Selasa, November 01, 2011

Tafsir Sufi sebagai Kritik Sosial


Judul: Tafsir Al-Jailani
Penulis: Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Penerjemah: Aguk Irawan
Penerbit: Zaman
Cetakan: I, 2011
Tebal: 299 hlm.

Saya baru tahu kalau Syekh Abdul Qadir al-Jailani mempunyai kitab tafsir. Sebelumnya saya hanya tahu kitab-kitabnya mengenai dunia tasawuf, seperti al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, Al-Fath ar-Rabbani, Jala' al-Khawathir, Sirr al-Asrar, dan Asror Al Asror. Awal 2009 salah satu penerbit Turki menerbitkan Tafsir al-Jailani, yang diambil dari manuskrip yang ditemukan di Vatikan Italia, perpustakaan Qadiriyyah, dan India.  

            Tentu saja penerbitan (dan bahkan penemuan) tafsir tersebut saya sambut dengan bahagia, dan kebahagiaan saya berlipat saat penebit zaman menerbitkan edisi bahasa Indonesianya. Para pengkaji tafsir era klasik maupun modern sedikit sekali (untuk mengatakan tidak ada) membahas tafsir Abdul Qadir al-Jailani ini. Husain al-Dzahabi, penulis kitab al-Tafsir wa a-Mufassirun yang menjadi rujukan para pengkaji tafsir, tidak menyebutkan tafsir ini. Orientalis bernama Ignaz Goldziher, yang juga karyanya (sudah diterjemahkan oleh ke dalam bahasa Indonesia berjudul Mazhab Tafsir; Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Jogjakarta: eLSAQ Press, 2006) dianggap representatif perihal karya dan aliran tafsir luput dari tafsir ini. Ia tidak menyebutkannya. 

Di kalangan umat Islam Indonesia (khususnya NU) sudah tidak asing lagi dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani (ada juga yang menyebut “al-Jilani”). Beliau adalah seorang sufi besar asal Jailan, Iran. Namanya selalu disebut—dijadikan wasilah—saat kaum muslim mengadakan tahlilan. Beliau juga pendiri tarekat Qodiriyah. Dengan latar belakang seorang sufi, karya-karya al-Jailani pun sangat kental dengan nuansa kesufian. Termasuk karya tafsirnya ini.

            Dalam buku ini dia mencoba mencari makna Ta’awwudz, Basmalah, Tobat, dan Takwa. Sebagaimana menjadi ciri khas tafsir sufi, tafsir Al-Jailani ini menekankan dzauq (rasa) dan aspek esoteris (ruhani, batiniah).  Al-Jailani mampu menyibak “rahasia-rahasia” di balik ayat (literal) yang maknanya tak aus oleh dinamika perubahan zaman.
            Misalnya tentang “Ta’awwudz”, Al-Jailani mengatakan bahwa ibadah pada dasarnya perbuatan melawan godaan setan dan hawa nafsu. Perlawanan itu disebut jihad atau mujahadah. Dan inilah sebesar-besarnya jihad, bahkan dari jihad perang sekali pun. Mengapa bisa dikatakan begitu? Al-Jailani memberikan alasan bahwa jihad melawan hawa nafsu bersifat terus-menerus, memiliki tingkat bahaya yang jauh lebih besar. Sebab, jika nafsu tak diperangi, dikhawatirkan, ketika meninggal, seseorang akan berada dalam kondisi su’ul khatimah.
            Oleh karena itu, Tuhan memerintahkan manusia untuk memohon perlindungan dari godaan setan. Sedikitnya disebutkan oleh al-Jailani ada 3 ayat yang menunjukkan hal itu sesuai dengan konteksnya masing-masing, yakni surah an-Nahl [16]: 98, Ali Imran [3]: 36, dan al-A’raf [7]: 17. Rasulullah bersabda, “Barang siapa beristiadzah sekali maka Allah akan menjaganya sepanjang hari.” “Tutuplah pintu-pintu kemaksiatan dengan ta’awwudz dan bukalah pintu-pintu ketaatan dengan bismillah.”
Yang ditakuti dan diwaspadai setan adalah permohonan perlindungan seorang hamba kepada Allah dan pancaran cahaya makrifat orang-orang ‘arif (orang yang mengenal Allah dengan baik), ujar al-Jailani. Dan itu, apabila tidak termasuk orang yang ‘arif, mohonlah perlindungan sebagaimana isti’adzah orang-orang bertakwa (al-muttaqin), niscaya derajat terangkat ke tingkatan ‘arif (hlm.17). Dan hanya dengan itulah pancaran cahaya hati dapat mematahkan kekuatan setan, mengalahkan pasukannya, membinasakan para pendukungnya, serta mengikis habis segala rayuannya. Ia bahkan bisa jadi cahaya untuk memenjara setan sehingga tidak mampu lagi menggoda dirimu, saudaramu, dan pengikutmu. (hlm. 19)
Menurut a-Jailani seeorang agar mencapai kebebasan dari godaan setan ada beberapa hal yang harus diamalkan, yakni: selalu mengucap kalimat ikhlas (la ilaha illallah)dan zikir kepada Allah, memperbanyak bacaan bismillah, dan membuang hasrat dan keinginan meraih karunia dari para penggemar duniawi.   
Penafsiran makna ta’awwudz dengan aroma kesturi sufi ini sungguh relevan dalam kondisi zaman saat ini. Karena jika ditilik kepada situasi kondisi sosial al-Jailani hidup, nampaknya tidak jauh beda dengan saat ini, yakni krisis dalam pelbagai dimensi kehidupan, meski kehidupan sudah modern di zamannya pada saat itu. Dan untuk itulah barangkali al-Jailani membuat tafsirannya bercorak sufistik yang lebih mengedepankan hal-hal dasar dan esoteris.
Inilah karya al-Jailani dalam bidang tafsir yang boleh jadi sebagai kritik sosial atas zamannya. Dan saya kira buku ini menemukan relevansinya pada saat ini, di mana kekuasaan dan uang sebagai panglima. Oleh karena itu sangat layak dibaca dan dijadikan tafsir alternatif, di tengah serbuan tafsir yang mengedepankan sisi hukum “kapitalistik” yang tidak menyentuh ke sisi batiniah.
Wa ila hadroti Sulthonil Auliya’ Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani, lahu alfatihah.[]

M. Iqbal Dawami, pencinta buku.


Tidak ada komentar: