Judul: Jomblo
Tapi Hafal Pancasila
Penulis: Agus
Mulyadi
Penerbit: B-First
Cetakan: I, Juli
2014
Tebal: xii x 309 hlm.
“Dengan wajah
jelek ini, saya memang susah mendapatkan pacar. Tapi, saya enjoy saja.
Terkadang saya berpikir, Percuma juga mempunyai wajah ganteng, tapi punya
pacar sama-sama gantengnya,” ucap Agus Mulyadi.
Anda tahu siapa
Agus Mulyadi? Dia adalah seorang blogger, “lahir di Magelang, hidup di
Magelang, dan besar dizalimi,” tulis dia dalam bab “Profil Penulis” di bukunya.
Pada mulanya adalah jasa edit foto-bareng member JKT48. Banyak orang meminta
jasanya. Walhasil, dari situ ia mulai dikenal. Namun, tak lama kemudian ia
tobat menjalankan bisnis ini, karena menimbulkan pro&kontra. Bejonya, dia
sudah terlanjur terkenal. Orang kemudian mengikuti postingan di blognya. Buku
ini adalah kumpulan tulisan di blognya yang kemudian diterbitkan.
Unik. Lucu.
Cerdas. Tiga kata itu barangkali bisa mewakili isi buku ini. Unik, karena cara
penyajiannya betul-betul otentik. Agus Mulyadi, yang akrab dipanggil Gus Mul, “hanya”
menulis cerita pengalamannya sendiri. Ia menulis by field research. Dari
hal-hal remeh hingga “berat”ia tulis dengan narasi yang santai namun memikat.
Ia menulis seperti bertutur, seolah sedang bercerita langsung kepada pembaca,
di hadapannya. Tak jarang, sering kali ia memunculkan ungkapan-ungkapan Bahasa
Jawa keseharian yang khas.
Ia cerita,
misalnya, tentang pengalaman bertemu orang Belanda gegara dia memposting sebuah
tulisan tentang makam Van Der Steur. Orang Belanda itu memberi tahu bahwa wajah
model Gus Mul itulah yang disukai wanita Belanda. Atau cerita tentang kucingnya
yang lucu dan setia. Maksud setia di sini, setia menemani kejombloan tuannya.
Lucu, karena kisah-kisahnya
dilumuri dengan hal-hal lucu. Tak jarang di setiap babnya diselipkan
ungkapan-ungkapan yang membikin pembaca tertawa. Dan lucunya juga unik,
lantaran ia menertawakan dirinya sendiri. Misalnya, tentang kawannya yang
pasang susuk. Gus Mul bertanya kepada kawannya, seandainya mau pasang susuk, diletakkan
dimana? Jawaban temannya sungguh membuat saya tertawa. Atau cerita tentang
pengalaman bersama bapaknya yang kena setrum, gegara meletakkan gantungan baju
di bohlam yang ada aliran listrinya. Melihat bapaknya kena setrum, Gus Mul
tertawa. Tapi, setelah itu bapaknya balik menertawakan dirinya. Ada apa
gerangan? Baiknya Anda baca sendiri.
Nah, yang
terakhir adalah cerdas, kenapa? Karena si penulis mampu menggabungkan antara
pengalaman dan opininya. Bagaimana, misalnya, dia beropini saat memerhatikan
sinetron-sinetron Indonesia yang ungkapan dan alur ceritanya mudah ditebak. Ia
juga beropini perihal pilkada yang sekarang dengan yang dulu. Pengalamannya
sungguh mengharukan. Kecerdasannya juga terlihat dari cara menertawakan hidup, dalam
hal ini soal kejombloannya karena tidak dikaruniai wajah tampan. Ia
mengolok-olok dirinya yang sebetulnya mengkritik orang lain yang serba ingin
sempurna.
Ada beberapa kekurangan
dalam buku ini. Banyak istilah maupun ungkapan yang tidak diberi penjelasan.
Misalnya, “El-Dorado”, “Nggragas”, “Kulonuwun, Pak, Buk, nyuwun jamune
nggih???”, dll. Tentu saja segmen pembaca buku ini bukan hanya orang Jawa,
karena itu dibutuhkan penjelasan setiap kali ada ungkapan Jawa-nya. Ada juga
salah penempatan “koma” sehingga mengganggu nada membaca. Seperti pada halaman
99, dalam kalimat, “Gitu aja kok, repot lho sampeyan!” Mestinya penempatan “koma”nya
setelah kata “repot”.
Selain itu, soal
penyebutan keterangan waktu. Banyak sekali penulis menyebutkan keterangan waktu
yang tidak jelas pada saat menceritakan pengalamannya. Barangkali penulis
maupun editor lupa bahwa tulisan ini yang sejatinya dari blog sudah dibukukan,
sehingga keterangan waktu harus diperjelas. Karena itu pembaca menjadi tahu
konteks tulisan tersebut. Hal ini bisa kita lihat dalam bab “Kucingku Oh
Kucingku” dan “Kembang Telon yang Kesepian”.
Beberapa tulisan
juga terkesan dipaksakan untuk diikutkan ke dalam buku ini. Selain tidak ada kaitannya dengan judul buku, kisahnya
juga cukup pendek dan “garing”. Untuk
menyasar ke kalangan remaja buku ini terlalu tebal, sehingga berpengaruh
terhadap kocek, dan kurang asyik pula untuk di-tenteng-tenteng
saat bepergian.
Terlepas kekurangannya,
buku ini cukup menghibur. Tak jarang saya dibuat tertawa tak kenal tempat.
Jangan-jangan Gus Mul ini punya DNA Abu Nawas. []
@iqbalsheldon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar