Senin, Januari 26, 2009

Sepatu Spesial untuk Bush

Resensi ini dimuat di Media Indonesia pada Sabtu 24 Januari 2009
-------------------------
Judul : Goodbye, Bush! - Sepatu Perpisahan dari Baghdad
Penulis : Muhsin Labib
Penerbit : Rajut Publishing House
Cetakan : I, Januari 2009
Tebal : 96 hlm
------------------------------
Masih ingatkah anda dengan peristiwa lemparan sepatu milik wartawan al-Zaidi kepada Presiden Bush, di Irak? Peristiwa ‘sepatu buat Bush’ itu telah mengantarkan Muntahar al Zaidi menjadi terkenal di dunia.

Peristiwa yang ikut menandai lengsernya Presiden George Walker Bush Junior itu, akan selalu dikenang dunia. Dan, nama al Zaidi kini menjadi hero di Irak, bahkan di negara-negara arab lainnya. Al Zaidi muncul sebagai tokoh pembangkang yang berani melawan Bush-Amerika. Saking tingginya daya tarik peristiwa itu, kini tahukah anda sepatu tersebut dilelang dengan harga yang sangat mencengangkan, yaitu Rp 110 miliar.

Bagaimana kronologi peristiwa pelemparan sepatu tersebut? Siapa sesungguhnya Muntahar al-Zaidi? Terus, bagaimana reaksi setelah peristiwa itu? Dalam buku inilah ketiga pertanyaan di atas dapat ditemukan jawabannya.


Minggu, 14 Desember 2008, presiden AS George W. Bush tiba di bandara Internasional Baghdad dengan pesawat kepresidenan AS, Air Force One. Tujuan utama Bush adalah, selain hendak pamitan, untuk menandatangani pakta keamanan AS-Irak. Usai menandatangani, Bush dan Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki hendak melakukan konferensi pers. Seluruh petugas di situ juga telah menyiapkan semua prosedur pengamanan super maksimum yang lengkap dengan peralatan canggihnya. Maka, hampir dipastikan dalam ruangan tersebut tak ada bom, pistol, atau barang apapun yang mengancam keamanan Sang presiden dan perdana menteri.

Saat al-Maliki dan Bush berdiri di podium dengan tatapannya yang penuh kepercayaan diri hendak bersiap menjawab pertanyaan para wartawan, tiba-tiba seorang wartawan televisi Al-Baghdadia, Muntahar al-Zaidi melemparkan sepatunya ke arah Bush sambil berteriak , “Good bye, dog!” Belum sempat para pengawal presiden bereaksi, al-Zaidi melempar sebuah sepatunya lagi, beruntunglah Bush dapat menghindarinya sehingga kedua sepatu itu tak mengenai kepalanya.

Peristiwa tersebut diliput secara live oleh hampir seluruh stasiun televisi dunia. Dan dapat dipastikan berita itu telah tersebar dengan cepat, dan menghibur banyak pemirsa, serta segera saja menjadi bahan gurauan dan melahirkan berbagai reaksi dari seluruh masyarakat dunia. Tentunya peristiwa ini bisa menjadi insiden yang paling memalukan sepanjang sejarah kepresidenan AS.

Dalam budaya arab, tapak kaki (serta yang membungkusnya: Sandal dan sepatu) adalah sebuah penghinaan. Kita tahu, setelah patung Sadam Husein dirobohkan di Baghdad banyak orang memukuli wajah patung itu dengan tapak sepatu mereka. Nah, Bush pun mengalami nasib yang sama dengan Sadam.

Pelemparan sepatu Zaidi merupakan perlawanan simbolik untuk merontokkan kewibawaan Bush. Pesan yang disampaikan tindakan itu adalah hegemoni politik Amerika tidak bisa serta merta beroperasi secara total bagi seluruh rakyat Irak. Negara bisa ditawan dan dikuasai, namun tidak untuk seluruh rakyatnya. Al Zaidi merupakan martir simbolik. Wajar jika kemudian rakyat Irak memberikan dukungan atas tindakan al Zaidi tersebut.
Saat ini kita dapat membaca peristiwa tersebut secara utuh melalui sebuah buku. Buku karangan Mushin Labib ini disertai pula pelbagai informasi yang mengitari peristiwa ‘pelemparan sepatu tersebut’. Buku ini disebut dengan ‘flash book’, dengan dibuat secara cepat untuk menangkap sebuah momen yang masih aktual, yang mampu diselesaikan dalam waktu 2x24 jam. Sungguh luar biasa.

Di awal buku ini diperlihatkan peristiwa seputar Pakta Keamanan Amerika-Irak beserta polemik-polemiknya. Bagian ini memuat berbagai pasal pakta pertahanan tersebut beserta pasal-pasal rahasia dari kesepakatan tersebut. Dari pasal-pasal tersebut terlihat dengan jelas bagaimana AS masih enggan sepenuhnya melepas cengkeraman militernya atas Irak.

Tampaknya ini buku pertama di Indonesia yang memaparkan insiden pelemparan sepatu pada Bush. Selain itu ada banyak informasi yang mungkin hanya bisa diperoleh dalam buku ini saja. Selain kita bisa memperoleh seluruh rangkaian peristiwa ini secara utuh, melalui buku ini pula kita juga akan melihat sebuah ekspresi penolakan yang kuat terhadap arogansi dan hegemoni suatu pemerintahan yang secara sadar ingin menguasai bangsa lain dengan dalih perdamaian dan keamanan dunia.

Di Bagian ketiga dalam buku ini memuat profil singkat pelempar sepatu, Muntahar al Zaidi dan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan sosoknya sesuai aksi pelemparan seperti penyiksaan yang dialaminya dan dukungan serta simpati mulai dari sesama wartawan. Terkait dengan dirinya, beberapa fenomena menarik juga direkam dalam buku ini, seperti banyak ibu-ibu yang bersedia menikahi anak gadisnya dengan al Zaidi, pabrik pembuat sepatu yang mereknya sama dengan yang digunakan al Zaidi kebanjiran order, sehingga pesanan jenis sepatu tersebut dinaikkan hingga 4 kali lipat. Dan uniknya kebanyakan pesanan tersebut berasal dari AS, Inggris, dan sejumlah negara Arab.

Al Zaidi memang telah menjadi hero dan simbol perlawanan terhadap Amerika dan sekutu-sekutunya. Bahkan setelah peristiwa tersebut para intifadah di jalur Gaza tak lagi melempari tentara Israel dengan batu melainkan dengan sepatu.

Selain itu terungkap pula bahwa sejatinya kejadian aib bagi sang presiden tersebut malah menjadi hiburan gratis bagi tentara AS di Irak. Peristiwa tersebut nyaris tidak terkesan sebagai peristiwa kekerasan, namun kelucuan. Tentara AS di Irak terbahak-bahak melihat insiden tersebut.

Kasus ‘sepatu al Zaidi’ itu memang tidak otomatis merontokkan kewibawaan Amerika baik secara ekonomi, politik, militer dan budaya. Sebagaimana yang dikatakan Indra Tranggono, budayawan Jogja, bahwa mereka terlalu digdaya. Namun, lanjutnya, secara politik dan kultural peristiwa itu telah menjadi interupsi penting bagi Amerika bahwa sebuah bangsa dan negara mempunyai harga diri yang tidak bisa diperlakukan secara semena-mena. Semoga kasus ini menjadi bahan renungan bagi Barrack Obama.

Selasa, Januari 20, 2009

Lepas Dari Jebakan Wajah

Judul: The Face of Another – Wajah Lelaki Lain
Penulis: Kobo Abe
Penerjemah: Wawan Eko Yulianto
Penerbit: Jalasutra
Tahun: I, 2008
Tebal: 350 hlm
----------------

Sebegitu pentingkah wajah bagi seseorang? Secara umum memang ya. Karena boleh dibilang wajah adalah gerbang untuk menjalin akses dengan dunia. Wajah merupakan pantulan jiwa dan seluruh raga, juga cermin bagi setiap orang yang memantulkan segenap cipta, rasa dan karsanya.

Paradigma seperti inilah yang selama ini telah diterima masyarakat luas secara konvensional. Akan tetapi Kobo Abe dalam novelnya menulis lain falsafah tentang wajah. Abe menghadirkan tokoh “Aku” dalam keadaannya yang tanpa wajah. Benarkah wajah menjadi prasyarat penting bagi kelayakan manusia?

“Aku” seperti dikisahkan Abe dikenal sebagai kepala Institut Riset Molekuler Tinggi di Jepang, mengalami ledakan ketika sedang melakukan percobaan kimia di laboratoriumnya. Wajahnya hancur, melepuh dan berubah menjadi jaringan daging yang menjijikkan. Sehingga menyebabkannya menjadi monster mengerikan yang berjalan kemana-mana dengan wajah dibalut berlapis-lapis perban. Hubungan dengan orang lain rusak, dan istrinya menolak ketika diajak bercinta. Ia dicampakkan lingkungannya karena kekurangan hal sepele, menjadi lelaki yang tak berwajah.

Si “Aku” memerlukan sesuatu untuk menyingkirkan halangan bekas luka keloid yang membengkak dan mengembalikan lagi jalan penghubung menuju orang lain. Ia terusik oleh alergi psikologis dan gagal menghentikan penderitaan meski sudah muak terhadap segalanya—walau telah berkali-kali mencoba meyakinkan dengan tindakan bahwa wajah hanyalah layar, sebuah ilusi sia-sia—Pada akhirnya ia melanjutkan hidup di buku dan pulau terpencil dengan menyewa kamar di sebuah apartemen. Di tempat persembunyiannya itu ia mencetuskan ide membuat topeng yang nyaris tak dapat dibedakan dengan wajah asli, lengkap dengan ekspresi yang diinginkannya. Ia menghubungkan topeng karyanya dengan otot yang mengatur ekspresi, sesuatu yang bisa melebar dan menegang bebas, tertawa dan menangis.

Tak pelak, penulis begitu lihai menampilkan karakter tokohnya dengan alegori eksistensial yang sangat utuh dan terwujud begitu hidup. Dengan kesuksesannya menciptakan topeng, si “Aku” tampil dalam pementasan topengnya, namun dialah satu-satunya pemain. Dia menguji kecanggihan topengnya dan terlahir sebagai sosok dirinya yang lain, sosok si topeng yang melancarkan aksi melakukan balas dendam kepada istri yang telah menolaknya. Si topeng berani menjamin istrinya bakal terpedaya dengan kesempurnaan wajah barunya. Namun di balik semuanya “Aku” justru telah mengamati penyerongan yang telah dilakukan istrinya.

Sangat mungkin bagi “Aku” mengubah standar nilai dan minat orang pada wajah asli beralih menjadi topeng yang bisa diubah-ubah. Di zaman topeng, kita bisa memakai tampang baru yang lepas dengan masa lalu atau hari esok. Topeng akan memperoleh kemasyhuran luar biasa dan pabrik yang memproduksinya pun akan tumbuh semakin besar.
Kita bisa memesan jenis dan rupa wajah dari yang terpopuler sampai terjelek sekalipun, dari tampang kota maupun tampang desa. Dan jauh lebih wajar saja jika aktor populer akan ngotot mendapatkan hak cipta wajah dan mulai menggelar gerakan menentang produksi bebas topeng mereka.

Si “Aku” menemukan kepercayaan dirinya dan berfikir jika ada yang harus menanggung malu dan menderita, bukannya lebih kepada dunia yang telah menguburnya hidup-hidup, yang tak mengenali kepribadian lelaki tanpa paspor bernama wajah. “Aku” nyaris sulit percaya bahwa wajah itu begitu penting bagi keberadaan manusia. Bukankah kelayakan manusia harusnya diukur berdasarkan isi karyanya. “Aku” berterima kasih seutuhnya bahwa ia telah meraih kesempatan mengangkat sauh sementara pantai masih terlihat.

Dan fakta yang tak bisa lagi dipungkiri bahwa wajah manusia—jenis berubah-ubah harmoni—adalah juga topeng. Di sini seakan ditemukan sebuah metafora tentang wajah yang tak lebih hanyalah sebagian kecil dari kapsul manusia. Wajah tidak lebih hebat dengan bebatan perban atau topeng ciptaan manusia. Karena hanya kulit luar yang terang-terangan menyembunyikan isinya dan kerap dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan untuk mendapatkan kesan karismatik. Membaca novel ini seakan membuat kita tahu makna seraut wajah, dan kemunafikan yang disembunyikan di balik senyum yang menawan.

Kini beribu-ribu wajah calon legislatif (caleg) sedang dipampangkan lewat aneka poster dan spanduk, dijajakan di setiap sudut-sudut dan pinggiran kota serta di desa-desa. Akankah ia benar-benar mencerminkan jati diri dan pesona karakter yang ditampilkannya? Ataukah orang malah melihatnya sebagai topeng-topeng menggelikan dan hanya memedihkan mata setiap yang memandang? Oleh karena itu, novel ini mendapatkan tempat di masyarakat kita pada saat ini yang sedang ramai berlomba memajang wajah-wajah para caleg dari masing-masing partai. Membaca buku ini membuat kita akan berkata kepada poster-poster caleg itu, ‘jika anda ingin dipilih rakyat tolong buka dulu wajah (topeng)mu itu!’.

Jenghis Khan Leluhur Dua Benua

Judul: Jenghis Khan, Legenda Sang Penakluk dari Mongolia
Penulis: John Man
Penerjemah: Kunti Saptoworini
Penyunting: Indi Aunullah
Penerbit: Alvabet, 2008
-----------------------

Buku ini merupakan kajian komprehensif yang mampu memadukan pendekatan sosiologis, antropologis, bahkan historis mengenai seorang sosok legendaris dunia, yang oleh sebagian orang dicaci tapi oleh sebagian lainnya justru dipuji. Sosok tersebut adalah Jenghis Khan.

Ada dua fakta yang tak dapat dibantah bahwa Jenghis Khan merupakan orang yang bertanggung jawab atas kematian jutaan orang, termasuk kaum Muslim, kurun 1209 - 1227. Pun di Negara-negara taklukan lainnya. Namun, dia juga adalah orang pertama yang menghubungkan perdagangan antara dataran Cina dan bangsa-bangsa di kawasan Eurasia melalui jalur sutra. Dia adalah pria yang menjamin keamanan dan perdamaian di sepanjang jalur tersebut.

Buku karya John Man ini dibuka dengan laporan sebuah artikel pada Maret 2003, di American Journal of Human Genetics. Artikel tersebut menceritakan bahwa dari sebanyak 2.000 pria di seluruh Eurasia yang diuji DNA-nya, ditemukan beberapa lusin pria di antaranya mempunyai struktur genetik yang mirip.

Struktur yang juga dimiliki tidak kurang dari 16 kelompok populasi yang menyebar antara Laut Kaspia dan Samudera Pasifik. Fakta tersebut membuktikan terdapat keluarga yang sangat besar yang berasal dari satu gen. Penelitian pun terus dilanjutkan dan berhenti pada satu kesimpulan bahwa gen tersebut berasal dari seorang pria bernama Jenghis Khan, seseorang yang pernah berkuasa di daerah tersebut sekitar abad ke-12 yang dalam setiap penaklukannya, wanita cantik merupakan bagian dari harta rampasan dalam peperangan dan merupakan persembahan dari perwira bawahan sebagai sebuah pernyataan kepemimpinannya.

Dari rasa penasaran itulah buku ini beranjak menuju penelitian lapangan, hendak menyusuri tanah kelahiran Jenghis Khan di Mongol sembari membuka pelbagai referensi prihal Jenghis Khan. Alkisah, petualangan Jenghis Khan dalam melakukan ekspansinya adalah dimulai dari daratan Cina pada 1211. Dan untuk mengepung Kota Terlarang itu dia menggunakan kuda dan busur kecil yang dapat melontarkan anak panah berkilo-kilo meter. Adapun cara melakukan koordinasi antarpasukan, dia menggunakan kurir yang mampu mengantarkan pesan berjarak ratusan kilometer dalam sehari. Selain itu, dia juga mengadaptasi alat pelontar batu, busur raksasa, serta tangga besar yang digunakannya dalam setiap pengepungan kota.

Keberhasilannya dalam menaklukan dataran Cina mengantarkan dia sebagai salah satu bapak pendiri dinasti di Cina. Tak lain itu merupakan efek dari penyerangan tersebut yang efektif dan elegan.

Pada 1218, Jenghis mulai bergerak ke wilayah barat. Ada hal baru dari analisa John Man yang sedikit melawan pendapat main stream, bahwa pembantaian jutaan kaum muslim di Khwarazem (sekarang Baghdad), oleh Jenghis Khan adalah karena sikap pimpinan kota Khwarazem lah yang terlalu paranoid dengan kedatangan Jenghis Khan sampai membunuh utusan Jenghis. Kronologinya adalah saat utusan pimpinan bangsa Mongol mendekati pimpinan Khwarazem yang sebetulnya berniat menawarkan kerja sama dalam bidang perdagangan dengan membuka jalur sutra, malah dibunuh oleh pimpinan Khwarazem.

Jenghis yang sangat mengagungkan kesetiaan akhirnya membalas dendam atas penghinaan itu dengan membantai hampir 1,3 juta Muslim. Jadi, sama sekali tidak benar jika ada anggapan bahwa pembantaian tersebut berdasarkan agama atau rasisme.

Jenghis Khan bukanlah sebuah nama, melainkan sebuah gelar kebesaran bangsa Mongol yang berarti sang pemimpin. Istilah ‘Jenghis Khan’ sendiri diawali dari seorang anak jalanan bernama Temujin. Dia seorang pesakitan yang terus hidup dengan dendam dari orang-orang yang pernah menyiksa dan menganiayanya.

Singkat cerita, seiring waktu dan pencapaiannya selama 10 tahun menyatukan bangsa Mongol yang terpisah-pisah karena kesukuan, Temujin diangkat menjadi Jenghis Khan (sang pemimpin). Perang saudara memang sudah biasa terjadi di antara suku-suku di Mongol. Oleh karena itu, dia ingin membuat hukum dan menyatukan bangsa Mongol di bawah kendalinya. Hukum itulah yang kemudian membawanya ke tampuk kepemimpinan. Nampaknya segala beban dan pengalaman hidup pahit masa kecil itulah yang menyumbang banyak dalam pembentukan karakternya kelak.

Dalam kepemimpinannya, Jenghis Khan merupakan pemimpin yang sangat loyal atas bawahannya. Sebelum menuntut kesetiaan pada bawahannya, ia sendiri memberi teladan terlebih dahulu untuk setia pada mereka. Maka, terjadilah hubungan yang kokoh antara Jenghis Khan dan bawahannya. Semua bawahannya hampir dipastikan tidak ada yang berontak atas kepemimpinannya. Semua jenderalnya merasa puas atas kepemimpinannya. Hal itu juga ia lakukan atas suku-suku yang bergabung dengan dirinya dengan sebuah kesetiaan yang tinggi.

Di saat sakit dan mendekati ajalnya, Jenghis berwasiat kepada para jenderalnya untuk merahasiakan kematiannya kelak agar rencana-rencana penaklukannya bisa terus berjalan melalui penggantinya. Dan sepeninggalnya, Jenghis Khan telah membangun sebuah kerajaan yang mampu menguasai kawasan dari Laut Kaspia hingga Samudera Pasifik. Dia adalah orang yang menaklukkan daratan Cina hingga sebagian Eurasia.
Sesuai penelitiannya, John Man berani mengatakan bahwa daerah kekuasaan Jenghis empat kali lebih besar dari Alexander Agung, dan dua kali lebih besar dari imperium Roma.

Jenghis Khan juga tercatat sebagai pemimpin jenius yang melakukan pembaharuan sistem pemerintahan sangat maju untuk zamannya. Ia mengenalkan penggunaan bubuk mesiu, uang kertas, serta kitab hukum yang mengatur tentang pemerintahan, dan undang-undang, Yassa Agung.

Namun, terlepas dari segala prestasi yang diukirnya (termasuk pemberani dalam medan perang), terdapat fakta bahwa Jenghis Khan ternyata sangat takut pada anjing.

Jumat, Januari 02, 2009

Harry Potter Menjadi CEO

Resensi ini dimuat di Koran Jakarta,Kamis 8 Januari 2009

----------------------
Judul: Harry Potter is Back, And Now he’s the CEO of the General Electric
Penulis: Tom Morris
Penerbit: Quacana,
Cetakan: I, November 2008
Halaman: 406 halaman
--------------------


Harry Potter selebritas dalam dunia sihir, masih terus booming dalam kiprahnya membangun hikmah dan kearifan hidup para pembacanya. Tom Morris satu dari sekian banyak pembaca karya-karya Rowling yang berhasil mengeksplorasi pesona sihir Harry Potter menjadi sebuah karya nyata yang menginspirasi semua kalangan pembacanya.

Di tangan Morris kisah Harry Potter belum berhenti. Petualangan-petualangannya di sekolah Hogwarts--setelah ia berhasil menundukkan Voldemort--telah mengantarkannya menjadi CEO General Electric, sebuah perusahaan besar kelas dunia. Penulis buku ini begitu yakin Harry Potter telah dipersiapkan menjadi “pemain bintang” dalam dunia bisnis, juga menjadi pemimpin muda yang sangat mengesankan.

Apa kira-kira yang akan dilakukan Harry sebagai pemimpin perusahaan? Apa kiat-kiat bisnis, manajemen, dan kepemimpinan yang bisa diambil dari Harry Potter? Di buku inilah jawabannya akan ditemukan.

Apa yang dituturkan dalam kisah-kisah Harry Potter menurut Morris adalah kebaikan-kebaikan yang selalu menyebar tepat di pusat kehidupan beretika. Dan dari pengamatannya, ia tercengang, lantaran menemukan banyak pelajaran berharga dan ajaran-ajaran filosofis dalam karya-karya Rowling yang menjadi modal dasar kepemimpinan. Bagaimana Dumbledore telah mengilhami Harry rasa percaya diri, karakter, semangat dan keteguhan dalam kemandiriannya, sehingga ia dapat mengatur dan memimpin perlawanan tanpa henti terhadap kekuatan jahat yang muncul sepanjang cerita.

Di balik jubah sihirnya, justru kisah-kisah Harry Potter ingin menunjukkan bahwa bukan sihir yang memberi kesuksesan dalam meraih impian, karena kita tahu kebanyakan dari kita tidak memiliki perangkat-perangkat sihir itu. Akan tetapi kearifan-kearifan yang terpancar di dalamnya sangat tepat untuk diaplikasikan pada tantangan-tantangan bisnis sekarang ini. Kita bisa melihat banyak petunjuk mengenai kebaikan-kebaikan, keberanian, etika, dan sifat-sifat kepemimpinan yang penuh integritas, yang banyak tersebar dalam kisah-kisah Harry Potter.

Sifat yang penting dalam dunia bisnis, sebagaimana ditulis Morris, adalah keberanian. Keberanian untuk mengambil resiko, juga seperangkat keberanian lainnya; mengatakan kebenaran dan bertingkah laku sesuai prinsip tanpa terpengaruh oleh orang lain. Harry sering terlihat bersedia menghadapi bahaya besar untuk menyelamatkan temannya. Harry mengerti apa yang sedang dihadapi dan bersedia melawannya karena sesuatu yang dia junjung tinggi. Inilah yang harus dijadikan tauladan seorang pelaku bisnis, CEO, dan pemimpin-pemimpin yang berada pada garda depan. Dalam hal ini tentunya termasuk berani untuk dapat menampilkan kenyataan yang benar, bukan hanya berlindung di balik penciptaan kesan yang benar.

Menjadi pribadi yang hebat, merupakan komitmen yang harus dipegang oleh seorang pemimpin. Hebat yang mengacu kepada persaingan untuk menjadi yang terbaik. Membangun kepercayaan melalui kasih sayang, kemanusiaan, dan cinta. Jeft Immelt, CEO perusahaan besar kelas dunia menawarkan lima buah saran yang ia sebut sebagai “lima buah nilai yang dijunjung tinggi”, yaitu: Berkomitmen kepada apa yang harus dipelajari; bekerja keras dengan rasa kasih sayang dan keberanian; jadilah si pemberi; anda harus memiliki kepercayaan diri; terakhir, jadilah orang yang optimistik.

Buku ini sangat berguna untuk semua orang yang ingin menemukan sedikit keajaiban dalam bisnis dan kehidupan. Jika Harry Potter dewasa yang matang memimpin General Electric, atau organisasi lain dalam dunia bisnis, pemerintahan, atau pelayanan masyarakat, sang penulis yakin kita akan melihat sebentuk kepemimpinan yang didasarkan pada sifat-sifat baik, yang tindakannya berani secara etis, dan dimotivasi serta diarahkan oleh cinta.