Rabu, Juni 03, 2009

Memoar Wanita Luar Biasa

Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, 17 Juni 2009
Judul: Footnotes
Penulis: Lena Maria
Penerbit: Dastan Books
Cetakan: I, Mei 2009
Tebal: 247 hlm.
----------------

Manusia ibarat teh celup, berfungsi optimal setelah “disiram” dengan ujian. Itulah kesan yang saya dapatkan setelah membaca memoar Lena Maria ini; seorang wanita yang lahir tanpa lengan dan hanya satu kaki saja yang normal. Namun di balik kecacatannya, terselip segudang talenta dan prestasi yang luar biasa. Dia perenang, penyanyi, pelukis, dan penulis. Masing-masing dari talentanya itu pernah menyabet beberapa prestasi dan penghargaan dari beberapa negara. Di buku inilah semua kisahnya dia ceritakan sendiri.

Lena Maria lahir tahun 1968 di Stockholm, Swedia. Saat kelahirannya, sang dokter memberi tahu orangtua Lena atas kondisinya. Dokter sudah bersiap menawarkan obat penenang jika memang orangtuanya merasa membutuhkannya akibat tak sanggup mendengar kenyataan itu. Dokter sendiri tidak bisa menjamin apakah Lena sanggup bertahan, mereka terlebih dulu harus memeriksa apakah organ dalamnya juga mengalami kerusakan. Dokter juga menginformasikan bahwa jika Lena selamat, para orangtua diizinkan untuk menitipkan anaknya dengan kecacatan parah seperti Lena di sebuah institusi khusus.

“Anda harus mempertimbangkan kemungkinan harus mengurusnya selama 20 tahun lebih, jika anda memutuskan untuk merawatnya sendiri,” jelas sang dokter kepada orangtua Lena. Namun, ayahnya menjawab dengan mantap, “Memiliki tangan ataupun tidak, dia pasti membutuhkan tempat tinggal” (hlm. 23).

Kedua orangtua Lena memantapkan keputusannya untuk merawat dan membawanya pulang. Mereka sadar bahwa tindakan itu bukan tanpa risiko. Mereka sudah banyak berbicara dengan petugas dari institusi perawatan khusus, dan keduanya pun tahu dengan pasti bahwa merawat anak dengan tingkat kecacatan yang parah seperti anaknya adalah sebuah perjuangan yang berat dan melelahkan.

Keputusan mereka benar-benar dilakukannya. Walhasil, Lena menikmati masa kecilnya dengan luar biasa menyenangkan. Orangtuanya benar-benar memberi kasih sayang dan perhatian berlimpah.

Bukan hal yang mudah mengasuh seorang anak cacat. Boleh jadi ada juga orangtua yang tidak sanggup melakukannya. Tapi orangtua Lena sejak awal bertekad untuk sebisa mungkin memperlakukannya seperti anak normal lainnya. Mereka menganggapnya sebagai Lena, putri mereka yang kebetulan memiliki kekurangan—bukan sekadar anak cacat. Terlihat sekali bahwa mereka mencintainya apa adanya, bukan berdasarkan apa yang bisa atau tidak bisa dia lakukan. Semua itu membuatnya merasa lebih percaya diri.

Sejak awal, Lena sudah didorong untuk melakukan apa pun yang dia sukai. Hasilnya, dia tidak pernah merasa marah atau menyesali keadaan yang tidak normal. Dia juga tidak menganggap kecacatannya sebagai aib yang memalukan. Dia selalu berpikir bahwa dirinya sama seperti manusia yang lain. Hanya saja dia melakukan segala sesuatu dengan cara yang sedikit berbeda. Lena tidak pernah merasa kecil hati. Dia bahkan merasa Tuhan sangat mengasihinya sehingga dia masih diberikan kesempatan untuk hidup, menikmati hidup, dan berkarya. Sungguh, sebuah cara berpikir yang matang.

Semenjak balita, dia sudah mengikuti kelas renang dan terus berlatih hingga tak terhitung jumlahnya. Hasilnya, dia mampu menjadi perenang profesional dan sering memenangkan berbagai medali dalam berbagai kejuaraan renang. Karier puncaknya dalam renang adalah ketika dia mengikuti Paralympic Games (Olimpiade untuk para penyandang cacat) 1988 di Seoul, Korea Selatan, dengan meraih medali emas.

Selain renang, Lena juga mengembangkan kemampuannya di bidang musik. Dan berkat latihannya yang keras pula, dia mampu menembus perguruan tinggi musik di Stockholm di mana tidak semua orang bisa meraihnya. Keseriusannya itu berhasil membuahkan beberapa album sebagai penyanyi profesional yang cukup laris, baik di Eropa, Amerika, maupun Asia. Kariernya terus memuncak. Dia sering diundang untuk mengadakan konser baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Dalam kesehariannya, Lena selalu berusaha melakukan sesuatu untuk tidak terlalu bergantung pada bantuan orang lain. Dus, hampir semua aktivitas dia pelajari, dan nampaknya cukup berhasil. Lena bisa menjahit, menulis, melukis, mengemudi mobil, bermain piano, dan yang lainnya. Sungguh, kehidupan kesehariannya layaknya manusia normal.

Kisah prestasi hidupnya yang kontra dengan kondisi fisiknya itu menarik beberapa media untuk membuat film dokumenternya. Dan setelah film tersebut disebarluaskan, tiba-tiba saja banyak surat berdatangan kepada Lena dari pelbagai negara. Dia pun sering menerima undangan dari pelbagai negara. Mereka takjub melihat bagaimana Lena bisa memandang hidup dengan cara positif dan bagaimana Lena bisa sukses di pelbagai bidang, padahal ada banyak kekurangan yang dimilikinya yang akan menghambat kegiatannya. Fenomena Lena Maria adalah gambaran, suri teladan dan pelajaran hidup dari manusia penyandang cacat yang memutuskan untuk menjalani kehidupannya secara mandiri. Dia berhasil menyingkirkan kesan rendah diri, rasa kasihan, dan kemalangan.

Dalam bab akhirnya, ada refleksi yang mendalam mengapa dia berhasil mengatasi ketidaksempurnaan fisiknya itu yang sejatinya dapat berpengaruh pada kondisi psikis dan sosialnya, bahkan lebih dari itu Lena dapat terus berpikiran positif dan meraih kesuksesan. Pertama, manusia terlahir berbeda satu sama lain. Lena mengaku dirinya merupakan tipe orang yang jika menghadapi suatu hambatan, lebih memilih untuk mencari jalan keluar daripada hanya terpaku pada hambatan tersebut. Dia tidak suka memperumit keadaan yang sudah rumit.

Kedua, orangtua. Sikap orangtua yang tidak menganggap kekurangan Lena sebagai aib dan selalu memperlakukannya sama seperti anak normal lain, banyak membantu Lena untuk bisa menjadi dirinya. Mereka membuat Lena memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Mereka mendorongnya untuk meraih kesuksesan, tapi tetap mau menerima kegagalannya.

Ketiga, Tuhan. Keyakinan terhadap Tuhan sudah menjadi bagian dalam diri Lena. Lena belajar bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang berharga dan tidak peduli siapa dirinya atau bagaimana rupanya. Sebagian orang mungkin menolak keyakinan mereka jika menghadapi permasalahan seperti itu. Akan tetapi Lena percaya bahwa Tuhan tidak pernah berbuat salah, dan hidupnya merupakan bagian dari rencana khusus Tuhan kepadanya.

Sejak edisi pertama diterbitkan di Swedia, buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa, di antaranya bahasa Norwegia, Denmark, Jerman, Prancis, Thailand, Jepang, Estonia, Inggris, Indonesia, dan lain-lain.***

M Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang



Tidak ada komentar: