Judul: To Bee or Not to Bee; Lebah yang Bosan Mencari Madu
Penulis: John Penberthy
Penerjemah: Mila Hidajat
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2009
Tebal: 154 hlm.
-------------------
JIKA kisah ini benar-benar terjadi alias bukan fabel, betapa kita akan dibuat malu oleh seekor lebah yang satu ini. Lebah memang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dengungan, sengatan dan madunya begitu familiar dalam kehidupan kita. Namun di balik semua keunikannya, kita akan terkagum-kagum dengan pengalaman seekor lebah yang menjadi aktor utama dalam karya John Penberthy ini.
Nama lebah itu Buzz Bee. Dia merasa tersisih dari masyarakat koloninya karena kegelisahannya menanggapi pertanyaan-pertanyaan filosofi yang tiba-tiba muncul dalam dirinya: ‘Siapa sih aku sebenarnya? Mengapa aku berada di sini? Dari mana asalnya? Mengapa segala sesuatunya ada?’ Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuatnya sangat berbeda dari tingkah laku seekor lebah pekerja seperti dirinya. Dan, Buzz sering kali mendapati pikirannya berkelana tanpa henti.
Buzz merasa jengah dan muak dengan pemandangan yang setiap hari ia lihat dalam masyarakat koloninya. Lebah-lebah pekerja berdengung menjelajahi padang rumput untuk mencari bunga-bunga yang tepat, merunduk ke dalam bunga-bunga untuk mengambil madu dan serbuk sarinya, lalu kembali ke sarang sarat dengan muatan nutrisi. Ada semacam perasaan mati rasa yang muncul dari diri Buzz. Ia kelelahan namun tidak bisa puas bekerja setiap saat seperti para lebah lainnya. Batinnya selalu mengatakan ada yang lebih penting dalam kehidupan ini selain membangun sarang dan merawat anak-anak.
Teka teki dalam diri Buzz bertambah pelik ketika ia mulai berpikir tentang hakikat Tuhan, surga dan neraka.
Bahkan tak habis pikir, Buzz dan masyarakat koloninya selalu dihadapkan dengan masalah mendasar; menyelamatkan dan mempertahankan sarang dari gangguan si Boris Bear, beruang pemangsa madu. Buzz sangat tidak berdaya melihat Boris dalam waktu sepuluh menit menghancurkan sesuatu yang dibangun dengan menghabiskan waktu seumur hidup.
Di tengah kekalutannya, Buzz dikejutkan oleh kehadiran Bert, seekor lebah tua dengan satu antena bengkok di kepalanya yang bakal menjadi teman sekaligus guru yang mengajarkannya banyak hal. Buzz dan Bert mempunyai kecenderungan yang sama. Sama-sama terobsesi menemukan hakikat hidup dan sulit mempercayai sesuatu yang tidak logis.
Pertemuan dengan Bert menjadi awal petualangan Buzz dalam kisahnya mencari Tuhan dan teka-teki yang menggantung dalam benaknya. Akal sehat Buzz seperti dijungkirbalikkan menanggapi pernyataan-pernyataan Bert yang bermakna ganda dan sangat membingungkan. Rasa frustrasinya semakin memuncak ketika Buzz menyadari bahwa ia tak akan bisa kembali ke kehidupan normal seperti yang dijalaninya dulu. Buzz sudah tahu terlalu banyak dan mau tidak mau ia diseret habis-habisan memasuki sebuah kenyataan yang pada akhirnya disadari menjadi pelajaran yang sangat berharga.
Sepeninggal Bert, Buzz mulai berpikir dan menemukan tekad baru untuk melakukan perubahan, mencari impiannya yang sudah lama terkubur di sela-sela kesibukannya. Buzz terbang melintasi puncak gunung bergerigi yang sangat ganas. Bagi lebah sepertinya, terbang setinggi dua ribu kaki dengan medan yang sangat berat dan penuh bebatuan terjal, hanya akan mencari mati dan menemui kesia-siaan saja.
Meski begitu, pelajaran demi pelajaran memang harus dilalui, bagaimanapun kerasnya. Buzz dihantam dan dihempaskan begitu saja oleh amukan badai yang datang secara membabi buta. Sebuah celah sempit di antara retakan di lereng gunung telah menyelamatkannya dan cukup membuatnya terselip aman sebelum ia menyadari banyak keajaiban menimpa dirinya. Buzz sangat tercengang mendapati sekumpulan kecil tiga batang bunga liar yang mungil dengan ajaib melekat pada batu granit yang dingin dan tak bernyawa. Dan anehnya, madu yang keluar dari bunga itu adalah madu dengan rasa khas yang sama dengan yang pernah ia rasakan ketika Bert meninggal.
Pengalaman Buzz sungguh mengusik relung kesadaran kita sebagai manusia yang sejatinya diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna. John Penberthy berhasil menggali pelajaran-pelajaran berharga yang dapat dapat kita petik melalui penjelmaan seekor lebah. Buku ini pun sangat cocok sebagai bahan renungan untuk menengok dan menilik kembali misi hidup kita yang sebenarnya. Di dalamnya terdapat banyak pelajaran untuk memperoleh cara pandang berbeda mengenai kesempurnaan, perjalanan hidup, kebahagiaan, bahkan kematian.
Buku yang dari covernya beserta ilustrasi di dalamnya nampak seperti buku anak-anak ini penuh dengan aforisma dan pesan moral. Di antara aforismanya, seperti, “Pikiran adalah pelayan yang hebat, tapi merupakan majikan yang payah,” dan “Kehidupan adalah sebuah perjalanan dari aku menjadi kita.”
John Penberthy adalah seorang relawan yang menangani proyek penambahan vitamin A (mencegah kebutaan) untuk yayasan Hellen Keller International di Indonesia. Usaha kerasnya untuk melihat Tuhan dalam segala hal menuntunnya menulis buku ini.
Penberthy mampu menerjemahkan kehidupan seorang manusia ke dalam kehidupan seekor lebah dan koloninya, membuat kita merasa lebah itu tidak ada bedanya dengan kita. Boleh dikata, Buzz adalah cerminan orang ‘biasa’ yang jenuh bekerja siang malam untuk mencari nafkah dan menjalani hidupnya, yang kemudian mencoba mencari jawaban dengan melakukan pemikiran dan perjalanan spiritual.
Sekeras apapun kita bekerja, selayaknya kita jalani sebagai proses untuk meraih kesempurnaan hidup. Namun, alangkah naifnya jika di tengah-tengah kesibukan yang nyaris merampas semua waktu dan tenaga, kita begitu mudah terlena tanpa menyadari arti hidup ini. Karena, tanpa kesadaran itu hidup kita akan terasa hampa dan tak bermakna. Mengetahui semua itu membawa kita berpikir dan menyadari bahwa dunia ini bukan akhir segalanya. Akan tetapi dunia juga merupakan alat untuk belajar, sebuah kendaraan untuk kesadaran yang lebih besar.[]
M. Iqbal Dawami, penikmat sastra, tinggal di Yogyakarta
1 komentar:
salut,,, bahasanya sangat menarik. emm.. tampaknya buku ini bagus, mas.
Posting Komentar