Selasa, Juni 22, 2010

Menyegarkan Kembali Kritik Sastra Indonesia


Judul: Darah-Daging Sastra Indonesia
Penulis: Damhuri Muhammad
Penerbit: Jalasutra
Cetakan: I, Maret 2010
Tebal: 166 hlm.


Diakui atau tidak, kemunculan kritik sastra dengan karya sastra sangat tidak berimbang. Tidaklah berlebihan apabila ada yang mengatakan kalau beberapa tahun belakangan ini telah terjadi krisis kritik sastra, ketimbang karya sastra. Karya sastra hari demi hari terus mewabah tak kenal musim, sedang kritik sastra sebaliknya, muncul dalam rentang waktu yang lama.

Oleh karena itu, hadirnya buku ini sangat penting dalam konteks kekosongan buku-buku kritik sastra (Indonesia), terlebih yang ditulis oleh penulis Indonesia. Buku berjudul Darah-Daging Sastra Indonesia karya Damhuri Muhammad ini berisikan apresiasi atas karya-karya sastra (Indonesia) yang telah dipublikasikan (hanya ada 3 esai yang tidak dipublikasikan) di media cetak, baik itu novel, cerpen, maupun puisi. Buku ini mengemas 38 esai yang terbagi dalam empat bagian.

Bagian pertama, berjudul Sastra Indonesia, Mau Ke Mana? Pembahasan dalam bab ini menyoal, misalnya, dari mana akar sastra Indonesia? Damhuri mencoba menelisiknya sembari mengutip dari beberapa sastrawan, di antaranya Maman S. Mahayana, bahwa akar sastra Indonesia adalah “sastra etnik”. Jelajah tematik dan eksplorasi estetik para sastrawan tak lepas dari latar etnik yang melahirkan dan membesarkan mereka.

Sebut saja, misalnya, “Tokoh Ajo Sidi dalam cerpen Robohnya Surau Kami (AA Navis) yang tak lepas dari kultur Minang. Demikian pula yang dilakukan Chairul Harun (Warisan, 1979), Darman Moenir (Bako, 1983), dan Wisran Hadi (Orang-Orang Blanti, 2000). Eksplorasi kultur etnik adalah peluang yang menjanjikan lahan berlimpah. Tengok pula Arswendo Atmowiloto (Canting, 1986), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1982), dan Umar Kayam (Para Priyayi, 1992), beberapa pengarang yang menggauli kultur Jawa dengan amat cerdas.” Ujar Damhuri Muhammad. (hlm. 5)

Dari fakta di atas, Damhuri hendak membuktikan bahwa sastra Indonesia tidak melulu dikaitkan dan dipengaruhi oleh sastra Barat yang selalu kita agung-agungkan dan gaung-gaungkan. Oleh karena itu, Damhuri menegaskan pentingnya sejarah sastra. Sebab, hanya dengan pelacakan dan penulisan sejarahlah dapat diformulasikan sebuah konsep sastra Indonesia yang beridentitas, kokoh, orisinal.
Esai-esai pada bab ini mengangkat kembali diskursus sastra Indonesia yang beberapa tahun belakangan hangat dibicarakan.

Bagian kedua, berjudul Lelaku Kepengarangan. Di dalamnya membincangkan tentang kepengarangan seseorang yang dikaitkan dengan karyanya masing-masing. Misalnya, prihal Prosa Pasca Bencana. Damhuri mengkritik para pengarang yang menggunakan bencana sebagai stamina kepengarangannya. Para novelis begitu menyala-nyala selepas bencana melanda Indonesia.

Salah satunya adalah bencana tsunami di Aceh. Banyak peluncuran buku-buku sastra semisal puisi, cerpen, dan novel yang terbit lantaran luka akibat musibah tsunami di Aceh. Dan banyak pula para penyair “karbitan”, yang tiba-tiba muncul dalam sebuah “proyek” antologi puisi tsunami. Fenomena itu dikritik pula oleh Radhar Panca Dahana yang mengatakan sastrawan seperti itu seperti gadis pesolek yang segera ke salon begitu ada warna rambur terbaru. Begitu mudahnya kesenian tenggelam dalam satu isu yang sedang panas.

Hal lain yang menarik dalam bab ini adalah perihal novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El-Shirazy. Penjualan novel AAC bisa menembus lebih dari 400.000 eksemplar. Fenomena itu dimanfaatkan para penulis lain (kongsi dengan penerbitnya) untuk mendompleng dan mengekor novel AAC, baik dari segi pengisahan, judul, kaver, maupun nama pengarangnya. Salah satunya, kata Damhuri, novel Bait-Bait Cinta (2008) karya Geidurrahman El Mishry. Novel ini dari segi pengisahan memang berbeda dengan AAC, bahkan menjadi wacana tandingan AAC. Tapi, dari segi nama pengarangnya masih mengekor pada AAC, Geidurrahman El Mishry (mirip dengan Habiburrahman El Mishry). “Semestinya, pengarang berani memosisikan novel ini sebagai karya yang mampu tegak di atas kaki sendiri, tak haarus terjangkiti oleh Sindrom Ayat-Ayat Cinta.” Ujar Damhuri (hlm. 78).

Bagian ketiga tentang Rekam Jejak Cerpen, yaitu menyoal cerpen-cerpen yang ditulis oleh penulis Indonesia. Salah satunya adalah persoalan teks cerpen yang diposisikan sebagai berita atau kabar. Jadi, cerpenis adalah seorang “juru kabar” layaknya wartawan, namun perbedaannya, ia mengabarkan sesuatu (baik atau buruk) dengan estetika. Kabar petaka, bilamana penyampaiannya dikemas dengan bahasa yang teduh, sejuk, dan memukau boleh jadi tetap (seolah-olah) terdengar seperti ‘kabar baik’.
Sebaliknya, kabar gembira bila medium pengabarannya cacat dan tak memadai bisa saja tersiar seperti kabar buruk (hlm. 121). Seorang cerpenis harus mampu mengisahkan “kabar”nya dengan apik, tanpa terjebak pada simbolisme, realisme, seperti yang dilakukan para wartawan.

Saya kira teknik pengisahan itulah yang menjadi media komunikasi seorang cerpenis atas pembacanya, sehingga pembaca dapat menikmatinya. Walau serupa membincangkan sastra secara umum, tapi dunia cerpen Indonesia cukup banyak dibicarakan dalam bagian ini.

Pada bagian keempat, perihal Estetika Puisi. Pembaca akan disuguhi proses kreatif para penulis sastra dalam menciptakan percikan-percikan ide yang memiliki nilai estetika puisi. Di dalam bab ini, pembicaraan tentang kesaksian kreatif berpuisi dalam memahami warna lokal sastra, latar sosial, dan religi dalam karya sastra juga mendapat tempat. Dibanding dengan bab-bab sebelumnya, bab ini sangatlah sedikit porsinya. Boleh jadi hal ini menandakan bahwa sang penulis memang kurang berminat untuk mengkritisi dan mengapresiasi puisi ketimbang novel dan cerpen.

Walhasil, buku ini mampu memperlihatkan isu-isu dunia sastra Indonesia dan makna yang terkandung dalam suatu karya sastra Indonesia. Menurut Budi Darma, kritik yang baik adalah kritik yang bisa membangkitkan siklus mencipta: karya sastra bisa melahirkan kritik, dan kritik bisa merangsang sebuah karya baru. Tak berlebihan, kiranya buku ini bisa dimasukkan dalam konteks itu.

Buku ini patut dijadikan referensi bagi peminat dunia sastra Indonesia, karena akan menyegarkan dahaga kita yang selama ini mengalami kekurangan kritik sastra.[]

M. Iqbal Dawami, penikmat teh, gogodoh, dan sastra.

Tidak ada komentar: