Resensi ini dimuat di Koran Seputar Indonesia pada Minggu 10 Mei 2009
Judul: The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan
Penulis: R.E. Elson
Penerjemah: Zia Anshor
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Januari 2009
Tebal: xxxiii + 543 hlm. (termasuk indeks)
-----------------------------------------
Tak dapat dipungkiri bahwa yang paling banyak mengetahui sejarah terbentuknya Indonesia adalah justru kaum sejarawan yang bukan berasal dari Indonesia. Ironisnya, kenyataan itu sama sekali tidak membangkitkan emosi para sejarawan Indonesia.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah para cendekiawan Indonesia sudah puas dengan kehidupannya sekarang ini, atau kah sibuk dengan urusan pragmatis semisal proyek-proyek yang menggiurkan demi memenuhi hasrat para penguasa? Padahal perihal merekonstruksi asal-usul Indonesia sangatlah penting ditulis oleh orang Indonesia, agar tidak bias dengan hasil-hasil penelitian dari pihak asing.
Dampak dari ketiadaan para sejarawan Indonesia adalah banyaknya generasi muda tercerabut dari pemahaman akar sejarah Indonesia sendiri.
Salah satu teranyar dari sejarawan asing mengenai asal-usul terbentuknya Indonesia adalah The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan karya R.E. Elson. Buku ini hendak berusaha mengenalkan kembali serta mencari asal-usul dari gagasan terbentuknya Indonesia yang dimulai sejak pertengahan abad ke-19. Tidak hanya itu, ia juga menelusuri lebih jauh tentang berbagai jalan berliku yang telah dilalui Indonesia hingga mampu eksis sampai sekarang.
Menurut Elson esksistensi Indonesia menjadi suatu negara-bangsa merupakan sebuah keajaiban dan kemukjizatan. Hal yang menjadi pertimbangannya adalah banyaknya tantangan serta bentuk-bentuk pemerintahan yang dilaluinya teramat rumit dan musykil untuk dilalui. Kemunculan nama ‘Indonesia’ sendiri menjadi bahan silang pendapat antar sejarawan.
Sebut saja, JR Logan, misalnya, sejawaran Belanda dan editor majalah The Journal of the Indian Archipelago and eastern Asia, disebut sebagai orang pertama yang menggunakan istilah “Indonesia” bagi nama penghuni dan wilayah gugusan nusantara secara geografis. Logan mengatakan, “I prefer the purely geographical term, Indonesia, which merely shirter synonym for the Indians or the Indian archipelago… , we thus get Indonesian for Indian Archipelagians or Indian Islanders.”
Logan menyebut Nusantara sebagai kepulauan Hindia-Timur, karena sebagian besar dari penghuninya adalah dari ras Melayu yang kemudian berbaur dengan ras Polinesia. Ia pun membagi Indonesia dalam empat wilayah geografis: Indonesia Barat (Sumatera, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa dan pulau-pulau antara), Indonesia Timur-Laut (Formosa hingga gugusan kepulauan Sulu dan Mindanao, termasuk Filipina hingga kepulauan Visaya); Indonesia Barat-Daya (dari pantai Timur Kalimantan hingga Papua Nugini, termasuk gugusan kepulauan di Papua Barat, Kai dan Aru); Indonesia Selatan (gugusan kepulauan selatan Tans Jawa, antara Jawa dengan Papua Nugini atau dari Bali hingga gugusan kepulauan Timor).
Hal senada juga dikatakan Windsor Earl bahwa ”Indu-nesians” menerangkan penduduk kepulauan nusantara termasuk ciri etnografis yang merupakan bagian dari rumpun Polinesia yang berkulit sawo matang. Earl mempermasalahkan bahwa penduduk di kepulauan nusantara ini tidak dapat disamakan dengan penghuni kepulauan Ceylon (kini Sri Lanka), Maldives atau Laccadives di Samudera Hindia dari ras India. Sedang antropolog Prancis, E.T. Hamy pada 1877 mendefinisikan kata ”Indonesia” sebagai rumpun pre-Melayu yang menghuni nusantara. Pendapat ini juga diikuti antropolog Inggris, A.H. Keane pada 1880.
Multatuli (nama lain dari Eduard Douwes Dekker), melalui karya monumentalnya, Max Havelaar (1859) memperkuat teori Logan tersebut. Multatuli menyimpulkan bahwa semua yang digagaskan JR Logan merupakan sebuah potret otentik yang bisa kembali menggugah kesadaran yang semakin menguatkan seluruh masyarakat dunia bahwa pada dasarnya gagasan Indonesia terbentuk jauh pada abad-abad lampau.
Istilah Indonesia lambat laun mulai berkembang dan sejak 1910-an digunakan oleh antropolog Belanda seperti Wilken, Kern, Snouck Hurgronje, Kruyt, dan yang lainnya, semuanya dengan makna yang sama. Dari situ pula, telah didirikan Fakultas Indologi di Universitas Leiden untuk mempelajari Indonesia.
Terminologi Indonesia kemudian baru diberi makna politis (dalam bentuk 'Hindia' yang harus merdeka) oleh Abdul Rivai, Kartini, Abdul Moeis, Soewardi Soeryaningrat, Douwes Dekker, Cipto Mangoenkoesoemo, Ratulangie dan lain-lain antara 1903-1913. Nama 'Indonesia' mulai santer, namun dengan bobot politis yang sama dengan 'Hindia', di kalangan mahasiswa asal Indonesia di Leiden semasa Perang Dunia I sekitar 1917. Sam Ratulangie yang juga termasuk dalam kelompok peduli Indonesia di Belanda giat pula mempopulerkan nama Indonesia di tanah air. Misalnya ketika mendirikan perusahaan asuransi di Bandung dengan nama, Indonesia pada 1925.
Nama Indonesia mulai berkembang sebagai perangkat perjuangan identitas bangsa yang terdiri dari masyarakat berbudaya majemuk dilandasi semangat solidaritas kebersamaan. Sebagai hasilnya, Indische Vereeniging, berubah menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia pada 1918. Namun dalam perkembangannya hingga kini, terminologi Indonesia lebih dilekatkan pada negara Indonesia. Indonesia dalam terminologi Logan berubah menjadi beberapa negara, termasuk Indonesia, Singapura dan Malaysia. Penang masuk Malaysia. Semenanjung Malaka dan Pulau Sumatra, yang kebudayaannya kental Melayu, terpisah menjadi dua negara. Papua Barat, yang sama sekali tak masuk dalam khayalan Logan, malah masuk wilayah Indonesia. Malaysia dan Indonesia menjadi dua negara berbeda karena mulanya mereka disatukan secara administrasi oleh dua kerajaan Eropa yang berbeda: Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda.
Setelah puas memaparkan asal-usul istilah Indonesia dan cakupannya dari pelbagai pendapat, pada bab-bab selanjutnya Elson melangkah pada bahasan mengenai sejarah intelektual Indonesia awal dari gagasan dan ide terbentuknya Negara Indonesia dengan begitu detail dan komprehensif. Sungguh, usaha ini patut diacungi jempol, karena dilakukan olehnya yang notabene-nya sebagai sejarawan non-Indonesia dan pembahasan mengenai ini telah luput dari pandangan sejarawan Indonesia sendiri.
Hal yang patut diapresiasi juga adalah cara penyajian Elson dalam membedah politik Indonesia yang sangat memukau. Ia piawai pula cara menggambarkan para tokoh politik Indonesia saat berkomunikasi dengan rakyatnya. Buku ini merupakan sejarah Indonesia penting untuk ditelaah, agar masyarakat Indonesia tidak melupakan sejarah nenek moyang terlebih para sejarawan Indonesia.
M.IQBAL DAWAMI
Staf Pengajar STIS Magelang, keturunan jawa-sunda, Tinggal di Yogyakarta
5 komentar:
menarik...menarik, cuman openingnya bikin miris. tengs mas, salam kenal
"Buku yang bagus, resensi yang bagus! Kalau dimuat bagi-bagi ya..."
"Siiip"
"Ok, makasih :-)"
Mengapa kamu tidak menjadi sejarawan Indonesia saja?
Wow hebat ... asyik juga resensi kesejarhannya ...
@Penikmat Buku: Thanks ya. Openingnya sengaja saya buat, biar dibuat merah mata para sejawaran :). Salam kenal juga.
@Noura: Siip juga buat Noura :)
@Ae:Haha..saya tidak punya hasrat, mas.Kata Pramoedya Ananta Toer, "sejarah Indonesia hanya dimiliki kaum elit dan penguasa saja".
@Pak Ersis: Makasih, pak. Bapak lebih hebat lagi :)
Posting Komentar