Minggu, Oktober 30, 2011

Mendidik ala China

Judul: Battle Hymn of The Tiger Mother
Penulis: Amy Chua
Penerjemah: Maria Sundah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2011
Tebal: 237 hlm.

Masyarakat Amerika gempar saat buku ini terbit. Padahal isinya “hanya” kisah pribadi dan menceritakan perjalanan hidup penulisnya dalam mendidik kedua putrinya yang bernama Sophia dan Lulu. Hanya saja penulis buku ini tidak sembarang mendidik. Cara mendidik kedua anaknya terbilang ekstrem. Terlebih dilihat dari kacamata masyarakat Barat.
 

Penulis buku ini, Amy Chua, adalah seorang akademisi keturunan China yang menikah dengan keturunan Yahudi. Keduanya sepakat kalau anaknya akan dididik secara China. Amy mengatakan bahwa cara-cara seorang ibu Amerika dalam mendidik anak sangat jauh berbeda dengan cara-cara seorang ibu dari warga negara keturunan China. Seorang ibu keturunan China, seperti Amy, akan sangat memaksa agar anak-anaknya memperoleh nilai A, belajar piano dan biola dan menjadi nomor 1 di kelasnya untuk segala bidang.
 

Sang ibu dari keturunan China akan sangat cerewet, galak dan keras kepada anak-anaknya untuk mengejar target tersebut. Tidak ada kesempatan bagi sang anak dalam keluarga ini, untuk misalnya bermain game dan menonton Televisi. Filosofinya, seorang anak akan menjadi hebat kalau terus menerus tekun belajar.
 

Buku ini menginisiasi perdebatan dalam cara orangtua Amerika mendidik anak-anaknya, untuk menghadapi persaingan di masa mendatang. Banyak anak-anak di Amerika dibebaskan oleh orangtuanya untuk seharian bermain game, menonton televisi, tidak pernah belajar dan terkadang hidup dengan berpesta dan melakukan seks bebas.
 

Amy menceritakan bagaimana dirinya dulu dididik dengan sangat keras oleh orangtuanya. Berkat kesuksesannya saat ini tidak lepas dari campur tangan orangtuanya dalam mendidiknya. Nah, Amy ingin pula menerapkan pada kedua anaknya. Ia menerapkan aturan yang sangat ketat serta mengatur segala hal dalam kehidupan anak-anaknya. Cerita-cerita lain yang ia lakukan terhadap dua putrinya cukup menakutkan dan membuatnya mendapat julukan "tiger mom".
 

Amy menggambarkan bagaimana ia mengharuskan kedua putrinya belajar main piano berjam-jam lamanya. Juga keras dalam membentuk sikap dan kepribadian, seperti melarang pergi malam, lama menonton TV, dan banyak lagi hal yang biasa diizinkan oleh ibu Amerika. Anaknya harus mendapat nilai-nilai tertinggi dalam pelajaran apa saja dan selalu mengusahakan mencapai peringkat terbaik di sekolah.
 

Buku ini mengundang reaksi ramai yang menilai Amy Chua sebagai ibu tanpa cinta kasih kepada anaknya, bahkan menyebutnya monster. Tapi Amy menolak disebut monster yang tanpa kasih sayang kepada anak-anaknya. Ia cuma tidak mau menjadikan anak-anaknya orang-orang lemah yang berkembang menjadi pecundang dalam kehidupan yang penuh persaingan. Ia dulu malah mengalami pendidikan yang lebih keras dari ibu-bapaknya. Kini, Sophia, anak pertamanya menjadi pianis yang adi luhung dari usia 14 tahun, sedang Lulu, anak kedunya, pemain biola berbakat.
 

Buku ini meroket ke puncak buku terlaris di New York Times Bestsellers’ list, bahkan menduduki rangking nomor 2 terpopuler, versi koran tersebut, untuk kategori non-fiksi.
 

Buku ini menjawab rasa penasaran saya dengan prestasi China dalam segala bidang, terutama olahraga dan musik. Membaca buku ini saya menjadi tahu apa yang dilakukan orangtua China sampai-sampai berhasil menjadikan begitu banyak juara dalam cabang olahraga, matematika, dan musik.[]

M. Iqbal Dawami, pengamat pendidikan. 

Bukan Sekadar Panduan

Judul: Berguru Pada Pesohor; Panduan Wajib Menulis Resensi Buku
Penulis: Diana AV Sasa&Muhidin M Dahlan
Penerbit: 1#dbuku
Cetakan: I, April 2011
Tebal: 266 hlm.

Masih bingung dan tidak tahu bagaimana meresensi buku? Bacalah buku ini! Ingin tahu rekam jejak sejarah resensi di Indonesia? Bacalah buku ini. Ya, buku ini mengandung dua hal itu. Jadi, boleh dikata buku ini merupakan kiat meresensi buku plus-plus. Kita tidak hanya diberi tahu bagaimana cara meresensi buku, tetapi juga informasi pelbagai kisah dunia resensi tempo doeloe di Indonesia. Gabungan keduanya menjadikan unik dan istimewanya buku ini. Haqqul yaqin, suatu hal yang tidak bisa ditemukan dalam buku-buku sejenisnya.   
 

Buku yang ditulis oleh dua orang ini diawali dengan “iming-iming” apa manfaat dan keuntungan meresensi buku, dilihat dari sisi psikologi, jaringan, ekonomi, dan keilmuan. Meresensi memberi suntikan spiritualitas bagi penulisnya (psikologi), mengetahui bagaimana cara menulis buku (keilmuan), di samping mendapatkan kemasyhuran (jaringan), dan meraup rupiah (ekonomi).
 

Setelah itu, dijelaskan syarat sah dan rukun meresensi buku. Syarat sahnya cuma satu, yakni membaca. Ya, membaca buku yang hendak diresensi. Membaca hukumnya fardhu ‘ain. “Membaca bagi peresensi adalah pekerjaan mutlak. Bukan peresensi buku kalau tak membaca buku yang diresensinya.” (hlm. 23). Membaca tidak sembarang membaca. Membaca seorang peresensi itu membaca tingkat tinggi. Kedua penulis ini mengibaratkan mata baca seorang peresensi buku itu gabungan dari mata wisatawan dan mata seorang penyidik. Satu sisi memuji, sisi lain mengeritik. Tangan kanan memberikan madu, tangan kiri menyuguhkan racun.
 

Sedang rukun meresensi buku yakni membuat judul menggugah, menaklukkan paragraf pertama, mengolah tubuh resensi, dan mengunci paragraf terakhir. Ada beberapa jenis judul yang kerap muncul di media massa yang bisa kita tiru, di antaranya: sarkastis; “Aku Menuduh Hamka Plagiat!” (Abdullah SP, Bintang Timur, 7 September 1962), ironi; “Cina, Komunis yang Pro-Adam Smith” (Elba Damhuri, Republika, 23 November 2008), dan tindakan tokoh; “Menyelami Pikiran Kiki Syahnakri” (Moh. Samsul Arifin, Jawa Pos, 18 Januari 2009).
 

Ada juga yang membuat judul dari segi waktu; “Hikayat Orang Indonesia di Negeri Belanda” (Ahmad Musthofa Haroen, Ruang Baca Koran Tempo, 4 Desember 2008), penulis; “Mencederai Kundera” (Nirwan Dewanto, Tempo, 22 Januari 2001), pertanyaan; “Siapa di Balik Kematian Tan Malaka?” (Yunior Hafidh Hery, Suara Pembaruan Online, 15 April 2007), metafora; “Menulis itu Seperti Para Darwis yang Menari sampai Trance” (Muhidin M Dahlan, Kompas, 1 Juli 2001), dan lain-lain.
 

Tak jarang orang masih bingung dan kesulitan bagaimana membuat kalimat pertama yang kemudian bisa dikembangkan menjadi sebuah paragraf. Tidak hanya itu, bagaimana membuat paragraf pertama yang membuat orang “jatuh cinta” pada pandangan pertamanya. Ya, paragraf pertama menurut penulis buku ini ibarat halaman rumah. Halaman harus asri nan elok dan memikat; tidak hanya bersih tapi juga harus sesuai “fengshui”-nya, agar orang merasa nyaman saat hendak memasuki rumahnya.
 

Pembahasan ini menjadi penting, karena ternyata dibutuhkan keahlian dalam membuka paragraf pertama. Penulis buku ini mengumpulkan model-model paragraf pertama yang kerap dipakai oleh para peresensi di pelbagai media massa, yaitu model tema dan metode, pertanyaan, penulis buku, gaya penulisan, deskripsi, kisah yang paling menarik, fisik buku, kritik, kutipan, keunggulan buku, perbandingan, angka unik, dan puisi. 
Tidak ada alasan lagi bukan untuk merasa kesulitan membuka paragraf pertama?
Tentu saja ada hal yang lebih penting lagi yaitu membuat tubuh resensi. Pembuatannya haruslah fokus, mengarah pada satu sasaran. Tubuh resensi bisa difokuskan pada soal jenis buku (Saleh A. Djamhari, Tempo, 04 Maret 1989), metode penulisan (Muhidin M Dahlan, Jawa Pos, 21 September 2008), tema (Redaksi, Tempo, 21 November 1992), bagian vital (Gatot Widayanto, Ruang Baca Koran Tempo, 28 Desember 2010), atau juga kisah pribadi peresensi yang dikaitkan dengan buku yang diresensinya (Hasan Aspahani, Ruang Baca Koran Tempo, 25 Februari 2009). Dan masih banyak lagi. 
 

Setelah menyelesaikan tubuh resensi, kini tinggal mengunci paragraf terakhir. Paragraf ini berisikan tiga hal: pertama, kepada siapa buku tersebut ditujukan. Rincinya, buku tersebut pas untuk pembaca seperti apa, dilihat dari tema, isi, penyajian, atau bahkan nilai ekonomis. Kedua, kritikan. Hal ini bisa mengeritik pendekatan, terjemahan, desain, riset naskah, maupun tata bahasa. Ketiga, pujian, bisa memuji pendekatan, terjemahan, dan lainnya sebagaimana mengeritik.
 

Rukun yang terakhir adalah proses akhir penulisan resensi. Jika resensi sudah selesai, tugas selanjutnya adalah pengendapan. Silakan Anda beristirahat sampai pikiran Anda jernih kembali, entah itu tidur, jalan-jalan, maupun kegiatan lainnya. Nah, setelah segar, silakan lihat kembali resensi Anda secara keseluruhan untuk direvisi, siapa tahu ada yang harus dibenahi. Kedua penulis ini menyarankan dua hal dalam proses editing: membaca dengan mengeluarkan suara dan meminta orang lain untuk membacakannya.
 

Sebagaimana dikatakan di muka bahwa buku ini sejatinya bukan sekadar panduan meresensi buku, tetapi juga tempias dengan kisah-kisah seputar dunia resensi. Misalnya, resensi pembunuh buku yang legendaris yaitu resensi Puradisastra berjudul “Dari Barat, atau Islam?” (Tempo, 16 september 1978). Resensi tersebut membuat bukunya ditarik kembali dari pasaran. Atau resensi “Aku Menuduh Hamka Plagiat” (Bintang Timur, 7 September 1962) karya Abdullah SP. Resensi ini menyulut kontroversial selama bertahun-tahun. Data historis semacam itu menjadi kelebihan tersendiri buku ini.
 

Buku ini merupakan sumbangsih yang amat berharga bagi siapa saja yang mau belajar menulis resensi buku. Sebuah buku yang pantas dibaca juga bagi insan-insan peresensi buku, umumnya pencinta buku. Akhirul kalam, janganlah putus asa dan merasa tak punya bakat meresensi sebelum membaca buku ini. Iqra![]

M Iqbal Dawami, peresensi buku, aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Yogyakarta
    

Sabtu, Oktober 29, 2011

Belajar dari Bangsa Jepang


Judul: Ganbatte! Meneladani Karakter Tangguh Bangsa Jepang
Penulis: A.A. Azhari
Penerbit: Grafindo
Cetakan: I, Juni 2011
Tebal: 238 hlm.

Sedari dulu kita sudah mafhum kalau bangsa Jepang memang sungguh digdaya. Hampir semua lini mengalami kemajuan, dari waktu ke waktu. Dari teknologi, budaya, ekonomi, hingga sastra. Mereka sudah bisa bersaing dengan Barat. Salah satu faktornya sebagaimana dibahas dalam buku ini, yakni semangat belajar atau menuntut ilmu.

Sudah sejak Restorasi Meiji, bangsa Jepang mendapat mandat untuk menuntut ilmu sampai kemana pun untuk meraih kemajuan. Mereka rela melakukan apa pun demi meraih ilmu. Tidak heran di Jepang ada pepatah: sinu made, benkyo (sampai mati, harus belajar).

Karena itu, orang Jepang sangat gemar membaca. Mereka membaca selain untuk menambah ilmu, juga buat hiburan yang mengurangi stress. Di mana pun orang Jepang dapat membaca, termasuk di dalam kereta dan bus. Menurut Simon J. sibarani, seorang konsultan sumber daya manusia yang beberapa kali ke Jepang, di sana pengarang atau penulis buku termasuk kelompok masyarakat yang ekonominya paling makmur karena buku sangat laku. Maka, harga buku pun bisa murah dan terjangkau.

A.A. Azhari, penulis buku ini pernah mengunjungi daerah Kanda-Jimbocho. Kanda-Jimbocho adalah kawasan buku yang dimulai pada masa Restorasi Meiji tahun 1889-an. Sejumlah besar toko di Kanda-Jimbocho telah ada selama dua atau tiga generasi. Toko-toko buku tersebut memiliki jaringan yang kuat dengan usaha sejenis di berbagai negara.

Dan tradisi penerjemahan di Jepang sudah ada jauh sebelum Restorasi Meiji. Pada tahun 1684 dibentuk lembaga penerjemahan kekaisaran. Tugasnya menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Jepang. Namun, sebelum Restorasi Meiji masih sangat sedikit orang Jepang yang mempelajari bahasa asing, apalagi diperbolehkan ke luar negeri, sehingga penerjemahan pun terbatas. Setelah Restorasi Meiji, khususnya pada abad ke-19, penerjemahan di Jepang makin luas dan meningkat sampai saat ini. Tidak heran jika terdapat sebuah buku terbit di Barat, di Jepang dalam sepekan saja sudah tersedia terjemahannya.

Ini bermula dari kesadaran yang dini. Bangsa Jepang sudah sadar dari awal kalau mereka tertinggal dalam ilmu pengetahuan dibanding Barat. Karena itu, mereka rela meniru produk-produk Barat dan mencari tahu ilmu itu. Sejak Restorasi Meiji 1868 banyak pelajar dikirim ke luar negeri untuk mempelajari aneka ilmu yang diterapkan di Jepang. Memang, Jepang bukan bangsa penemu, namun mereka mampu menyempurnakannya. Saat di dunia Barat telah ditemukan radio, televisi, tape rekoder, dan sebagainya, bangsa Jepang pun membelinya. Tapi tak sekadar membeli, mereka meniru dan membuat barang serupa lebih bagus, bahkan lebih canggih lagi.

Azhari memberi contoh perusahaan Sony. Perusahaan elektronik itu memproduksi walkman yang membuat siapa saja dapat menikmati musik sambil jalan-jalan. Walkman sekadar memodifikasi dari tape rekorder ukuran besar yang telah diproduksi di negara-negara industri lain. Itu membuktikan, Jepang tidak sekadar mengikuti trend atau selera pasar, tapi juga menciptakan trend dan pasar sendiri.

Tak heran Jepang menguasai ilmu dan teknologi. Kemampuan mereka membuat produk made in Japan yang berkualitas adalah berkat usaha keras dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dasar, seperti fisika, matematika, kimia, dan biologi. Penguasaan ilmu-ilmu dasar itu membuat Jepang unggul dalam ilmu-ilmu terapan di bidang elektronika, robotika, serta home-entertainment and appliance. Sebagai akibatnya, tidak mengherankan jika Jepang memegang peranan yang penting dalam menentukan ekonomi dunia. Jumlah ekspor hasil produk teknologinya boleh dikatakan mendominasi pasaran dunia terutama dalam bidang elektronika. Sebut saja merek-merek kelas dunia made in Japan seperti Sony, Panasonic, Mitsubishi, Honda, Toyota, Suzuki, Madza, Nissan, Isuzu, Hino, Nikon, Canon, Yamaha, Toshiba, dan Sanyo.

Filosofi Ganbatte
Ada satu falsafah Jepang yang menjadi ruh bangsanya, yaktu Ganbatte. Ganbatte mengumpulkan tiga arti, “lakukan sebaik mungkin”, “jangan menyerah”, dan “berikan usaha terbaik”. Kata dasar ganbatte adalah ganbaru. Jika dalam pergaulan sehari-hari khususnya pada teman dekat banyak diucapkan, “Ganbare!”

Filosofi ganbatte sungguh dahsyat. Kata ini sudah turun-temurun sejak ratusan tahun silam. Ganbaru sendiri artinya “berusaha keras pada tugas sampai tugas itu selesai”, dengan kata lain “berusaha keraslah hingga mencapai sukses”.

Sejak kecil, anak-anak di Jepang sudah diajarkan tentang filosofi ganbaru ini. Kalau mengikuti lomba, mereka saling berkata, “Ganbaru!” kalau mau ujian, mereka juga berkata, “Ganbaru!” mau ke sekolah, bekerja, mereka saling berkata, “Ganbaru!” Ganbaru menyuruh bangsa Jepang tidak mudah menyerah sampai detik-detik terakhir. “Doko made mo nintai shite doryoku suru.” (Bertahan sampai ke mana pun juga dan berusaha habis-habisan.

Itulah mengapa Jepang menjadi raksasa mendunia saat ini. Mereka menjadi bangsa yang kuat baik dalam meraih impiannya maupun dalam gempuran pelbagai cobaan, seperti gempa bumi, tsunami, bahkan bom atom sekalipun. Saatnya bangsa Indonesia belajar dari bangsa Jepang. Sekarang juga.[]

M. Iqbal Dawami
Pencinta buku, penulis Sang Pengubah Mitos (2010)