannya selama 14 tahun. Belasan tahun memang belum relatif lama tapi capaiannya sungguh luar biasa. Puisinya sudah dimuat di pelbagai media cetak, seperti majalah sastra Horison, Annida, Pikiran rakyat, dll. Belum lagi di sejumlah buku antologinya, seperti Empat Amanat Hujan (DKJ, 2010), Negeri Cincin Api (Lesbumi, 2011), dll. Dari sunyi ke sunyia ia lakoni sehingga menghasilkan puisi yang luar biasa.  

Capaian produktifitas dalam laku kepenyairan Sofyan dibarengi dengan eksperimentasinya dalam model pembuatan rima puisinya. Dalam Mukadimah ia menyebutnya puisi nadhaman, terinspirasi dari nadham arab di pesantren. Nadham adalah syair yang berima dua-dua atau empat-empat. Dalam khazanah kitab kuning, seringkali pakar bahasa menulis kitabnya dengan nadham, sebut saja misalnya Alfiyyah ibn Malik karya Ibnu Malik al-Andalusy dan Imrithi karya Syaikh Syarofuddin Yahya Al-Imrithi. Keduanya adalah kitab nahwu (tata bahasa arab).

Eksperimen yang kemudian menjadi ciri khas Sofyan patut diapresiasi. Ia keluar dari pakem model-model puisi yang sudah digariskan para pengkaji puisi. Di sisi lain pilihan pembuatan model puisi ini juga menimbulkan pro-kontra di kalangan para penyair yang mengenalnya. Ada yang kecewa namun ada pula yang mendukung. Polemik ini pun semakin mencuat tatkala Dimas Indiana Senja, kritikus sastra, membahas model puisi Sofyan di Republika dengan judul Estetika Nadhaman. Tulisan Dimas memunculkan tulisan-tulisan lain baik yang pro maupun kontra. 

Namun di luar itu semua, Sofyan hanya ingin terus menulis dan menulis puisi.  Sofyan berujar, “... saya bahagia hidup bersama puisi. Puisi telah memberi saya banyak hal berharga yang tidak pernah bisa saya dapatkan dari yang lain.”

Kesunyian Sofyan
Saya melihat tema kesunyian mendapat porsi yang banyak dalam kumpulan puisi Sofyan ini. Apakah puisi baginya menjadi teman di kala sunyi? Atau kah ada hubungannya dengan kegalauan dirinya di usia muda? Usia muda memang sarat dengan gejolak emosi yang membuncah, terhadap lingkungan, persahabatan, bahkan saat jatuh cinta. Atau bisa jadi Sofyan di kala sunyi itu pikirannya terlempar ke masa silam kepada sesuatu yang dikenangnya, walaupun kita tidak tahu siapa yang dimaksud. Hal itu bisa kita lihat dalam puisi “Lembah Sembah”: Sudah bertahun silam # dalam kenangan tenggelam/Menyebut namamu hari ini # aku masih berdebar sunyi.

Dalam “Serat Kesunyian”, ia merindukan kekasihnya. Ia berharap kekasihnya datang di saat kesunyiannya itu. Berikut  puisinya, Datang-datanglah kau padaku, kekasih # aku menunggu dari hari ke perih/Padam mata arah nyala mata waktu # aku rabah hati masih dalam rindu/Air mata menulis kalimat harap # angin membacakannya kepada gelap/Tak tahan sudah aku menabung duka # biarkan kata saja yang menanggungnya/Dalam bahasa rahasia cuaca # menjadi serat di lembaran udara.

Pemilihan kalimat “dari hari ke perih” (galibnya “dari hari ke hari”) menunjukkan ia semakin hari semakin tersiksa dengan rindunya itu. Terlebih ditambah dengan kalimat “Tak tahan sudah aku menabung duka”. Pada saat sunyi seringkali memang kita dihinggapi dengan kenangan-kenangan yang menyiksa. Tentu biasanya yang kita kenang adalah adalah orang-orang yang kita cintai. Terlebih apabila kita saat berjauhan dengan orang yang kita cintai.  Puisi “Rindu Ibu, Rindu Pulang” menyiratkan hal itu. Ia menulis,  Jauh darimu, ibu # aku menjadi debu. Puisi itu di samping mempunyai keindahan rima (ibu dan debu), juga kedalaman makna.

Sofyan menganggap dirinya debu. Debu merupakan partikel padat kecil yang mudah terbang. Apakah tamsil debu dijadikan gambaran dirinya sebagai sosok seorang anak yang kehilangan arah lantaran jauh dari ibunya? Atau Sofyan merasa dirinya tak punya sandaran dan pijakan, menjadi tak berarti, fana, dan tak berdaya menghadapi ruang dan waktu?

Puisi berjudul “Sederhana” punya kesunyian yang berbeda. Sofyan melemparkan dirinya jauh ke depan. Ia berharap kepada “cinta”-nya bisa selalu hidup bersama dalam satu rumah. “Cinta” di sini masih misteri. Kita tidak tahu persis apakah merujuk kepada seseorang atau cinta itu sendiri. Kalimat “sampai lupa cara berpisah” sebuah ungkapan lain dari “sampai maut memisahkan kita”. Sungguh puitis.  

Usia Sofyan masih tergolong muda (kelahiran 1986). Puisi-puisinya tentu menggambarkan gairah anak muda. Begitu juga pada saat dia dalam kesunyian. Kesunyian khas anak muda. Namun, apa yang membedakannya dengan anak muda lainnya? Dia melakukannya dengan produktif nan artistik. 14 tahun dalam perjalanan kepenyairannya sungguh memperkaya hidupnya.[]
   

Selasa, Juni 23, 2015

Pertemuan Orientalis dan Oksidentalis di Indonesia

Judul: Antara Timur dan Barat
Penulis: Al Makin
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Maret 2015
Tebal: XI + 258 hlm.

Indonesia adalah negara yang unik. Alamnya yang subur dan sukunya yang banyak menjadikan karakternya begitu khas yang tidak bisa disamakan dengan negara lain. Belum lagi terjadinya akulturasi budaya, perjumpaan antar-suku, sehingga memunculkan karakter-karakter lainnya.

Hal ini berpengaruh pula dengan agama, utamanya agama Islam. Geografi, iklim, dan manusia, akan membedakan cara beragamanya. Indonesia merupakan penganut Islam terbesar di dunia. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti, khususnya peneliti dari Barat.

Al Makin dalam buku ini memaparkan betapa banyak para peneliti Barat mengkaji Indonesia dari pelbagai aspek, terutama dari aspek agama. Misanya William (bob) Hefner meneliti bagaimana Islam dan negara berinteraksi di Indonesia. Hasil penelitiannya adalah Indonesia bisa menjadi model masyarakat demokrasi di dunia Islam. Hefner cukup optimis dengan keterbukaan, keragaman, dan perkembangan masyarakat Indonesia, demokrasi akan tumbuh (hlm. 152).

Ada juga Clifford Geertz, peneliti asal Amerika, yang meneliti akulturasi Jawa dan Islam. Ia meneliti daerah Pare, Kediri. Ia mengikuti tradisi setempat: upacara kelahiran, kematian, selametan, dan lain-lain. Ia kemudian menyimpulkan varian atau model yang ada dalam masyarakat Jawa: Abangan, santri, dan priyayi. Varian ini dijadikan kategorisasi umum oleh kalangan akademik Indonesia sehingga menjadi populer.

Menurut Geertz Indonesia sangat sinkretik dan akomodatif terhadap ajaran dan budaya lokal. Hal itu kemudian menjadi ciri khas Islam di Indonesia (hlm. 169). Selain Hefner dan Geertz, masih banyak lagi peneliti lainnya yang tidak kalah menarik seperti Mark Woodward, Willian Liddle, Peter Carey, Ricklefs, dan lain-lain.

Banyaknya peneliti Barat meneliti Indonesia menimbulkan pertanyaan, apa sesungguhnya motif mereka menjadikan Indonesia sebagai objek kajiannya? Dalam ranah Islam dan Indonesia sebagai objek kajian, Al Makin mengutip Mukti Ali, paling tidak ada 3 motivasi: kepentingan kolonialisasi, misionaris, dan akademisi (hlm. 153).

Namun seiring perubahan zaman, motivasi itu sudah menjadi bias, bahkan tidak berlaku lagi. Para peneliti baik dari Barat maupun Timur sudah melebur. Tidak ada sekat lagi di antara peneliti. Lebih dari itu, mereka saling belajar dan bersahabat. Mereka saling bekerjasama, bahu-membahu, memberi informasi dan kemudahan satu sama lain. Sebut saja Martin van Bruinessen, Karel Steenbrink, Nico Kaptein, dan lain-lain.

Uniknya lagi, tidak setiap peneliti Barat mempunyai pandangan yang sama atas objek yang sama. Mereka bisa saja berbeda pandangan. Hal ini menandakan bahwa peneliti Barat tidak perlu dicurigai secara berlebihan seperti halnya pada zaman kolonialisme. Di zaman modern perbedaan antar-peneliti adalah sebuah hal yang lumrah, bahkan dengan sesama peneliti Barat sendiri.

Kritik Mark Woodward terhadap Clifford Geertz membuktikan hal itu. Mark mengkritik atas kategorisasi yang diberikan Geertz yaitu santri, priyayi, dan abangan. Geertz dianggap lalai dengan tradisi literatur Jawa yang memuat konsep-konsep penting tentang Islam, sufi, dan tradisi Jawa. Geertz hanya fokus pada satu daerah dan terobsesi pada pengamatan masyarakat, praktik keseharian, sementara konsep-konsep penting terlupakan. Jadi hasil penelitian Geertz dianggap ahistoris (hlm. 172-173).

Membaca buku ini kita seperti sedang diajak jalan-jalan ke Barat (Amerika dan Eropa) dan Timur (Indonesia). Kita diperkenalkan dunia akademik dan tokoh-tokoh pentingnya, siapa saja para peneliti Barat meneliti Timur (orientalisme) dan peneliti Timur meneliti Barat (oksidentalisme). Era globalisasi ini kesempatan mengkaji Barat dan Timur begitu mudah, nyaris tanpa ada halangan. []

Minggu, Juni 21, 2015

Menjadi Solopreneur

Judul: The $100 Startup
Penulis: Chris Guillebeau
Penerjemah: Sugianto Yusuf
Penerbit: Gramedia
Cetakan: I, 2015
Tebal: xx + 340 hlm.

Alhamdulillah, aku sudah mengkhatamkan buku ini. Ada yang kupahami ada yang tidak. Paham sih, tapi tidak benar-benar paham, haha...

Aku sudah janji untuk membuat resensinya buatmu. Jadi, aku nekat saja membuatnya, meskipun tidak paham-paham amat. Ya, buku ini secara keseluruhan benar-benar memberi pengetahuan baru bagiku. Mungkin tidak bisa dikatakan tulisanku ini sebuah resensi, karena ada opini dan gagasan yang kutuangkan di dalamnya, sebagai reaksi dari hasil bacaanku.

Aku merasa buku ini semacam panduan menjadi freelancer, tapi setelah kubaca bab-bab selanjutnya hingga akhir rupanya tidak juga. Dan aku menyimpulkan bahwa semangat buku ini menurutku ada dua: kemerdekaan dan solopreneurship.

Seperti yang disebutkan di subjudulnya bahwa buku ini mengajarkan bagaimana cara mencari penghasilan dari apa yang kita cintai. Ada banyak sampel kisah di buku ini yang mempunyai penghasilan dari kesenangan mereka, sehingga mereka menciptakan masa depannya sendiri, dengan tak diduga dan tak disangka. Kisah mereka dalam buku ini rata-rata yang resign dari pekerjaan tetapnya, kemudian membangun bisnisnya sendiri (mirip-mirip aku lah).

Mereka membangun bisnis berbasis internet, dan tanpa kantor. Sambil jalan-jalan mereka tetap bisa menjalankan bisnisnya. Kisah-kisah mereka memang indah, tapi untuk mencapai kesana rupanya banyak juga tantangannya. Mereka butuh beberapa tahun meraih kesuksesan itu. 

“Cara sulit untuk untuk memulai sebuah bisnis adalah meraba karena tidak yakin apa gagasan besar Anda akan pas dengan apa yang konsumen inginkan. Yang mudah adalah mencari tahu apa yang orang inginkan, kemudian mencari cara memberikannya kepada mereka,” ujar penulis buku ini.  Ada satu kisah yang menarik dan kupikir ada sedikit persamaan denganmu yang pintar bahasa inggris. Orang itu bernama Benny lewis, penghasilannya $65.000 setahun. Hobinya traveling. Usianya 24 tahun. Hobinya adalah belajar bahasa. Ada 7 bahasa yang ia kuasai dengan sangat baik, dan ditempuh hanya 3 tahun saja semua bahasa itu. Ia kemudian ingin berbagi cara belajar bahasa yang ia gunakan. Lalu ia membuat program yang namanya “Fluent in 3 Month”. Kupikir kamu pun bisa melakukan hal itu.

Buku ini memang berbasis pengalaman dan teoritis. Penulisnya juga pelaku bisnis model kayak ginian. Dan untuk menyiapkan buku ini, dia melakukan riset dan wawancara langsung secara intensif dan mendalam. So, aku percaya dengan apa yang dikatakannya, meskipun tidak mudah melakukannya. Dia mengatakan, “Anda tidak butuh banyak uang atau pelatihan khusus untuk menjalankan usaha. Anda hanya perlu produk atau jasa, sekelompok orang yang ingin membelinya, dan metode pembayarannya.” Dia kemudian memberikan enam langkah yang perlu diambil:
1.       Putuskan produk atau jasa apa
2.       Bangun situs web, yang paling sederhana sekalipun
3.       Kembangkan tawaran
4.       Pastikan metode pembayarannya
5.       Umumkan tawaran Anda ke dunia
6.       Belajar dari langkah 1 sampai 5


Kupikir aku bisa melakukan hal itu, bahkan beberapa poin dari 6 itu sudah aku lakukan. Tinggal aku menekuni dan mengembangkannya dengan pelbagai cara. Beberapa bab dalam buku ini mencoba memberi langkah-langkahnya baik secara filosofi maupun praktisnya. Sudah kebayang sih apa yang hendak aku lakukan sesuai dengan nasihat dan langkah-langkah konkrit yang dikasih penulis buku ini. Dan aku sepakat dengan ucapannya bahwa pertarungan terbesar kita adalah melawan ketakutan dan inersia (kemalasan untuk berubah) kita sendiri.

Buku ini cukup recomended bagi siapa pun yang mau berwira usaha secara kecil-kecilan (mikro). Ada banyak inspirasi dan langkah-langkah konkrit yang bisa dilakukan. Tapi, lebih penting dari itu, segeralah bertindak ketika sudah selesai membaca buku ini.

Dari secuil tulisan ini, kuharap kamu mendapat gambaran perihal isi buku ini, haha..



Jumat, Mei 29, 2015

Mendidik dengan Cinta


Judul: Pemimpin Cinta
Penulis: Edi Sutarto
Penerbit: Kaifa
Cetakan: I, Februari 2015
Tebal: 377 halaman

Lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain pula ikannya. Lain orang lain pula cara berpikirnya. Perumpamaan itu cocok pula dalam manajamen lembaga pendidikan (baca: sekolah). Lain direktur lain pula gaya manajerialnya. Sekolah bisa kita ibaratkan batu pualam. Memberikan setumpuk batu pualam kepada orang yang biasa-biasa saja, akan berakhir dengan setumpuk marmer saja. Namun letakkan batu itu di tangan seorang pemahat dan lihatlah apa yang terjadi! Pemahat itu melihatnya dengan mata seorang seniman.

Salah seorang “seniman” pendidikan adalah Edi Sutarto. Dia adalah direktur jaringan Sekolah Islam Athirah di empat wilayah yang berbeda di Sulawesi Selatan. Dari TK hingga SMA. Sebelum kehadirannya, manajemen semua sekolah tersebut amburadul. Latar belakangnya sebagai pendidik dan pernah aktif di dunia kesenian (teater Koma, Jakarta) mampu mengubah manajamen sekolah ke arah yang lebih baik, dari bulan ke bulan dan tahun ke tahun, kurvanya terus melesat. Buku ini adalah puncak kecerdasan berbahasanya, dimana isinya adalah jejak rekam atas selama yang dikerjakannya dalam mengelola jaringan sekolah tersebut.  

Layaknya seniman-pemahat batu pualam, ia mengubah batu yang tidak bernyawa itu menjadi sebuah karya agung dengan kerja keras dan disiplin tinggi. Hal pertama yang ia lakukan adalah menginisiasi para guru, pimpinan, dan pengelola manajamen pendidikan. Ia ubah cara pandang (mindset) mereka yang keliru, dan ia dukung dengan sepenuh hati cara pandang yang benar.

Visi-misi dan master plan lembaga pendidikan yang ia buat bermula dari sebuah keterlambatan naik pesawat. Ceritanya, ketika pulang wawancara di Makassar dan hendak pulang ke Jakarta, dia ketinggalan pesawat, akibat salah melihat jam. Dia lupa memutar jarum jam tangannya, karena Makassar lebih cepat satu jam dari Jakarta. Dia lalu menginap di hotel. Di kamar hotel dia membuat draf konsep master plan Athirah. Tidak hanya membuat draf rumusan master plan, tetapi juga visi-misi-motto manajemen dan bentuk organisasinya. Di samping itu, dia juga telah membuat draf dokumen target serta strateginya. Hal itu kemudian menjadi SOP (Standard Operating Procedure) Sekolah Islam Athirah.

Pendekatan Cinta
Pada waktu kecil, Edi pernah mendengar pesan bapaknya, “Jadilah pemimpn cinta agar tumbuh energi positif. Dari energi positif inilah akan terpantul energi positif yang berlipat ganda untuk kamu” (hlm. 29). Kata-kata itulah yang selalu Edi ingat ketika menjalankan roda organisasi Sekolah Islam Athirah. “Saya berjuang menumbuhkan benih cinta dari lubuk hati yang dalam terhadap Athirah. Hamparan tantangan bagai gelombang ombak yang ada di depan saya telah menjelma menjadi motivasi cinta yang harus saya kuatkan menjadi seumpama karang,” ujarnya (hlm. 29).

Cinta menjadi dasar atas apa yang Edi lakukan dalam melakukan perubahan. Selain pesan ayahandanya, kata-kata Jalaluddin Rumi juga menjadi semboyannya di Athirah, yaitu “Dengan hidup yang hanya sepanjang setengah tarikan napas, jangan tanam apa pun kecuali cinta.” Buku ini basah kuyup dengan kisah-kisah Edi Sutarto yang terkait dengan guru, siswa, dan orangtua. Semua kisahnya berbasis cinta.

“Bab Menyentuh Guru dan Karyawan”, salah satu kisahnya adalah memberi contoh kepada para guru dan karyawan untuk datang tepat waktu sesuai yang disepakati. Edi selalu datang lebih awal dari para guru dan karyawan. Ia mengontrol kebersihan lingkungan sekolah, taman, kadang juga turut menyiram bunga-bunga yang ada di taman. Ia menyapa siapa saja yang dijumpainya baik guru, siswa, maupun karyawan lainnya. Ia sapa dengan 6S, yaitu senyum, salam, sapa, semangat, sabar, dan syukur dalam bentuk doa buat mereka yang ia jumpai. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh para guru.      

Pada “Bab Menyentuh Siswa”, ada salah satu yang Edi lakukan adalah memberi surprise buat para peserta didik. Suatu hari dia melihat beberapa siswa sedang membaca buku dengan khusyuk sekali. Salah satunya bernama Andi Fatimah. Edi mendekatinya dan bertanya tentang buku yang dibacanya. Setelah itu Edi menawarkan, “Kamu bersedia membedah novel yang kamu baca ini, besok di sekretariat? Pukul 07.00 sampai pukul 08.00 WITa?” Sebuah tawaran yang tak diduga oleh siswa tersebut. Itulah awal mula Komunitas Cinta Baca dan pembuatan Majalah Athirah saat ini yang diprakarsai oleh Andi Fatimah tersebut.  

Sedang pada “Bab Menyentuh Orangtua Siswa dan Lingkungan”, salah satunya adalah kegiatan Parents Day, yakni kegiatan sehari bersama orangtua siswa. Saat awal program ini digulirkan, resistensi datang dari para pimpinan dan guru-guru di unit masing-masing. Program ini dianggap mengada-ada, mengganggu hari efektf belajar, dan membuka dapur sekolah kepada orangtua siswa. Padahal, tujuan Edi adalah guru maupun orangtua siswa harus mencintai Athirah.

Parents Day juga sebenarnya dijadikan sebagai ajang para orangtua siswa mengenal lebih dekat kepada para guru yang setiap hari mendidik putra-putrinya. Pun menjadi ajang saling kenal lebih dekat sesama para orangtua siswa. Edi menamakannya perjumpaan cinta. Inilah hakikat cinta orangtua kepada anaknya. Pada akhirnya kegiatan ini adalah kegiatan keterpautan jiwa-jiwa yang bertabur cinta (hlm. 305).

Cinta memang sebuah perjuangan. Cinta tidak pernah datang dengan cara murah. Semuanya harus diperjuangkan. Dan seringkali cinta baru mekar setelah melewati berbagai macam derita. Tapi, derita bukan musuhnya cinta. Derita itu membuat cinta sedang tumbuh lebih dewasa. Itulah yang ditempuh seorang pemimpin cinta yang Edi Sutarto praktikkan dan alami. Membaca buku ini adalah membaca potret pendidikan Indonesia yang optimis. Kata-kata yang dibangun menjadi sebuah cerita telah menerbitkan harapan masa depan Indonesia yang cemerlang.[]