Sabtu, November 07, 2009

Bukan Cinta Biasa

Judul: The Gargoyle
Penulis: Andrew Davidson
Penerjemah: Ary Nilandari
Penerbit: Kantera
Cetakan: I, Juni 2009
Tebal: 605 hlm.
-----------------

“L’amour n’est pas parce que mais melgre”, cinta itu bukan ‘karena’ tapi ‘walaupun’. Begitulah bunyi pepatah orang Perancis. Pepatah itu dapat dimaknai bahwa cinta (sejati) itu mau menerima pasangan kita dengan apa adanya dan tak lekang oleh ruang dan waktu. Itulah yang dilakukan Marianne Angel, seorang wanita yang mencintai laki-laki yang sekujur badannya telah gosong karena terbakar dalam novel The Gargoyle. Gargoyle adalah makhluk mitologi eropa yang biasanya dibuat patungnya di atap bangunan-bangunan kuno.

Novel The Gargoyle adalah karya perdana Andrew Davidson yang sungguh memukau. Tak heran dia berhasil meraih penghargaan First Fiction Award pada 2008. Novel ini juga masuk dalam beberapa daftar best seller seperti di New York Time Best Seller, Publisher Weekly Best Seller, dan Canadian Best Seller dalam beberapa minggu. Sebagai debut pertama yang langsung menyabet penghargaan bergengsi patut diacungi jempol.

Boleh jadi raihan penghargaan di atas, akibat sang penulis yang hendak ingin menjelaskan seperti apa cinta sejati itu. Dan kesimpulannya adalah bahwa cinta sejati itu bukan disebabkan karena keindahan; kecantikan, ketampanan, kecerdasan, dan sebagainya, apalagi kesempurnaan, melainkan sebaliknya: penuh kekurangan. Paradigma cinta yang diusung Andrew lewat The Gargoyle ini sungguh melawan arus dari kehidupan orang barat.

Novel ini diawali dengan dentuman dahsyat. Seorang bintang porno nekat menerjunkan mobilnya ke dalam jurang karena menghindari serbuan anak panah imajiner yang ada dalam halusinasinya. Tubuhnya terbakar. Sebotol barbon yang diapit di antara kedua pahanya serentak menghanguskan alat vitalnya seperti daging panggang. Namun sebelum sakaratul maut menjemputnya ia tersadar diri oleh dinginnya air sungai yang menyelamatkan hidupnya.

Penderitaan pun tak terelakkan, seorang aktor porno—35 tahun—itu kehilangan semuanya. Karir dan keberuntungannya tamat. Kulit dan alat vitalnya (sebagai modal bintang film porno) yang menawan semuanya hangus terbakar. Tujuh minggu lamanya ia koma di rumah sakit. Sepanjang waktu di rumah sakit dihabiskannya untuk memikirkan metode bunuh diri.

Di tengah keputusasaannya, muncul seorang pengunjung misterius yang bakal menghabiskan cerita dalam novel ini lebih dari 400 halaman. Pengunjung tersebut ternyata seorang pasien juga yang menderita skizofrenia dan manic-depressive bernama Marianne Angel. Ia muncul dengan rambut yang nyaris awut-awutan dan pandangan matanya yang sulit ditebak. Ia tiba-tiba membisikkan pada lelaki itu bahwa di antara mereka adalah sepasang kekasih di abad 14, di Jerman. “Aku telah menunggu begitu lamanya,” gadis itu berkata.

Tentu lelaki itu tak percaya meskipun gadis itu tengah mengenakan jubah yang menampakkan potongan abad pertengahan. Sang mantan aktor itu tetap berasumsi bahwa Marianne adalah penderita Skizrofenia. Pada awalnya, lelaki itu terus mengabaikan “si gila” Marianne Engel. Namun, lambat laun lelaki itu mulai percaya. Dan dengan kepercayaannya, menjadikannya dirinya menjadi manusia yang lebih baik.

Novel ini menjadi semakin menarik dan menggetarkan. Di sepanjang cerita yang terus berlanjut, Marianne tetap sebagai figur yang misterius. Kesehatan jiwanya terus dipertanyakan. Dunia kesehariannya adalah sebagai pemahat patung Gargoyle yang sangat ternama. Dia kerap tidur bertelanjang di atas lempengan batu yang akan dipahatnya di ruang bawah tanah kastil miliknya. “Aku menyerap mimpi-mimpi dari dalam batu itu…, dan gargoyle-gargoyle di dalamnya memberitahu hal-hal yang kuperlukan untuk membebaskan mereka.”

Tanpa syarat apa pun Marianne mencurahkan segenap perhatiannya untuk pria berbadan gosong yang diyakini sebagai kekasihnya. Ia kisahkan cerita-cerita fantastis tentang dongeng kesatriaan seorang pecinta sejati yang berakhir di tiang gantungan. Serta kisah-kisah romantis yang mengesankan cukup membuat mantan sang aktor porno itu mampu melupakan niatnya untuk melakukan bunuh diri. Marianne juga bercerita tentang bangsa Viking dan kekuasaan feodal Jepang yang sangat menarik.

Begitu juga petualangan memesona mengenai kisah romantik di antara mereka sendiri yang terjadi jauh di abad pertengahan, Jerman, Tepatnya ketika Marianne menjadi seorang penerjemah brilian di Biara Engelthal. Sedang lelaki itu adalah seorang prajurit bayaran yang tengah sekarat di terjang panah berapi, namun sebuah salinan buku Dante yang disematkan di sakunya telah menyelamatkannya. Di situlah getaran-getaran hati membawa mereka mengarungi hidup bersama meski banyak aral yang melintang.

Marianne dan epik cintanya mampu menyeberangi jurang waktu dan tempat. Cinta sejati yang menyatu di abad silam dan secara mengejutkan dipertemukan kembali di masa sekarang. Inilah novel yang sangat inspiratif untuk orang yang percaya adanya konsep cinta sejati; untuk orang yang percaya adanya sesuatu yang lebih kuat dan lebih bermakna dari sekadar seksualitas.
Semua kisah yang ada di dalam novel ini menegaskan bahwa jangan ada lagi niat untuk melepaskan harapan. Pelajaran-pelajaran yang didengungkan, cinta yang dipertemukan, dan kepercayaan yang diungkap, semuanya menjadi sesi inti yang berasal dari kawah imajinasi sang penulis.[]

M Iqbal Dawami
Penikmat sastra, tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar: