Senin, September 15, 2008

Islam Agama Toleran


Judul Buku :Al-Qur’an Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme
Penulis : Zuhairi Misrawi
Penerbit : Fitrah, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : 520 Halaman
------------------------
Dalam umat beragama teks mempunyai posisi signifikan yang dapat menentukan kapasitas seseorang dalam menyikapi hidupnya. Dimulai dari kitab suci beserta tafsirannya hingga buku-buku keagamaan lainnya adalah sebuah bukti bahwa teks benar-benar mempunyai “kekuatan” untuk mengubah paradigma seseorang di dalam berpikir dan bertindak. Tidak berhenti di situ saja, teks juga mampu membuat gaya hidup (life style) seseorang dalam hal beragama.

Jika kita tilik sejarah Islam, teks dijadikan pesan untuk kehidupan umat muslim. Hal itu dapat kita lihat adanya ribuan tafsir yang beraneka ragam dari berbagai daerah yang berpenduduk muslim, padahal itu hanya berasal dari satu teks, yaitu Alquran.



Alquran sebagai kitab suci umat Islam yang pada hakekatnya tak lain adalah sebuah teks dijadikan sebagai pedoman hidup kaum muslim di dunia. Melihat fenomena yang istimewa itu, Nasr Hamid Abu Zayd, seorang Cendekiawan Mesir yang tinggal di Belanda, mengatakan bahwa peradaban Islam sesungguhnya adalah peradaban teks. Hal ini dapat kita maklumi karena pada kenyataannya semua teks keagamaan di dalam Islam dijadikan poros utamanya.

Melihat kenyataan di atas timbul persoalan bagaimana cara “membaca” teks keagamaan yang baik? Pertanyaan ini penting untuk kita ajukan karena tidak sedikit di sekitar kita yang membaca teks keagamaan secara otoriter sehingga terjebak pada otoritarianisme. Mereka yang terjebak pada paham ini menafsirkan secara otoriter, yaitu memaksakan hasil ‘pembacaannya’ dari teks keagamaan pada orang lain tanpa tedeng aling-aling. Dalam benak mereka, kebenaran hanya ada dalam pembacaannya. Maka dapat dipastikan sikap seperti itu sama sekali tidak akan mempunyai sikap toleransi pada orang yang bersebrangan hasil pembacaannya. Mereka cenderung puritan dan mudah mencap seseorang dengan label kafir, munafik, murtad, dan yang lainnya.

Pembacaan seperti di atas akan memunculkan radikalisme, fanatisme, fundamentalisme, bahkan ekstremisme. Teks-teks keagamaan, mereka tafsirkan secara tekstual, kaku, rigid dan tidak fleksibel. Penafsiran seperti itu sesungguhnya hanya pada tataran permukaan saja, dan sama sekali tidak menyentuh ‘makna dalam’nya (deap meaning).

Akibatnya sudah dapat diduga yaitu membuat konflik baik dengan sesama penganut agama yang berlainan penafsiran, maupun antarumat beragama karena memaksakan ‘kebenaran’nya dan tidak menerima ‘kebenaran’ orang lain. Sikap yang egois seperti itu akan menafikan pluralisme pemahaman keagamaan yang berada di tengah-tengah masyarakat heterogen dan dunia global. Selain itu sikap demikian tidak akan dapat membangun keharmonisan dalam kerukunan hidup antarumat beragama.

Zuhairi Misrawi, seorang cendekiawan muda Indonesia amat prihatin melihat fenomena umat beragama yang tidak toleran dan egois seperti di atas, terutama dalam memahami Alquran. Keprihatinannya itu ia gambarkan dengan apik dalam bukunya yang berjudul Al-Qur’an Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (2008). Oleh karena itu ia mencoba menggagas kembali bahwa Alquran harus dirumuskan kembali penafsirannya dengan mencari dan mengutamakan nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh semua pihak dalam rangka membangun masyarakat madani; terbuka dan toleran. Maka yang ia lakukan kemudian adalah menafsirkan beberapa ayat yang berbicara perihal toleransi.

Buku yang ditulis Zuhairi ini sangat representatif untuk dijadikan rujukan mengenai pandangan Alquran terhadap kehidupan umat beragama. Pembahasan mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan kata kunci “toleransi” begitu lengkap. Kata kunci itu begitu penting dan hakiki dalam kehidupan manusia di muka bumi ini. Maka di sinilah letak pentingnya buku ini, yaitu dapat menemukan kunci kehidupan umat beragama: toleransi. Dengan kata lain, toleransilah yang dapat mendamaikan kehidupan umat beragama.

Substansi dari toleransi adalah ketulusan, kejujuran, dan menerima perbedaan baik tindakan maupun pemikiran. Semua manusia, dalam konteks toleransi, tidak dipandang dari segi perbedaannya, melainkan segi persamaannya, yaitu sesama makhluk Tuhan yang mempunyai hati nurani dan akal budi. Perbedaan tentu sudah menjadi keniscayaan dan kodrat dari Tuhan. Singkatnya, perbedaan adalah suatu hal yang sunnatullah (hlm. 11).
Harus disadari bahwa hidup ini identik dengan perbedaan. Tidak ada sesuatu yang benar-benar sama, yang ada hanya ‘persis’ dan ‘nyaris’ saja. Itulah hukum alam yang sudah digariskan oleh Tuhan. Dari sini saja kita dapat mengambil hikmahnya. Karena itu, dalam konteks kerukunan umat beragama, untuk menyikapi perbedaan kita memerlukan sikap toleransi yang dapat mempersatukan antara satu dengan yang lainnya baik di lingkungan antaragama maupun intra-agama.

Salah satu perangkat lunak dari toleransi adalah inklusivisme, pluralisme, dan multikulturalisme. Tiga perangkat tersebut menerapkan suatu toleransi aktif, yaitu menyelenggarakannya secara terbuka dengan mengadakan model-model dialog dan kerjasama. Inilah buku yang secara panjang lebar dan mendalam menjelaskan ketiga perangkat dalam membangun toleransi, terutama dalam konteks antaragama dan intra-agama. Salah satu poin penting dari buku ini adalah hendak mengharapkan kebersamaan di tengah-tengah perbedaan dan keragaman. Indonesia membutuhkan hal semacam itu. Untuk itulah buku ini sangat penting dibaca untuk semua kalangan.

Tidak ada komentar: