Sabtu, Oktober 29, 2011

Belajar dari Bangsa Jepang


Judul: Ganbatte! Meneladani Karakter Tangguh Bangsa Jepang
Penulis: A.A. Azhari
Penerbit: Grafindo
Cetakan: I, Juni 2011
Tebal: 238 hlm.

Sedari dulu kita sudah mafhum kalau bangsa Jepang memang sungguh digdaya. Hampir semua lini mengalami kemajuan, dari waktu ke waktu. Dari teknologi, budaya, ekonomi, hingga sastra. Mereka sudah bisa bersaing dengan Barat. Salah satu faktornya sebagaimana dibahas dalam buku ini, yakni semangat belajar atau menuntut ilmu.

Sudah sejak Restorasi Meiji, bangsa Jepang mendapat mandat untuk menuntut ilmu sampai kemana pun untuk meraih kemajuan. Mereka rela melakukan apa pun demi meraih ilmu. Tidak heran di Jepang ada pepatah: sinu made, benkyo (sampai mati, harus belajar).

Karena itu, orang Jepang sangat gemar membaca. Mereka membaca selain untuk menambah ilmu, juga buat hiburan yang mengurangi stress. Di mana pun orang Jepang dapat membaca, termasuk di dalam kereta dan bus. Menurut Simon J. sibarani, seorang konsultan sumber daya manusia yang beberapa kali ke Jepang, di sana pengarang atau penulis buku termasuk kelompok masyarakat yang ekonominya paling makmur karena buku sangat laku. Maka, harga buku pun bisa murah dan terjangkau.

A.A. Azhari, penulis buku ini pernah mengunjungi daerah Kanda-Jimbocho. Kanda-Jimbocho adalah kawasan buku yang dimulai pada masa Restorasi Meiji tahun 1889-an. Sejumlah besar toko di Kanda-Jimbocho telah ada selama dua atau tiga generasi. Toko-toko buku tersebut memiliki jaringan yang kuat dengan usaha sejenis di berbagai negara.

Dan tradisi penerjemahan di Jepang sudah ada jauh sebelum Restorasi Meiji. Pada tahun 1684 dibentuk lembaga penerjemahan kekaisaran. Tugasnya menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Jepang. Namun, sebelum Restorasi Meiji masih sangat sedikit orang Jepang yang mempelajari bahasa asing, apalagi diperbolehkan ke luar negeri, sehingga penerjemahan pun terbatas. Setelah Restorasi Meiji, khususnya pada abad ke-19, penerjemahan di Jepang makin luas dan meningkat sampai saat ini. Tidak heran jika terdapat sebuah buku terbit di Barat, di Jepang dalam sepekan saja sudah tersedia terjemahannya.

Ini bermula dari kesadaran yang dini. Bangsa Jepang sudah sadar dari awal kalau mereka tertinggal dalam ilmu pengetahuan dibanding Barat. Karena itu, mereka rela meniru produk-produk Barat dan mencari tahu ilmu itu. Sejak Restorasi Meiji 1868 banyak pelajar dikirim ke luar negeri untuk mempelajari aneka ilmu yang diterapkan di Jepang. Memang, Jepang bukan bangsa penemu, namun mereka mampu menyempurnakannya. Saat di dunia Barat telah ditemukan radio, televisi, tape rekoder, dan sebagainya, bangsa Jepang pun membelinya. Tapi tak sekadar membeli, mereka meniru dan membuat barang serupa lebih bagus, bahkan lebih canggih lagi.

Azhari memberi contoh perusahaan Sony. Perusahaan elektronik itu memproduksi walkman yang membuat siapa saja dapat menikmati musik sambil jalan-jalan. Walkman sekadar memodifikasi dari tape rekorder ukuran besar yang telah diproduksi di negara-negara industri lain. Itu membuktikan, Jepang tidak sekadar mengikuti trend atau selera pasar, tapi juga menciptakan trend dan pasar sendiri.

Tak heran Jepang menguasai ilmu dan teknologi. Kemampuan mereka membuat produk made in Japan yang berkualitas adalah berkat usaha keras dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dasar, seperti fisika, matematika, kimia, dan biologi. Penguasaan ilmu-ilmu dasar itu membuat Jepang unggul dalam ilmu-ilmu terapan di bidang elektronika, robotika, serta home-entertainment and appliance. Sebagai akibatnya, tidak mengherankan jika Jepang memegang peranan yang penting dalam menentukan ekonomi dunia. Jumlah ekspor hasil produk teknologinya boleh dikatakan mendominasi pasaran dunia terutama dalam bidang elektronika. Sebut saja merek-merek kelas dunia made in Japan seperti Sony, Panasonic, Mitsubishi, Honda, Toyota, Suzuki, Madza, Nissan, Isuzu, Hino, Nikon, Canon, Yamaha, Toshiba, dan Sanyo.

Filosofi Ganbatte
Ada satu falsafah Jepang yang menjadi ruh bangsanya, yaktu Ganbatte. Ganbatte mengumpulkan tiga arti, “lakukan sebaik mungkin”, “jangan menyerah”, dan “berikan usaha terbaik”. Kata dasar ganbatte adalah ganbaru. Jika dalam pergaulan sehari-hari khususnya pada teman dekat banyak diucapkan, “Ganbare!”

Filosofi ganbatte sungguh dahsyat. Kata ini sudah turun-temurun sejak ratusan tahun silam. Ganbaru sendiri artinya “berusaha keras pada tugas sampai tugas itu selesai”, dengan kata lain “berusaha keraslah hingga mencapai sukses”.

Sejak kecil, anak-anak di Jepang sudah diajarkan tentang filosofi ganbaru ini. Kalau mengikuti lomba, mereka saling berkata, “Ganbaru!” kalau mau ujian, mereka juga berkata, “Ganbaru!” mau ke sekolah, bekerja, mereka saling berkata, “Ganbaru!” Ganbaru menyuruh bangsa Jepang tidak mudah menyerah sampai detik-detik terakhir. “Doko made mo nintai shite doryoku suru.” (Bertahan sampai ke mana pun juga dan berusaha habis-habisan.

Itulah mengapa Jepang menjadi raksasa mendunia saat ini. Mereka menjadi bangsa yang kuat baik dalam meraih impiannya maupun dalam gempuran pelbagai cobaan, seperti gempa bumi, tsunami, bahkan bom atom sekalipun. Saatnya bangsa Indonesia belajar dari bangsa Jepang. Sekarang juga.[]

M. Iqbal Dawami
Pencinta buku, penulis Sang Pengubah Mitos (2010)

1 komentar:

Junaedi Ghazali mengatakan...

kayaknya bahan masuk koran nih :)