Minggu, September 27, 2009

Pewaris Mimpi Sang Ayah

Judul: Dreams From My Father: Pergulatan Hidup Obama
Penulis: Barack Obama
Penerjemah: Miftahul Jannah Saleh, dkk.
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, Juni 2009
Tebal: 493 hlm.
------------------

Inilah buku perjalanan hidup sang presiden Amerika Serikat (AS) saat ini, Barack Obama, yang ditulis oleh Obama sendiri. Selama ini banyak sekali buku mengenai Obama dari pelbagai sisi semenjak dia menjadi orang nomor satu di AS. Kisah hidup dan spekulasi kiprah politiknya menjadi daya tarik para penulis dari pelbagai dunia. Untuk itu, buku ini sebenarnya referensi utama buku tentang Obama dari sudut pandang dirinya sendiri.

Buku pergulatan Obama ini menjadi inspirasi bagi pembaca, karena memiliki kekuatan impian, harapan, cita-cita, persaudaraan, serta toleransi yang nyata. Hal ini pula yang menjadikan buku ini bestseller versi New York Times sebagai peraih British Book Award 2009 kategori Biografi terbaik. Sungguh, sebuah prestasi yang prestisius.

Dalam buku ini, secara detail Obama menuturkan asal-usulnya, masa kecilnya di Hawaii, lalu kepindahannya ke Jakarta, serta kuliahnya di Chicago. Pria berayahkan pria kulit hitam asal Kenya dan ibu asli Amerika ini juga menelusuri perjalanan mencari akar budayanya di Afrika, di tengah-tengah kerabatnya yang muslim. Di buku ini, Obama yang akrab disapa Barry mengaku sempat kehilangan jati diri. Dia marah dan frustrasi akibat diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam.

Namun, Obama tak mampu menuangkan amarahnya, karena selalu teringat ibunya yang berkulit putih. Logikanya, jika dia melampiaskan kebenciannya kepada orang-orang kulit putih, berarti sama saja benci terhadap ibunya. Padahal, ibunya adalah orang yang begitu dia cintai. Akibat dilema itu, dia kesal atas dirinya sendiri. Kekesalan itu membuat dirinya putus asa, hidup tak bersemangat, dan akrab dengan madat, serta minuman beralkohol.

Namun, keadaan itu tidak menyembuhkan dirinya. Setelah jenuh dengan keadaan itu, dia sadar. Titik nadirnya itu menyadarkannya bahwa banyak hal positif bisa dilakukan ketimbang melakukan hal negatif yang sebenarnya merusak dirinya sendiri. Kemudian, dia bangkit. Pertama yang dilakukannya adalah merengkuh semangat persaudaraan yang melintasi warna kulit yang menyatukan ayah dan ibunya (kulit hitam dan kulit putih).

Obama menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu merupakan impian sang ayah yang belum tercapai. Ayahnya bercita-cita membuat persaudaraan antar-warna kulit, di mana masa itu rasisme begitu kental dan sering terjadi kekerasan dan diskriminasi yang menjadi konsumsi sehari-hari. Keinginan tersebut, ayah Obama merintisnya melalui jalur pendidikan dan politik.

Obama merasa menemukan kembali impian yang diwariskan ayahnya itu. Dulu, ayahnya seorang anak miskin kulit hitam dari desa terpencil di Kenya mengejar ilmu sampai ke Amerika. Obama pun mengikuti jejak sang ayah. Dia menjadi aktifis, satu-satunya senator dari kulit hitam, yang hingga kini kemudian menjadi presiden Amerika Serikat.

Dalam buku ini pun, Obama menulis bagian khusus mengenai Indonesia. Dia menceritakan bahwa Ibunya menikah dengan Lolo Soetoro, asal Indonesia, yang bertemu saat di Hawaii. Awalnya, Obama menganggap Indonesia sebagai Negara miskin, belum berkembang yang sama sekali asing dibandingkan Negara lain. Namun, setelah menikmati hidup di Jakarta pandangannya pun berubah mengenai Indonesia. Bahkan, dia mengaku banyak pelajaran berharga yang dia dapatkan selama di Indonesia.

Obama begitu sayang dan bangga kepada kedua orangtuanya—Barrack Hussein Obama Sr - Shirley Ann Dunham—meski keduanya telah berpisah saat Obama berusia dua tahun. Walaupun Obama tinggal dan dibesarkan oleh ibunya, namun hubungan dengan ayah dan keluarga besarnya yang masih tinggal di Kenya, Afrika, tak pernah putus. Dari sini pula Obama mengetahui ayahnya lebih mendalam dan impian yang belum tercapai. Impian-impian yang sejatinya menyangkut pada kemanusiaan.

Memoar Rasa Sastra
Memoar ialah tulisan tentang peristiwa masa lalu yang menyerupai autobiografi, bahkan bisa dikatakan semi-autobiografi. Isinya bisa macam-macam. Bisa pendapat, kesan, atau kritikan terhadap peristiwa pada waktu yang diihat dan dialami si penulisnya. Yang membedakan di antara keduanya ialah pesannya. Autobiografi biasanya yang ingin perlihatkan adalah perjalanan sang tokoh tersebut, terutama perjalanan kesuksesannya. Sedangkan memoar menitikberatkan pada kesan sang tokoh tersebut terhadap sebuah peristiwa yang dia temui. Kesannya bisa berupa kritikan, gagasan, ataupun yang lainnya.

Buku Obama ini dapat dikategorikan memoar. Dia mengisahkan perjalanan hidupnya dari masa kecil hingga masa mudanya. Tepatnya sampai pada awal-awal karier politik dan tunangannya dengan Michelle Robinson. Dia mengawali kisahnya dengan berita bahwa ayah kandungnya meninggal dunia dalam kecelakaan mobil, padahal selama itu sosok ayahnya lebih merupakan mitos yang diceritakan ibunya daripada kenyataan. Kematian mendadak itu memberi dia inspirasi pengembaraan emosional, pertama-tama ke sebuah daerah kecil di Kansas, menapaki lagi perpindahan keluarga ibu ke Hawaii, kemudian ke Kenya, negeri tempat sisi Afrika dirinya berasal, berhadap-hadapan dengan kenyataan pahit kehidupan sang ayah, dan akhirnya menerima warisan terbelah dalam dirinya. Di sinilah dia bercerita tentang pertama kali merasakan arti rasisme dan artinya bagi seorang African American. Refleksi tentang ras dan hubungan antar-ras di AS banyak disinggung di sini.

Bagi penikmat sastra akan mengetahui bahwa Obama menggunakan teknik penulisan sastra dalam penulisan buku ini. Narasinya begitu kuat dan memukau hingga pembaca bisa terbawa pada kegetiran, kekecewaan, dan kecemasan yang ditimbulkan oleh politik rasial dan kemiskinan di AS. Klimaks dalam memoar ini adalah terjadi di pedesaan Kenya, yang dia kunjungi sebelum masuk Harvard Law School. Perasaannya berkecamuk tatkala dia duduk di antara kuburan ayah dan kakeknya. Dia menitikkan air mata.

Mengenang Indonesia
Dalam buku ini menyisihkan sub-bab yang berjudul Indonesia. Ketika Ibu Obama bercerai dengan ayah Obama, Ibunya kemudian menikah lagi dengan lelaki asal Indonesia, bernama Lolo Soetoro. Pernikahan tersebut menjadikan Obama mencicipi tanah Indonesia. Obama tinggal di Indonesia, tepatnya di Jakarta, kira-kira empat tahun, yaitu pada 1967 hingga 1971, ketika berumur 6-10 tahun. Di Indonesia, dia sempat sekolah di dua SD, pertama SD Katolik Franciskus Assisi, dari kelas 1 hingga kelas 3, kemudian meneruskan sekolah di SDN 1 Menteng sampai pertengahan kelas 5.

Di Jakarta, keluarga Obama awalnya tinggal di sekitar wilayah Warung Buncit, namun kemudian pindah ke kawasan Menteng. Di sini pengalaman masa kecilnya cukup banyak dikenang oleh Obama.

Membaca tuturan pengalamannya di Indonesia, Obama nampaknya terkenal ramah, mudah bergaul, berjiwa pemimpin, dan suka membawa teman-teman main ke rumahnya; kalau tidak dia main-main dengan teman di lingkungan sekitar. Di sini dia terkenang suka main bola ketika hujan, becek-becekan, main lumpur di sawah, mengejar-ngejar ayam, dan permainan yang biasa dilakukan anak-anak Indonesia, misalnya, kelereng. Di sekolahnya, dia sering jadi pengatur barisan sebelum anak-anak masuk ke kelas dan suka melindungi anak lemah dari tekanan anak nakal. Kisah-kisah seperti itu memenuhi halaman 56 hingga 75.

Selain itu Obama juga memotret realita yang ada di Indonesia pada masa itu dan mencoba merefleksikannya. Dia melihat pandangan kosong wajah-wajah petani pada tahun ketika hujan tak jua datang dan putus asa ketika tahun berikutnya hujan turun selama satu bulan, dan memenuhi sungai dan sawah. Korupsi, perubahan radikal polisi dan militer, seluruh industri dikelola oleh keluarga presiden dan pengikutnya, para pengemis, dan kualitas pelayanan Rumah Sakit, adalah sisi lain yang diingat Obama dalam memoarnya. Begitukah gambaran Indonesia di mata Obama?

Namun, di sisi lain, Indonesia juga mengajari dan memberikan wawasan dirinya untuk toleransi, kerja sama di masyarakat, dan rukun antar umat beragama.

Peran Orangtua
Peran orangtua begitu memengaruhi karakter Obama. Membaca memoarnya, tidak heran jika Obama saat ini menjadi orang nomor satu di AS. Obama bukan berasal dari keluarga berada, tapi orangtuanya adalah orang-orang yang terpelajar. Ibunya menempuh pendidikan sampai doktor. Ayahnya setelah lulus dari Universitas Hawaii juga sempat melanjutkan ke Universitas Harvard. Ayah tirinya, Lolo Soetoro, juga lulusan Universitas Hawaii.

Dalam buku ini, terlihat bahwa Obama berusaha mengenali sosok ayah kandungnya. Setelah mendapat kabar ayahnya telah meninggal karena kecelakaan, tak ada yang bisa diperbuatnya lagi. Dia hanya mengenalinya dari cerita-cerita ibu dan kakek-neneknya. Pesona ayahnya rupanya mengalir pula pada Obama yang di semasa kuliah pernah terlibat dalam kampanye mendukung gerakan pembebasan Afrika Selatan. Bahkan, dipercaya membuka sebuah rapat dengan sebuah orasi—pidato pertamanya—yang masih terekam dalam benaknya hingga saat ini.

Mencuri perhatian teman-teman kulit putih Obama di kelas adalah sebuah bukti kehebatan dari sang ayah. Dan mencuri perhatian dunia, kini adalah sebuah bukti kehebatan Obama—presiden pertama AS dari kalangan kulit berwana. Ibunya, kerap bercerita kepada Obama tentang sosok ayah kandungnya.Tak ayal, bagi Obama, ayah kandungnya lebih menyerupai mitos daripada manusia. Ayah kandung Obama mewariskan semangat integrasi, cinta-kasih, dan perdamaian.

Kondisi perceraian baik dengan ayah kandungnya maupun dengan ayah tirinya membuat Obama lebih dekat kepada ibunya dan mengagumi sebagai perempuan yang luar biasa. Obama dilatih berempati kepada orang lain yang tertindas. Dia juga dilatih berdisiplin. Saat di Indonesia, misalnya, ibunya membangunkan dan mengajari Obama kecil dini hari jam 4 pagi belajar bahasa Inggris. Ibunya mengajarkan nilai-nilai kehidupan, kemandirian, tidak banyak menuntut, dan kesopanan. Ibunya juga mengajarkan untuk mengabaikan gabungan antara kebodohan dan kesombongan yang acap kali mencirikan orang Amerika.

Terlepas dari ukuran font yang terlalu padat dan rapat sehingga membuat mata lelah, buku ini mampu menyihir saya dengan decak kagum akan kelihaian Obama menuturkan perjalanan hidupnya. Saya salut dengan kemampuan Obama dalam merekam balada hidupnya. Gaya bahasanya pun begitu hidup dan nyastra.

Kini, Obama menjadi presiden AS. Obama memiliki kesempatan besar untuk mewujudkan mimpi-mimpi ayahnya yang belum terwujud sebagaimana dipaparkan dalam buku ini. Dunia sedang menunggunya.***

Tidak ada komentar: