Senin, November 14, 2011

Hamka Plagiat?

Judul: Aku Mendakwa Hamka Plagiat; Skandal Sastra Indonesia 1962-1964
Penulis: Muhidin M Dahlan
Penerbit: Scripta Manent
Cetakan: I, September 2011
Tebal: 238 hlm.

Buku ini diakui oleh penulisnya, Muhidin M Dahlan, sebagai pengantar untuk niat Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan “Lentera” membukukan polemik berkepanjangan perihal plagiasi yang dilakukan Hamka, sastrawan cum ulama. Bahkan bagi saya yang tidak menyaksikan polemik itu lantaran hidup pada masa kini, bukan hanya pengantar, tapi juga penyambung lidah Pram untuk mengangkat isu skandal tersebut ke masa kini.
 

Semua bermula dari esei Pram yang dimuat di Bintang Timur pada Jumat 10 Oktober 1962 berjudul “Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun”. Dari situ terus bermunculan tulisan-tulisan lainnya yang ditulis para penulis lain, namun isunya cuma satu bahwa roman Tenggelamnya Kapal van Der Wijck (TKvDW) adalah plagiasi dari roman yang ditulis pengarang Prancis Aplhonse Karr, Sous less Tilleuls. Ditengarai para pendakwa, Hamka mengambilnya dari hasil saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) berjudul Al-Majdulin (Magdalena).
 

Abdullah Sp, di antara salah satu penulis yang turut mengkritisi novel TKvDW. Ia mengirimkan satu resensi-esei dengan judul “Sekali lagi membaca buah tangan Hamka: Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia?” Dalam esei pertama itu, mula-mula Abdullah Sp menceritakan pengalamannya sewaktu jadi santri di “santri asrama”, Majalengka, Jawa Barat, dan menemukan roman karya Hamka.
 

“Karya Hamka itu (cetakan pertama, th 1938), entah, sudah tujuh kali kubaca, kutelentang-telungkupkan, kutelentang-bukakan lagi, kubaca lagi, tak jemu2nya laksana surat Al-Fatihah. Begitu asik aku dipukau HAMKA. Ia telah mengetuk gerbang hatiku, pernah pula pada suatu hari—sesudah membacanya—menangis sendirian di sudut sunyi…!” (hlm. 30-31)
 

Namun kekagumannya kepada Hamka itu berubah menjadi rasa muak setelah Abdullah tahu dalam salah satu film yang diadaptasi dari karya Al-Manfaluthi yang ditontonnya suatu hari “mirip” dengan karya Hamka. Film itu berjudul: Dumu el- Hub (Airmata Cinta) (hlm. 31). Dan dia menyimpulkan bahwa Hamka melakukan plagiasi secara mentah-mentah.
 

Sepekan kemudian Abdullah Sp mengirim tulisan lagi, dimana kali ini dia membandingkan di antara kedua karya tersebut (karya Hamka dan karya Al-Manfaluthi). Klimaks tulisannya adalah pemuatan yang ketiga, yakni dua pekan kemudian di Bintang Timur. Judul tulisannya langsung menohok, “Aku Mendakwa Hamka Plagiat!” Ia menguraikan dan membandingkan bagaimana novel Hamka TKvDW dijiplak dari karya Manfaluthi berjudul Magdalena.
 

Dari sinilah kemudian para pegiat sastra terbelalak. Reaksi bermunculan, baik yang pro maupun kontra. Dari kubu yang kontra dengan mazhab Pram yakni yang diimami HB Jassin tak jelas sikapnya, apakah karya Hamka plagiat, jiplakan, saduran, atau terjemahan? Jassin hanya mengatakan bahwa novel tersebut adalah pengalaman khas Hamka. Abdullah Sp langsung menjawab bahwa “khas Hamka” itu ditimba dari pengalaman Karr/Manfaluthi.
 

Lantas, bagaimana sikap Hamka? Hamka tidak melayani tuduhan tersebut. Hamka hanya menjawab bahwa itu adalah tugas “Panitia Kesusasteraan” untuk menyelidikinya.
 

Pramoedya sebenarnya waktu itu sudah menyiapkan buku berjudul Hamka Plagiator. Tapi, sampai saat ini tidak ada yang tahu kemana rimbanya. Penulis hanya mendapatkan sepotong guntingan koran di Bintang Timur/”Lentera” yang menandaskan bahwa tentara di bawah korps Peperda (Penguasa Perang Daerah) Jakarta Raya melarang diteruskannya usaha “Lentera” membersihkan “daki2 sastra Indonesia”.
 

Hingga saat ini persoalan “Hamka Plagiat” anti-klimaks. Buku ini memang tidak mengkritisi hal-ihwal soal itu, tapi hanya mengajak pembaca untuk membuka kembali suatu peristiwa penting dalam sejarah sastra Indonesia, sebuah polemik yang berkepanjangan. Jadi, paparannya deskriptif semata. Namun, buku ini sangat penting dibaca dan menjadi khazanah berharga bagi generasi muda, terlebih bagi yang concern dengan sejarah Kesusastraan Indonesia. Layak dibaca.[]

M. Iqbal Dawami, penikmat sastra.  

Agama Itu Seperti Seni

Judul: Masa Depan Tuhan
Penulis: Karen Armstrong
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, 2011
Tebal: 608 hlm.

Inilah buku yang membahas “sejarah” Tuhan dari masa ke masa. Saya akui pengklasifikasiannya luar biasa, runut dan sistematis, mulai dari “Tuhan yang tidak diketahui”—dari 30.000 SM hingga 1500 M—hingga “Tuhan Modern”—dari 1500 M hingga sekarang.
 

Agama adalah sebuah disiplin praktis yang mengajari kita menemukan kemampuan baru pikiran dan hati. Inilah yang menjadi salah satu tema buku ini. Menurut Karen Armstrong tidak ada gunanya menimbang ajaran-ajaran agama secara otoritatif untuk menilai kebenaran atau kepalsuannya sebelum menjalani cara hidup religius. Anda akan menemukan kebenaran—atau ketiadaan kebenaran—di dalamnya hanya setelah Anda menerjemahkannya ke dalam ritual atau perbuatan etis. Tak berbeda dengan setiap keterampilan, agama memerlukan ketekunan, kerja keras, dan disiplin. Sebagian orang cakap dalam hal itu dibanding yang lain, sebagian lagi sangat tidak berbakat, dan yang lain sama sekali luput darinya.
 

Kaum Daois perdana memandang agama sebagai semacam “kecakapan” yang diperoleh melalui latihan terus-menerus. Zhuangzi salah satu tokoh terpenting dalam sejarah spiritual Cina, menjelaskan bahwa tidak ada gunanya berusaha untuk menganalisis agama secara logis.
 

Dia mengutip Bian si tukang kayu: “Ketika saya mengerjakan sebuah roda, jika saya menekan terlalu pelan, meskipun nyaman, saya tidak akan menghasilkan roda yang baik. Jika saya menekan terlalu keras, saya jadi lelah dan hasilnya tidak bagus! Jadi, jangan terlalu pelan, jangan terlalu keras. Saya memegangnya di tangan saya dan merasakannya dan merasakannya di dalam hati saya. Saya tidak dapat menyatakan ini dengan perkataan di mulut, saya hanya tahu. Si bungkuk yang menangkap tonggeret di hutan dengan tongkat berujung lengket tidak pernah meleset sekali pun. Dia telah menyempurnakan konsentrasinya sehingga dirinya larut di dalam pekerjaannya, dan tangannya seolah-olah bergerak dengan sendirinya. Dia tidak bisa menjelaskan bagaimana dia melakukan itu, tetapi hanya mengetahui bahwa dia telah memperoleh keahlian itu setelah berlatih berbulan-bulan. Keadaan kehilangan-diri ini, jelas Zhuangzi, adalah sebuah ekstasis yang memungkinkan Anda untuk “melangkah keluar” dari prisma ego dan mengalami yang Ilahi.
 

Patut disesalkan Dawkins, Harris, dan Hitchens mengekspresikan diri mereka dengan terlalu garang, sebab beberapa dari kritik mereka memang sah. Orang beragama memang telah melakukan berbagai kekejaman dan kejahatan, dan teologi fundamentalis yang diserang kaum ateis baru memang “tidak cakap”, meminjam istilah Buddha. Namun, mereka menolak, pada prinssipnya, untuk berdialog dengan para teolog yang lebih mewakili tradisi arus utama. Sebagai akibatnya, analisi mereka sayangnya menjadi dangkal karena didasarkan pada teologi yang begitu rapuh.
 

Amstrong dapat bersimpati pada kejengkelan kaum ateis baru karena selama bertahun-tahun dia sendiri pernah berkeinginan untuk tidak punya hubungan apa-apa dengan agama, dan beberapa buku pertamanya jelas-jelas cenderung ke arah Dawkins-esque. Tetapi, pengkajiannya tentang agama-agama dunia selama dua puluh tahun terakhir telah mendorongnya untuk merevisi pendapatnya yang terdahulu. Itu bukan hanya telah membukakan pikirannya pada berbagai aspek agama seperti yang dipraktikkan dalam tradisi-tradisi yang dipandang sebagai iman yang terbatas dan dogmatis dari masa kecilnya, tetapi penilaian yang saksama atas bukti itu telah membuat dia melihat Kekristenan secara berbeda. Salah satu hal yang dia pelajari adalah bahwa bertengkar tentang agama tidak ada manfaatnya dan tidak kondusif bagi pencerahan. Bukan hanya membuat pengalaman religius yang autentik menjadi mustahil, hal itu juga melanggar tradisi rasionalis Socratik.
 

Pada bagian pertama buku ini, Armstrong mencoba menunjukkan bagaimana orang-orang berpikir tentang Tuhan di dunia pramodern dalam cara yang, dia harap, memberi kejelasan tentang beberapa isu yang kini dirasa orang-orang bermasalah—kitab suci, inspirasi, penciptaan, mukjizat, wahyu, iman, kepercayaan, dan misteri—dan juga menunjukkan bagaimana agama menjadi kacau.
 

Pada bagian kedua, dia menelusuri kebangkitan “Tuhan modern”, yang menggulingkan begitu banyak persangkaan agama tradisional. Ini, tentu saja, tidak dapat menjadi uraian yang lengkap. Arsmtrong berfokus pada Kristen, sebab itu merupakan tradisi yang paling terkena dampak bangkitnya modernitas ilmiah dan juga dihantam pukulan keras dari serangan ateistik baru. Lebih jauh, di dalam tradisi Kristen, dia berkonsentrasi pada tema dan tradisi yang berbicara secara langsung tentang masalah-masalah religius kontemporer kita.
Kita telah terbiasa berpikir bahwa agama harus menyediakan informasi bagi kita. Apakah Tuhan ada? Bagaimana dunia terbentuk? Tetapi, ini adalah penyimpangan modern. Agama tidak pernah seharusnya menyediakan jawaban atas pertanyaan yang berada dalam jangkauan akal manusia. Itu adalah peran logos. 

Tugas agama, sangat mirip dengan seni, adalah membantu kita hidup secara kreatif, damai, dan bahkan gembira dengan kenyataan-kenyataan yang tidak mudah dijelaskan dan masalah-masalah yang tidak bisa kita pecahkan: kematian, penderitaan, kesedihan, keputusasaan, dan kemarahan pada ketidakadilan dan kekejaman kehidupan.
 

Rasionalitas ilmiah dapat memberi tahu kita mengapa kita menderita kanker, bahkan dapat menyembuhkan kita dari penyakit. Tetapi tidak dapat meredakan kengerian, kekecewaan, dan kesedihan yang datang bersama diagnosis itu, juga tidak dapat membantu kita untuk mati dengan baik. Itu tidak berada dalam wewenangnya. Akan tetapi, agama tidak akan bekerja secara otomatis; ia membutuhkan upaya besar dan tidak akan berhasil jika ia dangkal, palsu, memberhala, atau memperturutkan kehendak sendiri.
 

Agama adalah disiplin amaliah, dan wawasannya tidak berasal dari spekulasi abstrak, tetapi dari latihan spiritual dan gaya hidup yang berdedikasi. Tanpa amalan seperti itu, mustahil untuk memahami kebenaran ajarannya. Hal ini juga berlaku untuk filsafat rasionalisme. Orang-orang datang kepada Socrates bukan untuk belajar sesuatu—dia selalu menekankan bahwa dia tidak punya apa-apa untuk diajarkan kepada mereka—melainkan untuk mengalami perubahan pikiran.
 

Pemahaman agama tidak hanya menuntut upaya intelektual yang berdedikasi untuk melampaui “berhala-berhala pikiran”, tetapi juga gaya hidup penuh kasih yang memungkinkan kita keluar dari prisma kedirian. Logos yang agresif, yang berusaha untuk menguasai, mengontrol, dan membunuh oposisi, tidak dapat membawakan wawasan transenden ini. Pengalaman membukuktikan bahwa ini hanya mungkin jika orang menumbuhkan sikap reseptif, mendengarkan, tidak berbeda dengan cara kita mendekati seni, musik, atau puisi. Agama memerlukan kenosis, “kapabilitas negatif”, “kepasifan yang bijak”, dan hati yang “mengamati dan menerima”. []

M. Iqbal Dawami,
alumnus Tafsir-Hadis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

Selasa, November 01, 2011

Tafsir Sufi sebagai Kritik Sosial


Judul: Tafsir Al-Jailani
Penulis: Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Penerjemah: Aguk Irawan
Penerbit: Zaman
Cetakan: I, 2011
Tebal: 299 hlm.

Saya baru tahu kalau Syekh Abdul Qadir al-Jailani mempunyai kitab tafsir. Sebelumnya saya hanya tahu kitab-kitabnya mengenai dunia tasawuf, seperti al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, Al-Fath ar-Rabbani, Jala' al-Khawathir, Sirr al-Asrar, dan Asror Al Asror. Awal 2009 salah satu penerbit Turki menerbitkan Tafsir al-Jailani, yang diambil dari manuskrip yang ditemukan di Vatikan Italia, perpustakaan Qadiriyyah, dan India.  

            Tentu saja penerbitan (dan bahkan penemuan) tafsir tersebut saya sambut dengan bahagia, dan kebahagiaan saya berlipat saat penebit zaman menerbitkan edisi bahasa Indonesianya. Para pengkaji tafsir era klasik maupun modern sedikit sekali (untuk mengatakan tidak ada) membahas tafsir Abdul Qadir al-Jailani ini. Husain al-Dzahabi, penulis kitab al-Tafsir wa a-Mufassirun yang menjadi rujukan para pengkaji tafsir, tidak menyebutkan tafsir ini. Orientalis bernama Ignaz Goldziher, yang juga karyanya (sudah diterjemahkan oleh ke dalam bahasa Indonesia berjudul Mazhab Tafsir; Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Jogjakarta: eLSAQ Press, 2006) dianggap representatif perihal karya dan aliran tafsir luput dari tafsir ini. Ia tidak menyebutkannya. 

Di kalangan umat Islam Indonesia (khususnya NU) sudah tidak asing lagi dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani (ada juga yang menyebut “al-Jilani”). Beliau adalah seorang sufi besar asal Jailan, Iran. Namanya selalu disebut—dijadikan wasilah—saat kaum muslim mengadakan tahlilan. Beliau juga pendiri tarekat Qodiriyah. Dengan latar belakang seorang sufi, karya-karya al-Jailani pun sangat kental dengan nuansa kesufian. Termasuk karya tafsirnya ini.

            Dalam buku ini dia mencoba mencari makna Ta’awwudz, Basmalah, Tobat, dan Takwa. Sebagaimana menjadi ciri khas tafsir sufi, tafsir Al-Jailani ini menekankan dzauq (rasa) dan aspek esoteris (ruhani, batiniah).  Al-Jailani mampu menyibak “rahasia-rahasia” di balik ayat (literal) yang maknanya tak aus oleh dinamika perubahan zaman.
            Misalnya tentang “Ta’awwudz”, Al-Jailani mengatakan bahwa ibadah pada dasarnya perbuatan melawan godaan setan dan hawa nafsu. Perlawanan itu disebut jihad atau mujahadah. Dan inilah sebesar-besarnya jihad, bahkan dari jihad perang sekali pun. Mengapa bisa dikatakan begitu? Al-Jailani memberikan alasan bahwa jihad melawan hawa nafsu bersifat terus-menerus, memiliki tingkat bahaya yang jauh lebih besar. Sebab, jika nafsu tak diperangi, dikhawatirkan, ketika meninggal, seseorang akan berada dalam kondisi su’ul khatimah.
            Oleh karena itu, Tuhan memerintahkan manusia untuk memohon perlindungan dari godaan setan. Sedikitnya disebutkan oleh al-Jailani ada 3 ayat yang menunjukkan hal itu sesuai dengan konteksnya masing-masing, yakni surah an-Nahl [16]: 98, Ali Imran [3]: 36, dan al-A’raf [7]: 17. Rasulullah bersabda, “Barang siapa beristiadzah sekali maka Allah akan menjaganya sepanjang hari.” “Tutuplah pintu-pintu kemaksiatan dengan ta’awwudz dan bukalah pintu-pintu ketaatan dengan bismillah.”
Yang ditakuti dan diwaspadai setan adalah permohonan perlindungan seorang hamba kepada Allah dan pancaran cahaya makrifat orang-orang ‘arif (orang yang mengenal Allah dengan baik), ujar al-Jailani. Dan itu, apabila tidak termasuk orang yang ‘arif, mohonlah perlindungan sebagaimana isti’adzah orang-orang bertakwa (al-muttaqin), niscaya derajat terangkat ke tingkatan ‘arif (hlm.17). Dan hanya dengan itulah pancaran cahaya hati dapat mematahkan kekuatan setan, mengalahkan pasukannya, membinasakan para pendukungnya, serta mengikis habis segala rayuannya. Ia bahkan bisa jadi cahaya untuk memenjara setan sehingga tidak mampu lagi menggoda dirimu, saudaramu, dan pengikutmu. (hlm. 19)
Menurut a-Jailani seeorang agar mencapai kebebasan dari godaan setan ada beberapa hal yang harus diamalkan, yakni: selalu mengucap kalimat ikhlas (la ilaha illallah)dan zikir kepada Allah, memperbanyak bacaan bismillah, dan membuang hasrat dan keinginan meraih karunia dari para penggemar duniawi.   
Penafsiran makna ta’awwudz dengan aroma kesturi sufi ini sungguh relevan dalam kondisi zaman saat ini. Karena jika ditilik kepada situasi kondisi sosial al-Jailani hidup, nampaknya tidak jauh beda dengan saat ini, yakni krisis dalam pelbagai dimensi kehidupan, meski kehidupan sudah modern di zamannya pada saat itu. Dan untuk itulah barangkali al-Jailani membuat tafsirannya bercorak sufistik yang lebih mengedepankan hal-hal dasar dan esoteris.
Inilah karya al-Jailani dalam bidang tafsir yang boleh jadi sebagai kritik sosial atas zamannya. Dan saya kira buku ini menemukan relevansinya pada saat ini, di mana kekuasaan dan uang sebagai panglima. Oleh karena itu sangat layak dibaca dan dijadikan tafsir alternatif, di tengah serbuan tafsir yang mengedepankan sisi hukum “kapitalistik” yang tidak menyentuh ke sisi batiniah.
Wa ila hadroti Sulthonil Auliya’ Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani, lahu alfatihah.[]

M. Iqbal Dawami, pencinta buku.