Selasa, Januari 20, 2009

Lepas Dari Jebakan Wajah

Judul: The Face of Another – Wajah Lelaki Lain
Penulis: Kobo Abe
Penerjemah: Wawan Eko Yulianto
Penerbit: Jalasutra
Tahun: I, 2008
Tebal: 350 hlm
----------------

Sebegitu pentingkah wajah bagi seseorang? Secara umum memang ya. Karena boleh dibilang wajah adalah gerbang untuk menjalin akses dengan dunia. Wajah merupakan pantulan jiwa dan seluruh raga, juga cermin bagi setiap orang yang memantulkan segenap cipta, rasa dan karsanya.

Paradigma seperti inilah yang selama ini telah diterima masyarakat luas secara konvensional. Akan tetapi Kobo Abe dalam novelnya menulis lain falsafah tentang wajah. Abe menghadirkan tokoh “Aku” dalam keadaannya yang tanpa wajah. Benarkah wajah menjadi prasyarat penting bagi kelayakan manusia?

“Aku” seperti dikisahkan Abe dikenal sebagai kepala Institut Riset Molekuler Tinggi di Jepang, mengalami ledakan ketika sedang melakukan percobaan kimia di laboratoriumnya. Wajahnya hancur, melepuh dan berubah menjadi jaringan daging yang menjijikkan. Sehingga menyebabkannya menjadi monster mengerikan yang berjalan kemana-mana dengan wajah dibalut berlapis-lapis perban. Hubungan dengan orang lain rusak, dan istrinya menolak ketika diajak bercinta. Ia dicampakkan lingkungannya karena kekurangan hal sepele, menjadi lelaki yang tak berwajah.

Si “Aku” memerlukan sesuatu untuk menyingkirkan halangan bekas luka keloid yang membengkak dan mengembalikan lagi jalan penghubung menuju orang lain. Ia terusik oleh alergi psikologis dan gagal menghentikan penderitaan meski sudah muak terhadap segalanya—walau telah berkali-kali mencoba meyakinkan dengan tindakan bahwa wajah hanyalah layar, sebuah ilusi sia-sia—Pada akhirnya ia melanjutkan hidup di buku dan pulau terpencil dengan menyewa kamar di sebuah apartemen. Di tempat persembunyiannya itu ia mencetuskan ide membuat topeng yang nyaris tak dapat dibedakan dengan wajah asli, lengkap dengan ekspresi yang diinginkannya. Ia menghubungkan topeng karyanya dengan otot yang mengatur ekspresi, sesuatu yang bisa melebar dan menegang bebas, tertawa dan menangis.

Tak pelak, penulis begitu lihai menampilkan karakter tokohnya dengan alegori eksistensial yang sangat utuh dan terwujud begitu hidup. Dengan kesuksesannya menciptakan topeng, si “Aku” tampil dalam pementasan topengnya, namun dialah satu-satunya pemain. Dia menguji kecanggihan topengnya dan terlahir sebagai sosok dirinya yang lain, sosok si topeng yang melancarkan aksi melakukan balas dendam kepada istri yang telah menolaknya. Si topeng berani menjamin istrinya bakal terpedaya dengan kesempurnaan wajah barunya. Namun di balik semuanya “Aku” justru telah mengamati penyerongan yang telah dilakukan istrinya.

Sangat mungkin bagi “Aku” mengubah standar nilai dan minat orang pada wajah asli beralih menjadi topeng yang bisa diubah-ubah. Di zaman topeng, kita bisa memakai tampang baru yang lepas dengan masa lalu atau hari esok. Topeng akan memperoleh kemasyhuran luar biasa dan pabrik yang memproduksinya pun akan tumbuh semakin besar.
Kita bisa memesan jenis dan rupa wajah dari yang terpopuler sampai terjelek sekalipun, dari tampang kota maupun tampang desa. Dan jauh lebih wajar saja jika aktor populer akan ngotot mendapatkan hak cipta wajah dan mulai menggelar gerakan menentang produksi bebas topeng mereka.

Si “Aku” menemukan kepercayaan dirinya dan berfikir jika ada yang harus menanggung malu dan menderita, bukannya lebih kepada dunia yang telah menguburnya hidup-hidup, yang tak mengenali kepribadian lelaki tanpa paspor bernama wajah. “Aku” nyaris sulit percaya bahwa wajah itu begitu penting bagi keberadaan manusia. Bukankah kelayakan manusia harusnya diukur berdasarkan isi karyanya. “Aku” berterima kasih seutuhnya bahwa ia telah meraih kesempatan mengangkat sauh sementara pantai masih terlihat.

Dan fakta yang tak bisa lagi dipungkiri bahwa wajah manusia—jenis berubah-ubah harmoni—adalah juga topeng. Di sini seakan ditemukan sebuah metafora tentang wajah yang tak lebih hanyalah sebagian kecil dari kapsul manusia. Wajah tidak lebih hebat dengan bebatan perban atau topeng ciptaan manusia. Karena hanya kulit luar yang terang-terangan menyembunyikan isinya dan kerap dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan untuk mendapatkan kesan karismatik. Membaca novel ini seakan membuat kita tahu makna seraut wajah, dan kemunafikan yang disembunyikan di balik senyum yang menawan.

Kini beribu-ribu wajah calon legislatif (caleg) sedang dipampangkan lewat aneka poster dan spanduk, dijajakan di setiap sudut-sudut dan pinggiran kota serta di desa-desa. Akankah ia benar-benar mencerminkan jati diri dan pesona karakter yang ditampilkannya? Ataukah orang malah melihatnya sebagai topeng-topeng menggelikan dan hanya memedihkan mata setiap yang memandang? Oleh karena itu, novel ini mendapatkan tempat di masyarakat kita pada saat ini yang sedang ramai berlomba memajang wajah-wajah para caleg dari masing-masing partai. Membaca buku ini membuat kita akan berkata kepada poster-poster caleg itu, ‘jika anda ingin dipilih rakyat tolong buka dulu wajah (topeng)mu itu!’.

4 komentar:

Fitria Zulfa mengatakan...

Semoga yang ini juga dimuat. Kalau iya, bagi-bagi ya honornya he2

htanzil mengatakan...

yao! resensi ini cocok untuk dikirim ke media cetak karena tema bukunya aktual..

selamat mencoba !
selamat juga karena resensi sepatu bush dimuat di media indonesia hari ini (Sabtu, 24 januari 2009)

M.Iqbal Dawami mengatakan...

Buat Noura Qalbi, Syukran atas doanya. Honornya belum cair :)

M.Iqbal Dawami mengatakan...

Buat pak Tanzil,cocoknya ke media mana pak aku kirim?

Terima kasih pak sudah memberi tahu resensi sepatu bush dimuat di MI.