Jumat, Desember 31, 2010

Spiritualitas, Esensi Beragama


Dimuat di SEPUTAR INDONESIA, Minggu 26 Desember 2010

Judul:  You are Not Alone; 30 Renungan Tentang Tuhan dan Kebahagiaan
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan: I, 2010
Tebal: xvi + 249 halaman

KETIKA manusia mengalami peristiwa dahsyat yang bakal merenggut nyawanya,seketika itu pula dia membutuhkan kekuatan di luar dirinya,yaitu Tuhan, yang bisa menyelamatkannya.

“Benar gak sih masih ada Tuhan dalam diri kita? Coba Anda tes dengan mengunjungi Gunung Merapi...Pasti Ada Tuhan!” Begitu bunyi status Facebook seorang teman saat kejadian erupsi Gunung Merapi yang memakan korban jiwa. Status tersebut mengindikasikan ketika seseorang dihadapkan pada musibah, biasanya manusia sadar bahwa mereka membutuhkan pertolongan Tuhan. Stalin, seorang tokoh komunis Rusia,secara tidak langsung mengakui juga adanya Tuhan. Arvan Pradiansyah dalam buku ini mengisahkannya. Waktu itu Stalin bersama rombongannya tengah berada di dalam pesawat, tiba-tiba pesawatnya mengalami kerusakan parah tepat di atas pegunungan.

Tak ayal, Stalin merasakan ketakutan yang luar biasa dan secara spontan dia berkata, “Tuhan, tolonglah aku!” Kisah Stalin itu menandakan bahwa di dalam bawah sadar seorang ateis sekalipun terdapat kesadaran mengenai keberadaan Tuhan. Peristiwa dahsyat yang merenggut nyawa bisa menghentakkan kesadaran manusia akan keberadaan dan kekuatan Tuhan. Lewat buku ini Arvan memberikan pesan bahwa manusia senantiasa diperhatikan Tuhan.Tuhan selalu ada dalam kancah kehidupan manusia. Kehadiran Tuhan itu terejawantahkan lewat agama. Hanya saja kemudian Arvan mempertanyakan (lebih tepatnya merenungkan),mengapa sebagian manusia beragama yang notabene memercayai adanya Tuhan tidak kunjung berkelakuan baik?

Mengapa agama seolah tidak berhasil membuat penganutnya menjadi orang yang baik? Mengapa Indonesia yang dikenal sangat religius sekaligus juga dikenal sebagai negeri terkorup di dunia? Mengapa kita juga memperoleh predikat nomor dua untuk pornografi dan nomor tiga untuk masalah narkoba?

Agama Minus Spiritualitas

Arvan mencoba mencari akar penyebab perihal pertanyaan-pertanyaan di atas. Salah satu penyebabnya adalah manusia kerap kali beragama,tapi minus spiritualitas. Padahal, esensi beragama sejatinya adalah spiritualitas. Inti spiritualitas adalah bagaimana menjadi orang baik.Adapun landasan kecerdasan spiritualitas adalah kesadaran akan kehadiran Tuhan: dalam setiap situasi merasa selalu dilihat Tuhan dan merasakan kebersatuan dirinya dengan Tuhan [halaman 7–8]. Kesadaran spiritual di atas membuat Arvan yakin bahwa masalah- masalah yang terjadi dalam hidup kita bisa selesai dengan sendirinya.

Betapa tidak, ketika seseorang demikian dihadapkan pada persoalan, dia akan langsung ingat Tuhan. Jika melakukan perbuatan buruk,dia sadar bahwa dia akan mengecewakan Tuhannya yang senantiasa memperhatikannya dari waktu ke waktu. Sayangnya, kata Arvan, agama sering kali terpisah dari spiritualitas. Sembari mengutip pendapat John Naisbitt,Arvan mengatakan pada abad ke-21 ini agama semakin kurang diminati orang, sebaliknya orang semakin berminat terhadap spiritualitas. Minat ini tentu saja didorong kebutuhan untuk mengisi spiritualitas kita yang semakin lama semakin kering karena percepatan kehidupan. Di sinilah terletak masalahnya: agama semakin terpisah dari spiritualitas,padahal sebenarnya spiritualitas itulah inti dari keberagamaan seseorang [halaman 112].

Melalui buku ini,Arvan mengajak pembaca untuk beragama secara spiritualitas. Spiritualitas merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendesak sekarang ini. Kita butuh tempat yang kokoh untuk bersandar, sesuatu yang memberikan ketenangan, kepastian, dan ketenteraman yang sejati. Adapun efek dari beragama plus spiritualitas adalah rasa cintanya kepada sesama manusia. Manusia beragama seperti itu akan senantiasa menghadirkan Tuhan dalam kesehariannya seperti pada saat bekerja dan berinteraksi dengan orang lain. Tuhan selalu hadir dalam dirinya, dalam gerak langkahnya, dan dalam segala hal yang dilakukannya.

“Agama spiritualis” yang digagas Arvan ini sejatinya mirip dengan konsep tasawuf Ibnu Arabi, sufi-filsuf Andalusia, yaitu “tajalli”. Kata “tajalli” berarti ”penampakan diri Tuhan” yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Dengan kata lain,Tuhan seolah-olah telah menyatu kepada orang yang telah mengalami mukasyafah (merasakan kehadiran Tuhan). Karakter dan kepribadian mereka dipenuhi sifat-sifat Tuhan, seperti mencintai, menyayangi,menolong,dan sebagainya. Tampaknya buku ini tepat sekali untuk menjadi obat dari tiga penyakit jiwa masyarakat modern, sebagaimana dikatakan Sayyid Hossein Nasr,yaitu kehilangan orientasi ilahiah, kehampaan spiritual, dan degradasi moral. Setiap pembahasan dalam buku ini dibuka dengan kisah-kisah yang segar, menarik, kadang berhumor, tapi sarat hikmah dan nilai-nilai kebajikan.

Bentuk kisahnya pun beraneka ragam dalam pelbagai macam gaya.Namun,semuanya menarik pembaca kepada renunganrenungan soal ketuhanan dan kebahagiaan. Terdapat kekuatan besar dari pelbagai kisahnya. Jika kita membaca buku ini dengan penuh penghayatan mendalam kemudian mengamalkan pesan-pesannya, kita akan mendapatkan perubahan pikiran dan perilaku yang positif. Buku ini sangat relevan dengan situasi yang ada sekarang.Selamat membaca.(*)

M Iqbal Dawami,
bergiat di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Yogyakarta

Balas Budi Mortenson

Dimuat di KORAN JAKARTA, Kamis, 23 Desember 2010

Judul : Stones into Schools
Penulis : Greg Mortenson
Penerbit : Hikmah, 2010
Tebal : 475 halaman
Harga : Rp69.000

Buku Three Cups of Tea (Hikmah, 2008) menceritakan serangkaian kisah dari kehidupan seorang pendaki gunung bernama Greg Mortenson. Pada 1993, setelah gagal dalam mencoba mendaki Gunung K2, sebutan lain untuk Gunung Himalaya, Mortenson tersesat dan hinggap di desa kecil dan terpencil di pegunungan Pakistan. Secara tidak sengaja dia menemukan desa tersebut.

Dia disambut oleh penduduk setempat yang sangat ramah, disuguhi makan dan istirahat. Padahal, penduduk tersebut penuh dengan kemiskinan. Mortenson ingin membayar mereka dalam beberapa cara, dan bersumpah untuk membantu kebutuhan yang paling mereka butuhkan lebih dari sekadar makanan. Melawan segala rintangan, ia mengumpulkan uang di Amerika Serikat dan kemudian kembali dengan sebuah truk penuh bahan bangunan.

Ia hendak membuat sekolah. Balas budi Mortenson adalah pemberdayaan masyarakat lokal melalui pendidikan. Ia membangun sekolah tidak hanya satu, tetapi lima puluh lima sekolah. Buku tersebut merinci tantangan yang dihadapinya dan bagaimana dia mengatasinya. Ia adalah seorang individu luar biasa yang melimpah dengan semangat dan pengabdian. Buku itu merupakan bagian petualangannya.

Beberapa tahun telah berlalu, dan Mortenson menemukan ketenaran, terutama setelah bukunya selama tiga tahun berada di daftar penjualan terlaris New York Times. Pada akhir 2009 ia kemudian menerbitkan buku Stones into Schools, sekuel Three Cups of Tea. Sebagai sekuel, buku ini sangat mirip dengan pendahulunya—begitu banyak sehingga saya tidak yakin apa yang harus dikatakan dalam rangka untuk membedakan antara keduanya.

Mortenson mengisahkan dirinya berjalan, berkuda, dan berkeliling di belantara Pakistan dan Afghanistan. Hati dan pikirannya benar-benar hanya untuk sekolah, terutama sekolah untuk anak perempuan, yang terpinggirkan. Mortenson, melalui memoar ini, berkeyakinan bahwa pendidikan bisa menjadi salah satu kunci untuk transformasi kehidupan yang lebih baik.

Apa yang begitu menggembirakannya adalah tindakannya menginspirasi begitu banyak warga Afghanistan. Mereka tahu pendidikan adalah jalan keluar dari penderitaan mereka. Ada bagian ketika Mortenson menceritakan pertemuan dengan Laksamana AS Mike Mullen, Kepala Staf Gabungan. Laksamana itu selalu saja mendapat laporan berita buruk dari Afghanistan, dan ia menginginkan berita baik lewat Mortenson.

Mortenson menceritakan bahwa pada puncak kekuasaan Taliban pada 2000, kurang dari 800.000 anak-anak terdaftar di sekolah—semua dari mereka anak laki-laki—dan pendaftaran siswa baru di seluruh negeri itu mendekati delapan juta anak, 2,4 juta di antaranya adalah perempuan. Buku ini menceritakan tentang bagaimana Mortenson pergi ke Afghanistan yang berbahaya dan tidak stabil. Melalui lembaganya, ia telah membangun lebih dari 130 sekolah untuk mendidik 58.000 anak, terutama anak perempuan.

Peresensi M Iqbal Dawami, Pengasuh blog http://resensor. blogspot.com/