Kamis, Maret 29, 2012

Sastra dalam Secangkir Kopi


Judul: Filosofi Kopi
Penulis: Dewi Lestari (Dee)
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I, Januari 2012
Tebal: 152 halaman

Nama Dewi Lestari (yang akrab dipanggil Dee) masih harum. Seharum buku ini yang sesungguhnya terbit pada 2006. Meski karya paling anyarnya adalah Madre (2011), lantaran keharumannya, buku ini diterbitkan kembali oleh penerbit yang berbeda. Bak aroma kopi dalam cangkir, buku ini juga nampak harumnya masih belum pudar. Pembaca masih merasakan sensasinya. Buku ini adalah kumpulan cerita dan prosa satu dekade, rentang 1995 hingga 2005. Judulnya diambil dari salah satu judul tulisan di dalamnya. Barangkali ini menjadi tulisan andalan dari tulisan lainnya.


Seorang lelaki bernama Ben, peracik kopi yang mencari cita rasa kopi yang sempurna. Saat mendapatkan kesempurnaan, maka saat itu pula akan mendapatkan ketidaksempurnaannya. Ya, Ben memang tergila-gila pada kopi. Dia berkeliling dunia demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri serta berkonsultasi dengan para ahli peracik kopi. Walhasil, dia termasuk salah satu peramu kopi handal. Dia membuka kedai kopi dengan nama Kedai Koffie. Dia mengajak kawannya, Jody, sebagai manajernya.

Dia tidak sekadar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang dia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi. Baginya, setiap kopi punya karakter masing-masing. Mulai dari cafe latte, cappucino, hingga kopi tubruk. Lalu dia mengganti nama kedainya menjadi Filosofi Kopi, berikut slogannya, ‘Temukan Diri Anda di Sini.’ Semua racikannya punya arti.

Kedainya menjadi magnet, banyak orang betah tinggal di situ. Hingga suatu hari ada seorang pengusaha kaya mencari kopi yang punya arti : kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup. Berhubung kopi tersebut tidak ada, maka lelaki itu menantang Ben untuk membuatnya, dengan bayaran 50 juta, apabila Ben berhasil menemukan racikan sesuai dengan arti tersebut. Ben tertantang. Berminggu-minggu Ben melakukan uji coba. Kedainya berubah menjadi laboratorium.

Ben berhasil menemukan racikannya. Kopi tersebut berhasil memenangkan taruhannya. Sang pengusaha terkagum-kagum sembari memberikan cek senilai 50 juta. kopi tersebut dinamakan Ben's Perfecto; sukses adalah wujud kesempurnaan hidup. Keuntungan kedai meningkat dan berlipat ganda sejak hadirnya kopi tersebut. Namun, tak lama kemudian kebanggaannya pudar seketika, saat dia menemukan warung kopi sederhana di puncak Merapi. Cita rasanya sungguh aduhai. Barangkali itulah refleksi manusia modern. Idealisme dibenturkan dengan kapitalisme. Haus kesempurnaan dan pengakuan. Mengejar kemapanan dalam arti holistik.

Karya yang “Dipaksakan”
Membaca “Filosofi Kopi” dan Mencari Herman” adalah dua kisah tentang obsesi. Yang pertama obsesi perihal kopi yang punya cita rasa sempurna, dan yang kedua obsesi akan sosok bernama Herman. Dua-duanya mendapatkan jawaban dari ketidaksengajaan dan kesederhanaan. Sama halnya “Filosofi Kopi”, “Mencari Herman” juga kisah tentang pencarian kesempurnaan. Hera, perempuan remaja, terobsesi mencari lelaki bernama Herman hingga dewasa. Namun tidak kunjung menemuinya. Hingga Hera mati mengenaskan.

Buku ini sebenarnya mempunyai potensi kumpulan cerpen, jika saja beberapa tulisan prosa dikembangkan seperti halnya Filosofi Kopi, Mencari Herman, dan Rico de Coro. Maka, dengan berat hati saya katakan bahwa karya ini terlalu dipaksakan untuk menjadi sebuah buku. Jadi, sebenarnya hanya beberapa tulisan saja yang pantas dijadikan peran penting dalam buku ini. Selebihnya pelengkap saja, sekadar mempertebal halaman agar dijadikan sebuah buku.

Kaver menjadi kelebihan tersendiri untuk buku ini. Meski agak spekulatif juga dengan mempertebal kata "Kopi" dari yang lainnya. Karena, bagi pembaca yang tidak tahu kalau ini adalah karya sastra, boleh jadi menganggap buku ini tentang kopi atau filsafat. Dan, bisa jadi, buku ini ditaruh di rak toko buku bagian tanaman atau filsafat apabila karyawan toko buku buta atas isi buku ini.

Keegoisan penulis untuk memaksakan kehendak dengan memasukkan tulisan-tulisan pendeknya sungguh sebentuk pemaksaan kepada khalayak pembaca. Saya merasa terganggu oleh tulisan-tulisan tersebut. Secara tidak langsung hal itu memengaruhi rasa suka saya pada karya lainnya yang luar biasa, seperti Supernova dan Perahu Kertas yang berkualitas prima itu. “Mumpungisme” telah dipraktikkan oleh penulisnya. Seolah semua tulisan pasti disukai oleh pembaca.

Mestinya dia tidak memaksakan kehendak untuk memilah dan memilih tulisan sesuai kategorisasi. Jika tulisan prosanya masih sedikit, sabarlah sebentar, tulis dulu prosa yang lainnya, sehingga ketika sudah banyak bisa diterbitkan secara mandiri. Tulisan yang tidak mesti dimasukan ke dalam buku, yang terkesan dipaksakan di antaranya: Salju Turun, Kunci Hati, Selagi Kau Lelap, Jembatan Zaman, Kuda Liar, Diam, Cuaca, Lilin Merah, Spasi, dan Cetak Biru.

Meski tulisan-tulisan itu pendek namun harus diakui, bahasanya begitu nyastra dan padat makna. Dalam Lilin Merah, misalnya, Dee menulis dengan indah sekali. Adakalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu. Lilin merah berdiri megah di atas glazur, kilau apinya menerangi usia yang baru berganti. Namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah. Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap. Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari.

Dee juga piawai dalam bermetafora. Dalam Spasi, bisa kita lihat. Dee mengatakan, Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

Saya berharap Dewi Lestari bisa menulis lebih bagus lagi, meski sudah mapan. Biasanya, godaan seorang penulis yang sudah terkenal, karyanya menjadi dangkal. Idealisme sudah tidak dibangun lagi. Dia telah memasuki ranah industri, yang notabene-nya mengutamakan keuntungan ketimbang kualitas karya. Saya rindu karya-karya Dee semisal Supernova yang mengundang pro-kontra dan Perahu Kertas yang asyik, kocak, namun tetap memerhatikan cita rasa sastranya. Kedua karya itu sama-sama menjaga kedalaman makna dan kedetailannya.

M. IQBAL DAWAMI, penikmat sastra, tinggal di Pati.

Jumat, Maret 09, 2012

Kisah Mengesankan Pengajar Muda


Judul: Indonesia Mengajar : Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri
Penulis: Pengajar Muda
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: II, Desember 2011
Tebal: xviii + 322 hlm.

Ayu Kartika Dewi jatuh cinta pada Iman, salah satu muridnya di SD. Dia dibuat kagum oleh tingkahnya yang kharismatik, disenangi dan didengarkan teman-temannya. Dalam pandangannya, Iman kelak menjadi seorang pemimpin besar negeri ini. Saat pelajaran Bahasa Indonesia, dia mengajak siswanya menulis puisi. Iman membuat puisi yang ditujukan untuknya. Kontan dia tersentuh.

Sebaliknya, Rahmat Danu Andika, dirindukan oleh Upi, salah satu muridnya di kelas 2 SD di Halmahera Selatan. “Pak Guru! Uba kita pe luka dulu! (Pak Guru! Obati luka saya dulu!)”. Kegiatan mengobati luka, begitu menarik buat Upi. Tingkahnya menunjukkan bahwa ia kurang perhatian dan kasih sayang. Ia berbakat dengan angka-angka. Senang matematika. Ia ingin berlama-lama dengan Rahmat, gurunya. Upi si anak berbahasa angka, yatim piatu. Dia sering pura-pura sakit agar bisa berlama-lama dengan gurunya.

"Cinta saya kepada Ibu lebih besar dari uang sakuku." Kalimat itu terletak dalam surat ucapan terima kasih yang dibuat murid-murid SD Paser kepada Diah Setiawaty dalam rangka hari guru. Bagi murid-murid tersebut, sekolah adalah perjuangan. Banyak dari mereka yang harus menyeberang sungai terlebih dahulu untuk ke sekolah. Buku dan uang saku adalah kemewahan bagi mereka. Uang saku mereka yang kecil sekadar membeli minuman yang bisa membasahi kerongkongan dan untuk mengganjal perut seadanya setelah berjalan yang melelahkan. Bagi mereka uang saku begitu berharga. Maka tidak aneh mereka membuat ucapan seperti itu.

Ketiga kisah di atas adalah sepercik pengalaman berkesan yang dialami oleh para Pengajar Muda saat mengajar dan tinggal selama satu tahun di pelosok negeri Indonesia. Kisah-kisah dari pengajar lainnya bisa kita baca dalam buku berjudul Indonesia Mengajar (2011))yang diterbitkan Bentang Pustaka. Hanya selang satu bulan sejak terbit, buku ini sudah cetak ulang kedua. Sungguh luar biasa. Animo masyarakat sungguh tinggi terhadap kiprah para pengajar muda ini yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar (GIM).

Pengajar Muda adalah sebutan untuk para guru hasil didikan GIM. Pada angkatan pertama, GIM memberangkatkan 51 Pengajar Muda. Para Pengajar Muda ini hasil seleksi dari 1.383 pelamar yang sudah melalui proses seleksi ketat sejak pertengahan tahun 2010. Untuk membekali Pengajar Muda, mereka diwajibkan mengikuti seluruh rangkaian pelatihan selama 7 minggu di Ciawi, Bogor sejak akhir September 2010 hingga awal November 2010.

Lokasi penempatan Pengajar Muda yaitu di Kabupaten Bengkalis, Riau, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, dan Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. GIM merupakan sebuah program yang digagas oleh Anies Baswedan. Program ini memiliki tujuan ganda, pertama, untuk mengisi kekurangan guru berkualitas Sekolah Dasar di daerah terpencil. Kedua, untuk membekali pemuda terbaik yang berpotensi menjadi world class leader with grass root understanding, yaitu pemimpin yang memiliki visi ke depan namun memahami dan mengerti seluk beluk permasalahan rakyat di akar rumput.
GIM mendorong kemajuan pendidikan di Indonesia, bukan melalui seminar dan diskusi tetapi melalui program kongkret mengirimkan sarjana terbaik Indonesia menjadi Guru SD. Anak-anak muda terbaik meninggalkan kemapanan kota, melepaskan peluang karier dan melewatkan semua kenyamanan lalu memilih menjadi guru SD di desa-desa tanpa listrik. Seperti yang dikisahkan Erwin Puspaningtyas, pengajar muda yang ditempatkan di Majene, “Jika saat ini kau ingin mengeluh karena listrik padam, bersyukurlah karena itu hanya beberapa menit atau jam saja. Di sini, listrik pun bahkan tidak ada. Jika kamu makan sampai puluhan dan ratusan ribu, uang itu adalah penyambung hidup kami di sini selama sebulan. Bersyukurlah atas apa yang kamu punya.”

Begitu juga yang dikisahkan Rusdi Saleh, pengajar muda di Tulang Bawang Barat. Genset, andalan desa tersebut, adalah sumber energi bagi ponsel, laptop, dan alat-alat elektronik lain yang mereka miliki. Genset itu beroperasi hanya 4,5 jam. Dari pukul enam sore sampai setengah sebelas malam. Setelah itu genset dimatikan lagi.

Para Pengajar Muda hadir memberikan harapan. Pengajar Muda hadir mendekatkan jarak mereka dengan pusat kemajuan, hadir membuat anak-anak SD di pelosok negeri memiliki mimpi dan hadir membuat para orangtua di desa-desa terpencil ingin memiliki anak yang terdidik seperti para Pengajar Muda.

Menjadi Pengajar Muda dituntut untuk mampu menyampaikan materi sesuai dengan dengan kegiatan siswa sehari-hari, seperti membuat soal cerita matematika yang temanya menggunakan kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan. Seperti yang dialami Ijma Sujiwo, Pengajar Muda Paser, Kalimantan Timur. Dia memberikan ujian di kelas 4. Dalam soal matematika nomor 4 dia membuat pertanyaan, "Apakah yang dimaksud dengan sudut tumpul?" Ada salah satu siswa menjawab, "Karena tidak diasah." Jawaban tersebut di luar dugaan. Anak-anak menjawab sesuai dengan apa yang mereka lihat, dengar, dan kerjakan sehari-hari.

Kisah-kisah yang mereka tuliskan ini sungguh menginspirasi dan merangsang semua untuk melihat pendidikan sebagai Perjuangan Semesta: saling bantu, saling dukung. Mulai dengan mensyukuri perkembangan, memperbaiki kekurangan, dan diikuti dengan kesiapan untuk turun tangan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Kata Pengantar, Anies Baswedan mengatakan bahwa mendidik adalah tugas konstitusional negara, tetapi sesungguhnya mendidik adalah tugas moral tiap orang terdidik.

Tantangan Pengajar Muda tidak serta merta dari soal pendidikan saja, perihal bagaimana proses belajar mengajar yang efektif, melainkan juga soal interaksi sosial dengan masyarakat setempat. Para Pengajar Muda di Majene, misalnya, sempat ditolak oleh para penduduk, karena masih trauma dengan kejadian masa lalu. Penduduk pernah kecewa dengan orang yang dahulu pernah datang seperti pengajar muda itu.
Mereka diberi banyak janji palsu, dan mengakibatkan perpecahan di masyarakat.
Selain fakta sosial, mereka (Pengajar Muda) juga melihat fakta ekonomi di sana.
Mereka menilai bahwa usaha ekonomi pedalaman tidak ada value adding yang dilakukan. Misalnya para petani tambak warga Labuangkalo. Jika saja mereka paham mengenai pengolahan, pemasukan warga akan jauh lebih tinggi. Proses penjualan bahan mentah amat statis dan berpotensi tereksploitasi oleh pembeli karena dapat saja harga belinya ditekan atau dialihkan sumber bahan mentah para warga. Para Mengajar Muda menilai hanya pendidikan yang mampu memotong rantai tersebut.

Buku ini merupakan cara dan pesan yang amat indah untuk menyampaikan perihal tantangan menjadi guru di pelosok Indonesia. Kisah-kisah yang dialami Pengajar Muda yang terekam dalam buku ini begitu otentik dan menyentuh kepada hati pembaca. Semoga pembaca tergerak untuk bangkit dan turut mengambil bagian dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.[]

M. Iqbal Dawami, direktur Iqro Corporation.