seperti ulat jadi kupu-kupu # aku masih kepompong
waktu
bergantung di ranting sunyi # kosong diri dari
nyanyi
Jibril senantiasa datang # melempar sekuntum
kembang
kau dan aku: kebenaran # terus berjalan menuju
keselamatan
Puisi di atas begitu syahdu. Puisi tersebut terdapat
dalam judul “Nabi Kangen”. Kesunyian menjadi kepompong waktu yang sedang
mempersiapkan diri menuju pencerahan. Begitu saya tafsirkan bait-bait puisi di
atas. Kesunyian tampaknya menjadi porsi terbesar dari kumpulan puisi ini.
Bahkan menjadi satu bab tersendiri yaitu “Sabda Kesunyian” yang di dalamnya ada
10 puisi.
Seorang penyair dalam proses kreatifnya akan melewati
masa-masa kontemplasi, dan di situlah dia akan berteman dengan kesunyian. Walau
kesunyian bukan berarti kesepian. Kesunyian memproduksi sesuatu berupa ide atau
gagasan, yang berasal dari pikiran dan perasaan. Kesepian sebaliknya, ia justru
mengontra produksi sesuatu. Begitu juga dengan penyair. Bagi penyair kesunyian
adalah jalan menemukan kata-kata yang berisi gagasan atau buah perenungan.
Buku ini adalah penanda Sofyan RH. Zaid dalam laku
kepenyairannya selama 14 tahun. Belasan tahun memang belum relatif lama tapi
capaiannya sungguh luar biasa. Puisinya sudah dimuat di pelbagai media cetak,
seperti majalah sastra Horison, Annida, Pikiran rakyat, dll. Belum lagi di
sejumlah buku antologinya, seperti Empat Amanat Hujan (DKJ, 2010), Negeri
Cincin Api (Lesbumi, 2011), dll. Dari sunyi ke sunyia ia lakoni sehingga
menghasilkan puisi yang luar biasa.
Capaian produktifitas dalam laku kepenyairan Sofyan dibarengi dengan
eksperimentasinya dalam model pembuatan rima puisinya. Dalam Mukadimah ia
menyebutnya puisi nadhaman, terinspirasi dari nadham arab di pesantren. Nadham adalah
syair yang berima dua-dua atau empat-empat. Dalam khazanah kitab kuning,
seringkali pakar bahasa menulis kitabnya dengan nadham, sebut saja misalnya Alfiyyah
ibn Malik karya Ibnu Malik al-Andalusy dan Imrithi karya Syaikh Syarofuddin
Yahya Al-Imrithi. Keduanya adalah kitab nahwu (tata bahasa arab).
Eksperimen yang kemudian menjadi ciri khas Sofyan
patut diapresiasi. Ia keluar dari pakem model-model puisi yang sudah digariskan
para pengkaji puisi. Di sisi lain pilihan pembuatan model puisi ini juga
menimbulkan pro-kontra di kalangan para penyair yang mengenalnya. Ada yang
kecewa namun ada pula yang mendukung. Polemik ini pun semakin mencuat tatkala
Dimas Indiana Senja, kritikus sastra, membahas model puisi Sofyan di Republika
dengan judul Estetika Nadhaman. Tulisan Dimas memunculkan
tulisan-tulisan lain baik yang pro maupun kontra.
Namun di luar itu semua, Sofyan hanya ingin terus
menulis dan menulis puisi. Sofyan
berujar, “... saya bahagia hidup bersama puisi. Puisi telah memberi saya banyak
hal berharga yang tidak pernah bisa saya dapatkan dari yang lain.”
Kesunyian Sofyan
Saya melihat tema kesunyian mendapat porsi yang
banyak dalam kumpulan puisi Sofyan ini. Apakah puisi baginya menjadi teman di
kala sunyi? Atau kah ada hubungannya dengan kegalauan dirinya di usia muda?
Usia muda memang sarat dengan gejolak emosi yang membuncah, terhadap
lingkungan, persahabatan, bahkan saat jatuh cinta. Atau bisa jadi Sofyan di
kala sunyi itu pikirannya terlempar ke masa silam kepada sesuatu yang
dikenangnya, walaupun kita tidak tahu siapa yang dimaksud. Hal itu bisa kita
lihat dalam puisi “Lembah Sembah”: Sudah bertahun silam # dalam kenangan
tenggelam/Menyebut namamu hari ini # aku masih berdebar sunyi.
Dalam “Serat Kesunyian”, ia merindukan kekasihnya.
Ia berharap kekasihnya datang di saat kesunyiannya itu. Berikut puisinya, Datang-datanglah kau padaku,
kekasih # aku menunggu dari hari ke perih/Padam mata arah nyala mata waktu #
aku rabah hati masih dalam rindu/Air mata menulis kalimat harap # angin
membacakannya kepada gelap/Tak tahan sudah aku menabung duka # biarkan kata
saja yang menanggungnya/Dalam bahasa rahasia cuaca # menjadi serat di lembaran
udara.
Pemilihan kalimat “dari hari ke perih” (galibnya
“dari hari ke hari”) menunjukkan ia semakin hari semakin tersiksa dengan
rindunya itu. Terlebih ditambah dengan kalimat “Tak tahan sudah aku menabung
duka”. Pada saat sunyi seringkali memang kita dihinggapi dengan
kenangan-kenangan yang menyiksa. Tentu biasanya yang kita kenang adalah adalah
orang-orang yang kita cintai. Terlebih apabila kita saat berjauhan dengan orang
yang kita cintai. Puisi “Rindu Ibu,
Rindu Pulang” menyiratkan hal itu. Ia menulis,
Jauh darimu, ibu # aku menjadi debu. Puisi itu di samping
mempunyai keindahan rima (ibu dan debu), juga kedalaman makna.
Sofyan menganggap dirinya debu. Debu merupakan partikel
padat kecil yang mudah terbang. Apakah tamsil debu dijadikan gambaran dirinya
sebagai sosok seorang anak yang kehilangan arah lantaran jauh dari ibunya? Atau
Sofyan merasa dirinya tak punya sandaran dan pijakan, menjadi tak berarti,
fana, dan tak berdaya menghadapi ruang dan waktu?
Puisi berjudul “Sederhana” punya kesunyian yang
berbeda. Sofyan melemparkan dirinya jauh ke depan. Ia berharap kepada
“cinta”-nya bisa selalu hidup bersama dalam satu rumah. “Cinta” di sini masih
misteri. Kita tidak tahu persis apakah merujuk kepada seseorang atau cinta itu
sendiri. Kalimat “sampai lupa cara berpisah” sebuah ungkapan lain dari “sampai
maut memisahkan kita”. Sungguh puitis.
Usia Sofyan masih tergolong muda (kelahiran 1986).
Puisi-puisinya tentu menggambarkan gairah anak muda. Begitu juga pada saat dia
dalam kesunyian. Kesunyian khas anak muda. Namun, apa yang membedakannya dengan
anak muda lainnya? Dia melakukannya dengan produktif nan artistik. 14 tahun
dalam perjalanan kepenyairannya sungguh memperkaya hidupnya.[]
1 komentar:
SBOBET adalah situs taruhan secara daring. Sbobet beroperasi di Asia yang dilisensikan oleh First Cagayan Leisure & Resort Corporation, Manila-Filipina dan di Eropa dilisensikan oleh Pemerintah Isle of Man untuk beroperasi sebagai juru taruhan olahraga sedunia. SBOBET menawarkan taruhan olahraga dalam beberapa bahasa. Sbobet biasanya disebut sebagai Situs Bandar Judi Bola Terpercaya yang sudah dikenal di Indonesi sejak tahun 2014.
Posting Komentar