Minggu, Maret 06, 2011

Menjadi Cracker

Dimuat di Seputar Indonesia, 20 Februari 2011


Judul: Cracking Zone
Penulis: Prof. Rhenald Kasali, Ph.D.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Januari 2011
Tebal: 356 halaman

AWAL tahun ini Rhenald Kasali kembali merilis buku berjudul Cracking Zone. Buku tersebut masih dalam tema “perubahan”yang selalu digagas di setiap bukunya.Perubahan kali ini menyoal era digital.

Rhenald menulis buku ini berdasarkan hasil penelitiannya selama satu tahun. Dia membentuk tim yang terdiri atas delapan orang. Setiap orang memulai pekerjaannya dengan membaca segala kajian, data, dan kejadian-kejadian penting yang melibatkan aktivitas masyarakat Indonesia. Pembahasan buku tersebut diawali dengan fenomena yang terjadi pada saat ini, baik secara mikro maupun makro, bahwa sistem telekomunikasi yang semakin canggih telah mengubah gaya hidup manusia.Tantangan,ancaman, dan peluang berjalan beriringan. Fenomena itu memunculkan sebuah generasi bernama Gen-C.

Gen-C,menurut penelitian Dan Pankraz (Australia) bisa berarti content, connected, digital creative, co-creation,customize,curiosity,dan cyborg.“C” bisa juga berarti cyber, cracker, dan chameleon (bunglon) [hlm 43]. Rhenald memberikan contoh bahwa gadis-gadis di Jakarta banyak sekali ingin dipotong rambutnya seperti potongan Lady Gaga, penyanyi barat. Hal itu pengaruh dari video klip Lady Gaga dalam album Paparazzi,yang telah diunduh lebih dari 250 juta orang di seluruh dunia. Itulah sekelumit potret kecil remaja kelas menengah Jakarta yang merupakan bagian dari komunitas global yang dapat disebut generasi terkoneksi (connected generation/ Gen-C).

Generasi ini selalu terhubung melalui telekomunikasi, baik melalui telepon seluler— ponsel—(sms dan telepon) maupun internet (e-mail,googling,Facebook, Twitter, Youtube, dan lainlain). Pertukaran informasinya begitu cepat. Nah, akibat adanya generasi terkoneksi itu memunculkan sesuatu yang disebut cracking zone, yaitu sebuah retakan (baca: peluang) yang bisa dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.Retakan peluang itu tidak tertangkap semua orang. Retakan itu hanya berlaku bagi mereka yang mampu melihat dan memanfaatkannya.

Merekalah yang disebut sebagai crackers. Cracker(s) muncul dalam suasana transformatif yang menimbulkan banyak perubahan.Namun karena jeli melihat peluang dari retakan,mereka pun menciptakan retakan-retakan baru. Mereka memecahkan kode-kode baru, membentuk bingkai peluang yang mereka batasi sendiri waktunya dalam durasi yang pendek agar peluang itu tidak tercecer ke tangan pesaing-pesaingnya (Bab 10). Karena itu,cara yang mereka tempuh terasa menghentak dan sulit diterima mereka yang tidak mampu membaca tanda-tanda cracking zone(Bab 1–Bab 3) [hlm 13]. Mark Zuckerberg adalah contoh nyata pengusaha yang sukses melakukan cracking zone dan memiliki breakthrough yang mencengangkan pada produknya.

Setelah Facebook mengundang pihak ketiga untuk beriklan dan melakukan pemasaran via situs ini pada Mei 2007,jumlah produk yang beriklan terus meningkat.Konon ada 140 aplikasi baru yang dilengkapi pesan-pesan sponsor setiap harinya. Dalam ranah industri, cracker merupakan orang yang memperbarui industri. Dia bukan sekadar leader yang melakukan transformasi. Karena itu,wajar jika dia disegani (baca: dimusuhi dan dicemburui) kompetitor-kompetitornya. Sementara di dalam perusahaannya, dia juga ditakuti (baca: diserang) sekelompok orang yang ingin mempertahankan kondisi comfort zone. Cracker bekerja lebih berat dari rata-rata leader. Sebab, dia membongkar tradisi industri dan persaingan [hlm 43]. Cracker tidak menganut asas wait and see, tetapi segera bertindak. Membaca buku ini para pembaca akan melihat pelaku-pelaku cracking zone, baik korporat maupun personal.

Dari Kucing Menjadi Citah
Adanya baby boom dari generasi Gen-C, mau tak mau Indonesia juga harus mengimbanginya dengan Gen-C lain, yaitu generasi Crackers. Ketika orang-orang di seluruh dunia terkoneksi internet dan smartphone, seharus muncul juga crackers leadership yang dapat memanfaatkan peluang itu. Crackers ini diharapkan dapat mengubah wajah industri Indonesia. Namun, kata Rhenald, DNA (baca: karakter) pemimpin maupun manajer Indonesia masih memakai DNA kucing yang terkesan lambat, malas, dan gemar berwacana, bukan beraksi.Indonesia ahli pada formula, tetapi lemah dalam tindakan dan koordinasi.

Budaya Indonesia masih budaya kucing. Budaya yang hanya menunggu diberi makan dan baru bergerak saat sudah ada makanan. Mestinya, kita memakai DNA citah. Citah masih anggota keluarga kucing,tapi berburu mangsa dengan kecepatan dan tidak bergerombol. Hewan ini adalah hewan yang tercepat di antara hewan darat. Ciri-ciri pemimpin calon cracker salah satunya adalah memiliki personal branding yang kuat. Presiden Brasil periode 2003–2010, Luiz Inacio Lula da Silva,misalnya, dia mengubah Brasil dengan etos pekerjanya dan fokus pada ketahanan energi. Sementara di Indonesia, Rhenald memberi contoh CEO XL Hasnul Suhaimi. Dia merupakan orang yang memerdekakan industri telekomunikasi Indonesia.

Rhenald banyak memberikan contoh konkret korporat maupun personal yang menganut crackers leadership seperti Air Asia,Apple, Nexian Binus, BSI, J.Co, Facebook, Crocs,dan lain sebagainya. Buku ini dapat menginspirasi dan membekali Anda yang tertarik melakukan perubahan. Semua orang memiliki potensi sama untuk memajukan negeri ini. Buku ini juga berhasil membingkai berbagai kejadian dan fakta-fakta baru untuk memberikan kekuatan bagi Anda yang ingin bangkit, beradaptasi, dan melakukan cracking.(*)

M Iqbal Dawami,
Direktur Iqro Corporation 

Tidak ada komentar: