Rabu, April 29, 2009

Belajar Pada Klub Sepakbola Eropa

Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, 23 Mei 2009
Judul: Raksasa Klub Bola Eropa
Penulis: Zaidan Almahdi
Penerbit: Harmoni
Cetakan: I, 2008
Tebal: 215 hlm.
------------------

Kini, Liga Champions Eropa sudah memasuki semi final. Anehnya, dari tahun ke tahun hanya klub-klub itu saja yang menjadi langganan perdelapan final hingga final, seperti Manchester United, Chelsea, Liverpool, Arsenal, Real Madrid, Barcelona, Inter Milan, AC Milan, Juventus, dan Bayern Munchen. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar bagi sebagian orang mengapa tim-tim di atas tersebut selalu mendominasi babak-babak akhir Liga Champions? Apa sesungguhnya rahasianya?

Dalam buku ini terdapat jawaban atas pertanyaan di atas. Zaidan Almahdi, penulis buku ini, mengungkapkan bahwa salah satu rahasia mengapa tim-tim di atas tersebut selalu mendominasi babak-babak akhir Liga Champions, tak lain terletak pada bisnis yang dijalankan oleh tim tersebut.

Kombinasi penghasilan dari hak siar televisi, penonton yang berlimpah, serta pemasaran merchandise membuat tim-tim tersebut berlimpah uang. Dengan uang itu mereka bisa mengontrak pemain bagus dan manajer hebat.

Di benua Eropa, sepakbola sudah menjadi industri besar yang menghasilkan uang jutaan dolar baik bagi pemain, manajer, maupun klub. Michael Ballack, misalnya, dari Chelsea FC mendapat gaji perpekan sebesar 2 miliar rupiah. Padahal masih ada 10 pemain lagi yang harus dibayar oleh Chelsea FC. Hal ini memberi sinyal bahwa pemasukan klub Chelsea FC amat luar biasa.

Buku ini berbicara mengenai legenda-legenda klub raksasa di Eropa, yaitu Manchester United (MU), Chelsea, Liverpool, Arsenal, Real Madrid, Barcelona, Inter Milan, AC Milan, Juventus, dan Bayern Munchen. Dijelaskan di dalamnya bahwa klub-klub tersebut sebetulnya berawal dari klub kecil yang kenyang dengan kekalahan dan kebangkrutan. Tapi mereka terus belajar dan belajar sehingga berkembang menjadi legenda-legenda Eropa dan menjuarai berbagai macam kompetisi baik tingkat domestik maupun internasional, bahkan kejuaraan antar klub dunia. MU, misalnya, pada awalnya hanya tim yang terdiri dari para pekerja jalan Kereta Api. Di awal-awal tahun pendiriannya mereka selalu kalah dari klub-klub lainnya. Namun, seiring waktu berjalan, klub ini menjadi klub raksasa hingga saat ini.

Klub-klub yang disebutkan di atas menjadi besar ternyata didukung oleh manajemen yang baik, pemilik klub yang punya visi dan misi, serta pendukung yang fanatik. Semuanya itu akan membentuk suasana kondusif bagi para pemain bintang untuk menorehkan prestasi di lapangan hijau dan mengeluarkan segala kemampuannya. Para klub raksasa itu tidak hanya mendapatkan penghasilan dari tiket penonton di stadionnya, tapi mereka juga dibanjiri uang dari setiap tayangan pertandingan yang disiarkan di televisi, pemasukan saham dari bursa efek, kontrak dari sponsorship, dan penjualan merchandise. Misalnya saja untuk Football Association (FA) di Inggris, Barclaycard, sebuah perusahaan bonafid, berani menandatangani kontrak sebesar 49 juta poun untuk 3 musim di tahun 2001, itu belum termasuk sponsor bagi para klub raksasa ini yang jumlahnya jauh lebih besar. Tidak heran jika para klub ini mampu membeli dan menggaji tinggi para pemain bintang.

Melalui buku ini semoga kita dapat mengambil pelajaran bagi dunia sepakbola tanah air, yang semakin gersang prestasi dan (malah) semakin subur kerusuhan baik yang disebabkan oleh suporter maupun pemain. Mengaca pada manajemen klub-klub Eropa di atas, kita harus mendorong klub-klub sepakbola di Indonesia agar menjadi profesional dan tidak menggantungkan pada APBD saja, tapi bisa mencari sponsor sendiri dari perusahaan-perusahaan daerah atau nasional, menjual merchandise-nya, dan mendapat hak tayang dari televisi. Untuk itu, buku ini sangat layak dijadikan daftar bacaan bagi yang peduli atas nasib sepakbola Indonesia dan yang hobi dengan dunia sepakbola.***

M. IQBAL DAWAMI
Staf pengajar STIS Magelang, mantan pemain sepakbola amatiran tingkat desa dan kecamatan di Pandeglang

Tidak ada komentar: