Kamis, Februari 11, 2010

Pemberontakan Istri Kesembilan Belas


Judul: The 19th Wife: Istri Ke-19
Penulis: David Ebershoff
Penerjemah: Ibnu Setiawan
Penerbit: Bentang, Yogyakarta
Cetakan: I, November 2009
Tebal: 590 hlm.
----------------

Suatu ketika David Ebershoff, seorang penulis dan pengajar di Columbia University, berbicara dengan seorang profesor di bidang sejarah perempuan abad ke-19. Mereka berdua melakukan pembicaraan yang sangat panjang, dan profesor itu memberitahu semua cerita yang menakjubkan mengenai kaum perempuan Amerika pada abad ke-19. Kemudian dia menyebutkan Ann Eliza Young, yang saat itu terkenal sebagai istri ke-19.
Istri ke-19? Sungguh sebuah angka yang aneh di depan kata istri. Selanjutnya Ebershoff ingin mendalami lagi siapa yang dimaksud dengan istri ke-19 itu? Kemudian dia mulai berandai-andai, bagaimana rasanya menjadi istri ke-19? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini di otaknya, dia kemudian menulis novel dengan judul The 19th Wife.
Lembut dan puitis, enak dibaca dan tidak terlupakan. Itulah kesan saya ketika selesai membaca novel The 19th Wife karya David Ebershoff. Sang penulis menggabungkan fiksi sejarah epik dengan misteri pembunuhan modern untuk menciptakan sebuah novel yang brilian dari segi ketegangan cerita.
Saat itu tahun 1875, dan Ann Eliza Young baru saja berpisah dari suaminya yang penuh kekuatan, Brigham Young, kepala pendeta dan pemimpin Gereja Mormon. Diusir dan dibuang dari masyarakat, Ann Eliza memulai usaha perjuangan suci untuk mengakhiri poligami di Amerika Serikat. Sebuah cerita penuh makna dari sejarah keluarga pelaku poligami disampaikan, termasuk bagaimana seorang perempuan muda menjadi istri yang kesekian tersebut.
Segera setelah cerita Ann Eliza dimulai, narasi kedua yang indah sekali dibuka – sebuah cerita mengenai pembunuhan yang melibatkan keluarga pelaku poligami yang tinggal di Utah pada masa kini. Jordan Scott, seorang lelaki muda yang dibuang dari sekte fundamentalisnya beberapa tahun yang lalu, harus memasuki kembali dunia yang bisa membawanya ke dalam sekte tersebut untuk menyingkap kebenaran di balik meninggalnya ayahnya.
Dan sebagai narasi Ann Eliza yang terjalin dengan pencarian Jordan, para pembaca ditarik lebih dalam memasuki misteri cinta dan iman.
Novel ini membawa kita melewati hidup Eliza, dimulai sebelum dia lahir saat kedua orang tuanya mulai memeluk kepercayaan Mormon, berjumpa di gereja hingga akhirnya menikah. Ann Eliza adalah seorang perempuan berpikiran kuat yang menekuni kepercayaannya dengan serius. Bagaimanapun juga, dia menentang poligami, sebuah institusi yang didukung oleh Pendeta Joseph Smith, pendiri Gereja Yesus Kristus Latter-Day Saints (LDS), pada tahun-tahun terakhirnya.
Melalui pengalaman kedua orang tuanya dan pengalamannya sendiri, dia mengetahui kerusakan yang bisa disebabkan oleh poligami. Selanjutnya dia akan mengambil sikap menentang praktik perkawinan dengan banyak pasangan, meninggalkan hampir segala sesuatu yang dulunya dia ketahui dan dia pegang teguh, termasuk imannya.
Hubungan antara praktik dan doktrin mengarahkan kepada perpecahan di tubuh gereja. Beberapa kelompok kecil yang mendukung dan percaya bahwa praktik perkawinan dengan banyak pasangan diwahyukan secara mutlak dari Tuhan, memisahkan diri dari Gereja LDS dan membentuk kelompok sendiri. Poligami masih ada saat ini.
Hal inilah yang membawa kepada cerita Jordan Scott. Dia adalah seorang anak hilang, dibuang oleh ibunya di tepi jalan ketika dia masih berusia 14 tahun atas perintah kepala pendeta. Jordan tumbuh dalam kelompok yang terasing di Utah. Ibunya adalah istri kesembilan belas dari seorang laki-laki terhormat dalam kelompok Mesadale. Setelah dewasa dan tinggal di California, Jordan merasa pasti bahwa dia tidak akan pernah melihat ibunya lagi.
Bagaimanapun juga, ketika kabar sampai kepada Jordan bahwa ibunya ditahan karena tuduhan telah membunuh ayahnya, Jordan memutuskan untuk kembali ke tempat yang sangat dia benci. Dia mengepak barang-barangnya, melompat ke dalam mobil, bergabung dengan rekannya yang sangat dipercaya, Elecktra, dan menuju Utah. Dia tidak yakin apa yang akan dia lakukan, namun setelah bertemu dengan ibunya dan berbicara dengan pengacaranya, dia memutuskan untuk menyelidiki kasus pembunuhan itu sendiri. Untuk melakukan ini, Jordan harus menghadapi masa lalunya.
Kedua cerita mengalir bersamaan melalui isi novel, menimbulkan hubungan yang muncul di sana-sini. Pengarang membawakan kedua cerita bersamaan dengan cara yang kreatif dan tidak bisa diterka.
Cerita yang dituturkan Ann Eliza membuat pembaca terpesona, terutama ketika dia menempati posisi yang penting dalam cerita dirinya. Dalam novel, dia tampil sebagai perempuan kuat yang tentu saja tetap mempunyai kelemahan, namun dia juga mengetahui pemikirannya sendiri. Saya mengagumi semangatnya dalam membela apa yang dia yakini. Saya bahkan tidak bisa membayangkan akan seperti apa jadinya dia karena meninggalkan kehidupan dan keimanan yang membentuk dunianya – satu-satunya hal yang pernah dia ketahui.
Ada banyak sekali materi dalam novel ini, melebihi apa yang bisa saya katakan. Saat poligami barangkali menjadi materi yang terlalu banyak dibahas dalam novel, cerita-cerita pribadi di dalamnya lah yang benar-benar menjadikannya sebuah novel. Saya sungguh-sungguh merekomendasikan novel The 19th Wife karya David Ebershoff ini.
Novel The 19th Wife ini tidak memberikan kesimpulan akhir mengenai poligami, sebaliknya justru memunculkan isu dari berbagai sudut pandang dan membiarkan pembaca membentuk idenya sendiri.
Novel ini secara tidak langsung mendedah sejarah poligami di Amerika Serikat, terutama poligami yang dijalankan oleh pengikut Gereja Mormon. Namun sejarah itu tidak berakhir pada tahun 1890, ketika Gereja Mormon mengubah sikapnya terhadap poligami. Sejak saat itu praktik poligami bagi warga Amerika merupakan tindakan sekunder. Para pelaku poligami saat ini tentu saja bukan penganut paham Mormon. Dan perlu diketahui juga, aliran Mormon saat ini tidak melakukan poligami.
Novel ini bergerak maju-mundur di antara sekian abad. Ini mungkin merupakan trik penulis agar bisa bercerita bolak-balik. Begitu sebuah momentum dibangun di atas salah satu sisi cerita, pembaca langsung dihadapkan pada sisi yang lain ketika membalik halaman berikutnya. Waktu demi waktu juga dibangun di atas poin yang sangat kuat sekadar untuk menerima perubahan narasi. Namun, kita mendapatkan kedua sisi cerita tersebut sama-sama menarik.[]

M. Iqbal Dawami,
Penikmat sastra, tinggal di Yogyakarta



Tidak ada komentar: