Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, 16 April 2009
Judul: Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Maret 2009
Tebal: 130 hlm.
----------------
Setelah selesai pemilu calon legislator (caleg) pada 9 April 2009, tiba-tiba marak sekali pemberitaan di media massa mengenai para mantan caleg yang menderita gangguan jiwa, bahkan ada yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.
Hal itu disebabkan pendapatan suara mereka di bawah rata-rata, alias minus, sehingga mereka tidak bisa lolos menjadi anggota dewan. Kenyataan itu mengindikasikan adanya ketidaksiapan para caleg untuk kalah dalam bertarung.
Mestinya, mereka yang gagal menjadi anggota dewan bersyukur, karena menjadi politisi tidaklah mudah, penuh dengan godaan dan tantangan. Dengan kata lain, kebahagiaan akan teramat sulit untuk diraih jika sudah berada dalam tampuk kekuasaan. Sebaliknya, bagi mereka yang akan terpilih menjadi anggota dewan tidak perlu besar kepala. Justru mereka harus segera mempersiapkan diri untuk menghadapi hidup “sengsara”, alih-alih mendapatkan kebahagiaan.
Buku Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi karya Arvan Pradiansyah akan membuktikannya. Ia mengatakan bahwa seorang politisi tidak akan mendapatkan kebahagiaan jika praktik untuk mendapatkan status sebagai politisi dilakukan dengan prinsip ‘demi kepentingan dan kekuasaan’ semata. Logikanya, bahwa pada saat nyaleg dan masa kampanye para caleg mengeluarkan dana yang sangat besar. Harga yang harus dibayar seorang caleg untuk mendapatkan kursi di DPR saja sedikitnya Rp 1 miliar, sedangkan untuk menduduki kursi di DPRD, paling sedikit Rp 500 juta. Belum lagi untuk biaya kampanyenya yang kurang lebih jumlahnya sama dengan ongkos daftar jadi caleg tersebut.
Materi yang sangat tidak sedikit itu sangat berdampak pada saat si caleg itu memenangkan pemilunya (jika sekiranya memang menang). Pada saat si caleg sudah menjadi resmi menjadi anggota legislatif, kira-kira apa yang ada dalam benaknya itu? Arvan menduga kuat bahwa para anggota legislatif yang baru memenangkan pemilu itu mengawali agenda pribadinya dulu, yaitu membalikkan modal yang pernah ia keluarkan dahulu saat daftar jadi caleg dan kampanye. “… Kalau Anda mengatakan bahwa Anda akan langsung berjuang untuk rakyat, saya yakin semua orang tahu bahwa Anda sedang berbohong. Bukannya saya tidak percaya bahwa ada orang yang mau berjuang untuk rakyat. Sama sekali tidak. Tapi, saya yakin bahwa sebelum Anda memulai perjuangan yang suci itu, ada sebuah ‘perjuangan’ lain yang sedang berkecamuk di dalam diri Anda. Perjuangan yang saya maksud adalah berjuang untuk mendapatkan uang Anda kembali!” (hlm. 17).
Nampaknya sangat logis pernyataan Arvan di atas. Pasalnya, sebagaimana hukum bisnis, bahwa tidak mungkin ada orang di dunia ini yang mau mengorbankan uang dalam jumlah yang sangat besar bila ia tidak yakin akan mendapatkan keuntungan yang besar pula, minimal sepadan.
Selain itu, Arvan pun menerapkan tujuh konsep kebahagiaan yang ia ciptakan—yaitu dalam buku The 7 Laws of Happines (2008)—untuk memperkuat argumentasinya, dalam rangka menjawab mengapa para politisi tidak akan bahagia meskipun mereka telah duduk di lembaga legislatif ?
Tujuh konsep kebahagiaan yang Arvan maksud, pertama adalah sabar. Bagi Arvan, bersabar adalah menyatukan badan dan pikiran di satu tempat. Apakah para politisi dapat melakukannya? Ternyata tidak. Mereka sangat sulit untuk menyatukan badan dan pikirannya. Saat badannya sedang berhadapan dengan rakyat tapi pikirannya sibuk dengan hal lain. Saat penghitungan suara pemilu caleg masih berlangsung, namun para sudah meributkan koalisi, berbagi jabatan (presiden dan wapres), serta berbagi kekuasaan.
Kedua, adalah syukur. Kata Arvan, salah satu hal yang dapat menimbulkan rasa syukur adalah selalu melihat ke bawah, karena dengan begitu kita akan mampu berdamai dengan segala kekurangan kita dan merasa puas dengan apa adanya kita. Tapi, bagi politisi kata-kata puas sangat jauh dari hidup mereka, “Kalau mereka selalu puas, bagaimana mereka bisa berpolitik” ujar Arvan.
Ketiga, adalah sederhana, baik dalam cara berpikir maupun gaya hidup. Sudah dapat dipastikan konsep kebahagiaan ini sangat sulit diterapkan oleh politisi. Kondisinya amat sangat tidak memungkinkan untuk hidup berpola sederhana.
Keempat, adalah cinta. Kita semua sudah mafhum bahwa dasar dari hubungan antarmanusia adalah cinta. Dan dengan memberikan cintalah kita akan merasakan kebahagiaan. Tapi, bagi politisi menerapkan cinta adalah yang kesekian, bahkan boleh jadi tidak ada. Dalam berpolitik yang menjadi dasar dari hubungan antarmanusia adalah kepentingan. ‘Tidak ada persahabatan abadi yang ada adalah kepentingan abadi’, barangkali adagium itu pas dalam menggambarkan dunia politik.
Kelima adalah memberi. Dalam artian memberi tanpa mengharap balasan. Inilah tindakan memberi yang tertinggi. Nampaknya, konsep ini pun teramat sulit untuk dilakukan politisi, karena rumus utama dalam politik bukanlah memberi (giving), tapi mendapatkan (getting).
Keenam adalah memaafkan. Untuk meraih kebahagiaan sifat pemaaf sudah menjadi hal yang mutlak dilakukan. Karena, sejatinya memaafkan bukanlah untuk kepentingan orang yang menyakiti kita, tapi untuk kita sendiri. Dalam dunia politik, seringkali amat sulit menjadi pribadi yang pemaaf. Justru yang ada adalah menyerang balik atas apa yang dilakukan lawan politiknya, seperti mengungkit masa lalunya yang negatif.
Ketujuh adalah berserah atau pasrah kepada Tuhan. Menurut Arvan, berserah yang paling membahagiakan bukanlah meminta sesuatu kepada Tuhan, melainkan benar-benar berserah. Sedang bagi politisi jauh dari berserah semacam itu. Doa mereka hanya satu: Meminta kemenangan kepada Tuhan, tak peduli kemenangan tersebut baik atau buruk bagi mereka. Hal ini akan sangat tidak membahagiakan saat mereka tidak dikabulkan doanya.
Namun, Arvan menggarisbawahi bahwa tujuh konsep kebahagiaan itu bukan harga mati yang tidak bisa diupayakan oleh politisi. Mereka bisa mengupayakannya, dengan catatan mereka mampu meningkatkan derajat statusnya bukan sebagai politisi, tapi negarawan yang semangat hidupnya mempraktikan ketujuh konsep tersebut, di mana salah satunya adalah senang memberi tanpa pamrih.
Buku Arvan ini sangat layak direkomendasikan pada para politisi baik yang baru memenangkan pemilu kemarin maupun yang sudah berpengalaman.***
M.IQBAL DAWAMI
Staf Pengajar STIS Magelang
3 komentar:
kalau mau bahagia, jangan jadi politisi. jadi stephen king aja, hahaha...
kelihatannya bukunya bagus, bung Iqbal. banyak caleg stres yang perlu baca.
tq resensinya.
Bahagia, ada loh caleg yang bahagia gak kepilih, "abis amanahnya itu berat" alasannya," justru kalau kepilih bisa stresss.." katanya lagi.
@Sidik N: Ya, jadi stephen king aja haha.. Thanks, mas Sidik.
@Sopandi: Syukurlah kalo bisa menyikapinya seperti itu.Upss, asal bukan apologetik aja hehe..thanks.
Posting Komentar