Selasa, Agustus 26, 2008

Bisnis Berbasis Kerakyatan


Judul: Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan, Bagaimana Bisnis Sosial Mengubah Kehidupan Kita
Penulis: Muhammad Yunus
Penerjemah: Rani R Moediarta
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal : xvii + 262 hlm

Pernahkah Anda mendapatkan sebuah korporasi yang benar-benar memihak rakyat? Saya yakin kebanyakan orang pasti belum mendapatkannya. Karena, mayoritas korporasi selalu mengedepankan keuntungan kepemilikannya, ketimbang yang lain.

Dalam era kapitalisme global ini, mana ada korporasi mengutamakan rakyat miskin, justru yang ada adalah merugikan dan menyengsarakan rakyat miskin. Jika tidak percaya, coba Anda lihat semua korporasi asing yang ada di Indonesia. Mereka sama sekali tidak menguntungkan Indonesia.

Nampaknya, Muhammad Yunus memberikan jawaban untuk pertanyaan di atas, bahwa ada sebuah korporasi yang benar-benar memihak rakyat miskin, yaitu Grameen. Grameen adalah sebuah korporasi yang berbasis kerakyatan; diperuntukkan kalangan menengah ke bawah, bahkan terutama kalangan miskin. Direkturnya tak lain adalah Muhammad Yunus sendiri. Melalui buku barunya Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan, Bagaimana Bisnis Sosial Mengubah Kehidupan Kita (2008) dia mengeksplorasi gagasannya secara detail dengan memadukan antara teori dan praktik serta kenyataan di lapangan. Tentu saja idealisme dirinya juga tertulis di sini.

Buku ini sungguh tidak hanya asal bertutur tanpa bukti. Tiga puluh tahun menjalankan korporasinya adalah sebuah jaminan, bahwa kata-katanya dalam buku tersebut benar-benar realistis. Karena itu, dia berani bermimpi dan berpikir ke depan untuk menanggulangi kemiskinan di dunia melalui langkah-langkah yang terus diperjuangkannya. Sungguh dia ingin sekali menghapus kemiskinan di seluruh penjuru dunia.

Muhammad Yunus merupakan pemerhati dan penolong kaum miskin. Dia sangat tahu betul bagaimana hidup orang miskin. Melalui Grameen-nya dia membantu mereka untuk bekerja dan berwiraswasta. Cara dia adalah memberikan kredit mikro tanpa agunan. Adapun bisnis yang dikelolanya di antaranya bank, asuransi, pabrik makanan, pendidikan, operator seluler, internet, elektronik, dan lain-lain. Melalui bisnis di bidang itulah Yunus bergerak membantu masyarakat miskin. Sungguh, sebuah upaya yang luar biasa.

Melihat kenyataan di atas, tak aneh jika Muhammad Yunus meraih nobel pada tahun 2006. Dan uniknya, dia mendapatkan nobel untuk perdamaian, bukan nobel untuk ekonomi. Lantas, apa alasannya? Yunus sepertinya sangat sadar dengan sabda Muhammad SAW, sang Nabi, bahwa kefakiran akan membawa kekafiran. Artinya, orang bisa saja menjadi menghalalkan segala cara akibat kondisi yang melarat. Dan dari situ, akan timbul konflik di tengah-tengah masyarakat. Kejahatan, seperti pencurian dan perampokan, timbul lebih banyak disebabkan faktor ekonomi ketimbang faktor lainnya. Orang akan nekad melakukan apa saja demi sesuap nasi.

Untuk itulah, Muhammad Yunus melalui korporasinya, terus berfikir dan berupaya menanggulangi kemiskinan. Kemudian dia membuat jargon bagi korporasinya yaitu semangat berinovasi dan bereksperimen yang tiada henti. Dengan jargon seperti itu, Grameen Group yang dipimpinnya terus mencari ide bisnis baru yang tetap mengutamakan kepentingan kaum miskin.

Muhammad Yunus sangat yakin akan usahanya ini bahwa lambat laun bisnisnya akan mengubah dunia. Karena perbaikan ekonomi, sejatinya, akan memperbaiki tatanan bidang lainnya: sosial, politik, dan budaya. Bangladesh adalah bukti nyata atas apa yang dilakukan Muhammad Yunus. Santai tapi pasti, Bangladesh mengalami kemajuan dalam semua bidang lantaran usaha-usaha kaum miskin tergalakkan. Sungguh, sebuah upaya yang patut dicontoh oleh pemerintah Indonesia.

Setelah kita melihat sistem ekonomi yang dilakukan oleh Bangladesh dengan terbukti ampuh itu, timbul pertanyaan, maukah di antara pemimpin bangsa Indonesia mencoba menerapkannya di negara kita—yang tercinta—ini?

Senin, Agustus 25, 2008

Bukan Kisah Biasa



Judul Buku: Andy's Corner, Kumpulan Curahan Hati Andy F. Noya
Penulis: Andy F.Noya
Penerbit: Bentang Pustaka
Edisi: 1, Agustus 2008
Tebal: xii +148 halaman

Ada kabar gembira bagi pecinta Kick Andy di Metro TV maupun di website-nya, yang tidak punya waktu untuk menonton maupun membacanya di internet. Kini telah hadir dalam bentuk buku dengan judul Andy's Corner, Kumpulan Curahan Hati Andy F. Noya.

Tentu Andy's Corner versi cetak (baca: buku) patut disambut gembira, karena memberikan akses yang sangat luas. Semua kalangan dapat kesempatan untuk membacanya, terutama di kota-kota kecil maupun di pedesaan yang masih awam dengan dunia internet.

Namun harus diakui, buku setebal 148 halaman dan berisi 21 kumpulan tulisan Andy Noya ini diambil dan dipilah-pilah dari kolom Andy's Corner di website Kick Andy. Pemilihan tulisan-tulisannya sangat tepat dan beragam, bahkan tidak biasa kisah-kisah yang ditampilkannya. Pemimpin Timor Leste, Xanana Gusmao, misalnya, yang dianggap sebagai penjahat perang oleh kebanyakan orang, diangkat kisahnya oleh Andy Noya. Tujuannya adalah memberikan pelajaran hidup untuk arif dan bijaksana.

Hal yang tak kalah 'tidak biasanya' lagi adalah mengulas tokoh-tokoh eks PKI dengan mendatangkan tokoh PKI, Sobron Aidit. Sepintas pembaca akan bertanya-tanya, apa maksud Andy menyuguhkan kisah-kisah seperti itu? Pembaca akan mendapat jawabannya di setiap selesai kisah-kisahnya. Dan terkait dengan kisah di atas, jawabnya adalah bahwa bagaimanapun juga, dendam tidak akan membuat hidup kita menjadi lebih nyaman maupun bahagia.

Memang, kisah-kisah dalam buku Andy Noya yang satu ini tidak biasa. Dia melawan arus dari kesepakatan publik perihal kisah-kisahnya. Satunya lagi adalah kisah group musik Kangen Band. Group musik satu ini entah mengapa di kalangan remaja mendapat kesan negatif. Mereka mencaci dan memaki Kangen Band yang berasal dari Lampung ini.

Kebanyakan dari mereka adalah alasan yang tidak rasional, seperti sentimen atas para personilnya yang kebanyakan dari kelas "rendahan". Vokalisnya, misalnya adalah mantan pedagang es dawet.

Nah, justru Kick Andy merasa tertantang dengan keadaan seperti itu. Dan diangkatlah topik Kangen Band. Bagaimanapun, pikir Andy Noya, Kangen Band terlihat sukses dalam persaingan belantara musik Indonesia yang sangat ketat ini. Dan kesuksesannya itu adalah berkat kerja keras mereka. Untuk itulah, Kangen Band, layak diapresiasi dan patut dijadikan teladan.

Uniknya, buku yang ditulis Andy Noya ini, banyak bercerita juga mengenai kehidupan pribadinya. Dia menggambarkan dirinya sejak bocah hingga dewasa, mengangkat beberapa cuplikan pengalaman yang bisa dibilang kelabu.

Dia bercerita tentang masa kecilnya yang sudah mengalami broken home. Dia juga pemalu karena mempunyai ayah hanya seorang montir mesin tik. Hal itu adalah keadaan yang sebenarnya wajar dialami oleh anak-anak yang memang sedang membutuhkan sandaran dan perlindungan. Andy bercerita demikian sebenarnya untuk menunjukkan kepada seorang Fifi—siswa kelas 2 SMP—yang merasa malu sampai nekat mau bunuh diri karena mempunyai ayah seorang tukang bubur, bahwa dia tidaklah sendirian. Dirinya pun mengalami juga, dulu. Untuk itu Andy memberi palajaran pada Fifi agar tidak usah malu mempunyai ayah tukang bubur, tapi mestinya bangga, karena ayahnya—seperti halnya ayah Andy—bekerja demi dia, demi Fifi dan Andy.

Buku Andy's Corner adalah buku kedua Andy yang ditulisnya. Pada launching buku pertama, Wapres Yusuf Kalla adalah orang pertama yang diberinya, sedang pada launching buku keduanya, adalah Ibu Ana yang mendapat penghormatan tersebut dari Andy. Ibu Ana adalah guru kelas 4 SD Andy Noya. Tentu saja ada alasan mengapa ibu Ana yang dipilih Andy untuk mendapatkan penghargaan itu.

Bisa kita lihat pada buku ini sendiri, pada sub judul—laskar pelangi—bagi Andy ibu Ana adalah guru yang sangat berarti dibanding guru-gurunya yang lain. Betapa tidak, pada saat kelas 4 Andy kecil sering bolos sekolah. Suatu hari saat dia membolos selama 2 hari, ibu Ana dengan mencarter becak menuju rumah Andy. Dia membujuk Andy untuk sekolah, dan juga ikut lomba antar bintang kelas. Tentu saja bukan tanpa perhitungan ibu Ana menyuruh Andy untuk ikut lomba tersebut, karena memang Andy—walau sering bolos—adalah siswa yang cerdas.

Tidak hanya itu, ibu Ana pula yang sering memotivasi Andy untuk percaya diri dan rajin sekolah, agar kelak suatu saat Andy menjadi orang sukses. Bahkan ibu Ana juga yang "meramal" bahwa Andy akan sukses menjadi seorang wartawan. Dus, pantaslah Andy memberi buku keduanya kepada Ibu Ana sebagai orang pertama yang diberinya.

Walhasil, buku ini sungguh tak kalah istimewanya dengan buku pertamanya. Mesti tergolong tipis, buku Andy's Corner, Kumpulan Curahan Hati Andy F. Noya ini sangat berbobot. Kisah-kisahnya begitu menggugah dan inspiratif. Tak menutup kemungkinan bagi Anda yang kehilangan motivasi, akan terdongkrak kembali setelah membaca buku ini.

Minggu, Agustus 17, 2008

Menghargai Waktu Demi Kebahagiaan



Judul buku : Cherish Every Moment:Menikmati Hidup Yang Indah Setiap Saat
Penulis : Arvan Pradiansyah
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxi+322 halaman

Masing-masing dari setiap individu adalah tanggung jawab dari dirinya sendiri. Bukan hanya saja hidup setelah mati, saat ini pun, ketika masih hidup kita semua seratus persen berada dalam tanggung jawab diri kita sendiri. Dengan kata lain, keberhasilan atau pun kegagalan seseorang dalam hidupnya sesungguhnya sangat bergantung dari bagaimana menyikapi hidupnya. Namun, terkadang sering kita tak menyadari hal di atas, dan justru kesadaran timbul saat kita telah mengetahui kegagalan yang kita alami atau saat hidup kita sudah diujung tanduk, alias mengalami kematian. Maka penyesalanlah yang dirasakannya sebagai hasil dari apa yang diperbuatnya.

Adalah Arvan Pradiansyah yang mencoba mengingatkan agar hal di atas tidak terjadi dalam hidup kita. Lewat bukunya Cherish Every Moment: Menikmati Hidup yang Indah Setiap Saat (Elek Media Komputindo:2007) ia mengingatkan bahwa kita harus menghargai setiap waktu, setiap saat, bahkan setiap detik yang kita alami dalam hidup.

Dengan menghargainya maka diharapkan kita dapat menikmati hidup dengan indah (h. ix). Lantas, timbul pertanyaan, “Bagaimanakah cara menikmati hidup yang penuh dengan keindahan?”

Ardian mengingatkan bahwa Cherish Every Moment bukanlah suatu teori tetapi sesuatu yang harus kita alami sendiri. Kita harus menemukan keindahan dalam setiap detil kegiatan yang sedang kita lakukan saat ini dengan senantiasa mengingat-ingat arti hidup kita di dunia ini (h.xi). Tentu saja keinginan untuk menjadi manusia berguna atau bermanfaat adalah dambaan semua orang, tapi problemnya kita sering menyepelekan sang waktu, dengan menganggap waktu kita begitu banyak dan hidup kita masih panjang.

Misalnya, saja, cerita tentang seorang wanita karir yang banyak menghabiskan waktunya di dalam pekerjaannya. Ia mempunyai seorang anak berusia 6 tahun. Saking sibuknya ia jarang meluangkan waktunya dengan anaknya. Kebutuhan hidup anaknya sebetulnya selalu terpenuhi, namun kebersamaannyalah yang jarang terpenuhi. Si anak ingin sekali ibunya selalu memandikannya sebelum ia berangkat bekerja, namun hal itu tak bisa dipenuhi ibunya, karena pekerjaan menuntutnya untuk tepat waktu, walau sebenarnya sang ibu berjanji suatu saat nanti akan ia memandikannya. Pada suatu hari, saat ia berada di luar kota, anaknya sakit keras mengidap demam berdarah, yang kemudian mengantarkannya kepada kematian. Wanita itu pun sangat sedih. Namun yang lebih sedihnya lagi adalah ia tak bisa memenuhi janjinya, untuk memandikan anaknya, kecuali memandikan saat anaknya sudah menjadi mayat (h. 8)

Buku ini penuh dengan kisah-kisah yang sarat dengan nasihat dan teladan. Kisah-kisahnya sungguh tak jauh dari kehidupan kita sehari-hari. Kisah-kisah yang ringan, realistis, dan sederhana namun padat oleh pesan-pesan moral. Dan lebih istimewanya lagi tak jauh dari apa yang sering kita lakukan. Sebagaimana penulisnya sendiri mengatakan bahwa tema-tema yang diangkat dalam buku ini adalah tema-tema yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ada tema-tema yang berkaitan dengan cinta, hubungan antar pribadi, manajemen diri, Tuhan dan spiritualitas. Di mana semua hal di atas intinya adalah mengajak kita untuk merenungkan arti hidup ini, menemukan apa yang paling penting dan menikmati hidup yang penuh keindahan setiap saat (h. xv).

Setiap tulisan mempunyai rel yang sama dan bermuara pada satu hal, yaitu bagaimana menjadi manusia terbaik pada saat itu juga, bukan pada saat masa yang akan datang. Karena dengan seperti itu, segala waktu kita diisi dengan apik. Misalnya saja, dalam konteks interaksi dengan manusia, kita harus berlaku seakan-akan hari ini adalah hari terakhir bagi kita. Dengan begitu, perlakuan kita akan selalu terkontrol dan menjadi manusia yang baik. Peradigma seperti itu dapat diterapkan dalam hal apa saja, baik hubungan dengan Tuhan maupun dengan makhluk lainnya.

Life is a Choice dan Do Now You’re Going To? adalah sekadar contoh tulisan sebagaimana yang telah digambarkan di atas dalam buku tersebut. Dalam Life is a Choice, misalnya, kita diingatkan agar berhati-hati dalam memilih, karena akan menentukan kualitas hidup kita. Misalnya, jika kita dalam keadaan ingin emosi, maka pilihan benar-benar ditentukan oleh kita yang mengantarkan baik dan tidaknya kualitas kita. Sedang dalam Do Know You’re Going To? Kita diajak merenung tentang hakikat hidup kita apa yang sebenarnya kita cari di dunia ini? Dan kemana kita akan pergi setelah ini?

Selain hal di atas, tulisan-tulisan Arvan juga mengajak kita untuk berpikir positif (positive thinking) dan optimis dalam memandang sesuatu. Lihat saja, misalnya, dalam judul Tuhan Marahkah Kau Padaku? banyak orang menganggap bencana gempa bumi disusul tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogya itu adalah hukuman dari Tuhan atau cara Tuhan untuk mengakhiri penderitaan penduduk Aceh dari DOM (Daerah Operasi Militer) (h.78). Namun, Arvan memandang bahwa: pertama, itu adalah fenomena alam, dan Tuhan dengan kasih sayang-Nya telah memberikan tanda-tanda. Pada tahun 2003 misalnya, ada seorang pakar geologi dari Thailand yang telah melihat tanda-tanda itu. Pakar tersebut kemudian memprediksikan akan terjadinya tsunami di Asia di tahun 2004. Prediksinya terbukti (h. 79-80). Kedua, do the best and let god do the rest. Kita melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan dan membiarkan Tuhan melakukan sisanya. Ketiga, jangan sombong.

Jika dilihat dari kemasan tulisannya, buku ini terbilang unik, karena buku ini berbentuk wawancara, di mana faedahnya adalah kita bisa langsung merasakan manfaatnya sesuai dengan kebutuhan kita dari pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tersebut.

Keunikan lainnya lagi adalah di setiap akhir tulisan terdapat kutipan kata-kata mutiara dari para tokoh dunia, yang sungguh sangat bermanfaat bagi kita untuk bahan pengingat dan penggugah. Tapi sayangnya kata-kata tersebut menggunakan Bahasa Inggris yang secara tidak langsung membatasi para pembaca yang belum mampu berbahasa tersebut. Namun, penulis menyadari hal itu, maka kemudian ia memberikan kutipan-kutipan yang dirasa penting di setiap sub judul halaman kedua-sisi kiri dan ketiga-sisi kanannya, yang diambil dari tulisan di dalam tulisan tersebut. Hal ini sangat membantu para pembaca untuk menemukan inti dari setiap masing-masing yang ada dalam judul tulisan tersebut.

Jumat, Agustus 15, 2008

Shahrur Dan Pembacaan Al-Quran Kontemporer

(mohon maaf tidak ada covernya)
Judul buku : Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur'an Kontemporer
Judul asli :Al- Kitab wa al-Qur'an:Qiro'ah Mu'ashiroh
Penulis : Dr.Ir. Muhammad Shahrur
Penerbit : ElSAQ Press, Yogyakarta, cetakan 1, Oktober 2004
Tebal : V+ 318 halaman

Wacana pemikiran tentang keislaman di dunia Arab-Islam semakin berkembang setelah sekian lama mengalami stagnasi yang telah menyebabkan kaum muslimin mengalami kemunduran. Namun kadang dengan maraknya pemikiran yang ditawarkan olah para cendikiawan Islam telah mengundang perdebatan yang tidak sehat.

Hal itu sangat wajar karena wacana keilmuan di dunia Arab selalu saja dibatasi oleh ideologi yang mereka anut, sehingga jika ada 'paham baru' maka mereka sama-sama mencurigainya. Sebut saja, misalnya, Abid Al Jabiri, Muhammad Arkoun, Fazlurrahman, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Muhammad Shahrur, dimana mereka semua mendapat kritikan yang pedas gara-gara melontarkan ide – ide yang berbeda dengan kebanyakan orang.

Nasr Hamid Abu Zaid telah mendapat pengalaman pahit gara-gara buku "Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khitab al-Dini)" berisi tentang kritikan yang tajam terhadap wacana keagamaan di dunia Arab, khususnya mengenai pembacaan Al- Quran yang –katanya-- hanya sebatas pembacaan yang diulang-ulang (Al Mutakarrirah), tidak ada pemaknaan yang kontekstual.

Dalam buku "Al-Kitab Wa al-Qur'an: Qiro'ah Mu'ashirah" yang telah diterjemahkan menjadi "Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur'an Kontemporer" buah tangan Muhammad Shahrur ini telah memperkuat pendapat Nashr Hamid Abu Zaid walau pendekatannya agak berbeda. Hal itu disebabkan background Shahrur sebagai ahli teknik dan sains. Setelah itu dia menekuni filsafat dan linguistik yang kemudian memfokuskan penelitiannya pada studi Al-Qur'an.

Al-Qur'an, bagi Shahrur, mempunyai dua sisi kemukjizatan apabila dilihat dari aspek linguistik, yaitu sastrawi dan ilmiah. Dalam aspek sastrawi beliau menggunakan pendekatan deskriptif-signifikatif-yaitu melalui teori sastra dan gramatika, dan aspek ilmiahnya menggunakan pendekatan historis-ilmiah-merujuk pada asbab an-Nuzul (sebab turunnya ayat). Adapun terhadap ayat-ayat hukum beliau menggunakan teori limit (Nazariyat al-Hudud), yaitu batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.

Bagi Shahrur, semua ayat dalam al-Qur'an bisa dipahami secara pluralistik, maknanya bisa berubah sesuai dengan ruang dan waktu, tidak mesti bermakna satu, yaitu ketika ayat itu turun. Sebenarnya yang dia inginkan dalam pembacaan ayat-ayat muhkamat bersifat produktif dan prospektif (qira’ah muntijah), bukan pembacaan repetitif dan restrospektif (qira’ah mutakarrirah).

Buku terjemahan ini merupakan buku pertama yang baru diterjemahkan sepertiga dari buku aslinya yaitu, Al-Kitab wa al-Qur'an:Qira'ah Mua'shirah, yang terdiri dari enam sub bab pokok, di antaranya perbedaan antara al-Qur'an, al-Kitab, al- Furqan, dan ad-Dzikr. Dan juga tentang Al Qur'an dan Sab'ul Matsani (tujuh ayat pembuka surat dalam al-Qur'an), kemudian tentang pembedaan antara kenabian dan kerasulan, konsep inzal dan tanzil, serta kemukjizatan al-Qur'an dan pentakwilannya.

Ia telah menolak sinonimitas dalam al-Quran, karena setiap kata mempunyai karakter dan makna tersendiri yang tidak bisa diartikan sama. Begitu juga kata al- Qur'an, al-Kitab, al-Furqan, dan ad-Dzikr yang mempunyai arti tersendiri walau semuanya merujuk pada satu kesatuan.

Buku ini begitu komprehensif, karena bukan hanya penafsirannya yang dia tulis tapi juga metodologinya, sehingga kita bisa meneliti apakah penafsirannya itu sesuai atau tidak dengan metodologi yang dia gunakan. Inilah kelebihan dan perbedaan buku Shahrur dari buku-buku lain yang membahas tentang Al-Qur'an.

Karya ini begitu monumental dan memancing kontroversial di dunia Arab-Islam bahkan di dunia Islam pada umumnya. Karena sesungguhnya buku ini merupakan penafsiran ulang (reinterpretasi) ayat-ayat al-Qura'n yang dia sesuaikan dengan perkembangan zaman dimana dia bercermin pada karya-karya sebelumnya.

Buku ini patut dibaca bagi siapapun yang ingin menggali ilmu-ilmu al-Qur'an karena selain kualitas buku ini sendiri yang menggunakan perspektif baru, juga didukung terjemahannya yang baik yang memudahkan kita untuk memahami proses transfer pengetahuan dari teks aslinya.

Melihat Virginia Lewat Dalloway


Percaya atau tidak ternyata menulis itu bisa menyembuhkan. Menulis seperti halnya obat atau terapi untuk menyembuhkan suatu penyakit. Tentunya bukan penyakit yang bersifat fisik yang ada luka di salah satu anggota tubuh. Penyakit yang bisa disembuhkan oleh aktivitas menulis ialah penyakit hati, penyakit yang diderita karena tekanan-tekanan hidup seperti kurangnya rasa percaya diri, sensitif, dan emosional.
Novelis Inggris telah membuktikannya. Dia bernama Virginia Woolf. Konon dia sering mencoba bunuh diri gara-gara tekanan hidup. Sering kali dia mengalami ketidaksadaran diri, emosional yang berlebihan, dan kehilangan harapan. Ketika mengalami hal demikian, maka satu-satunya obat ialah menulis.

Bagi dia menulis merupakan obat sekaligus pelarian. Menulis sebagai obat karena dia merasa kelegaan yang luar biasa ketika gejolak-gejolak emosinya keluar dengan deras. Dan menulis sebagai pelarian adalah lari dari kenyataan. Kenyataan dalam hidupnya yang sering menekan batin, memaksanya membuat dunianya sendiri, tak lain dan tak bukan medianya adalah menulis novel. Dan tak heran jika novel-novelnya kebanyakan bercerita tentang gejolak-gejolak emosi para tokoh dan pemberontakan terhadap realita.
Mrs. Dalloway adalah salah satu novel yang sangat fenomenal dan revolusioner yang lahir dari racikan tangan Virginia. Menurut Michael Cunningham, penulis The Hours, novel inilah yang telah mengantarkan Virginia memperoleh penghargaan hadiah Pulitzer pada 1999. Karena novel ini pula, Virginia dianggap sangat pantas untuk disejajarkan dengan para novelis Inggris lainnya, seperti William Shakespeare, T.S. Eliot, dan George Orwell. Novel ini memberi pengaruh kuat sastra modern abad ke-20. Stilistikanya yang indah dan jalinan ceritanya yang memukau, membuat novel ini banyak dipuji dan dijadikan inspirasi oleh para penulis lain. Novel ini telah pula diadaptasi menjadi sebuah film yang tokoh utamanya diperankan oleh bintang terkenal Nicole Kidman.
Dalam novel ini ada dua tokoh utama yang menjadi fokus cerita, yaitu Mrs. Dalloway, istri Richard yang merupakan anggota palemen, dan yang kedua Septimus Smith yang mengalami kegilaan akibat perang. Cerita diawali saat Mrs. Dalloway membeli bunga untuk persiapan pestanya. Dalam perjalanannya ke London, dia tiba-tiba teringat akan kenangan-kenangan lamanya saat seumuran Elizabeth, anaknya, dan terutama saat dia bersama Peter, kekasih masa lalunyua, serta perjumpaan-perjumpaan dengan yang lainnya yang telah memberikan kesan yang mendalam yang tak bisa dilupakan.
Cerita yang bergaya flash back ini menjadi pengamatan menarik bagi para pengamat sastra. Salah satu yang didapatkan dari novel ini ialah bahwa dia memakai gaya atau teknik stream of consciousness (arus kesadaran). Artinya, novel ini sebuah dialog batin yang jarang sekali membuat dialog secara langsung antar tokoh. Dengan teknik ini timbul beberapa efek yang mempengaruhi para pembaca, dan dengan teknik ini pula kita bisa memahami kondisi penulis itu sendiri.
Adalah seorang Mrs. Dalloway tengah mengalami kecamuk kejiwaan gara-gara realitas yang kadang merugikan dirinya. Dialog langsung dalam hatinya atau komunikasi hanya pada dirinya menandakan bahwa Dalloway tengah mengalami konflik kejiwaan. Ada pemberontakan dan kelainan jiwa. Pemberontakan saat ia tidak ingin menikah dengan Peter, karena bisa mereduksi kebebasan hidupnya, "… bahwa tepat baginya untuk tidak menikah dengan Peter. Dalam suatu pernikahan harus ada izin, sedikit kebebasan antara dua manusia hidup bersama hari demi hari di rumah yang sama; seperti yang ada antara Richar dan dirinya…, …tetapi dengan Peter, segalanya harus dibagi sama; semua harus dijalani bersama. Dan Clarissa tidak akan tahan akan hal itu, dan saat kejadian di taman di dekat air mancur, Clarissa harus melepaskan diri dari Peter atau mereka berdua akan hancur, mereka berdua akan rusak, Clarissa yakin benar akan hal ini."
Adapun kelainan jiwa yang dihadapinya ialah dia tengah mengalami perubahan ketertarikan, yaitu ketertarikan pada sesama jenis (lesbian). Clarissa menyukai Sally, teman akrab lamanya yang disukainya.
Tokoh utama kedua, Septimus Smith, diceritakan tengah mengalami tekanan batin yang sangat akut bahkan sudah mencapai kegilaan. Masa lalu yang menyebabkan ia begitu menderita menyebabkan istrinya kerepotan mengurusnya. Beberapa dokter mencoba menyembuhkannya tapi gagal semua. Namun cerita ini sungguh simbolik. Melalui tokoh Septimus, Virginia ingin—sekali lagi—protes terhadap realitas, "Pria tidak boleh menebang pohon. Tuhan itu ada. …ubahlah dunia. Tidak ada satu manusia pun yang boleh membunuh karena rasa benci. Beritahukanlah pada semua orang.(42-43).
Buku yang berjumlah 232 halaman ini agak sedikit sukar dipahami jika kita tidak benar-benar jeli membacanya, karena ini bukanlah novel pop yang mudah dicerna sambil menonton televisi. Ceritanya sungguh tidak mudah diikuti oleh alur pikiran kita apalagi membaca pada halaman-halaman awal. Inilah efek dari gaya bahasa yang berbeda dengan kebanyakan novel lain seperti yang telah disebutkan di atas. Namun itulah sesungguhnya yang menjadi kekhasan Virginia yang pantas dianggap disejajarkan kedudukannya dengan novelis dunia seperti William Shakespeare.
Sebuah karya sastra itu digali dari pengalaman batin sang penulisnya. Begitu pula dengan novel ini. Kita bisa melihat Virginia lewat novel ini, betapa berontaknya dia terhadap realitas. Jika kita tilik sejarahnya, banyak sekali karakter Virginia diwakili oleh Mrs. Dalloway dan Septimus. Dari Mrs. Dalloway, misalnya, sama-sama berontak terhadap norma-norma yang sudah mapan, seperti masalah perkawinan, jender, cinta, dan agama. Dan dari Septimus ialah sama-sama menderita akibat sosio-kultural. Satu hal lagi yang sesuai dengan sejarah hidupnya ialah ketika Mrs. Dalloway mencintai Sally. Dan dalam hidup Virginia, dia pernah menjalin hubungan intim dengan sesama jenis.
Tentu buku ini hanyalah sebuah fiktif belaka tidak bisa disamakan dengan biografi penulisnya. Namun yang perlu kita garis bawahi ialah betapa pentingnya buku ini untuk dibaca sebelum membaca karyanya yang lain, karena karya ini dianggap perintis dari gaya tradisional menuju gaya modern. Walau buku ini terjemahan namun tidak mereduksi kelezatan aromanya. Tapi, sekali lagi, buku ini membutuhkan pembacaan yang khusuk dan kontemplatif. Kita patut menyambut gembira atas diterbitkannya karya Virginia Woolf yang masih asing di tanah air kita ini.

Kamis, Agustus 14, 2008

Gereja Undercover


Judul Buku: Gereja dan Penegakan HAM
Penulis: George Junus Aditjondro, dkk
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2008
Tebal: 251 halaman

Percayakah Anda, bahwa institusi keagamaan pun dapat terjangkit virus korupsi? Jika tidak percaya, buku Gereja dan Penegakan HAM adalah jawabannya. Buku tersebut berisikan adanya korupsi di lingkungan gereja. Tak berlebihan jika buku tersebut diberi judul seperti itu, karena korupsi memang sebuah bentuk kejahatan yang dapat mencapai pada level Hak Asasi Manusia (HAM). Bagaimana tidak, jika salah seorang dalam institusi ada yang korupsi maka dia sesungguhnya telah merugikan institusi tersebut.

Nah, buku karangan George Junus Aditjonro, dkk. ini telah membongkar pelbagai peristiwa pelanggaran di lingkungan gereja, khususnya perihal korupsi, dan umumnya perihal HAM. Dan secara keseluruhan dapat kita lihat betapa "petinggi-petinggi" gereja telah menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, di antaranya adalah memanipulasi bantuan jemaahnya. Pada kasus dana bantuan dari jemaah Gereja Kristen Sulawesi (GKST) untuk korban tsunami Aceh, misalnya, telah disalahgunakan dana yang berjumlah 27.538.450 dari hasil pengumpulan jemaah di atas tidak disalurkan, malah masuk pada institusi yang dipercaya. Dalam hal ini adalah Majelis Sinode (MS) GKST.
Bahkan ternyata tidak hanya itu, MK GKST juga tidak menyalurkan sepenuhnya bantuan dari para jemaah untuk korban bom di Pasar Tentena. Jumlah Rp 338 juta tapi yang disalurkan hanya Rp162 juta. Sisanya, Rp. 25 juta masuk pada MS GKST. Fakta Itu hanyalah sekelumit bukti untuk satu lembaga mengenai korupsi yang terjadi di institusi keagamaan. Masih banyak lagi lembaga-lembaga lainnya yang dibeberkan dalam buku tersebut.
Sungguh ironis sebetulnya kenyataan di atas. Satu sisi gereja adalah tempat mendekatkan diri pada Tuhan dan penyucian jiwa, tapi ternyata sisi lain menjadi sarang koruptor yang membungkus pelakunya dengan baju agama. Berbagai bantuan materi jemaah yang dipercayakan kepada gereja, ternyata disalahgunakan. Sebuah hal yang paradoks itu, sungguh tak terduga dan tak disangka. Masyarakat seratus persen percaya bahwa menyalurkan bantuan melalui instansi keagamaan (baca: gereja) adalah langkah yang tepat. Mereka menganggap tak akan terjadi penyelewengan-penyelewengan karena orang-orangnya mesti paham dan mempraktikkan ajaran-ajaran agama.
Tapi ternyata praduga itu salah. Pesan agama, dalam hal ini adalah pesan Yesus, untuk mengasihi sesama manusia ternyata tak digubris juga. Pengelola gereja ternyata "mata duitan". Mereka menjadi serakah dan gelap mata saat melihat setumpuk uang di tengah kekuasaannya.
Penyebab terjadinya penyalahgunaan bantuan tersebut adalah tidak adanya transparansi tentang keluar-masuknya dana bantuan itu. Ketidakadaan itu dijadikan kesempatan oleh oknum-oknum gereja. Maka tak ayal lagi, para elite gereja harus menjadi suri tauladan dan pionir dalam hal ini. Mereka harus transparan, amanah, dan bertanggung jawab atas pengelolaan dana bantuan jemaahnya. Jika terjadi penyelewengan, mereka harus segera memprosesnya, bukan malah menutupinya. Jangan sampai kaum elit gereja, entah itu pendeta, maupun biarawati, menjadi rusak citranya dan kehilangan wibawa serta kepercayaan dari para jemaahnya, khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Bahkan tidak berhenti di situ, citra Tuhan pun menjadi ikut rusak. Padahal, sebagaimana dikatakan Paulus bahwa citra Tuhan adalah menebarkan cinta kasih sayang terhadap seluruh alam semesta. Oleh karena itu, masalah korupsi ini harus benar-benar diperhatikan oleh semua elemen yang terkait dengan instansi keagamaan. Bahkan harus ditangani pengelolaannya secara profesional, agar tidak terjadi KKN.
Dus, buku ini sangat penting bagi pemerhati sosial-keagamaan. Lebih khususnya lagi adalah kaum Kristen. Namun, buku ini sesungguhnya menyentil bagi lembaga keagamaan apa pun, termasuk Islam. Karena, tak menutup kemungkinan di institusi keislaman pun terjadi praktik seperti ini. Terlebih-lebih masjid lebih banyak jumlahnya dibanding gereja. Belum lagi lembaga-lembaga lain yang mengatasnamakan atau berlabel Agama Islam. Oleh karena itu, fakta yang dibeberkan dalam buku ini menjadi cermin bagi umat Islam juga. Tidak mustahil terjadi, bukan?

Sabtu, Agustus 09, 2008

Wanita-Wanita Tumbal Sang Casanova



Judul: Killing Her Softly
Penulis: Beverly Barton
Penerbit: Dastan Books
Terbit : Juli 2008
Tebal: 600 halaman

“Cintai mereka- lalu tinggalkan” itu mungkin sudah menjadi semboyan sang casanova. Julukan bagi seorang penakluk wanita yang selalu ingin menyenangkan dan menyayangi perempuan. Cerita sang casanova memang sudah melegenda sebagai sosok pengagum wanita. Menjalin hubungan singkat lalu meninggalkannya tanpa jejak. Laki-laki yang terkenal akan buaya daratnya membuat wanita-wanita cantik bernasib malang terjerumus dalam kebodohan yang dibuatnya sendiri. Begitulah sudah menjadi reputasi sang casanova -mempunyai tampang memikat -penakluk hati setiap perempuan. Tokoh inilah yang dilakonkan Quinn Cortez disebut-sebut sebagai sang casanova dalam novel killing her softly karya Beverly Barton.

Quinn Cortez pengacara terkenal di Houston, diduga menjadi penyebab nasib tragis semua wanita yang menjadi kekasihnya, yang berakhir meregang nyawa di ranjang tempat tidurnya.

Wanita-wanita cantik telah dikorbankan untuk menebus dosa sang casanova. Lulu Vanderly, -disebut dalam prolog novel killing her sofly- gadis cantik yang kaya raya. Adalah salah satu kekasih Quinn yang tewas terbunuh di tempat tidurnya dengan cara dibungkam bantal dan jari telunjuknya telah dipotong-postmortem. Lulu gadis yang sangat tergila-gila pada Quinn. Di malam sebelum ia terbunuh, ia tengah menanti kedatangan Quinn kekasihnya.

Keluarga lulu sangat terpukul mendengar kabar kematiaannya. Sehingga Annabelle Vanderley sepupunya bersumpah akan menemukan pembunuhnya. Annabelle ditunjuk menjadi wakil keluarga Vanderley dan diberi tanggung jawab besar menyelesaikan semua permasalahan kematian sepupunya. Tugas inilah rupanya yang membawa pertemuaannya dengan Quinn Cortez tersangka utama pembunuhan lulu.

Sejak awal pertemuan Annabelle dengan Quinn inilah novel ini mulai bergulir. Memaparkan kisahnya melacak pembunuh Lulu Vanderley dan kekasih-kekasih Quinn yang lain. Disertai intrik-intrik drama romantis yang mengagumkan. Bagaimana tidak? Ternyata Quinn Cortez seorang pengacara terkenal di Houston yang diduga terlibat kasus pembunuhan lulu Vanderley, justru jatuh cinta sama Annabelle Vanderley sepupu korban yang pada dasarnya akan menjadi lawan hukumnya.

Quinn Cortez harus meyakinkan pihak kepolisian dan juga Annabelle bahwa ia tidak membunuh Lulu. Quinn bersama pengacaranya Kendall Wells berusaha mencari pembunuh yang sebenarnya. Kendall Wells yang juga sahabat lamanya tak lain adalah salah wanita pengagum Quinn. Dia mencintai Quinn dan menikmati hubungan singkat yang diinginkannya. Semua wanita termasuk Kendall seorang pengacara yang hebat dengan mudah terjerat dalam jaring sang penakluk.

Pemandangan mengejutkan saat Quinn akan menemui Kendall di rumahnya, Kendall terbunuh sama persis dengan kematian Lulu. Dibungkam dan dipotong jari telunjuknya. Dua wanita kekasih Quinn telah terbunuh dengan cara yang sama. Quinn semakin terpojok dengan dugaan kuat bahwa dirinya terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut. Seorang detektif berhasil menemukan bahwa 3 wanita dibunuh dengan cara yang sama dibungkam dan jari telunjuknya telah hilang. Joy Ellis di New Orleans, Carla Millican di Dallas dan Kelley Fleming di Boytown. Wanita-wanita itu pernah menjalin hubungan dengan Quinn Cortez dan dibunuh dengan cara yang sama. Quinn masih mengingat semua kenangan bersama mereka. Tapi tidak untuk wanita yang bernama Kelley fleming yang sulit untuk dingatnya.

Tak ayal lagi, Annabelle juga seperti dibius oleh daya pikat sang casanova. Apakah ia akan membiarkan dirinya terjerat masuk dalam daftar kekasih Quinn Mengorbankan dirinya untuk tumbal sang casanova. Ada ketakutan yang menyergapnya bahwa Quinn mempunyai kepribadian ganda yang sekali waktu dapat keluar dari tubuhnya dan menjadi Quinn yang lain yang bisa membunuh. Quinn bahkan mengatakan padanya bahwa ia mengalami pingsan di saat wanita-wanita itu terbunuh, dan tersadar setelah semuanya terjadi. Apakah dalam pingsannya ia dapat membunuh?.

Quinn dikenal sangat penyayang. Bahkan sangat dicintai dan dikagumi staf-stafnya. Jace Morgan, Aaron Tully dan Mercy. Dan siapa yang tidak terpesona oleh Quinn sang casanova? Bahkan termasuk juga Mercy assisten pribadinya yang setengah mati mengharap Quinn mau menerima cintanya. Tapi wanita mana yang bisa lolos dari kematian. Karena kebodohannya mencintai sang casanova. Mercy pada akhirnya mengalami nasib yang sama.
Siapa pembunuh sebenarnya yang sangat suka mengoleksi jari telunjuk wanita-wanita pemuja sang casanova? Seorang anak –Quinn kecil- mempunyai masa lalu yang sangat tragis. Sehari-hari ia harus menghadapi siksaan ibunya yang selalu menudingkan jari telunjuknya tepat ke arah hidungnya. “Kamu anak nakal yang telah dikutuk mewarisi wajah tampan Quinn.” Ia sangat ketakutan menghadapi kebengisan sang ibu yang tertawa puas disaat ia menangis kesakitan. Ia sangat membenci jari telunjuk itu. Hingga pada waktunya ia mampu menghentikan teror ibunya. Ia akan melakukan pembebasan itu.
Membebaskan wanita-wanita bodoh dengan penuh kelembutan agar dapat terlepas dari penderitaan karena mencintai sang casanova. Quinn harus membayar semuanya, menebus apa yang pernah ia lakukan pada ibunya juga dirinya. Anak yang diterlantarkan begitu saja. Benih dari percintaan seorang gadis kurus tinggi semampai –Kelley Fleming- yang pernah tidur bersama Quinn.

Inilah klimaks dari novel ini. Dimana pada akhirnya Quinn Cortez berhadapan dengan Quinn jahat, pembunuh kekasih-kekasihnya. Yang tak lain adalah Jace Morgan, staf pribadinya. Bocah yang ditemukannya di pinggir jalan saat berumur 16 tahun, yang tanpa disadarinya begitu mirip dengannya. Dan Jace membuat pengakuan bahwa Quinn harus menebus dosa-dosanya. Akhir yang sangat mengharukan karena Quinn menyadari dan tahu bahwa ia tak dapat mengubah masa lalunya, ia tak dapat kembali dan menyelamatkan jace. Walau ia dapat menyelamatkan Annabelle dari sergapan pembalasan Jace. Quinn justru telah menghabisi nyawa anaknya sendiri.

Novel ini sangat mengasyikkan untuk dibaca habis hingga tuntas. Teka-teki untuk menemukan misteri pembunuhan menyebar dari bab ke bab. Pembaca bahkan dituntun untuk tidak berkedip sedikitpun menikmati ketegangan alur cerita yang sebentar-sebentar dibumbui kisah romantis pelaku utamanya ataupun pelaku-pelaku pelengkapnya. Kisah-kisahnya kerap menjadi kejutan tak terduga dan bahkan dapat mengelabuhi pembaca terseret dalam adegan percintaan dan dengan tiba-tiba berpindah untuk berpikir keras menemukan benang merah dari kasus pembunuhan berantai.

Membaca Killing Her Softly menjadi pelajaran penting bagi kita. Kisahnya masih sangat relevan dengan fenomena masa kini. Dimana orang tua “ayah, kaum laki-laki” kerap menjadi sorotan justru tidak jarang malah menyelewengkan tugas dan tanggung jawabnya. Seorang ayah seharusnya mampu memberi pengayoman dan kasih sayangnya terhadap anak dan istrinya. Dan walau bagaimanapun tindakan ceroboh dan kebodohan masa remaja kita tak pelak akan membentuk pribadi anak-anak keturunan kita.
-- Robi'ah Dawami

Rabu, Agustus 06, 2008

Memoar Tentara Cilik


Judul : A Long Way Gone – Memoar Seorang Tentara Anak-Anak –
Penulis: Ishmael Beah
Penerjemah : Cahya Wiratama
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Edisi : I, Februari 2008
Tebal : 316 halaman

Bisakah Anda membayangkan bagaimana perasaan seorang anak-anak berada di tengah-tengah konflik bersenjata? Menderita? Itu adalah hal pasti yang dirasakan semua orang. Tapi, bagi anak-anak bisa lebih dari itu. Ketakutan akan kematian plus pisah dari orangtua dan saudara adalah dua sisi mata uang. Dan tahukah Anda bahwa konflik bersenjata terkadang memunculkan fenomena baru, yaitu adanya perekrutan anak-anak untuk menjadi tentara/pejuang?


Ya, setidaknya itulah yang dibuktikan oleh Ishmael Beah. Melalui bukunya, yang tak lain adalah memoarnya sendiri berjudul A Long Way Gone – Memoar Seorang Tentara Anak-Anak, menggambarkan bagaimana perjalanan seorang tentara anak di Afrika Barat. Pada tahun 1993 usia Ishmael 12 tahun. Waktu itu dia sudah ada dalam kamp pengungsi. Bersama kakak dan temannya dia mengikuti pertunjukan bakat di kota Matru Jong. Ketika di sana dia mendengar kabar bahwa desa kelahirannya diserang kaum pemberontak RUF (Revolutionary United Front). Mereka pun bertiga pergi ke sana hendak mencari tahu kondisi orangtua dan saudara-saudara lainnya. Sesampai di sana mereka tidak menemukan saudaranya satu pun. Nah, dari situlah mereka memulai perjalanan tak berujung demi menemukan anggota keluarga dan menyelamatkan diri dari kekejaman perang.
Dalam setiap perjalanan pencarian selalu mempunyai pengalaman tersendiri. Tapi, satu hal yang selalu sama dialaminya yaitu selalu dalam ancaman pembunuhan. Harus diketahui bahwa setiap perbatasan desa dijaga oleh para penjaga desanya masing-masing, walau sesungguhnya mereka adalah para relawan, bukan tentara. Ia dan para pengungsi lainnya selalu dicurigai oleh penduduk yang dilewatinya, sebagai mata-mata pemberontak.
Suatu hari saat terjadi bentrokan dengan para pemberontak, Ishmael terpisah dari kelompoknya dan bergabung dengan kelompok lainnya. Bersama kelompok ini, ia pergi menuju desa Yele, tempat aman di bawah kekuasaan Sierra Leone, para penumpas pemberontak RUF. Tapi ternyata justru mereka masuk “mulut buaya”, lantaran desa tersebut ternyata sudah diduduki oleh para pemberontak RUF. Maka, secara tidak langsung mereka menyerahkan diri pada pemberontak. Ishmael bersama laki-laki lain dijadikan tahanan, terus dicuci otaknya serta dilatih menjadi tentara. Walau dia masih anak-anak, bersama laki-laki lainnya juga yang sebaya, sudah dianggap dewasa dan harus menjadi tentara para pemberontak. Kekurangan personel militer adalah alasan logis untuk merekrut mereka menjadi tentara. Setelah dilatih, maka resmilah dia menjadi tentara (anak-anak). Dan agar lebih berani, anak-anak itu pun diberi narkoba dengan macam-macam campuran.
Tulisan yang berdasarkan pengalaman ini benar-benar “hidup”, yang mampu memiris hati kita yang membacanya. Sketsa perang yang sesungguhnya masih bersaudara itu begitu tergambar jelas, di mana satu sama lain saling membunuh tanpa rasa bersalah. Nyawa-nyawa sepertinya sudah tidak berharga lagi.
Kelihaiannya dalam melukiskan perjalanan pribadinya, serta memukau para pembaca di Barat sana, buku memoar ini berhasil mendapat predikat salah satu buku nonfiksi terbaik 2007 dari Publisher Weekly. Sedang oleh toko buku maya, Amazon.com, dimasukkan pada daftar sepuluh besar buku terbaik 2007. padahal buku ini dituduh memanipulasi sejarah. Misalnya adalah penyerangan pemberontak RUF di kota Matru Jong terjadi pada 1995, bukan 1993 sebagaimana diceritakan Ishmael. Oleh karena itu, sesungguhnya Ishmael diyakini menjadi tentara anak selama beberapa bulan di usia 15 tahun, bukan selama beberapa tahun seperti yang Ishmael tuturkan.
Buku ini, paling tidak membuka mata dan pikiran kita bahwa anak-anak usia di sekitar 20 tahun-an sangat digemari untuk direkrut menjadi tentara relawan di daerah-daerah konflik. Mereka akan dilatih dan dicuci otaknya untuk menyerang musuh mereka dan membela daerah atau pun keyakinan mereka. Bukankah ini sangat berpeluang di masyarakat kita?

Mempertanyakan Kembali Kemerdekaan Indonesia


Judul : Agenda-Mendesak Bangsa;Selamatkan Indonesia!
Penulis: M.Amien Rais
Penerbit: PPSK Press, Yogyakarta
Cetakan: I, April 2008
Tebal: xviii + 298

Tahukah Anda bahwa produksi minyak nasional Indonesia sebesar satu juta barrel per hari sekarang ini sudah didominasi oleh korporasi asing? Tahukah Anda muatan laut Indonesia sebesar 46,8% dikuasai oleh kapal berbendera asing? Dan tahukah Anda 50% perbankan nasional juga dikuasai oleh asing? Serta yang tak kalah penting juga, tahukah Anda telekomunikasi yang ada di negara kita juga dikendalikan oleh asing? Di antaranya Indosat dimiliki Temasek Singapura, saham Telkom 35% dikuasai asing, sedang XL 98%. Masih banyak lagi data-data penting tentang aset-aset Indonesia bernasib seperti di atas yang akan Anda ketahui manakala Anda membaca buku Agenda Mendesak Bangsa;Selamatkan Indonesia! karya M.Amien Rais.


Amien Rais, tokoh nasional yang tidak asing lagi di telinga kita, tak habis pikir mengapa rakyat Indonesia masih terus saja miskin, terbelakang dan tercecer dari bangsa-bangsa lain. Padahal reformasi sudah bergulir. Di antara sekian permasalahan bangsa, ekonomi adalah porsi terbesar yang menjadi kegelisahan Amien Rais. Mesti ada yang salah, pikir dia. Negara Indonesia yang sangat kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA), mestinya cukup menghidupi rakyatnya. Tapi, keadaan sebaliknya. Rakyat Indonesia semakin hari semakin banyak yang miskin.
Kenyataan membuktikan bahwa ternyata SDA kita digunakan sebagian besar bukan untuk kita, melainkan untuk negara-negara lain. Ya, kekayaan alam kita dikuras dan dijarah oleh korporasi asing. Bahkan tidak hanya itu, sektor-sektor vital ekonomi lainnya seperti perbankan dan industri juga dikuasai orang asing. Inilah model penjajahan akhir abad 20 dan 21.
Disadari atau tidak, kenyataan membuktikan bahwa Indonesia sedang dijajah sebagaimana yang pernah dialami puluhan tahun lalu. Sejarah telah berulang di tanah Indonesia. Hanya bentuk atau format saja yang berbeda. Jika dahulu pendudukan fisik dan militer Belanda menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan kemerdekaan, kemandirian dan kedaulatan politik, ekonomi, sosial, hukum, dan pertahanan. Maka sekarang, pendudukan secara ekonomi oleh para korporator dari negara-negara Barat. Hasilnya sama, Indonesia masih tetap kehilangan kemandiriannya. Bangsa kita masih tetap tergantung dan menggantungkan diri pada kekuatan asing.
Ketidakmandirian dalam bidang ekonomi, kata Amien, sebetulnya akan berimbas pada bidang politik, diplomatik, pertahanan dan militer kita. Hampir setiap kebijakan domestik dan kebijakan luar negeri Indonesia selalu terpengaruhi untuk mengikuti aturan yang mereka buat. Hematnya, kepentingan asing selalu melemahkan kepentingan nasional bangsa kita sendiri. Indonesia telah terseret menjadi sekadar subordinat atau agen setia bagi kepentingan asing (hlm.2).
Harus diakui, kekuatan-kekuatan asing dalam bidang ekonomi yang terjalin dalam korporasi-korporasinya memang telah mendikte bukan saja perekonomian nasional—seperti perdagangan, perbankan, penanaman modal, kepelayaran, dan kepelabuhan, kehutanan, perkebunan, pertambangan migas dan non-migas, dan lain-lain—tetapi juga pada kebijakan politik dan pertahanan. Lantas, masihkah Indonesia pantas sudah disebut merdeka?
Kita memang sudah merdeka lebih dari enam dasawarsa. Kemerdekaan yang telah kita lewati lebih dari 62 tahun, mestinya kaum elite indonesia sudah berhasil membawa Indonesia ke tahapan yang betul-betul merdeka. Tapi, kekayaan alam kita masih tak bisa kita nikmati, dan mencukupi kehidupan kita. Padahal, di dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sangat jelas dinyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kenyataannya ternyata tidak demikian. Hampir semua aset negara, sahamnya, telah dikuasai oleh pihak asing. Selain itu, ada pula yang sudah dijual. Kontrak Karya Pertambangan (KKP) dan Kontrak Production Sharing (KPS), misalnya, telah merugikan Indonesia dan menguntungkan investor.
Melihat hal demikian, secara otomatis Indonesia tak bisa mengontrol dan mengendalikan kekayaan alamnya sendiri, karena sudah “diberikan” pada pihak asing. Akibatnya, hasil kekayaan alam kita tidak akan kita nikmati karena telah dibawa ke luar negeri. Maka, hampir dipastikan Indonesia tetap negara yang rakyatnya terus miskin. Kita hanya bisa “menonton” kekayaan alam kita yang terus diperas dan dibawa ke luar negeri. Jika keadaan seperti itu terus, dan mencapai 90 %, maka berapa lama negara kita akan mampu bertahan secara ekonomi? Lalu, seberapa bebas keputusan politik bisa diambil oleh para pemimpinnya?
Buku Agenda-Mendesak Bangsa;Selamatkan Indonesia! ini begitu runut menjelaskan sebab-sebab mengapa SDA Indonesia dikuasai oleh pihak asing, serta mengapa pemerintah bertekuk lutut pada mereka. Korporatokrasi adalah kata kuncinya. Korporatokrasi yaitu sistem kekuasaan yang dikontrol oleh berbagai korporasi besar, bank-bank internasional dan pemerintahan (hlm.81).
Melalui korporatokrasi inilah Indonesia didikte dan bahkan “dibeli” pemerintahnya untuk meloloskan keinginan-keinginan mereka. VOC adalah korporasi pertama di dunia yang berhasil menjajah dan menjarah Indonesia. Sedang saat ini, perannya diganti oleh korporasi-korporasi yang berasal dari Amerika. Nampaknya, sejarah telah berulang dengan wajah baru.
Korporatokrasi bercokol di Indonesia bermula sejak zaman orde baru. IMF, World Bank, dan WTO adalah instansi korporatokrasi tersebut. Korporasi-korporasi asing itu terus mencengkram seiring dengan pergantian pemerintahan. Tak terkecuali pada pasca reformasi juga. Beberapa di bawah BUMN di tahun ini, yang hendak diprivatisasi seolah-olah akan memberi angin segar kembali kepada pihak-pihak asing lagi. Komite privatisasi perusahaan BUMN telah membuat daftar 44 BUMN yang akan dijual (hlm.226-227).
Buku ini diperkaya dengan lampiran, dari penulisnya sendiri, maupun yang lainnya. Lampiran tersebut telah memperkuat dan melegitimasi data-data yang dikemukakan dalam bahasan buku ini. Ketuta LIPI adalah salah satu dari lampiran tersebut. Buku karya Amien Rais ini telah menemukan relevansinya di saat bangsa Indonesia hendak merayakan kemerdekaannya. Membaca realitas SDA bangsa Indonesia yang dikuasai oleh pihak asing, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, serta kenyataan yang ada di tengah-tengah rakyat miskin, kita mestinya bertanya kembali, apakah benar Indonesia sudah merdeka?

Senin, Agustus 04, 2008

Menulis Meningkatkan Kecerdasan Intrapribadi dan Linguistik


Tulisan ini dimuat di http://www.pembelajar.com pada 06 Juni 2005

Kurang lebih lima belas tahun yang lalu Howard Gardner seorang psikolog sekaligus peneliti Barat telah menemukan sebuah teori tentang multiple intelegence (kecerdasan ganda), yang mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat banyak potensi yang belum dikembangkan. Dan, bahkan kadang potensi tersebut telah kita kubur gara-gara kesibukan kita sehari-hari, seperti pekerjaan dan mengurus rumah tangga atau karena sekolah. Dan dalam budaya kita pada umumnya orang yang dianggap cerdas yaitu orang yang pintar secara otak bukan emosi, atau lebih dikenal IQ (Intelectual Quotient) dan bukan EQ (Emotional Quotient). Dalam penemuannya, setidaknya ada tujuh kecerdasan yang patut diperhitungkan secara sungguh-sungguh sebagai sebuah kecerdasan juga. Tujuh kecerdasan itu di antaranya kecerdasan linguistik¸ logis-matematis, spasial, musikal, kinestetik, jasmani, antarpribadi, dan intrapribadi.


Dengan adanya tujuh kecerdasan tersebut memberikan peluang pada kita bahwa kita pun patut dianggap cerdas walau tidak dalam kacamata adat masyarakat. Hanya kadang kita menganggap sebagai orang bodoh lantaran tidak cerdas dalam berpikir, matematika, atau pandai berkata-kata. Kita harus menganggap bahwa sesungguhnya kita adalah orang yang cerdas dalam salah satu kecerdasan itu atau bahkan lebih. Sekarang tinggal bagaimana kita menemukan dan menggalinya di antara ketujuh kecerdasan itu.

Lantas apa hubungannya multiple intelegence (kecerdasan ganda) dengan menulis sebagaimana judul di atas? Setelah saya amati penelitian Gardner tersebut dan ditambah dengan membaca buku Thomas Armstrong—pengembang teori Gardner—ternyata aktivitas menulis bisa dimasukan pada dua kecerdasan yaitu, kecerdasan linguistik (Word Smart) dan kecerdasan intrapribadi (self smart). Kedua kecerdasan tersebut sama-sama menggunakan alat ‘aktivitas menulis’ untuk meningkatkan kedua kecerdasan tersebut. Setidaknya ‘aktivitas menulis’ ikut andil dalam peningkatan kedua kecerdasan itu. Untuk membedah masalah ini saya menggunakan sebagian besar buku karangan Thomas Armstrong yang berjudul 7 Kinds of Smart yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ia adalah pengajar dan peneliti mengenai pendidikan di California.

Kecerdasan linguistik bertumpu pada kemampuannya dalam berbicara dan menulis. Menurut Armstrong, orang yang mempunyai bakat di bidang ini akan peka dan tajam terhadap bunyi atau fonologi bahasa. Mereka sering menggunakan permainan kata-kata, rima, tongue twister, aliterasi, onomatope, dan lain-lain. Mereka juga mahir memanipulasi sintaksis (struktur atau susunan kalimat), juga kepekaannya terhadap bahasa melalui semantik (pemahaman tentang makna).

Kemampuan tersebut mereka gunakan dalam berbicara (berkomunikasi dan pidato) maupun menulis. Ia pun memberi contoh dengan Marcel Proust, Robert Lowell, dan William Safier. Proust mampu merangkai anak kalimat menjadi kalimat satu paragrap untuk menciptakan dampak yang menakjubkan. Penyair Robert Lowell menjadi masyhur karena mampu mengambil kata apa pun yang dibahas dalam kuliah penulisan puisi di Harvard, kemudian membahas penggunaan kata itu dalam berbagai cara sepanjang sejarah kesusastraan Inggris. Demikian pula William Safier, yang menulis sebuah kolom mingguan di The New York Times, telah memilih karir memeriksa neologisme pembentukan kata baru dan nuansa makna yang subtil dalam bahasa Inggris yang terus menerus berkembang.

Sedangkan kecerdasan intrapribadi (self smart) bertumpu pada kemampuannya mengelola diri, menganggap diri adalah sebagai konsep hidupnya. Diri sejati, bagi mereka kata Armstrong, merupakan sumber kreativitas batin, fasilitas, spontanitas, dan kesejahteraan emosi seseorang. Menurut psikiater James Masterson, penulis buku The Search for the Real Self, diri sejati mempunyai sejumlah komponen, yaitu:

1. kemampuan untuk mengalami berbagai perasaan secara mendalam dengan gairah, semangat, dan spontanitas
2. kemampuan bersikap tegas
3. pengakuan terhadap harga diri
4. kemampuan untuk meredakan perasaan sakit pada diri sendiri
5. mempunyai segala sesuatu yang diperlukan untuk mempertahankan niat dalam pekerjaan maupun relasi
6. kemampuan untuk berkreasi dan berhubungan secara dekat
7. kemampuan untuk menyendiri

Thomas Armstrong menerangkan bahwa Masterson telah menunjukkan tentang diri sejati yang mampu bertahan menghadapi waktu dan ruang. “Entah di atas atau di bawah, dalam suasana hati yang baik atau buruk, menerima kegagalan atau hidup dengan keberhasilan, seseorang dengan diri sejati mempunyai inti batin yang tetap sama bahkan sewaktu dia tumbuh dan berkembang.” Ahli psikologi juga mengatakan bahwa diri tak lebih dari suatu peta mental yang amat rumit atau sebuah sistem skema yang memungkinkan kita mengorganisasi informasi tentang dunia secara lebih efisien. William James merangkum gagasan tentang diri. Ia mengatakan: ”Seringkali saya berpikir bahwa cara terbaik untuk merumuskan watak seseorang adalah dengan mencari sikap moral atau mental tertentu, bila menyangkut dirinya, dia dapat mengenal dirinya secara paling mendalam, sangat aktif, dan sangat hidup. Pada saat itu, muncul suara dari dalam batin yang berkata:’inilah Saya yang sejati’”.

Masih dalam buku 7 Kinds of Smart, Howard Gardner menganggap seseorang yang mempunyai kecerdasan intrapribadi yang kuat dapat memilah-milah berbagai emosi batin, kemudian memberinya nama, mengungkapkannya dalam bentuk simbol, lalu memanfaatkan emosi itu sebagai sarana untuk memahami dan membimbing perilaku diri. Orang semacam ini mencakup ahli terapi, tetua masyarakat, dan penulis. Marcel Proust, misalnya, ketika dewasa menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan tiduran di ranjang sambil merenungkan kembali kehidupannya dengan detail yang menakjubkan. Hasil permenungannya merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam peradaban dunia Barat, yakni novel Remembrance of Things Past.

Baiklah, sekarang bagaimana cara melejitkan diri lewat menulis untuk meningkatkan kecerdasan linguistik (word smart) dan intrapribadi (self smart)? Ini adalah latihan yang diberikan Thomas Armstrong.

Latihan Kecerdasan Linguistik (Word Smart)
Duduklah di atas bangku atau meja dengan beberapa lembar kertas dan dua atau tiga pensil terletak di dekat situ. Tutup kedua mata anda dan dengarkanlah arus bawah kata-kata yang mengalir melalui pikiran anda. Amati apakah kata-kata itu muncul dalam bentuk tetesan (kata-kata tunggal), riak lembut (potongan kalimat), aliran deras (arus komentar), atau dengan cara lain. Setelah mendengarkan suara batin selama dua atau tiga menit, ambillah sebatang pensil, masih dengan kedua mata setengah tertutup, mulailah menuliskan secara persis apa yang Anda dengar seandainya Anda mampu mendengar sesuatu. Lakukanlah latihan ini selama kurang lebih lima belas menit.

Latihan tersebut bisa digunakan untuk mencari ilham dalam pembuatan puisi, pidato, cerita, esai, dan yang lainnya, dimana ketika Anda tidak mampu untuk memulainya.

Cara Membuat Aliran Kata
Ini adalah saran Natalie Goldberg, penulis Writing Down the Bones, tentang bagaimana agar kata-kata bisa mengalir. Hal-hal yang perlu diingat ialah ingatan pertama anda, orang yang anda sayangi, orang yang telah meninggalkan anda, peristiwa paling menakutkan yang pernah anda alami, perasaan paling dekat yang pernah anda alami dengan Tuhan atau alam, seorang guru yang anda kenal, kenangan akan kakek-nenek, dan lain-lain.

Selain itu ada juga cara-cara untuk mengembangkan kecerdasan linguistik—terutama menulis—dengan media bahasa:
1. bergabunglah dengan klub pecinta buku
2. hadirilah konferensi pengarang, ceramah, atau lokakarya tentang mengarang pada perguruan tinggi setempat
3. hadirilah acara peluncuran buku atau acara lain yang menampilkan penulis ternama
4. kunjungi perpustakaan/toko buku secara teratur
5. bacalah sebuah buku setiap minggu dan buatlah perpustakaan pribadi
6. belajarlah menggunakan program pengolah kata
7. buatlah buku harian atau usahakan untuk menulis tentang apa saja yang ada dalam pikiran anda setiap harinya sebanyak 250 kata
8. dll

Armstrong mengatakan bahwa penjelajahan bahasa dapat menghabiskan waktu yang tak terbatas ketika bereksperimen, memanipulasi, menafsirkan, memproduksi, memperluas atau memodifikasinya dengan berbagai cara sesuai dengan dimensi yang kita pilih. Dalam proses ini, mungkin kita baru tersadar bahwa pikiran kita sendiri telah berkembang, sebab pada dasarnya bahasa merupakan alat berpikir. Dengan menggunakannya secara sadar untuk meningkatkan kecerdasan, kita dapat mengalami keragaman dan kekayaannya dengan cara yang pragmatis, tetapi juga menyenangkan.

Latihan Kecerdasan Intrapribadi (Self Smart)
Berikut ini adalah beberapa saran untuk berpindah ke citra diri yang positif:
1. jangan mengecewakan diri dengan menjelek-jelekkan diri sendiri
2. lakukanlah sesuatu yang dapat memompa semangat Anda setiap hari
3. tuliskan 20 pernyataan positif tentang diri Anda dan bacalah pernyataan itu secara teratur
4. bentuklah gambaran mental diri sejati Anda
5. kelilingi diri Anda dengan tokoh panutan yang positif
6. bacalah buku self-help yang memperkuat munculnya rasa diri positif

Kunci penting, kata Armstrong, dalam mengembangkan citra diri positif adalah memupuk rasa batin yang menguasai dan berkompeten, atau perasaan batin bahwa kita mempunyai pengaruh terhadap dunia.

Cara-Cara Untuk Mengembangkan Kecerdasan Batiniah
1. tuliskan autobiografi Anda
2. ciptakan ritual pribadi atau ritual perjalanan hidup Anda
3. rekam dan tafsirkan mimpi Anda secara teratur
4. bacalah buku self-help
5. tentukan sasaran jangka pendek dan jangka panjang Anda dan kemudian tindaklanjuti rencana itu
6. buatlah buku atau catatan harian untuk merekam gagasan, perasaan, sasaran, dan kenangan Anda
7. amatilah biografi dan autobiografi orang besar yang memiliki kepribadian hebat
8. dll.

Bagaimana perasaan Anda setelah membaca hal yang di atas? Ternyata menulis bisa menggabungkan dua kecerdasan sekaligus bukan? Selamat mencoba


Menjadi Penulis Bisakah Diandalkan?


Tulisan ini dimuat di http://www.pembelajar.com pada 15 Agustus 2005

Ajaib! Saya bisa menyelesaikan bacaan dalam waktu kurang dari tiga jam, yaitu sebuah buku yang berjudul Agar Menulis-Mengarang Bisa Gampang karya Andrias Harefa yang bertebal 105 termasuk daftar isi dan biografinya. Saya semangat membacanya karena dua hal: pertama, buku itu aku pinjam dari perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, jadi waktu dan pinjaman tersebut membuatku terpacu ingin cepat meyelesaikannya. Kedua, buku tersebut tentang menulis. Pasti saya akan semangat membacanya, karena itu akan membantu saya dalam menempuh impian.

Impianku adalah ingin menjadi seorag penulis profesional. Saya berharap bisa mendapatkan uang dari menulis dan dijadikan sebagai karir. Selain itu karena penulisnya sangat terkenal di belantika tulis-menulis dan juga beliau seorang pakar motivasi. Semua itu menggerakanku untuk membaca dan ingin terus membacanya sampai-sampai aku tak bisa tidur karena tak tenang, karena belum selesai membacanya dan rasa penasarannya. Aku telah mengalami flow.

Ada beberapa hal yang kudapatkan dari bacaanku tadi. Jika saya membandingkan dengan buku-buku lain tentang motivasi menulis, buku ini terasa beda. Buku ini terasa membangkitkan semangat, terutama tentang “Menopang Hidup” bab ke 12. Tidak munafik, saya yakin semua orang—mayoritas—menerjunkan diri dalam dunia kepenulisan bukan hanya sekadar hobi tapi ada juga sisi lainnya yaitu ingin mendapatkan uang. Saya kira ini alasan yang logis selain tulisan kita dimuat di media massa. Dalam bab tersebut telah menjawab pertanyaanku yang selama ini saya cari, “Apakah menulis bisa diandalkan untuk menopang hidup, sebagai tempat mendapatkan rizki?”, Andrias menjawab, bahwa orang yang sudah profesional, menulis bisa dijadikan andalan untuk menopang hidup, bahkan gajinya lebih besar dengan manajer perusahaan atau seorang profesor, asalkan ia bisa menghasilkan, contohnya, 3 tulisan dalam satu minggu. 1 tulisan biasanya mendapatkan honor antara Rp.200.000 hingga Rp.600.000. Jika seandainya 1 minggu 3 tulisan, satu tulisan, misalnya, dihargai Rp.300.000, kemudian dikali 1 bulan, rinciannya (4 minggu X 12 X 300.000), berapa hayo?

Wah sangat menggiurkan bukan? Sungguh kalkulasi itu menggiurkan saya sebagai penulis pemula yang baru belajar (dari dulu-dulu). Ini membuatku semangat dan tak putus asa untuk tetap belajar menulis. Dia juga menceritakan kalau kita menulis itu harus disiplin, komitmen, atau janji pada diri sendiri. Belum lagi misalkan kalau kita menulis buku. Dari menulis buku kita akan mendapatkan royalti minimal (biasanya) 10% per eksemplar. Walau dia sendiri tidak menjamin kalau profesi menulis itu bisa menjamin kelangsungan hidup seorang pengarang, tetapi arah ke sana telah ada dan bahkan sangat memungkinkan karena jaman sekarang adalah zaman knowledge economy. Pengen bukti yang telah ada? Selain dirinya sendiri ada juga yang lainnya misalnya Iwan Gayo yang terkenal dengan Buku Pintar-nya, Ayu Utami dengan novel Saman-nya yang mendapat penghargaan, Dewi Lestari dengan Super Nova-nya, dan atau Helvi Tiana Rosa.

Saya kira itu merupakan bukti kalau jadi penulis pun bisa dijadikan andalan hidup kita, artinya, kita mencari rizqi bisa lewat menulis. Namun untuk menjadi penulis sebagai profesi tidaklah gampang, butuh pengorbanan yang banyak. Masalahnya adalah tulisan yang kita buat adalah untuk konsumsi orang lain, maka belum tentu bisa dimuat ketika mengirimkannya ke media massa atau penerbit. Ada beberapa hal yang saya salutkan dari Andrias mengenai latihan atau pun komitmennya yang tinggi untuk jadi penulis profesional. Dan kita patut mencontohnya. Di bawah ini adalah ungkapan-ungkapannya yang begitu menggugah saya:

“Apa yang disebut komitmen dapat dipahami sebagai “janji pada diri sendiri”. Dan mengarang akan gampang kalau kita mau berjanji pada diri sendiri, bahwa “saya akan menulis dan terus menulis sampai menjadi penulis profesional”.

“Saya berjanji pada diri sendiri untuk meluangkan waktu mengarang sedikitnya 1 halaman per hari, 7 halaman per minggu, selama 12 bulan. Kalau dalam satu hari saya sempat menyelesaikan satu artikel yang panjangnya 7 halaman, maka saya mengijinkan diri saya untuk “berlibur” 6 hari berikutnya. Kalau saya berhasil menyelesaikan beberapa artikel yang total berjumlah 30 halaman dalam seminggu, maka saya boleh cuti selama 3 minggu berikutnya. Itu saja janji atau komitmen saya."

Alangkah dahsyat kata-katanya itu, sampai-sampai saya begitu merinding membacanya. Ungkapan-ungkapannya itu telah merasuk dan mengalir dengan darah saya. Sekali lagi bahwa menjadi penulis pun kita bisa hidup. Sudah banyak orang-orang yang telah membuktikannya. Sekarang tinggal bagaimana kita berlatih, berlatih, sekali lagi berlatih menulis yang baik. Untuk menjadi penulis yang baik, Onno W. Purbo telah memberikan modalnya, yaitu (1) banyak membaca dan mendalami hal-hal yang kita sukai dan (2) fokus dan berdedikasi pada hal yang kita sukai.

Menurut novelis Amerika, William Faulkner, Menulis adalah 90 % kerja keras, 10 % bakat. Itu pendapat novelis terkenal lho? Lantas bagaimana menurut kita yang baru saja mau belajar menulis? Mungkin bagi saya menulis adalah 100% kerja keras dan 0% bakat. Bagaimana tidak? Saya semenjak SD belajar menulis hingga duduk di bangku kuliah masih saja selalu kesulitan menulis. Beberapa kali saya mengirimkan cerpen atau pun tulisan yang lain selalu saja ditolak. Tapi, aku selalu menghibur diri sendiri, mungkin bukan saat ini aku jadi penulis, mungkin suatu hari nanti, ya suatu hari nanti. Kata-kata itu selalu saya ucap dalam hati kala tulisan saya ditolak oleh media massa. Dan yang penting bagiku adalah selalu belajar, belajar dan belajar menulis hingga semua yang aku cita-citakan tercapai.

Kini peluang menjadi penulis sangat lebar sekali di tanah air kita. Berbagai media massa baik cetak maupun elektrik telah melimpah-ruah. Dan tinggal pilih saja media- media massa yang bisa memuat cerpen-cerpen kita. Kesempatan begitu luas untuk mengarah pada profesi penulis. Karena hampir semua—mayoritas—berbagai media massa memuat karya fiksi terutama cerpen. Sebut saja misalnya, Kompas, Republika, Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, dan masih banyak lagi. Kemudian majalah-majalah seperti An Nida, Ummi, Sabili, Aneka Yess, Hai, Femina, Kartini, dan yang lainnya. Belum lagi tabloid-tabloidnya, belum lagi media-media elektrik di dunia cyber. Semuanya sedang menanti tulisan-tulisan kita. Yang pentiing bagi kita adalah siapkah kita menjadi seorang penulis profesional? Dalam arti siapkah kita melejitkan diri dalam menulis dengan cara terus belajar, menambah wawasannya, dan berdisiplin? Karena, sebagaimana perkataan Helvy Tiana Rosa bahwa belajar menulis adalah belajar seumur hidup, sampai kapanpun. Selamat berkarya dan ditolak!

Bisnis Ala Orang Cina


Tulisan ini dimuat di http://www.pembelajar.com pada 04 Maret 2008

Ann Wan Seng, pengusaha Cina sekaligus penulis buku-buku bestseller, lahir dari keluarga pedagang. Sejak kecil, ia sudah mengikuti dan membantu orangtuanya berdagang. Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya bahwa cara orang Cina berdagang agak berbeda dengan kaum dan bangsa yang lain. Mereka mempunyai pandangan, cara, konsep, dan falsafah dagang tersendiri. Orang Cina jarang berbagi petuah dan rahasia berdagangnya pada orang lain. Petuah dan rahasia dagang inilah sesungguhnya menjadi senjata utama keberhasilan orang Cina dalam perdagangan serta bidang ekonomi lainnya. Melalui bukunya, Rahasia Bisnis Orang Cina (Hikmah: 2007) Ann mencoba memaparkan sebagian rahasia dan petuah dagang orang Cina tersebut. Buku ini diklaim sebagai buku bisnis paling laris di Malaysia pada tahun 2006, dan di Indonesia pada tahun 2007.


Kita menyadari bahwa untuk menjadi pedagang yang berhasil, seseorang perlu memiliki wawasan dan pandangan yang dapat melihat jauh ke depan. Selain itu, dituntut juga komitmen, disiplin, kesabaran, kekuatan, dan pengorbanan yang tidak sedikit. Perdagangan adalah bidang yang dapat dipelajari dan tidak menjadi monopoli kelompok masyarakat tertentu. Itu adalah nilai-nilai universal yang dapat diterapkan oleh siapa saja yang ingin menjadi pegadang. Namun, harus diakui usaha-usaha untuk mematahkan dominasi orang Cina di bidang ekonomi, sampai saat ini masih belum berhasil dilakukan. Hal ini, kata Ann Wan Seng, karena hubungan perdagangan di antara orang Cina begitu erat sehingga tidak dapat dipisahkan.

Menurut Ann, orang Cina adalah bangsa yang fleksibel, mudah berubah, dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang bagaimanapun. Mereka akan dapat hidup dan mencari makan di mana pun mereka berada. Inilah salah satu kepandaian orang Cina. Orang Cina bisa berdagang di mana saja termasuk di kawasan yang paling tidak produktif sekalipun. Hal ini senada dengan ungkapan, bahwa “Orang Cina bisa berdagang di kampung Melayu, tetapi orang Melayu belum tentu bisa berdagang di kawasan orang Cina.”

Kita memang dapat melihat, bahwa orang Cina mudah berkembang di mana saja. Lihat saja di kota-kota yang ada di Indonesia, pengusaha Cina berkembang pesat. Mengapa bisa demikian? Hal itu dikarenakan totalitas. Bahwa orang Cina selalu menginginkan perubahan secara total, maka hijrah adalah sebuah keharusan. “Orang itu harus hijrah bukan saja secara fisik melainkan juga mental, jiwa, dan mendekatkan diri pada-Nya. Keinginan seseorang untuk berubah adalah kunci utama keberhasilan orang Cina,” ujar Ann Wan Seng.

Namun, bukan tanpa kegagalan mereka berdagang. Nasib gagal tidak dijadikan alasan untuk menerima kekalahan dalam perdagangan mereka. Setiap pedagang Cina dapat mengambil hikmah dan belajar dari kegagalannya. Mereka mengevaluasi segala kekurangan, kelemahan, kesalahan, dan kegagalan. Mereka terus belajar dari segala kegagalan itu. Kegagalan pertama tidak dapat melunturkan semangatnya, sebaliknya justru akan membuatnya lebih gigih. Kegagalan yang kedua dijadikannya sebagai pelajaran. Kegagalan yang ketiga menjadikannya lebih bijak. Kegagalan yang seterusnya akan menguji kesabaran dan ketabahannya. Gagal beberapa kali bagi orang Cina tidak berarti akan gagal untuk seterusnya. Ann Wan Seng mengatakan, “Orang Cina percaya dan yakin mereka pasti akan berhasil suatu hari nanti.”

Usaha orang Cina dalam mengalami kegagalan dan menghadapi persaingan adalah dengan terus belajar dan meningkatkan etos kerjanya. Mau tak mau kinerja mereka tingkatkan. Tokoh konglomerat Korea Selatan, Kim Woo Choong, pernah menyatakan, “Jika kita sama rajinnya dengan orang-orang di Barat, kita tidak akan dapat menyaingi mereka. Jika ingin lebih berhasil dari orang lain, kita tidak punya pilihan, kecuali bekerja dengan lebih giat dan rajin.”

Barangkali akan aneh dan “gila” jika dilihat oleh orang Indonesia tentang hal di bawah ini, bahwa orang Cina yang sudah berhasil pun ternyata masih menjaga etos kerja tingginya. Mereka bangun dan mulai bekerja sepagi mungkin dan tidur menjelang tengah malam. Jumlah jam kerja mereka melebihi jumlah jam kerja orang lain. Jika pekerja biasa bekerja 8 hingga 10 jam sehari, mereka bekerja antara 16 sampai 18 jam sehari. Mereka bukannya gila kerja, melainkan pekerja keras. Mereka juga tidak berhenti ketika telah berhasil mencapai tujuan karena perjalanan dalam perdagangan masih panjang. “Satu tujuan terlewati, tujuan yang lain sudah menunggu,” ujar Ann Wan Seng. Orang Cina rela untuk bangun dini hari dan terus bekerja sampai malam hari. Mereka bekerja keras.

Sinonim dari kerja keras adalah tekun. Ketekunan merupakan salah satu faktor keberhasilan orang Cina dalam kegiatan berdagang. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak menjadi sukses jika mereka tekun dan rajin, seperti halnya orang Cina. Ada sebuah pertanyaan menarik, mengapa orang cina identik dengan berdagang? Menurut Ann Wan Seng orang Cina dan perdagangan sudah bersatu padu serta menjadi satu entitas yang tidak dapat dipisahkan. Mereka yang berdagang sama dengan bekerja untuk diri sendiri. Ini lebih baik daripada bekerja dengan dan untuk orang lain. Orang yang bekerja dan mendapat gaji dianggap belum dewasa. Sejak kecil, orang Cina sudah ditanamkan pada pemikiran mereka agar tidak bergantung pada orang lain. Mereka memiliki kemampuan dan potensi. Untuk membuktikannya dengan cara melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan. Berdagang dapat menjadikan seseorang lebih bijak, disiplin, dan tahan banting.

Orang Cina tidak suka mendapat gaji. Golongan yang mendapat gaji tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat. Orang Cina dianjurkan berdagang meskipun hanya kecil-kecilan. Pendapatannya mungkin lebih kecil dibandingkan mereka yang mendapat gaji, tetapi akan dianggap lebih baik dibandingkan bekerja pada orang lain. Berdagang sendiri berarti seseorang dapat menjadi bos dan tuan. Bekerja dengan orang, sampai kapan pun akan dianggap sebagai kuli. Orang yang berdagang dikatakan berani dan hanya orang yang beranilah yang memiliki kesempatan menjadi kaya dan sukses.

Sedikit tip dari Ann Wan Seng tentang rahasia sukses berdagang orang Cina, bahwa pedagang tidak boleh mengharapkan keuntungan pada saat baru memulai perdagangannya. Mereka harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, seperti kerugian dan kegagalan pada tahap awal. Untuk itu, mereka harus mempunyai modal yang kuat dan sumber keuangan yang dapat digunakan selama masa kritis itu. Keuntungan yang diperoleh sebaiknya tidak dibelanjakan. Keuntungan harus digunakan untuk menambah modal kerja dan melakukan investasi. Keuntungan yang bakal diperoleh bergantung pada berapa banyak invetasi yang sudah dilakukan. Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan juga, bahwa jangan sekali-kali menghardik pelanggan karena mereka membayar bukan untuk mendapatkan kata-kata yang tidak enak didengar. Siapkah kita menaladani cara berdagang orang Cina?

Menjadi Dokter Tampil Beda


Judul : How Doctors Think
Penulis : Jerome Groopman, M.D
Penerbit : Canary, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 384 halaman


“Tidak selamanya berbeda itu baik, tapi yang terbaik selalu berbeda”

Pasien itu bernama Anne Dodge. Usianya 20 tahunan. Kepada 30 dokter selama rentang 15 tahun dia telah berobat. Dan penyakitnya tak urung sembuh juga. Malah justru sebaliknya, label penyakit yang dideritanya bertambah sesuai bertambahnya dokter yang memeriksa dirinya dari berbagai spesialis. Hasil diagnosanya kali pertama adalah anorexia nervosa dengan bulimia, yaitu suatu kelainan yang ditandai dengan muntah dan penolakan pada makanan.

Keadaan seperti itu membuatnya tersiksa dari waktu ke waktu. Jika keadaan tersebut tidak juga dapat diperbaiki, dia bisa mati kelaparan. Berat badannya menyusut drastis. Beratnya menjadi 36 kg. Namun, ia masih semangat hidup. Dia pun menjalani program intensif untuk menaikkan berat badannya. Maka, sepanjang tahun 2004 dia diopname empat kali, dan disuruh mengkonsumsi 3000 kalori per hari, yang sebagian besar merupakan karbohidrat yang mudah dicerna. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Penyakitnya justru semakin bertambah. Dia menderita diare dan kram usus, selain mual dan muntah yang parah. Dia mulai putus asa.

Tapi keputusasaannya tidak berlangsung lama, setelah dia bertemu dengan dokter Myron Falchuk, spesialis penyakit lambung. Pada awalnya, saat ia mendapat rekomendasi untuk berobat kepadanya, dia malas untuk mendatangi dokter tersebut, karena hanya akan menambah daftar penyakit yang dideritanya saja. Pikirnya, usahanya akan sia-sia belaka. Tapi, ternyata dia mendapat “keajaiban”. Sepanjang perawatan dokter Falchuk, Anne mendapatkan dirinya mulai membaik.

Perawatannya terbilang unik. Mestinya, dokter Falchuk mempercayai diagnosa-diagnosa dan catatan-catatan medis sebelumnya. Selain itu, dia juga harus merawat Anne sesuai rekomendasi dokter-dokter internis (ahli penyakit dalam). Tapi, dia malah tidak mengamalkan amanat-amanat tersebut. Terus, apa saja yang dilakukannya? Dia hanya banyak bertanya dan mendengarkan serta mengamati cerita Anne dari A sampai Z. Dia melakukan sesuatu yang berbeda dan dari sudut yang berbeda pula, demi mendapatkan hasil yang lebih optimal. Dan dengan melakukan itu, dokter Falchuk menyelamatkan hidup Anne. Penyakit Anne pun berangsur sembuh.

Secara tidak langsung, buku How Doctors Think sesungguhnya dibuat berdasarkan hikmah dari kisah di atas. Dan tentu saja digabung dengan pengalaman penulisnya sendiri, dokter Jerome Groopman. Hal itu terbukti dari kisah di atas tersebut dia tulis di Kata Pengantar-nya. Sungguh, betapa banyak para dokter—bahkan calon dokter—yang tidak berpikir dari sudut pandang lain. Jerome Groopman, penulis buku tersebut, merasa prihatin dan menyesal atas kurangnya tanya-jawab di kalangan (calon) dokter dan pada dirinya sendiri pada saat menjadi calon dokter. Mereka, lanjut dia, walau cerdas tapi gagal untuk berkomunikasi—bertanya secara serius, atau mendengarkan dengan seksama, serta mengamati dengan konsentrasi—secara intens dan baik (hlm.9).

Melihat fenomena di atas, sang penulis bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terlintas di benak seorang dokter saat memeriksa pasien? Pertama-tama harus dipahami bahwa dunia kedokteran adalah dunia yang tidak pasti. Tiap dokter dapat membuat kesalahan dalam diagnosis dan perawatannya. Maka, pertanyaan di atas sebenarnya sangat penting untuk dijawab oleh seorang dokter, karena frekuensi dan tingkat kesalahan dapat diminimalisir dengan memahami bagaimana dokter seharusnya berpikir atau bagaimana ia dapat berpikir lebih baik lagi (hlm.14).

Oleh karena itu, buku ini teramat penting bagi para dokter, calon dokter, dan (bahkan) kaum awam sekalipun. Mengapa kaum awam penting membacanya? Karena dokter, sebenarnya sangat membutuhkan informasi yang banyak, yang dia dapatkan dari pasien dan keluarganya. Tanpa bantuan kaum awam (baca: pasien dan keluarganya) dokter dapat saja melewatkan petunjuk penting. Penulis buku ini sendiri mengakui hal itu, bahwa betapa pentingnya seorang pasien memberikan informasinya kepada sang dokter perihal kronologi penyakitnya. Dan dia mendapatkan pelajaran tersebut, bukan saat berperan sebagai dokter, tapi justru ketika dia tengah sakit, alias menjadi pasien.

Mari kita lihat kasus Anne kembali, bahwa setelah serangkaian tes dan prosedur, sebetulnya perkataan Anne-lah yang memberi petunjuk bagi dokter Falchuk sehingga dapat memberi diagnosis yang tepat. Dan dari kasus tersebut dapat kita katakan bahwa bahasa merupakan dasar dari praktek medis.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dari buku ini adalah mencoba menguraikan tentang bagaimana kita mempelajari pikiran seorang dokter dari apa yang dia katakan dan cara dia mengatakannya. Jerome menjelaskan bahwa bukan hanya penjelasan klinis yang dapat disimpulkan pasien dari dokternya, tapi pasien pun dapat menilai temperatur emosionalnya. Umumnya, dokterlah yang menilai kondisi emosional kita, tapi jarang ada yang menyadari seberapa besar pengaruh perasaan dan temperamen atas penilaian medis sang dokter (hlm.16).

Melalui buku ini, kita ternyata dapat tahu banyak tentang mengapa seorang dokter menyatakan diagnosis tertentu dan menyarankan suatu perawatan, bahkan dalam momen singkat sekalipun. Dus, buku ini hendak mengatakan bahwa betapa pentingnya memperhatikan kata-kata dan perasaan seorang dokter. Karena jika tidak, itu akan memengaruhi cara perawatan sang dokter sendiri. Akibatnya sang pasienlah yang menjadi korban.

Penyajian buku ini sangat menarik. Bahasanya yang ringan dan disertai pemaparan naratif membuat kita tidak akan jemu membacanya. Tapi, justru sebaliknya, kita akan larut dan terhanyut di dalamnya, seperti halnya kita tengah membaca sebuah novel. Dan perlu juga diktehaui, ketebalan buku ini mencapai 384 halaman. Sungguh, buku semacam ini dalam dunia kedokteran jarang kita temukan. Maka tak aneh majalah Time saja berkomentar bahwa buku How Doctors Think, “Harus menjadi bacaan wajib bagi dokter yang peduli pada dokter, dan bagi pasien yang ingin mendapatkan perawatan terbaik.”

Kepercayaan Modal Sukses


Judul buku: Trust&Betrayel in The Work Place;Membangun Hubungan yang Efektif dalam Dunia Kerja
Penulis: Dennis S.Reina&Michelle L.Reina
Penerbit: Matahati, Jakarta
Cetakan:I,Mei 2008
Tebal Buku:296 Halaman

“Kepiluan akibat pengkhianatan menyebabkan rajutan halus kepercayaan yang pernah mempersatukan kita tercabik-cabik seketika” (John Amodeo)

Tak dapat dipungkiri rahasia sukses sebuah hubungan adalah adanya saling percaya. Tanpa itu rasanya mustahil hubungan seseorang akan terjalin dengan baik, entah itu dengan pacar, suami-istri, atasan-bawahan, bahkan Khalik (Tuhan)-makhluk sekalipun. Kepercayaan membutuhkan komitmen terhadap hal-hal yang telah disepakati antara dua belah pihak. Oleh karenanya, kepercayaan bisa mudah dilakukan, tapi bisa pula sebaliknya. Dan waktulah yang dapat menguji hal tersebut.

Pada era masyarakat industri dan informasi—seperti sekarang ini, tuntutan kepercayaan antara satu sama lain benar-benar diperlukan. Perusahaan merupakan contoh konkrit akan pentingnya saling percaya. Paling tidak hal itu benar-benar teruji dalam hubungan antara atasan dan bawahan. Problematika seringkali muncul pada saat perusahaan melakukan perubahan, seperti pengurangan pegawai, restrukturisasi, dan penataan ulang, atau pun penambahan pegawai, merger, dan pertumbuhan. Pada saat terjadi perubahan di atas, tak jarang gesekan negatif yang menyangkut diri Anda membuat Anda sakit hati, lantaran kepercayaan Anda dilanggar dan dikhianati. Sikap Anda atau pun sebaliknya, orang lain terhadap Anda telah disalahpahami, padahal Anda atau pun orang lain terhadap Anda bertindak demi kepentingan perusahaan. Akibatnya, Anda menilai orang lain tidak konsekuen. Dan begitu juga sebaliknya.

Keadaan demikian akan berbahaya bagi kelangsungan sebuah perusahaan, karena sedikit-banyak akan memengaruhi mobilitas perusahaan itu sendiri. Kinerja mereka akan terganggu. Dan untuk membangun kesalingpercayaan lagi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, kesalingpercayaan harus dibina dan dipelihara dengan baik, jangan sampai ada salah satunya yang tidak percaya.

Buku ini muncul untuk membantu bagi siapa pun yang ingin menumbuhkan hubungan kepercayaan dengan orang lain yang menjadi rekan kerjanya. Dengan menganggap setiap individu dalam perusahaan adalah pemimpin, maka buku ini mengacu pada semua orang bahwa perilaku kepemimpinan di semua level turut bertanggung jawab. Maka, langkah pertama adalah mereka harus percaya pada diri mereka sendiri dan (kemudian) orang lain sebelum dapat membangun hubungan yang tulus dan penuh perhatian, serta menumbuhkan kepercayaan dalam diri orang-orang (hlm.10).

Secara umum, buku ini menawarkan tentang bagaimana menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan menyenangkan untuk semua pihak—di mana hubungan kerja dibangun berdasarkan kepercayaan, diliputi oleh semangat, serta mengilhami para pemimpin dan pegawai. Dan hal itu akan terlaksana jika prinsip dan praktik serta alat dan teknik yang ditawarkan dalam buku ini diterapkan oleh siapa pun dalam hubungan dan dalam konteks apa pun.

Dan secara khusus, buku ini dimaksudkan bagi para manajer dan para pemimpin yang berusaha membantu orang-orang di semua level yang telah kehilangan kepercayaan dan merasa dikhianati oleh organisasi di mana mereka bekerja. Para pemimpin memang dituntut menjadi penggerak dan inspirator bagi para bawahannya. Untuk itu dia bertanggung jawab untuk menumbuhkan kembali kepercayaan dalam diri orang-orang mereka (baca:bawahan), ketika terjadi suatu konflik, entah itu atasan dengan bawahan atau sesama pegawai sekalipun.

Kepercayaan dan pengkhianatan merupakan dua hal yang bertolak belakang, namun menempati satu tempat yaitu hati. Hati terkait dengan emosi. Sedang emosi sangat subjektif sifatnya di saat kita menilainya. Oleh karena itu, pembicaraan tentang kepercayaan sarat dengan nuansa emosional dan mempunyai arti berbeda-beda untuk orang yang berbeda. Namun, kesulitan di atas dapat teratasi setelah kedua penulis buku ini melewatinya selama dua puluh lima tahun bekerja bersama orang lain dalam berbagai cara. Jadi, tak perlu diragukan lagi konsep-konsep yang tertuang dalam buku ini. Selain selama dua puluh lima tahun menjalani kerja sama dan saling memupuk kepercayaan bersama orang lain, buku ini juga berdasarkan wawancara dengan 125 pemimpin organisasi, manajer, penyelia, serta profesional di bidang pengembangan SDM dan organisasi dari 67 organisasi yang berbeda di Amerika Serikat dan Kanada.

Di saat melakukan wawancara, banyak responden yang menyatakan kelegaannya karena akhirnya bisa berbagi pemikiran, keprihatinan, dan perasaan tentang berbagai macam hubungan kepercayaan yang mereka dambakan tetapi tidak bisa mereka ungkapkan secara bebas dan terbuka kepada rekan-rekan kerja mereka di tempat kerja. Akhirnya terkuaklah segala rahasia-rahasia tentang hal-hal negatif yang mengganggu hubungan atas dasar kepercayaan.

Berdasarkan hal di atas, maka ditemukanlah sebuah kerangka pemahaman yang sama sehingga solusinya pun dapat membantu para pembaca untuk persoalan yang berkaitan dengan kepercayaan, mengambil tindakan terhadap masalah yang berkaitan dengan kepercayaan, serta menumbuhkan dan menjaga tingkat kepercayaan yang sehat di organisasi para pembaca.

Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, berbicara tentang filosofi kepercayaan dan memahami pengkhianatan dalam dunia kerja. Bagian kedua, memaparkan model-model kepercayaan seperti kepercayaan kontraktual, komunikasi, dan kompetensi. Model-model tersebut diwadahi dalam apa yang dinamakan dengan kepercayaan transaksional. Selain itu, disertakan pula perihal bagaimana cara membangun kembali kepercayaan yang sudah pudar. Dan pada bagian ketiga, adalah pengembangan dari bagian dua, tentang bagaimana model-model kepercayaan dapat dijadikan alat pengembangan yang dapat Anda gunakan untuk memahami dinamika kepercayaan dan pengkhianatan, serta membawa organisasi pada bentuk kepercayaan yang paling tinggi, yaitu kepercayaan transformatif.

Adapun keistimewaan buku ini adalah tidak hanya berbicara sendirian (bacab:monolog). Ia membimbing dan mengajak “berbicara” kepada pembaca mengenai seluk beluk kepercayaan. Hal itu dibuktikan dengan pelbagai langkah-langkah konkrit di setiap akhir bab-nya dan pertanyaan-pertanyaan yang mesti dijawab oleh para pembaca. Untuk memperkuat argumennya, buku ini pun disertai penggalan kisah-kisah nyata yang nama dan tempatnya disamarkan.

Keistimewaan lainnya adalah buku ini disertai gambaran kerangka konseptual yang dapat membantu bagi para pembaca yang tidak punya waktu untuk membacanya secara keseluruhan. Namun saya kira hanya satu kekurangan yang akan memengaruhi kepuasan pembaca, adalah tidak ada gambar karikatur atau komik yang melukiskan sebuah hubungan kepercayaan, misalnya, antara atasan dan bawahan atau sesama karyawan. Jika dilengkapi hal itu, tentu pembaca akan terangsang imajinasinya, sehingga otak kanan-kirinya berjalan beriringan.

Pada akhirnya, buku ini hendak bermuara pada satu hal bahwa umat manusia sangat pantas untuk percaya pada diri mereka sendiri dan merasa nyaman untuk percaya pada orang lain