Judul: Knowledge and Innovation ; Kekuatan Daya Saing
Penulis: Zuhal
Penerbit: Gramedia
Cetakan: I, 2010
Tebal: 485 halaman
Zuhal, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Meneg Ristek) pada kabinet Reformasi menjelaskan dalam buku ini bahwa saat ini kita sedang berada pada era baru kemunculan berbagai bentuk kompetisi global yang mengalir ke segala arah. Perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) terbang ke seluruh dunia, keluar dari pusat-pusat korporasi induknya, mencari tempat bertengger baru yang lebih kompetitif. Mereka membidik pusat-pusat pertumbuhan yang lebih menjanjikan low-cost manufacturing dan low-end markets. Realitas global baru yang berbeda itu dikenal dengan globality.
Globality, lanjut Zuhal, didasarkan pada dunia yang menyatu tanpa batas. Sebuah dunia baru yang direkat oleh jaringan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) antarkontinen. Jaringan TIK inilah yang kelak meniupkan karakter baru dalam persaingan ekonomi di era globality: jaringan TIK dengan cepat mampu menyediakan informasi tentang bagaimana berkompetisi secara sempurna atau informasi tentang siapa yang terbaik, kreatif, dan efektif di muka Bumi. Tatkala informasi telah begitu “telanjang”, maka kompetisi di era globality pun menemukan wajahnya yang lain: persaingan menjadi jauh lebih ketat, di arena yang menyerupai “bidang datar” (global arena).
Tak pelak lagi, inovasi menjadi hal yang sangat penting dalam kompetisi global. Inovasi adalah ciptaan-ciptaan baru (dalam bentuk materi ataupun intangible) yang memiliki nilai ekonomi yang berarti (signifikan), yang umumnya dilakukan oleh perusahaan atau kadang-kadang oleh para individu (Edquist, 200). Inovasi juga dapat diartikan sebagai transformasi pengetahuan kepada produk, proses dan jasa baru; tindakan menggunakan sesuatu yang baru (Rosenfeld, 2002).
Kita bisa mengaca pada perusahaan Coca-Cola Indonesia, misalnya. Inovasi adalah salah satu kunci keberhasilannya. Melalui riset dan pengembangan (Research & Development), Coca-Cola terus berinovasi untuk menciptakan produk, kemasan, strategi pemasaran, serta perlengkapan penjualan baru yang lebih berkualitas, kreatif, serta mempunyai ciri khas tersendiri.
Dengan memahami kebutuhan dan perilaku konsumen, serta potensi kekayaan alam Indonesia, Coca-Cola berinovasi dengan menciptakan produk-produk baru yang menjadikan produk minuman cepat saji Coca-Cola mempunyai rasa dan pilihan yang beragam. Untuk memenuhi kebutuhan konsumen secara lebih spesifik, pada tahun 2002 Coca-Cola meluncurkan AQUARIUS, minuman isotonik yang diperuntukkan bagi mereka yang aktif dan gemar berolahraga.
Pada tahun yang sama, Coca-Cola Indonesia meluncurkan Frestea, teh dalam kemasan botol dengan aroma bunga melati yang khas. Pada tahun 2003, Fanta menghadirkan campuran dua rasa buah, orange dan mango, yang disebut "Fanta Oranggo", setelah pada tahun sebelumnya sukses meluncurkan Fanta Nanas. Pada tahun berikutnya, Coca-Cola Indonesia meluncurkan Sunfill - produk minuman Sirup dan Serbuk instan rasa buah.
Dengan inovasi, Coca-Cola yakin bahwa produk-produk yang ditawarkan akan mampu memenuhi kebutuhan pasar di Indonesia.
Aset Nirwujud
Mengapa daya saing bangsa Indonesia tidak kunjung meningkat, padahal sejumlah indikator ekonomi cukup menunjukkan perbaikan? Faktor nirwujud ternyata berperan besar. Zuhal memberikan nasihatnya bahwa perusahaan, misalnya, tidak sepatutnya hanya terbuai melihat aspek-aspek yang berhubungan dengan pangsa pasar dan tujuan-tujuan keuntungan finansial semata. Perusahaan mesti mengalihkan perhatiannya—dalam porsi lebih besar—pada aset-aset tersembunyi seperti sumber daya manusia (SDM), budaya korporat, serta aset intelektual lainnya. Ada pergeseran yang cukup fundamental yang bergerak ke arah human capital oriented.
Kemunduran indikator nirwujud daya saing—pendidikan, kesehatan, dan riset—sejatinya memicu efek domino yang merembet ke pelbagai lini. Merosotnya kualitas pendidikan pendidikan, kesehatan, dan riset berimplikasi terhadap menurunnya kemampuan SDM, yang pada gilrannya menyumbang saham kepada rendahnya efisiensi pemerintahan dan merosotnya efisiensi bisnis. Semua itu mengakibatkan terus menurunnya daya saing Indonesia secara keseluruhan. Dan, sulit dipungkiri, indikator merosotnya daya saing bangsa ini secara gamblang tercermin pada tren menurunnya peringkat Human Development Index (HDI), indeks teknologi, atau posisi peringkat daya saing umumnya, terutama sejak 1996.
Isu nasional ini memang bersifat nirwujud (intangible). Pemerintah masih lebih suka mencari solusi-solusi jangka pendek, seperti memfokuskan diri hanya pada indikator-indikatior sistem ekonomi klasik yang tangible, alih-alih memberi arah dan panduan strategis terkait gejala menurunnya aset nirwujud. Mind-set lama ini mesti diubah.
Secara keseluruhan buku ini berbicara tentang “platform daya saing” yang berkaitan dengan aspek penguasaan knowledge, kreativitas, dan inovasi yang diperlukan menjawab tantangan sistem ekonomi baru. Selain itu, terkait pentingnya soal inovasi, Zuhal juga memberikan konsep Sistem Inovasi Nasional (Sinas) Indonesia yang berbasis keunggulan komperatif benua maritime. Juga dipaparkan kajian pelbagai bentuk institusi, organisasi, dan aspek knowledge management yang menunjang Sistem Inovasi.[]
M Iqbal Dawami,
Staf pengajar STIS Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar