Selasa, Desember 22, 2009
Wali Songo Ternyata Para Sufi
Judul: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi; Akar Tasawuf di Indonesia
Penulis: Alwi Shihab
Penerbit: Pustaka IIMaN
Cetakan: I, Juni 2009
Tebal: xxvi+343 hlm. (termasuk indeks)
------------------------------------
Para sejarawan dan peneliti bermufakat bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Bahkan di Indonesia lebih dari itu. Islam yang pertama diperkenalkan di Jawa adalah Islam yang bercorak sufi. Alwi Shihab, dalam buku ini, hendak membuktikannya. Alwi memaparkan bahwa para pelopor dakwah Islam pertama di Indonesia berasal dari Arab, dari keturunan Imam Ahmad ibn ‘Isa al-Muhajir al-Alawi (cucu Imam Ja’far ash-Shadiq), seorang pendiri tarekat ‘alawiyah.
Menurut Alwi, Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat. Hal itu berdasarkan manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina. Cina yang dimaksudkan dalam manuskrip pada abad pertama Hijriyah itu tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia.
Pada abad ke-14 M ditandai dengan kedatangan tokoh-tokoh asyraf, keturunan Ali dan Fathimah binti Rasulullah Muhammad Saw. yang lazim dikenal dengan sebutan ‘alawiyyin. Pada periode ini, dakwah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga dapat tersebar di seluruh penjuru Nusantara, bahkan di Asia Tenggara.
Para Wali Songo pun ternyata masih keturunan Imam Al-Muhajir. Kita tahu Wali Songo telah memberikan kontribusi terbesar bagi proses Islamisasi di wilayah Nusantara. Demi proses asimilasi dengan masyarakat Indonesia yang dialami keturunannya, mereka bersedia menghapus identitas kearabannya sehingga larut dalam struktur masyarat setempat. Hal ini terutama bermotif untuk mengamankan diri dari ancaman pengejaran penjajah Belanda atas tuduhan subversif sebagai pemicu gerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak memakai nama arab lagi, tetapi memakai nama Jawa atau Indonesia.
Wali Songo tidak dikenal sebagai sufi karena istilah itu belum populer di kalangan orang-orang Indonesia kecuali pada tahun-tahun belakangan. Di kalangan masyarakat umum istilah yang lebih dikenal adalah istilah “wali” yang dalam pengertian Indonesia tidak berbeda dengan konotasinya dalam bahasa arab. Ini membuktikan bahwa mereka sebenarnya adalah sufi.
Satu hal yang menjadi pertanyaan, mengapa mereka dapat dengan mudah diterima di tengah-tengah masyarakat Jawa? Alwi mengatakan bahwa Islam dalam corak sufi paling mampu memikat lapisan bawah, menengah dan bahkan bangsawan sekalipun. Sifat-sifat dan sikap kaum sufi lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis.
Oleh mereka, idiom-idiom budaya lama (animis, Hindu, dan Budha) yang berkaitan dengan pandangan dunia (world view) berikut kosmologi, mitologi dan keyakinan takhayul diubah secara hati-hati. Wadah-wadah lama yang dipakai isinya diganti. Peninggalan kejeniusan masa silam masih bisa terlihat dalam upacara daur hidup, upacara desa dan semacamnya. Dalam upacara tersebut masih disediakan sesaji, tetapi doanya bukan untuk para "dewa-dewa" namun ditujukan sebagai permohonan kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta, dan sesajinya "biasanya berupa makanan" dimakan bersama-sama setelah memanjat doa.
Hal-hal di atas menunjukkan kearifan dan kemampuan mereka dalam memahami spirit Islam sehingga dapat berbicara sesuai dengan kapasitas para audiens-nya. Mereka melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.
Ada hal yang menarik dari buku ini saat membahas tasawuf. Tasawuf di Indonesia terbagi dalam dua golongan, yaitu “tasawuf sunni” dan “tasawuf falsafi”. Dikatakan sebagai tasawuf sunni, karena mereka mengaku sebagai pengikut ahlussunnah wal jama’ah, di mana mereka banyak sekali mengambil ajaran-ajaran Al-Ghazali yang memang menjadi rujukan yang baku dalam pengajian-pengajian di pesantren. Ajaran Al-Gazhali ini tertuang dalam karya monumentalnya, Ihya ‘Ulumuddin. Kemudian, dilengkapi dengan dua karya lainnya, Minhajul ‘Abidin dan Bidayatul Hidayah.
Sedang tasawuf falsafi merujuk pada konsep tasawuf yang dihubungkan dengan mistisisme panteistik Ibnu Arabi. Ibnu Arabi dikenal ahli mistik Islam yang mengajarkan "kesatuan hamba dan Tuhan". Tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis.
Dalam perkembangannya penganut tasawuf sunni dan falsafi sempat mengalami konflik. Pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at. Ar-Raniri, yang berada di sudut sunni menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri, yang berada di sudut falsafi.
Tasawuf Sunni lebih banyak memberikan kontribusi dalam proses Islamisasi di Indonesia. Para pelopor dakwah itu menjabarkan ajaran-ajaran Islam dengan cara praktik dan keteladanan serta pengajaran yang lebih baik. Orientasi seperti ini jelas terikat oleh tradisi dan petunjuk-petunjuk Nabi Saw. Dan yang demikian adalah model pengajaran tasawuf Sunni yang diperkenalkan para da’i ‘Alawiyyin yang memotori proses Islamisasi di Nusantara sejak abad ke-13 M di Sumatra dan mengalami kemajuan pesat di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 dengan tokoh-tokoh sentralnya Wali Songo.
Buku ini boleh dikata sangat mumpuni dalam menelusuri dan memetakan sejarah tasawuf di Indonesia. Oleh karena itu, sangat layak dijadikan sumber “referensi utama” prihal seluk beluk tasawuf di Indonesia, khususnya, dan sejarah Islam di Indonesia, umumnya.[]
M. Iqbal Dawami, staf pengajar STIS Magelang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar