Senin, November 14, 2011

Agama Itu Seperti Seni

Judul: Masa Depan Tuhan
Penulis: Karen Armstrong
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, 2011
Tebal: 608 hlm.

Inilah buku yang membahas “sejarah” Tuhan dari masa ke masa. Saya akui pengklasifikasiannya luar biasa, runut dan sistematis, mulai dari “Tuhan yang tidak diketahui”—dari 30.000 SM hingga 1500 M—hingga “Tuhan Modern”—dari 1500 M hingga sekarang.
 

Agama adalah sebuah disiplin praktis yang mengajari kita menemukan kemampuan baru pikiran dan hati. Inilah yang menjadi salah satu tema buku ini. Menurut Karen Armstrong tidak ada gunanya menimbang ajaran-ajaran agama secara otoritatif untuk menilai kebenaran atau kepalsuannya sebelum menjalani cara hidup religius. Anda akan menemukan kebenaran—atau ketiadaan kebenaran—di dalamnya hanya setelah Anda menerjemahkannya ke dalam ritual atau perbuatan etis. Tak berbeda dengan setiap keterampilan, agama memerlukan ketekunan, kerja keras, dan disiplin. Sebagian orang cakap dalam hal itu dibanding yang lain, sebagian lagi sangat tidak berbakat, dan yang lain sama sekali luput darinya.
 

Kaum Daois perdana memandang agama sebagai semacam “kecakapan” yang diperoleh melalui latihan terus-menerus. Zhuangzi salah satu tokoh terpenting dalam sejarah spiritual Cina, menjelaskan bahwa tidak ada gunanya berusaha untuk menganalisis agama secara logis.
 

Dia mengutip Bian si tukang kayu: “Ketika saya mengerjakan sebuah roda, jika saya menekan terlalu pelan, meskipun nyaman, saya tidak akan menghasilkan roda yang baik. Jika saya menekan terlalu keras, saya jadi lelah dan hasilnya tidak bagus! Jadi, jangan terlalu pelan, jangan terlalu keras. Saya memegangnya di tangan saya dan merasakannya dan merasakannya di dalam hati saya. Saya tidak dapat menyatakan ini dengan perkataan di mulut, saya hanya tahu. Si bungkuk yang menangkap tonggeret di hutan dengan tongkat berujung lengket tidak pernah meleset sekali pun. Dia telah menyempurnakan konsentrasinya sehingga dirinya larut di dalam pekerjaannya, dan tangannya seolah-olah bergerak dengan sendirinya. Dia tidak bisa menjelaskan bagaimana dia melakukan itu, tetapi hanya mengetahui bahwa dia telah memperoleh keahlian itu setelah berlatih berbulan-bulan. Keadaan kehilangan-diri ini, jelas Zhuangzi, adalah sebuah ekstasis yang memungkinkan Anda untuk “melangkah keluar” dari prisma ego dan mengalami yang Ilahi.
 

Patut disesalkan Dawkins, Harris, dan Hitchens mengekspresikan diri mereka dengan terlalu garang, sebab beberapa dari kritik mereka memang sah. Orang beragama memang telah melakukan berbagai kekejaman dan kejahatan, dan teologi fundamentalis yang diserang kaum ateis baru memang “tidak cakap”, meminjam istilah Buddha. Namun, mereka menolak, pada prinssipnya, untuk berdialog dengan para teolog yang lebih mewakili tradisi arus utama. Sebagai akibatnya, analisi mereka sayangnya menjadi dangkal karena didasarkan pada teologi yang begitu rapuh.
 

Amstrong dapat bersimpati pada kejengkelan kaum ateis baru karena selama bertahun-tahun dia sendiri pernah berkeinginan untuk tidak punya hubungan apa-apa dengan agama, dan beberapa buku pertamanya jelas-jelas cenderung ke arah Dawkins-esque. Tetapi, pengkajiannya tentang agama-agama dunia selama dua puluh tahun terakhir telah mendorongnya untuk merevisi pendapatnya yang terdahulu. Itu bukan hanya telah membukakan pikirannya pada berbagai aspek agama seperti yang dipraktikkan dalam tradisi-tradisi yang dipandang sebagai iman yang terbatas dan dogmatis dari masa kecilnya, tetapi penilaian yang saksama atas bukti itu telah membuat dia melihat Kekristenan secara berbeda. Salah satu hal yang dia pelajari adalah bahwa bertengkar tentang agama tidak ada manfaatnya dan tidak kondusif bagi pencerahan. Bukan hanya membuat pengalaman religius yang autentik menjadi mustahil, hal itu juga melanggar tradisi rasionalis Socratik.
 

Pada bagian pertama buku ini, Armstrong mencoba menunjukkan bagaimana orang-orang berpikir tentang Tuhan di dunia pramodern dalam cara yang, dia harap, memberi kejelasan tentang beberapa isu yang kini dirasa orang-orang bermasalah—kitab suci, inspirasi, penciptaan, mukjizat, wahyu, iman, kepercayaan, dan misteri—dan juga menunjukkan bagaimana agama menjadi kacau.
 

Pada bagian kedua, dia menelusuri kebangkitan “Tuhan modern”, yang menggulingkan begitu banyak persangkaan agama tradisional. Ini, tentu saja, tidak dapat menjadi uraian yang lengkap. Arsmtrong berfokus pada Kristen, sebab itu merupakan tradisi yang paling terkena dampak bangkitnya modernitas ilmiah dan juga dihantam pukulan keras dari serangan ateistik baru. Lebih jauh, di dalam tradisi Kristen, dia berkonsentrasi pada tema dan tradisi yang berbicara secara langsung tentang masalah-masalah religius kontemporer kita.
Kita telah terbiasa berpikir bahwa agama harus menyediakan informasi bagi kita. Apakah Tuhan ada? Bagaimana dunia terbentuk? Tetapi, ini adalah penyimpangan modern. Agama tidak pernah seharusnya menyediakan jawaban atas pertanyaan yang berada dalam jangkauan akal manusia. Itu adalah peran logos. 

Tugas agama, sangat mirip dengan seni, adalah membantu kita hidup secara kreatif, damai, dan bahkan gembira dengan kenyataan-kenyataan yang tidak mudah dijelaskan dan masalah-masalah yang tidak bisa kita pecahkan: kematian, penderitaan, kesedihan, keputusasaan, dan kemarahan pada ketidakadilan dan kekejaman kehidupan.
 

Rasionalitas ilmiah dapat memberi tahu kita mengapa kita menderita kanker, bahkan dapat menyembuhkan kita dari penyakit. Tetapi tidak dapat meredakan kengerian, kekecewaan, dan kesedihan yang datang bersama diagnosis itu, juga tidak dapat membantu kita untuk mati dengan baik. Itu tidak berada dalam wewenangnya. Akan tetapi, agama tidak akan bekerja secara otomatis; ia membutuhkan upaya besar dan tidak akan berhasil jika ia dangkal, palsu, memberhala, atau memperturutkan kehendak sendiri.
 

Agama adalah disiplin amaliah, dan wawasannya tidak berasal dari spekulasi abstrak, tetapi dari latihan spiritual dan gaya hidup yang berdedikasi. Tanpa amalan seperti itu, mustahil untuk memahami kebenaran ajarannya. Hal ini juga berlaku untuk filsafat rasionalisme. Orang-orang datang kepada Socrates bukan untuk belajar sesuatu—dia selalu menekankan bahwa dia tidak punya apa-apa untuk diajarkan kepada mereka—melainkan untuk mengalami perubahan pikiran.
 

Pemahaman agama tidak hanya menuntut upaya intelektual yang berdedikasi untuk melampaui “berhala-berhala pikiran”, tetapi juga gaya hidup penuh kasih yang memungkinkan kita keluar dari prisma kedirian. Logos yang agresif, yang berusaha untuk menguasai, mengontrol, dan membunuh oposisi, tidak dapat membawakan wawasan transenden ini. Pengalaman membukuktikan bahwa ini hanya mungkin jika orang menumbuhkan sikap reseptif, mendengarkan, tidak berbeda dengan cara kita mendekati seni, musik, atau puisi. Agama memerlukan kenosis, “kapabilitas negatif”, “kepasifan yang bijak”, dan hati yang “mengamati dan menerima”. []

M. Iqbal Dawami,
alumnus Tafsir-Hadis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

Tidak ada komentar: