Jumat, September 23, 2011

Refleksi Kehidupan Sehari-Hari


Judul: Merajut Kata-Kata
Penulis: Stephie Kleden-Beetz
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2011
Tebal: 159 hlm.

Merefleksikan hidup sungguh mulia. Refleksi itu mampu menyadarkan diri kita kepada hakikat, baik hakikat kita sebagai hamba Tuhan, maupun sebagai makhluk sosial (homo hominilupus) dan berpikir. Meski begitu, tak banyak orang melakukannya. Entah karena sibuk, maupun tak bisa menyempatkan diri untuk bertafakur.
 

Karena itu apa yang dilakukan Stephie Kleden yang terejawantahkan dalam buku ini sungguh terpuji, di mana ia melakukan kerja refleksi atas apa yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Boleh jadi apa yang direfleksikannya pernah kita alami juga, hanya saja kita tak pernah merefleksikannya.
 

Dalam judul “Ajaib”, misalnya, Kleden bercerita perihal menu makan yang super lezat dan bergizi di meja makannya. Menu lezat di meja makan membuatnya  merenung. Berapa ribu tangan yang harus bekerja sebelum nasi ini terhidang di atas meja makan. Berapa banyak nelayan yang tekun menanti ikan sebelum ikan goreng ini bisa dinikmati. Tentu petani sayur harus menanam, menunggu dengan sabar, menyiangi, memanen, memikulnya ke pasar, dan sekarang sayur ini tersaji di meja. Jangan lupa pula garam. Tanpanya, semua hambar. Betapa panjang jalannya sebelum tiba di dapur (hlm. 8-9).
 

Jarang sekali orang bisa berpikir sampai kesitu, terlebih di lingkungan yang serba hedonis dan kemurungsung (tergesa-gesa). Apa yang kita santap di meja makan sesungguhnya melibatkan banyak orang. Bahkan, tidak hanya itu, hampir di semua bidang melibatkan banyak sentuhan manusia. Barangkali pesan yang hendak disampaikan lewat refleksi “hidangan di meja makan” tersebut adalah bahwa kita harus mampu menghargai dan mensyukuri atas apa yang kita dapatkan. Tanpa ada petani, peternak, pedagang, dan sebagainya, kita tidak bisa menyantap makanan. Maka dari itulah kita harus pandai berterima kasih.
 

Refleksi Stephie juga menyentuh pada dimensi spiritual. Misalnya, tentang gelas kepunyaannya. Gelas itu dibuatnya sendiri di pabrik gelas di Cekoslovakia. Ketika dibawa ke Malang, gelas itu pecah. Stephie Sedih. Dan akal sehatnya mencoba menghibur. “Ah, tak perlu berlama-lama menyesal, karena siapa tahu dengan pecahnya gelas tersebut kita diingatkan bahwa semua di bumi ini fana adanya, maka kita senantiasa diajak untuk mencari yang abadi, yaitu Allah Pencipta. Memang gelas bisa dibeli di mana saja, tetapi berbeda, karena setiap benda punya riwayat dan menyimpan kenangan tersendiri,” ujar Stephie (Hlm. 30). Dia juga menyitir pepatah Jerman: Glueck und Glas wie leicht bricht das (Kebahagiaan dan kaca betapa mudah pecah).
 

Usaha refleksi Stephie sesungguhnya memberikan faedah yang luar biasa, salah satunya adalah membuat kita tetap waras dalam mengarungi hidup ini. Bayangkan setiap hari kita selalu disuguhkan pelbagai peristiwa baik secara langsung bergesekan dengan diri sendiri maupun tidak. Dan peristiwa itu memancing kita untuk bereaksi, apakah secara positif, negatif, maupun biasa-biasa saja. Namun, dengan merefleksikan peristiwa tersebut akan selalu membuat kita sadar, bahwa sesungguhnya semua peristiwa itu membawa pesan, hikmah, serta pelajaran.
 

Maka saya mengamini komentar Martin L. Sinaga dalam Kata Pengantar buku ini bahwa keunikan tulisan Stephie adalah mempunyai pesan mendalam dan baru. Tulisannya tampak seperti kupu-kupu, yang hanya bisa terbang atau bernas kalau ia menempuh momen bergulat dalam kepompong kehidupan.
 

Buku yang terdiri dari tiga bab ini, yaitu Rasa, Pikir, dan Hidup, banyak kisah memukau yang menjalin jalan ke dalam hati saya. Saya tersentuh. Buku ini seolah mengajak saya untuk beristirahat sejenak, merenung, dan bersyukur atas karunia hidup ini, contemplatio ad amorem—permenungan yang sampai menyentuh perasaan syukur dan cinta.
 

Membacanya dari halaman ke halaman, ada ekstase untuk terus mereguknya.

M. Iqbal Dawami
Aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community (KHJTC) Yogyakarta 

Tidak ada komentar: