Judul: The Road to Persia;
Menelusuri Keindahan Iran yang Belum Terungkap
Penulis: Afifah Ahmad
Penerbit: Bunyan
Cetakan: I, Februari 2013
Tebal: xiv+222
Selain ke makam keluarga
dan sanak saudara, masyarakat Indonesia mempunyai tradisi ziarah ke makam para
ulama, seperti Wali Songo. Kalau kita tengok masyarakat Iran, ternyata tidak
jauh beda dengan masyarakat Indonesia. Bahkan lebih dari itu. Di samping para
ulama, mereka memiliki tradisi ziarah ke makam para penyair, sebut saja
misalnya Saadi, Hafiz, Khayyam, dan Ferdowsi. Penghormatan mereka terhadap
penyair dari tanah kelahirannya sungguh luar biasa. Apresiasinya tak
tertandingi oleh negara mana pun. Jika sebagian orang Indonesia mencari
semangat hidupnya dari buku-buku motivasi, orang Iran justru mencarinya dari
puisi-puisi yang saya sebutkan di atas.
Informasi itu
bisa kita dapatkan dari buku berjudul The Road to Persia karya Afifah
Ahmad. Penulis asal Indonesia ini sudah tinggal di Iran kurang lebih 5 tahun.
Beberapa tempat yang memiliki keunikan dan historisitasnya telah ia kunjungi.
Buku ini adalah hasil kunjungan tersebut. Di dalamnya terbagi 4 bab: pertama,
kunjungannya ke berbagai tempat dan bangunan bersejarah seperti Bundaran
Isfahan, Rudkhan Castle, reruntuhan Persepolis. Kedua, ziarah ke makam
para penyair dan ilmuwan seperti Hafiz, Khayyam, Fariduddin Attar, Sadra, Ibnu
Sina. Ketiga, menikmati Desa dan Alam Persia, seperti Kandovan, Masouleh,
Tepian Zayandeh, gugusan Alborz. Keempat, cerita keseharian di Iran,
seperti suasana di kereta, suasana Ramadhan, 10 muharam.
Bagi saya yang
paling berkesan dari buku ini adalah bab kedua perihal tradisi ziarah ke makam
para penyair dan ilmuwan. Mungkin karena tradisi ini dekat dengan kehidupan
saya yang sering berziarah. Afifah Ahmad dengan apik menceritakan bagaimana
peziarahan dia dan keluarganya ke makam-makam penyair dan ilmuwan Iran. Dia bertutur,
“Puisi memang telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari tradisi
masyarakat Persia. Bila bangsa Italia besar dengan opera, bangsa Iran tumbuh
bersama syair. Hampir setiap rumah di Iran menyimpan Divan Hafiz, salah satu
buku puisi. Ibu-ibu rumah tangga sederhana saja sudah terbiasa melafalkan
baris-baris syair, apalagi para dai dan presenter. Mereka tidak pernah
ketinggalan menyisipkan larik-larik puisi,” (hlm. 75).
Bisa dibayangkan
kalau tradisi berpuisi ini hidup di masyarakat Indonesia alangkah takjubnya kita.
Saya membayangkan tradisi berpuisi di Iran seperti halnya tradisi beradu pantun
di etnis melayu, khusunya tanah minang. Tidak hanya itu, di sana, para penyair
begitu dihargai layaknya pahlawan nasional, ujar Afifah. Bahkan, setelah
kematiannya, makam mereka dipayungi kubah serta dipagari taman-taman indah.
Hafiz, penyair besar
di tanah Persia, dimakamkan di sebelah utara Kota Shiraz. Area pemakamannya
dinamakan Hafiziyeh. Luasnya mencapai dua hektare. Luar biasa. Ketimbang makam,
area ini lebih mirip taman, karena begitu indah penataannya. “Kompleks taman
itu dilengkapi dengan perpustakaan, museum, pusat riset, dan kedai teh. Ada
juga beberapa ruangan yang biasa digunakan untuk diskusi puisi atau kelas
sastra. Setiap hari wafatnya, sekitar pertengahan Oktober, diperingati sebagai
hari mengenang Hafiz. Para penyair dari berbagai belahan dunia berkumpul di
taman ini. Mereka mengenang dan membacakan kembali syair-syair sang pujangga,”
tutur Afifah.
Setelah dari Shiraz,
Afifah bertolak ke Kota Nishapur. Di sana terdapat makam Umar Khayyám dan Fariduddin Attar. Di pintu gerbang
Mousoleum Attar Afifah disambut sang penyair sendiri, Fariduddin Attar. Tentu
saja berbentuk patung. Makamnya berada di bawah kubah yang berwarna biru
turkois. Di sana terdapat tulisan La Ilaha Illallah. Bagi peziarah harus
melepas alas kakinya, karena di sana tergelar karpet
merah. Adapun hiasan dindingnya adalah lukisan-lukisan yang berkaitan dengan sang
penyair, salah satunya adalah lukisan aneka burung. Lukisan itu sesungguhnya
menggambarkan karya sang penyair berjudul Mantiq Attair (Musyawarah Para
Burung).
Di depan makam sang penyair Afifah melihat seorang
perempuan muda yang wajahnya terlihat sendu. Entah apa yang ada di benaknya, barangkali ia
tengah membagi kesedihan bersama si penyair, pikir Afifah.
Makam Umar Khayyám
berjarak 1 km dari makam Fariduddin Attar. Di makam Khayyám bila musim semi tiba area makamnya terlihat kuncup-kuncup bunga
berguguran. Makam
Khayyám tepat berada di bawah pohon peach. Mousoleum Khayyam modelnya seperti tenda. Konsep pembuatannya barangkali disesuaikan
dengan nama Khayyam sendiri yang berarti si pembuat tenda. Khayyam lahir pada 18
mei. Sebagai penghormatan dan menebar spiritnya, setiap tanggal kelahirannya
digelar pelbagai festival kesenian. Ratusan orang
berkumpul di tugu pemakamannya untuk mengikuti upacara tabur bunga.
Afifah merasa bahagia
dan bersyukur sekali dapat menziarahi makam para penyair masyhur itu. Membaca
catatan perjalanan yang terangkum dalam buku ini saya tergoda ingin sekali
berziarah ke makam-makam penyair masyhur itu seperti halnya penulis buku ini.
Ah, barangkali saya bisa memulainya dengan menziarahi para penyair Indonesia
terlebih dahulu.[]
M. Iqbal Dawami, peziarah, pencinta buku, jungle tracker.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar