Jumat, Maret 09, 2012
Kisah Mengesankan Pengajar Muda
Judul: Indonesia Mengajar : Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri
Penulis: Pengajar Muda
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: II, Desember 2011
Tebal: xviii + 322 hlm.
Ayu Kartika Dewi jatuh cinta pada Iman, salah satu muridnya di SD. Dia dibuat kagum oleh tingkahnya yang kharismatik, disenangi dan didengarkan teman-temannya. Dalam pandangannya, Iman kelak menjadi seorang pemimpin besar negeri ini. Saat pelajaran Bahasa Indonesia, dia mengajak siswanya menulis puisi. Iman membuat puisi yang ditujukan untuknya. Kontan dia tersentuh.
Sebaliknya, Rahmat Danu Andika, dirindukan oleh Upi, salah satu muridnya di kelas 2 SD di Halmahera Selatan. “Pak Guru! Uba kita pe luka dulu! (Pak Guru! Obati luka saya dulu!)”. Kegiatan mengobati luka, begitu menarik buat Upi. Tingkahnya menunjukkan bahwa ia kurang perhatian dan kasih sayang. Ia berbakat dengan angka-angka. Senang matematika. Ia ingin berlama-lama dengan Rahmat, gurunya. Upi si anak berbahasa angka, yatim piatu. Dia sering pura-pura sakit agar bisa berlama-lama dengan gurunya.
"Cinta saya kepada Ibu lebih besar dari uang sakuku." Kalimat itu terletak dalam surat ucapan terima kasih yang dibuat murid-murid SD Paser kepada Diah Setiawaty dalam rangka hari guru. Bagi murid-murid tersebut, sekolah adalah perjuangan. Banyak dari mereka yang harus menyeberang sungai terlebih dahulu untuk ke sekolah. Buku dan uang saku adalah kemewahan bagi mereka. Uang saku mereka yang kecil sekadar membeli minuman yang bisa membasahi kerongkongan dan untuk mengganjal perut seadanya setelah berjalan yang melelahkan. Bagi mereka uang saku begitu berharga. Maka tidak aneh mereka membuat ucapan seperti itu.
Ketiga kisah di atas adalah sepercik pengalaman berkesan yang dialami oleh para Pengajar Muda saat mengajar dan tinggal selama satu tahun di pelosok negeri Indonesia. Kisah-kisah dari pengajar lainnya bisa kita baca dalam buku berjudul Indonesia Mengajar (2011))yang diterbitkan Bentang Pustaka. Hanya selang satu bulan sejak terbit, buku ini sudah cetak ulang kedua. Sungguh luar biasa. Animo masyarakat sungguh tinggi terhadap kiprah para pengajar muda ini yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar (GIM).
Pengajar Muda adalah sebutan untuk para guru hasil didikan GIM. Pada angkatan pertama, GIM memberangkatkan 51 Pengajar Muda. Para Pengajar Muda ini hasil seleksi dari 1.383 pelamar yang sudah melalui proses seleksi ketat sejak pertengahan tahun 2010. Untuk membekali Pengajar Muda, mereka diwajibkan mengikuti seluruh rangkaian pelatihan selama 7 minggu di Ciawi, Bogor sejak akhir September 2010 hingga awal November 2010.
Lokasi penempatan Pengajar Muda yaitu di Kabupaten Bengkalis, Riau, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, dan Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. GIM merupakan sebuah program yang digagas oleh Anies Baswedan. Program ini memiliki tujuan ganda, pertama, untuk mengisi kekurangan guru berkualitas Sekolah Dasar di daerah terpencil. Kedua, untuk membekali pemuda terbaik yang berpotensi menjadi world class leader with grass root understanding, yaitu pemimpin yang memiliki visi ke depan namun memahami dan mengerti seluk beluk permasalahan rakyat di akar rumput.
GIM mendorong kemajuan pendidikan di Indonesia, bukan melalui seminar dan diskusi tetapi melalui program kongkret mengirimkan sarjana terbaik Indonesia menjadi Guru SD. Anak-anak muda terbaik meninggalkan kemapanan kota, melepaskan peluang karier dan melewatkan semua kenyamanan lalu memilih menjadi guru SD di desa-desa tanpa listrik. Seperti yang dikisahkan Erwin Puspaningtyas, pengajar muda yang ditempatkan di Majene, “Jika saat ini kau ingin mengeluh karena listrik padam, bersyukurlah karena itu hanya beberapa menit atau jam saja. Di sini, listrik pun bahkan tidak ada. Jika kamu makan sampai puluhan dan ratusan ribu, uang itu adalah penyambung hidup kami di sini selama sebulan. Bersyukurlah atas apa yang kamu punya.”
Begitu juga yang dikisahkan Rusdi Saleh, pengajar muda di Tulang Bawang Barat. Genset, andalan desa tersebut, adalah sumber energi bagi ponsel, laptop, dan alat-alat elektronik lain yang mereka miliki. Genset itu beroperasi hanya 4,5 jam. Dari pukul enam sore sampai setengah sebelas malam. Setelah itu genset dimatikan lagi.
Para Pengajar Muda hadir memberikan harapan. Pengajar Muda hadir mendekatkan jarak mereka dengan pusat kemajuan, hadir membuat anak-anak SD di pelosok negeri memiliki mimpi dan hadir membuat para orangtua di desa-desa terpencil ingin memiliki anak yang terdidik seperti para Pengajar Muda.
Menjadi Pengajar Muda dituntut untuk mampu menyampaikan materi sesuai dengan dengan kegiatan siswa sehari-hari, seperti membuat soal cerita matematika yang temanya menggunakan kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan. Seperti yang dialami Ijma Sujiwo, Pengajar Muda Paser, Kalimantan Timur. Dia memberikan ujian di kelas 4. Dalam soal matematika nomor 4 dia membuat pertanyaan, "Apakah yang dimaksud dengan sudut tumpul?" Ada salah satu siswa menjawab, "Karena tidak diasah." Jawaban tersebut di luar dugaan. Anak-anak menjawab sesuai dengan apa yang mereka lihat, dengar, dan kerjakan sehari-hari.
Kisah-kisah yang mereka tuliskan ini sungguh menginspirasi dan merangsang semua untuk melihat pendidikan sebagai Perjuangan Semesta: saling bantu, saling dukung. Mulai dengan mensyukuri perkembangan, memperbaiki kekurangan, dan diikuti dengan kesiapan untuk turun tangan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Kata Pengantar, Anies Baswedan mengatakan bahwa mendidik adalah tugas konstitusional negara, tetapi sesungguhnya mendidik adalah tugas moral tiap orang terdidik.
Tantangan Pengajar Muda tidak serta merta dari soal pendidikan saja, perihal bagaimana proses belajar mengajar yang efektif, melainkan juga soal interaksi sosial dengan masyarakat setempat. Para Pengajar Muda di Majene, misalnya, sempat ditolak oleh para penduduk, karena masih trauma dengan kejadian masa lalu. Penduduk pernah kecewa dengan orang yang dahulu pernah datang seperti pengajar muda itu.
Mereka diberi banyak janji palsu, dan mengakibatkan perpecahan di masyarakat.
Selain fakta sosial, mereka (Pengajar Muda) juga melihat fakta ekonomi di sana.
Mereka menilai bahwa usaha ekonomi pedalaman tidak ada value adding yang dilakukan. Misalnya para petani tambak warga Labuangkalo. Jika saja mereka paham mengenai pengolahan, pemasukan warga akan jauh lebih tinggi. Proses penjualan bahan mentah amat statis dan berpotensi tereksploitasi oleh pembeli karena dapat saja harga belinya ditekan atau dialihkan sumber bahan mentah para warga. Para Mengajar Muda menilai hanya pendidikan yang mampu memotong rantai tersebut.
Buku ini merupakan cara dan pesan yang amat indah untuk menyampaikan perihal tantangan menjadi guru di pelosok Indonesia. Kisah-kisah yang dialami Pengajar Muda yang terekam dalam buku ini begitu otentik dan menyentuh kepada hati pembaca. Semoga pembaca tergerak untuk bangkit dan turut mengambil bagian dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.[]
M. Iqbal Dawami, direktur Iqro Corporation.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar